Beranda / Rumah Tangga / Menikahi Ayah Temanku / 008. Permintaan Maaf Sang Jagoan

Share

008. Permintaan Maaf Sang Jagoan

Penulis: Juni Rev
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-15 10:00:54

Sofia menatapnya lega. “Brian! Papamu nyari-nyari sampai kampung seb⸻”

“Sssst!” Brian meraih bahu Sofia, dan menyeretnya menjauh.

“Kamu mau bikin aku malu di depan teman-teman, hah?” omelnya jengkel.

Sofia mengerutkan kening. “Ayo pulang, papamu pasti khawatir.”

“Bawel, deh! Dasar ibu tiri!”

“Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan marah. Yang penting kamu pulang, ya,” bujuk Sofia, meraih tangan Brian yang langsung menepisnya kasar.

“Nggak mau! Ini kan tujuan kamu, menyingkirkan aku agar kamu bisa menguasai papa seutuhnya?”

“Brian ….” Sofia memijat keningnya putus asa, “Aku nggak ada niat buruk sama sekali, sungguh. Pernikahan aku sama papamu, murni karena masalah utang yang nggak bisa dibayar orangtuaku. Kamu benar, aku ini murahan, hargaku nggak lebih mahal dari satu hektar ladang ayahku.”

Melihat Sofia merendahkan diri seperti itu, membuat Brian bungkam.

“Pulang, ya …” Sofia menautkan jemari, memohon di hadapan Brian.

Brian memalingkan wajah, dan berdecak kesal, “Nanti, agak malam.”

Sofia tersenyum lega.

“Brian …,” panggil Sofia pelan.

Brian melotot galak. “Apa lagi?”

“Tolong bayar dulu ongkos jeepnya, ya, aku dan Haris sama-sama nggak punya uang.”

Brian membeliak, “Astaga!”

Walaupun kesal, Brian tetap bertanggung jawab dengan membayar ongkos jeep Sofia dan Haris.

Sofia duduk di bangku warung kopi, sementara Brian dan Haris berbincang hangat dengan komunitas sepeda downhill.

Sofia tengah menikmati sinar keemasan matahari yang sebentar lagi terbenam ke balik bukit, saat Brian menyodorkan segelas susu panas padanya.

“Kenapa nggak pakai jaket? Angin di sini besar, kalau nanti masuk angin, papa marahin aku lagi!”

Sofia meneguk susu manis yang terasa hangat di tenggorokan.

“Pulang sekarang, yuk!” ajaknya pada Brian.

“Nggak,” jawab Brian ketus. “Masih ada yang harus aku obrolin sama mereka.” Brian menunjuk kumpulan teman-temannya dengan dagu.

Brian bangkit berdiri, dan melepas kaus panjang yang ia pakai di atas kaus berlengan pendek, lalu menyodorkannya pada Sofia.

“Pakai ini sampai aku selesai mengobrol. Aku nggak mau dimarahi papa lagi gara-gara kamu masuk angin.”

Sofia menerimanya dan memakai kaus itu sambil tersenyum. Kemudian, ia kembali menikmati susu panas sambil menyaksikan matahari pulang ke peraduan.

Itulah pertama kalinya Sofia melihat fenomena menakjubkan dari atas bukit. Sinar keemasan mentari jatuh ke wajahnya yang cantik, hingga perlahan menggelap.

Di antara teman-temannya, Brian mencuri pandang pada sosok Sofia yang duduk di bangku warung kopi. Walaupun langit sudah sepenuhnya gelap, gadis itu berpendar sendiri, seolah-olah kulitnya memancarkan cahaya.

“Ris, kamu bawa sepedaku pulang, ya. Aku menumpang jeep sama Sofia.” Brian bangkit berdiri, dan berpamitan pada seluruh anggota komunitas.

Ia menghampiri Sofia dan berkata sinis, “Ayo pulang!”

Tanpa perlu disuruh dua kali, Sofia langsung bangkit berdiri. Ia mengekor Brian yang menuju jeep Mang Tono.

“Turun, Mang,” ucap Brian pada sopir.

“Siap, Den! Nggak trekking pakai sepeda?” tanya sopir sambil memasang topi baret andalannya.

“Haris yang bawa, Mang.”

Sopir itu nyengir sebagai tanggapan.

Brian naik lebih dulu tanpa membantu Sofia yang kesulitan memanjat ke atas mobil beroda besar tersebut.

“Jadi si Neng teh pacarnya Den Brian atau Haris? Tadi datang sama Haris, pulang sama Den Brian,” seloroh si sopir iseng.

Brian berdecak malas. “Jalan deh, Mang,” katanya enggan menanggapi gurauan sopir.

Sofia duduk di sisi Brian. Angin malam menyibak rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai.

“Papamu sampai pergi ke kampung sebelah untuk mencari kamu, Yan,” ucap Sofia menatap jurang gelap di sisinya.

“Ngapain aku pergi ke kampung sebelah, anak-anak kampung sebelah aja mencari bukit yang bagus ke sini.”

“Pak Ajat nggak bisa menemukan kamu dimanapun. Katanya dia sudah keliling kampung seharian kemarin.”

Brian mendengus. “Kok kamu tahu aku di sini?”

“Haris yang kasih tahu.”

“Haris nggak kasih tahu Pak Ajat?”

Sofia mengangkat bahunya. “Mungkin Pak Ajat nggak nanya.”

“Lho, katanya tadi Pak Ajat keliling kampung nyari aku. Dia nggak mampir ke rumah Haris?” Brian tertawa mengejek.

Sofia menoleh menatap Brian yang menghindari matanya. “Pak Ajat cuma nanya kamu ada di rumah Haris atau nggak, jelas Haris jawab nggak.”

“Kalo kamu?” tanya Brian pada kelebatan tebing yang memagar di sepanjang lereng.

“Aku tanya, kemana kamu biasa pergi kalau lagi marah.”

Brian tergelak. “Hampir setiap hari aku pergi ke bukit, nggak cuma kalau lagi marah.”

Sofia diam tidak menanggapi, hingga Brian berkata lemah, “Papa bahkan nggak tahu itu, kan?”

“Dia kan nggak suka ikut naik gunung sama kamu, kayak Haris,” bela Sofia, “Wajar papamu nggak tahu.”

“Dih, ngebelain,” sindir Brian mencibir.

“Itu faktanya, Brian.” Sofia berkata bijak.

Brian menyugar rambutnya yang tertiup angin.

Mereka saling diam untuk beberapa saat lamanya, hingga Brian berkata lagi dengan nada datar, “Aku minta maaf.”

Sofia menoleh cepat. Ditatapnya Brian tidak percaya.

“Apa?” kata Sofia memiringkan kepala.

Brian mendengus kesal. Ditatapnya balik Sofia dengan sorot tajam, “Besok, ambil kartu debit papa terus pakai periksa ke THT, jangan malah dibagi-bagi ke warga!”

“Apaan, sih!” keluh Sofia, membuang wajah.

Brian bersandar ke punggung jok dan tertawa mengejek, “Nah, kan, nggak dengar lagi.”

“Bukan nggak dengar, aku cuma nggak paham kamu ngomong apa!”

“Kalau gitu uangnya pakai bimbel, biar pintar!”

“Ehm, permisi Neng cantik, Den Juragan, kita sudah sampai,” sela sopir mengintrupsi.

Brian celingukan, dan terkejut saat menyadari mereka sudah tiba di kaki bukit. Ia melompat turun, dan menyodorkan beberapa lembar ratusan ribu pada sopir.

“Terima kasih, Den,” sopir itu menerima uang Brian sambil membungkuk. Melihat Brian tidak menjawab, Sofia buru-buru mengambil alih.

“Sama-sama, Mang.”

“Terima kasih, Neng cantik, semoga langgeng sampai pelaminan sama Den Juragan.” Sopir itu mengedip jahil pada Sofia yang tergelak.

“Nggak ada yang lucu,” sindir Brian saat Sofia menyejajari langkahnya.

“Kamu kenapa, sih, marah-marah terus? Heran, deh, kalau lagi sama teman-teman sepeda kamu, kamu nggak galak kayak kamu sama warga kampung.”

Sudut bibir Brian menukik naik. “Untuk apa aku galakin teman-temanku sendiri?”

“Untuk apa kamu galakin wargamu sendiri?” balas Sofia membuat Brian kesal.

Brian menatap Sofia judes. “Karena kalau mereka dibaikin, nanti ngelunjak!”

“Masa? Contohnya?”

“Kamu lihat, digalakin aja masih banyak yang nunggak utang! Apalagi kalau dibaikin.”

Sofia menggeleng lemah. “Itu bukan ngelunjak, Brian, mereka terdesak keadaan. Kamu tahu Mang Somad yang siang tadi tanahnya mau papamu sita? Sekarang dia kritis di puskesmas, dan harus dibawa ke rumah sakit dengan biaya yang nggak sedikit.”

Brian berdecak malas. “Bukan urusanku,” katanya acuh.

“Apa kamu nggak kasihan? Mang Somad gagal panen selama lima bulan berturut-turut karena nggak bisa berkebun dengan benar. Dia sakit, Brian, dia sakit dan nggak punya uang.”

Kening Brian berkerut. “Terus?”

Sofia mengangkat wajah menatap Brian. Laki-laki itu balik menatap Sofia dengan sorot menyebalkannya yang biasa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikahi Ayah Temanku   025. Di Balik Jeruji Hati

    Sofia menatap Brian tanpa berkedip. Degup jantungnya seperti genderang perang, keras dan tak beraturan. Tatapan pemuda itu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menangkap ibu tirinya mengintip rahasia suci sang ayah.“Kau tahu tentang ini semua?” tanya Sofia, suaranya pelan, nyaris tidak terdengar.Brian menyandarkan bahunya ke kusen pintu. “Sudah lama.”“Dan kau diam saja?”Brian tertawa pendek, tanpa humor. “Aku belajar dari Papa. Diam lebih aman. Diam itu kekuasaan.”Sofia mengepalkan jemarinya. “Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan?”“Lebih baik kamu nggak tahu,” ucap Brian. “Karena begitu tahu, kamu nggak akan bisa balik jadi Sofia yang dulu.”Sofia melangkah maju, menembus jarak di antara mereka. “Aku sudah bukan Sofia yang dulu sejak aku masuk rumah ini. Sejak aku dinikahkan dengan lelaki sepertinya.”Brian mendongak, menatap wajah Sofia yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. “Kamu berani ngomong kayak gitu ke dia?”“Kalau perlu, ya.”Brian mencibir, tapi ada ke

  • Menikahi Ayah Temanku   024. Luka yang Disembunyikan Malam

    Sofia meninggalkan ingar-bingar drama pengusiran dan melangkah lunglai ke dalam rumah. Ditatapnya tumpukan sate dan nasi yang sudah dingin.Selera makannya sudah sirna terganti mual di ulu hati. Teriakan dan tangis warga seolah telah meninjunya berulang kali hingga nuraninya babak belur.“Maaf, makan malam kita jadi terganggu.” Tiba-tiba Wira muncul dari balik punggung Sofia. Pria itu membelai bahu isterinya sejenak sebelum kembali duduk.Wajahnya masih merah, dan senyumannya tidak segera memudarkan amarah yang tadi merajai.Dari sekian besar ganjalan hatinya, yang keluar dari bibir mungil Sofia adalah sebuah senyuman hambar. Ia ikut duduk berhadapan dengan suaminya dan menuang nasi tanpa emosi sama sekali.Mereka makan dalam diam bak diorama nan indah namun menyimpan sejuta kepedihan. Denting alat makan mewah membawa butir-butir pertanyaan ke dalam benak Sofia.Apa ia sudah mulai tidak peduli dengan ketidak-adilan yang terjadi di kampung? Apa dirinya mulai terbiasa melihat penindasan

  • Menikahi Ayah Temanku   023. Kue Keju, Susu, dan Taman Bacaan

    “Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.

  • Menikahi Ayah Temanku   022. Jalan Bareng

    “Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,

  • Menikahi Ayah Temanku   021. Silih Asuh

    Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per

  • Menikahi Ayah Temanku   020. Distraksi

    “Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi

  • Menikahi Ayah Temanku   019. Derita Mala

    Sofia tengah merenung di atas ranjang masa kecilnya ketika Mahawira Anggabaya datang menjemput.“Dia dia terus di kamar sejak Den Juragan pergi tadi pagi,” ujar Dasimah nelangsa. Sebuah kesedihan yang terlalu dibuat-buat.“Ada apa, Sofia?” Suara lembut Wira semakin menambah perih hatinya. Bagaimana tidak, hati si pria yang baik ternyata masih menjadi duri tajam yang kerap menyakiti orang lain.Sofia merasa tinggal menunggu gilirannya saja sampai ia melakukan suatu hal yang akan membuat sang juragan tanah marah dan mengusirnya seperti yang pria itu lakukan pada warga lain.“Nggak ada apa-apa. Aku hanya kangen kamarku, itu saja.”“Kamu mau menginap di sini barang sehari dua hari?” tawar Wira seraya duduk di sisi Sofia dan membelai lembut kepala si gadis.Sofia menggeleng lemah. “Nggak. Nggak mau.”Di kamarnya, wajah Rean dan gulungan memori masa lalu kerap terbayang. Ia tak sanggup jika harus bermalam di sana, dianiaya nostalgia. “Sudah makan?” tanya Wira lagi dengan kesabaran seorang

  • Menikahi Ayah Temanku   018. Bena Sensibel

    “Sofia, sayang, ayo makan dulu. Ibu masak sop daging kesukaanmu banyak sekali. Kamu boleh nambah sepuasnya, Nak. Uang kami lebih dari cukup untuk membeli segala macam daging yang susah kamu dapat dulu.” Dasimah menggelendot di lengan anaknya.“Nggak usah, Bu. Fia sudah makan.” Sofia tersenyum getir. “Fia cuma mau rebahan di kamar. Kangen rasanya sama ranjangku.”“Alah, ranjang butut begitu kok dikangenin. Ranjangmu di rumah Juragan pasti lebih besar, lho, Nak. Tadinya mau Ibu buang kasur bututmu itu.”“Eh, jangan, Bu. Buat kenang-kenangan.”“Kenang-kenangan itu harus yang menyenangkan, Nak. Masa kasur dekil begitu kamu jadikan kenangan.” Dasimah menggerutu tidak senang.Sofia tertawa kecil. “Banyak hal menyenangkan yang Sofia rasakan sepanjang hidup dan kasur itu jadi saksinya.” Ia mengusap lengan

  • Menikahi Ayah Temanku   017. Akal Geladak

    “Bapak!” Sofia memeluk tubuh renta itu kuat-kuat, enggan menjauh. Tangan keriput Susanto mengusap kepala Sofia gemetaran.“Apa kabarmu, Nak?”“Baik, Pak.” Sofia terisak.“Kenapa menangis?”“Fia kangen Bapak.”“Bapak juga kangen sama kamu.” Susanto meraih bahu Sofia dan mendorongnya lembut. Ditelititnya wajah sang anak dengan seksama.“Kamu semakin cantik, Sofia, apa kamu bahagia?”Sofia menelan ludah. Ia ingin meluapkan segala kegelisahannya pada sang ayah, namun separuh hatinya tidak tega menambah beban pria tua itu.Ayahnya telah tersiksa rasa bersalah karena perkawinan paksa dengan Mahawira, dan Sofia tidak mau menambah pikulan bobot di pundak sang ayah dengan kisah deritanya.“Fia bahagia, Pak. Abang memp

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status