“Jangan coba-coba!” Gideon mengeram, otot wajahnya ikut mengeras karena menahan emosi yang sudah di pucuk kepalanya. Melihat itu, Shani jadi semakin ingin menjahili Gideon terus-terusan. Ia pun terkekeh pelan hingga membuat Gideon semakin geram. “Ingat ya, dalam kontrak dilarang melakukan kontak fisik berlebihan dengan lawan jenis untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.” Gideon berbisik dan dengan nada yang mengancam. Perkataan Gideon barusan membuat Shani sedikit kecewa, ia berdecih pelan sambil bahunya ikut merosot.“Ah, iya iya. Karena kontrak, ya? Jadi bapak nggak perlu semarah itu dong? Kayak anak sekolahan yang kekasihnya didekati oleh lelaki lain aja,” tukas Shani judes.Kening Gideon berkerut dengan kekesalan. Shani pun berlalu hendak menghampiri Aland, berencana ingin membangunkannya, tetapi tangannya langsung ditarik oleh Gideon hingga tubuhnya tertarik ke belakang lagi.“Saya saja, kamu tolong siapkan kantong sampah dan peralatan pel.” Titah Gideon, lelaki itu
“Cemburu? Siapa? Saya?” Gideon langsung mendengus sambil menggeleng pelan. “Saya jadi penasaran dari mana asalnya kepedean kamu itu.” Tambahnya.Gideon sengaja menekankan kata-kata ‘kepedean’ saat mengucapkannya di hadapan Shani hingga membuat wanita itu tersulut emosi, Shani pun hanya terdiam tetapi matanya seketika menelisik gerak gerik lelaki itu. “Kalau bapak memang tidak cemburu, lalu mengapa mengungkitnya?” Tanya Shani.Kini giliran Gideon yang terdiam karena pertanyaan Shani barusan, ia menyibak rambutnya frustasi sambil menghela napas kasar. “Intinya, kamu memang lebih memilih Aland kan dari pada saya kan!?” Gideon berkeras, masih tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Shani.Sedangkan Shani hanya menghela napas berat setelah mendengar perkataan lelaki di hadapannya, ia mendecih pelan sebelum kembali bersuara. “Bapak, saya kan sudah bilang…” “Ya sudah tidak usah dibahas lagi, kita pulang saja.” Sela Gideon sambil membuang pandangannya ke arah lain. Lelaki itu tampak s
Waktu terasa berjalan lebih lambat untuk lelaki yang saat ini tengah termenung di tengah rapat bersama para manajer divisi perusahaan yang ia pimpin. Bukan tanpa alasan ia begitu, pasalnya sejak pulang mengantar Shani ke apartemennya ia sudah terpikirkan wanita itu. “Mungkinkah, teman masa kecil bisa saling mencintai satu sama lain?” Gumam Gideon pelan disela lamunannya.“Apa, Pak?” Gideon tersentak, ia lupa saat ini sedang rapat dengan beberapa manajer divisi.“Bukan apa-apa, silahkan lanjutkan presentasinya.” Ucapnya cepat.Ah, sial. Hanya karena itu fokusku teralihkan. Sebaiknya aku berhenti memikirkannya. Keluh Gideon dalam hatinya.Tetapi, mau sekuat apapun ia bertekad tak ingin memikirkannya. Kemungkinan-kemungkinan buruk mengenai Shani dan Aland terus terlintas di pikirannya. Bahkan hingga waktu makan siang telah tiba, lelaki itu masih terganggu dengan pikirannya sendiri.“Tuan Gideon sepertinya sedang khawatir dengan sesuatu? Ada yang bisa saya lakukan untuk meredakan kekh
“Kenapa baru pulang jam segini? Ibu pikir terjadi sesuatu padamu.” Ucap ibu.“I-ibu?” Shani bertanya pelan, dalam posisinya saat ini ia berusaha memfokuskan pandangannya ke arah wanita itu.“Ya kalau bukan ibu, lalu siapa lagi?” Jawab ibu sambil merapatkan cardigan yang menutupi tubuhnya.Shani menghela napas lega sambil memegangi dadanya yang seketika berdetak kencang karena terkejut barusan. “Kamu dari mana saja, Shani. Kenapa baru pulang jam segini?” Ibu bertanya lagi.Shani tersenyum, ia bergerak menggandeng tangan ibu dan menariknya untuk duduk di sofa. “Aku… Baru pulang dari jalan-jalan bersama Gideon, Bu.” Jawab Shani malu-malu, pipinya merona lagi. Ibu manggut-manggut, ia ikut tersenyum sambil mengelus pelan punggung tangan Shani. “Syukurlah tak terjadi apa-apa padamu.” “Tapi dia juga membawa kabar baik untuk kita.” “Kabar baik apa?”Shani terdiam sejenak, ia kemudian bergerak merogoh saku celananya. “Tada! Kunci rumah kita!” Shani berucap kegirangan sambil menunjukan
“B-bapak!?” Shani beringsut menjauh dari Gideon hingga tangan lelaki itu terlepas dari bahunya, ia segera menyeka air mata yang menghalangi pandangannya. “B-bapak kenapa bisa ada di sini?” Tanya Shani tergagap. Gideon terdiam sejenak, ia menghela napas pelan.“Ini perusahaan saya, jadi wajar kalau saya ada di sini.” Jawabnya dingin, “Kenapa masih di kantor?”“Ah, itu. S-saya tadi masih ada pekerjaan, jadi saya mengambil waktu lembur. Kalau begitu, saya pamit pulang. Pak.” Jawab Shani patah-patah, wanita itu menunduk sopan sebelum berniat pergi.“Jangan pulang dulu, ikut saya.”Titah Gideon membuat Shani membeku. Lelaki itu berlalu lebih dulu menuju pintu samping di lobby utama ke parkiran mobil, diikuti oleh Shani di belakangnya dengan wajah kebingungan.Mau kemana semalam ini? Shani bertanya dalam hatinya.Mereka pun akhirnya melaju, meninggalkan gedung kantor dengan kecepatan konstan. Tetapi suasana di dalam mobil hening semenjak mereka masuk ke dalamnya, perang dingin tampaknya
Dalam ruangan yang cukup luas hingga mampu menampung lebih dari 20 orang karyawan ini, Shani tak henti-hentinya menatap kertas-kertas laporan yang menumpuk di meja kerjanya serta komputer yang sedari pagi sudah menyala. Wanita itu sibuk dengan dunianya sendiri hingga petang, di saat orang-orang sibuk bersiap-siap untuk kembali ke rumah mereka. Shani malah masih sibuk dengan pekerjaannya, bahkan ia juga tak menyentuh roti coklat dan susu untuk makan siang yang dibelikan oleh rekan kerjanya atas dasar kekhawatiran mereka pada Shani.“Jangan terlalu memaksakan dirimu, Shani.” Ucap salah seorang rekan kerjanya sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan ruangan.Shani hanya menoleh dan tersenyum, tak lupa ia menunduk sopan sambil memandangi punggung rekannya yang sudah hilang di balik pintu.Wanita itu menghela napas panjang, setidaknya saat ini kondisi orang-orang tak lagi menuduhnya sebagai wanita penggoda. Setelah kejadian konferensi pers Daroll beberapa waktu lalu, orang-orang kini ber