Shanna menegakkan tubuhnya. Ditatapnya wajah Ardo serius. Shanna yang membuka mulut, terpaksa menelan kembali kata-katanya kala ponselnya berdering. Tertera nama nama Damar pada layar ponselnya.“Halo, Sayang,” suara Damar terdengar begitu Shanna mengangkat panggilan dan menyapanya. “Maaf mengganggumu. Aku hanya ingin memberitahumu kalau malam nanti kita akan pergi ke pesta ulang tahun pernikahan Pak Harjasa Wijaya.”Shanna mengernyit heran. “Kok mendadak banget sih, Ba? Dam tumben baba mengajakku? Biasanya baba ngajak Tante Fira.”“Sebenarnya tidak mendadak. Pak Harjasa sudah beberapa hari yang lalu mengirim undangan. Hanya saja aku lupa memberitahumu. Dan karena sekarang kamu istriku, jadi aku mengajakmu. Jadi bagaimana? Apa kamu mau datang bersamaku?”“Baiklah. Kalau gitu aku pergi sama Kak Ardo buat beli gaun dulu.”“Tidak perlu.” Damar menjawab cepat. “Aku sudah meminta Adara membelikan setelan untuk kita dan mengantarnya ke rumah. Mungkin sebentar lagi dia sampai.”Belum sempat
“Shanna! Semangat, ya!” Suara teriakan Viona terdengar keras meski Shanna sudah berlari cukup jauh dari sahabat-sahabatnya. Dia tidak berhenti dan hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. Dia terus berlari menuju gerbang kampus dan mendekati mobil Damar yang ternyata sudah menunggunya. “Maaf lama, Ba,” ucap Shanna ketika berada di dalam mobil. “Baba sudah dari tadi?” “Tidak apa-apa. Baba juga baru saja sampai, kok.” Damar mengemudikan mobil meninggalkan kampus Shanna dan menuju ke sebuah restoran bintang lima. Pagi tadi Damar memang mengajak Shanna makan siang bersama. “Kenapa harus pesan private room sih, Ba? Kan di luar sama saja,” protes Shanna setelah pelayan pergi meninggalkan mereka berdua di private room yang dipesan Damar. Bukannya Shanna tidak suka, dia hanya merasa ayahnya itu berlebihan dengan memesan private room hanya untuk makan siang. “Ya beda dong, Sayang. Kalau di luar ramai dengan pengunjung yang lain. Tapi kalau di sini kan tenang dan tidak ada yang mengganggu.
Shanna yang baru saja keluar dari taksi dan masih berada di luar gerbang kampus, dikejutkan dengan Viona yang tiba-tiba memeluknya dengan sangat erat hingga membuatnya hampir terjatuh jika Viona tidak menahannya dengan kuat. Viona hanya tertawa pelan melihat Shanna yang kesal karena ulahnya. “Bagaimana? Apa kamu benar-benar memberitahu babamu?” “Hm!” “Kamu serius?” pekik Viona tidak percaya. “Menurutmu?” bukannya menjawab, Shanna justru bertanya balik. Sebelumnya Shanna memang memberitahu sahabat-sahabatnya bahwa dia akan mengungkapkan perasaannya kepada Damar saat di hari ulang tahunnya. Awalnya mereka menyarankan Shanna untuk memikirkannya matang-matang. Akan tetapi Shanna sudah bertekad akan mengungkapkan perasaannya. Dia juga sudah memantapkan hati untuk menerima apa pun jawaban yang diberikan Damar nanti. Dia akan menerima semua konsekuensi dari apa yang dilakukannya. “Lalu bagaimana jawaban babamu?” tanya Viona penasaran. “Baba menolakku.” Viona mengambil langkah lebar d
Viona dan Shanna meninggalkan gedung bioskop dan menuju kafe yang ada di seberang. Mereka hanya berdua karena Neila sedang kencan dengan kekasihnya. Sementara Deva mengantar saudaranya ke bandara. “Kapan babamu pulang?” “Aku nggak tahu. Setiap kali kutanya kapan pulang, baba nggak memberikan jawaban pasti kapan akan pulang. Dia selalu bilang kalau pekerjaannya nggak bisa ditinggalkan.” Dua hari setelah pulang dari berkemah, Damar berpamitan pergi ke Surabaya karena ada masalah pada perusahaan cabang di sana. Sedikit banyaknya Shanna merasa bersyukur karena dirinya berpisah dengan sang ayah. Jujur saja dia masih merasa canggung dengan apa yang terjadi saat di puncak dua minggu yang lalu. “Shanna, entah kenapa aku merasa bahwa Om Damar seperti menghindarimu,” celetuk Viona. “Nggak mungkin. Jika baba memang ingin menghindariku karena pengakuan cintaku, seharusnya baba melakukannya setelah aku mengatakan perasaanku.” “Ya ... mungkin saja babamu nggak mau membuatmu merasa kecewa, maka
Shanna yang baru turun dari angkutan umum segera bersembunyi di balik mobil yang terparkir di tepi jalan ketika mendapati mobil Damar terparkir di dekat pintu gerbang kampusnya. Pria itu berdiri di samping mobilnya dengan kepala celingukan seperti sedang mencari seseorang. Sebelumnya Shanna sudah memprediksi bahwa Damar akan mencari dirinya setelah membaca surat yang dititipkannya kepada resepsionis hotel. Namun dia tidak menyangka bahwa Damar tetap akan mencarinya walaupun sudah satu minggu berlalu. “Shanna, apa yang kau lakukan di sini?” suara Viona sukses membuat Shanna tersentak. “Viona! Kamu membuatku kaget saja,” gerutu Shanna. Tangannya memegangi dadanya yang berdebar kencang. Kening Viona berkerut dalam. “Apa yang kau lakukan di sini?” Viona mengulangi pertanyaannya kembali. “Kenapa kamu nggak langsung masuk? Dan kemana saja kamu selama seminggu ini? Kenapa ka—” “Bisakah kita masuk sekarang?” potong Shanna cepat. “Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu nanti saat di kelas.
Shanna sendiri tidak mengerti apakah harus senang atau sedih ketika keesokan harinya dia tidak mendapati mobil Damar di dekat pintu gerbang kampus seperti biasanya. Hal itu berlangsung hingga satu minggu. Damar benar-benar tidak pernah menemuinya lagi. Seharusnya Shanna senang karena Damar tidak mengganggunya lagi dan dengan begitu dia bisa menghilangkan perasaannya kepada pria itu. Namun entah kenapa perasaan kecewa justru lebih mendominasi dirinya kala tidak bisa melihat sosok pria itu. Bahkan hal itu membuat Shanna menjadi sedikit lebih pendiam. Dia benar-benar sangat merindukan pria itu. “Kenapa kamu nggak ikut Om Damar saja jika kamu nggak bisa melupakannya?” celetuk Viona sedikit kesal dengan perubahan sikap Shanna. “Seenggaknya kamu bisa melihat dan tinggal bersamanya walaupun cintamu nggak terbalas. Daripada seperti ini, sama saja kamu menyiksa dirimu sendiri. Kalau aku sih lebih baik tinggal bersama meski hatiku terluka daripada semakin terluka dan nggak bisa bersama orang
Tidak ingin Damar mengetahui tempat tinggalnya, Shanna mempersiapkan perlengkapan untuk dirinya menyamar supaya bisa lepas dari Damar agar pria itu tidak mengikutinya. Sayangnya sudah empat hari berlalu dan Damar tidak pernah menemuinya lagi. Kecewa? Tentu saja! Namun sebisa mungkin dia menekan perasaannya. Mungkin ini yang terbaik untuk mereka. Bukankah memang ini yang dia inginkan? Sayangnya, semakin Shanna mencoba mengabaikannya, perasaan rindunya kepada pria itu semakin menyiksa dirinya. Belum lagi rasa bersalahnya karena telah meninggalkan Damar begitu saja empat hari yang lalu. Shanna menghela napas pelan. “Shanna, Bu Widia minta kamu datang ke ruangannya,” ucap seorang pengurus panti asuhan ketika melihatnya sudah pulang. “Untuk apa ibu memanggilku malam-malam begini?” kening Shanna berkerut penuh tanda tanya. “Aku tidak tahu. Lebih baik kamu langsung ke ruangan beliau saja.” “Terima kasih, Kak.” Shanna bergegas menuju ke ruangan Widia dan betapa terkejutnya dia ketika
Dua puluh satu tahun hidup bersama Damar, tidak pernah sekalipun pria itu marah atau membentaknya. Namun tidak pernah terpikirkan oleh Shanna kalau ayahnya itu tetap sabar dan tidak marah atau membenci dirinya meski dia sudah mengucapkan kata-kata yang menyakiti perasaan pria itu. Terbukti dengan Damar yang tetap menemui Shanna dan menunggunya pulang kerja serta mengantarnya pulang ke panti asuhan. Hal itu berlangsung selama hampir dua minggu. “Baba tidak memaksamu. Tetapi selama kamu tidak tinggal bersama baba, baba tidak akan pernah berhenti datang ke tempat kerjamu,” ucap Damar santai, tidak ada nada kesal sedikit pun. “Kalau kamu ingin baba berhenti datang ke tempat kerjamu, maka kamu harus ikut baba pulang ke rumah.” Shanna hanya diam dengan tangan terlipat di depan dada. Dia tidak tahu harus berkata seperti apa lagi supaya Damar berhenti menemuinya lagi. Damar hanya tersenyum kecil dengan memandang Shanna melalui ekor matanya. Suasana di dalam mobil kembali hening hingga mobil