“Dia pakai ini untuk kasih sumbangan ke warga, Pa!” ucap Brian yang mendadak muncul dari lorong kamarnya.
Wira bangkit berdiri, dan mengambil kartu debit Sofia dari tangan Brian.
“Benar itu, Sofia?”
Sofia menunduk. Air matanya menggenang lagi tanpa bisa ditahan. Hinaan Brian semalam, kembali menggaung di telinganya.
“Sofia, kamu nggak boleh asal memberi seperti itu pada warga kampung. Nanti mereka ngelunjak! Kamu harus menjaga nama baik Abang di kampung ini, Sofia.”
Brian tertawa mengejek. Ia berdiri jumawa di sisi sang ayah, dengan tangan menyuruk saku celana tidurnya.
Melihat Sofia menangis, Wira memeluk istrinya tersebut dan berbisik penuh kasih, “Jangan menangis, Sofia, asal tidak kamu ulangi perbuatan itu, Abang maafkan.”
Wira menyodorkan kartu debit ke tangan Sofia yang langsung menolaknya.
“Abang nggak perlu kasih aku uang, aku bukan pengemis,” lirih Sofia, seraya menyusut pipinya yang basah oleh air mata.
“Pengemis? Siapa yang bilang kamu pengemis? Ini hakmu, Sofia.”
Sofia mengangkat wajah, dan menatap tajam ke arah Brian yang bergerak salah tingkah di tempatnya.
“Brian bilang aku ini pengemis yang menikahi Abang hanya karena harta⸻”
“Brian!” Wira berteriak emosional.
Brian dan Sofia sama-sama terlonjak kaget. Mahawira Anggabaya siap meledakkan amarahnya membuat Sofia mundur selangkah, menjaga jarak.
“Benar kamu bicara seperti itu padanya?” tuntut Wira pada sang putra.
Brian menuding Sofia dengan jari teracung, “Itu karena dia mau menyalahgunakan harta Papa! Brian nggak suka, Pa.”
“Tapi itu bukan urusanmu!” teriak Wira menggentarkan hati.
Brian terdiam. Itulah pertama kali dalam hidup, sang ayah berteriak padanya.
“Bukan urusanku?” Brian berbicara lamat-lamat pada ayahnya. “Jadi sekarang, aku nggak ada hak lagi atas Papa? Aku nggak boleh lagi melindungi nama baik Papa?”
Brian menggeleng kecewa. Ia menyentak badan, pergi ke luar rumah.
“Brian mau ke mana kamu!” Wira berteriak pada punggung Brian yang tidak menggubrisnya.
Hingga malam tiba, Brian tidak kunjung pulang membuat Sofia dan Wira cemas.
“Sudah ada kabar dari Pak Ajat, Bang?” tanya Sofia saat Wira naik ke atas ranjang di sisinya.
Wira mengusap kepala Sofia, dan mengecup dahi istrinya berlama-lama.
“Dia masih mencari, kamu jangan risau. Brian biasa menginap di rumah teman-temannya, Ajat pasti menemukan dia di salah satu rumah, tenang saja.”
Namun keesokan paginya, Ajat kembali dengan tangan kosong.
“Saya sudah keliling kampung, semua rumah temannya saya datangi, Den Brian tidak ada dimanapun.”
Wira mengusap wajah panik.
“Pak Ajat sudah cari di rumah Haris? Dia teman baik Brian,” ucap Sofia was-was.
Ajat mengangguk, “Sudah, Nyah, Haris anaknya Pak Sambodo, pemilik kebun cengkeh di barat kampung, kan?”
“Iya.”
“Tidak ada, Nyah, malah Haris sendiri yang bilang.”
Sofia menggigit bibir, gelisah.
“Aduh, gimana ini, Bang?”
“Kamu jangan panik, biar Abang dan Ajat mencari Brian di kampung sebelah. Mungkin dia pergi menemui teman-teman satu grup sepedanya di sana.”
Wira mencium kepala Sofia, sebelum berkata tegas pada sang ajudan, “Ajat, siapkan mobilnya. Kita pergi sekarang.”
“Siap, Gan!”
Sofia bergeming di muka pagar, walaupun mobil Wira sudah menghilang di ujung jalan kampung.
Kepergian Brian membuatnya tidak enak hati. Sofia tidak menyangka tanggapan Wira akan sedemikian marah pada Brian.
Padahal selama ini Sofia tahu, tak peduli senakal apapun kelakuan Brian di kampung, ayahnya tetap membela.
Menjelang sore hari Wira belum juga kembali, membuat Sofia semakin gelisah.
Ia tidak bisa menunggu lebih lama dan berdiam diri, maka, Sofia bergegas menuju barat kampung, menemui Haris.
“Sofia?” Haris yang tengah asik mencuci sepedanya, terbeliak kaget.
“Haris! Kamu tahu nggak, biasanya kalau Brian marah, dia suka pergi ke mana?”
“Hah? Jadi Brian marah dan pergi dari rumah, ya?” Haris tergelak. “Pantas saja pagi tadi ajudan papanya datang kemari.”
Sofia berdecak tidak sabaran. “Kamu tahu nggak?” desaknya.
“Tahu,” jawab Haris enteng.
“Ke mana?”
“Kamu nggak akan bisa menyusulnya.”
“Kenapa?”
Haris menggulung slang air yang sudah selesai digunakan, dan mengusap dahi. “Karena dia pergi ke puncak bukit yang hanya bisa dilalui pakai sepeda downhill.”
Sofia membeliak kaget. “J-jadi dia tinggal di puncak bukit semalaman?”
Haris mengedikan bahu, “Kami biasa berkemah di sana, kok. Ada warung kopi dan tenda-tenda sewaan. Kenapa heran, sih?”
“Kalau ada warung kopi, artinya aku bisa pergi ke sana tanpa sepeda, dong?”
Haris menyeringai. “Bisa. Asal siap-siap saja kakimu lecet saat tiba di puncak.”
Sofia memberengut. Jawaban Haris sama sekali tidak membantunya.
“Trek lereng bukit itu curam, Sofia, biasa dipakai offroad anak-anak jeep dan sepeda downhill,” tambah Haris, seraya mengelap sepedanya menggunakan kanebo. “Perlu usaha keras kalau hanya berjalan kaki.”
“Kamu bisa boncengin aku ke sana, kan?” pinta Sofia memelas.
Haris membeliak, “Boncengin kamu? Pakai sepeda? Gila kali! Bawa diri sendiri aja ngos-ngosan!”
Sofia berdecak kesal. “Terus, pedagang kopi itu juga bawa barang jualan mereka pakai sepeda?”
“Nggak lah,” ucap Haris heran, “Mang Tono, pemilik warung kopi itu punya mobil jeep. Kamu bisa sewa juga, satu kali trekking sampai puncak bayarnya dua ratus ribu!”
“Mahal banget!”
“Iyalah, jalur wisata itu, Sofia.” Haris menggeleng geli melihat ekspresi terkejut Sofia.
Sofia menimang-nimang, ia menyesal karena telah menolak menerima kembali kartu debit dari Wira. Sekarang ia tidak mempunyai uang sepeserpun.
“Haris, boleh aku pinjam uangmu?” tanya Sofia pelan.
Haris mengangguk. “Boleh, berapa?”
“Dua ratus ribu.”
“Hah? Banyak sekali! Memangnya Juragan Wira nggak ngasih kamu uang?” Haris bertanya penuh selidik.
“Ya ngasih … cuma dalam bentuk kartu. Repotlah kalau harus ke perbatasan kampung dulu cuma sekedar ambil uang di ATM,” ucap Sofia salah tingkah.
Haris mengangguk pengertian. “Tapi aku nggak punya uang sebanyak itu, Sofia. Uang jajanku saja nggak besar. Buat apa, sih?”
“Sewa jeep sampai puncak bukit,” jawab Sofia gelisah. Ia menatap Haris memelas, “Aku mau nyusul Brian.”
“Kalau gitu, minta Brian bayar di atas saja, nanti,” usul Haris.
Sofia menyelipkan rambut ke balik telinga gugup. “Kalau ternyata dia nggak ada di sana, gimana?”
“Pasti ada,” ujar Haris yakin.
“Ya udah kalau gitu, yuk!” Sofia menarik lengan Haris yang menatapnya kaget, “Cepat, Haris, keburu malam! Kamu harus temani aku, aku nggak mau naik ke puncak bukit sendirian.”
Akhirnya Haris bersedia menemani Sofia menuju bukit tempat dimana Brian biasa menghabiskan waktu.
“Mang, antar sampai puncak!” Haris menepuk bahu sopir yang tengah asik bersantai di balik kemudi.
“Siap!” si sopir langsung siaga menghidupkan mesin sambil mengenakan topi baret lusuh yang tergantung di spion.
Haris membantu Sofia memanjat ke atas mobil. Mereka berkendara selama dua puluh menit hingga puncak bukit. Matahari hampir terbenam saat Sofia dan Haris tiba di puncak bukit.
Dari kejauhan, Sofia bisa melihat Brian tengah asik mengobrol dengan beberapa orang yang juga pembalap sepeda downhill.
“Yan!” panggil Haris berteriak.
Brian menoleh, dan nyengir lebar menyambut sahabatnya itu.
“Mana sepeda kamu?” Brian mengangguk cerah pada kawannya itu, dan saling adu tos.
“Aku numpang jeep, sama mamamu.”
“Hah?” Brian mengalihkan pandang ke balik bahu Haris.
Sofia menatapnya lega. “Brian! Papamu nyari-nyari sampai kampung seb⸻”“Sssst!” Brian meraih bahu Sofia, dan menyeretnya menjauh.“Kamu mau bikin aku malu di depan teman-teman, hah?” omelnya jengkel.Sofia mengerutkan kening. “Ayo pulang, papamu pasti khawatir.”“Bawel, deh! Dasar ibu tiri!”“Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan marah. Yang penting kamu pulang, ya,” bujuk Sofia, meraih tangan Brian yang langsung menepisnya kasar.“Nggak mau! Ini kan tujuan kamu, menyingkirkan aku agar kamu bisa menguasai papa seutuhnya?”“Brian ….” Sofia memijat keningnya putus asa, “Aku nggak ada niat buruk sama sekali, sungguh. Pernikahan aku sama papamu, murni karena masalah utang yang nggak bisa dibayar orangtuaku. Kamu benar, aku ini
“Terus, apa hubungannya denganku?” seloroh Brian cuek.Sofia menggeleng lemah. “Keluarga kamu satu-satunya orang berduit di kampung ini. Kalian bisa bantu orang-orang seperti Mang Somad.”“Orang-orang seperti Mang Somad lah yang bikin usaha papa bangkrut! Coba kamu bayangin kalau warga kampung kredit macet semua, papa kena imbasnya, tahu! Makannya, jangan sok baik kamu sama warga kampung.”“Membantu sesama nggak akan bikin kamu jatuh miskin, Brian,” ucap Sofia tegas.Brian hanya berdecak mengejek.Mereka tiba di pekarangan luas rumah, dan mendapati mobil mewah Wira sudah terparkir di sana.Mahawira Anggabaya bergegas keluar rumah saat mengetahui kedatangan Sofia dan Brian.“Dari mana kamu, Brian? Papa mencari kamu sampai ke kampung lain!”“Sudahlah, Ban
“Hm?”“Soal kuliah, boleh nggak aku ngambil jurusan pertanian?” Sofia memasang tampang lugu, tahu betul hal itu bisa dengan mudah meluluhkan hati sang suami.Benar saja, Wira langsung menjawil hidung Sofia gemas, dan menanggalkan sikap arogannya tadi.“Kan sudah Abang bilang, Abang ingin mengembangkan sektor peternakan di kampung ini. Ada baiknya, kamu dan Brian belajar soal peternakan yang Abang sendiri nggak kuasai. Jadi, kalian berdua bisa mengurusnya dengan baik di kemudian hari, Sayang.”“Tapi, dari dulu cita-citaku ingin seperti Abang, belajar tentang pertanian sampai ke luar negeri, dan pulang kampung untuk membawa tanah kelahiranku ini menjadi lebih baik.” Sofia membuat nada suaranya seimut mungkin. Sampai-sampai ia mual sendiri mendengarnya.“Memangnya, apa yang mau kamu tahu, Sofia? Abangmu ini bisa mengajarimu lebih
“Brian laper! Sudah boleh makan?” Brian Mahesa mengempaskan diri di kursi dapur dan menatap hasil masakan Sofia yang mulai dingin sambil cemberut.“Brian!” Wira terlonjak kaget dan menjauh dari wajah Sofia yang semakin padam. “Maaf, kami ….”“Nggak apa-apa, aku nggak lihat.” Brian menjawil tahu goreng dan melahapnya acuh. “Makan, Pa.”Tanpa mempedulikan dua insan yang salah tingkah di hadapannya, Brian memenuhi piring dengan nasi dan lauk hasil masakan Sofia lalu makan.Wira bergerak grogi persis seperti remaja yang tertangkap basah bermesraan dengan kekasih di koridor kelas.“Kamu pulang, kok, nggak bilang-bilang.” Wira mengambil tempat di hadapan Brian dan membalik piring kosong yang tergelincir di jemarinya yang licin.“Hati-hati, Bang.” Sofia dengan sigap menahan pi
“Nggak lucu!” alis tebal Brian saling terpaut, tanda Sofia telah berhasil menangani tingkah angkuhnya dengan baik.“Aku nggak ngelucu. Keren lagi, lo… gue… seasyik itu jadi mahasiswa, ya, Yan?” Sofia menopang dagu dan menatap Brian menggoda.Brian melempar tatapan mencela. “Tahun depan kamu ngerasain juga, kan, jadi mahasiswa. Setelah berhasil merayu papa untuk nguliahin kamu, terus mau minta apa lagi? Mobil biar sekalian keren?”Sofia melirik langit-langit dengan gaya manja yang dibuat-buat, senang bukan kepalang melihat tampang sebal Brian yang susah payah menahan diri untuk tidak menyerangnya.“Hm, menurut kamu apa itu perlu?” Sofia balik bertanya.Sudut bibir Brian otomatis terangkat naik. “Minta aja, papa pasti kasih, toh, sudah kadung basah kamu morotin harta papa!”“Morotin
Sofia tengah menyiram bunga di halaman depan ketika Brian datang dengan sepeda downhillnya yang lagi-lagi dikendalikan sedemikian rupa hingga nyaris menabrak Sofia.“Dari mana kamu anak nakal?” kata Sofia tenang tanpa mengalihkan pandang dari tangkai-tangkai mawar yang mulai berbunga.Brian mencibir sebal. “Nggak usah berlagak kayak ibu tiri, deh.”“Memang aku ibu tirimu,” Sofia membelai satu mawar kuning dan menciumnya dengan mata terpejam.Seulas senyuman puas tergambar di wajah cantiknya. Sudah lama ia mengagumi taman kediaman sang juragan tanah yang mengusung konsep ala Mediterania. Mahawira Anggabaya memang memiliki selera tinggi dalam segala hal.“Ya, cocok sih kamu jadi ibu tiri.” Brian melompat dari sepeda dan menyimpannya asal hingga menyenggol beberapa bunga yang baru disiram Sofia.“Memang benar
“Sayang, soal itu… ada baiknya nggak usah kita bahas terutama di depan Brian, ya. Kamu nggak perlu tahu soal ibunya Brian, karena dengan tahu pun nggak akan berpengaruh apa-apa buat kita, dan nggak akan membuat masa depan Brian lebih baik.” Bayang suram menggantung di manik mata Wira yang biasa menyorot tangguh, menyisipkan rasa takut yang coba diabaikan Sofia.“Maaf,” lirihnya pelan.Wira menyapu kerisauan istrinya dengan sebuah senyuman lebar memukau. Diusapnya lembut kepala Sofia yang wangi.“Sudah makan malam?” tanyanya lembut.Sofia menggeleng. “Menunggu Abang.”“Terima kasih, lho. Maaf, ya, Abang pulang terlambat. Jalanan macet, dan diskusi dengan pemasok agak alot tadi.”“Abang pasti capek banget, ya.” Sofia menelaah wajah letih suaminya. “Aku siapkan air hangat untuk
Tak sampai disitu, Wira yang seperti kesetanan menarik Sofia yang masih merintih dan menggiringnya ke luar kamar.“Bang!” lirih Sofia lemah. Ia tak bisa melakukan apapun selain mengimbangi langkah cepat Wira agar dirinya tidak terjatuh.Wira tidak berhenti hingga tiba di halaman rumah. Ajudannya, Ajat, tengah asyik mencuci mobil sambil bersenandung lagu dangdut kesukaannya.“Jatuh bangun akuuu mengejarmuuu… hu… hu…”“Ajat!” Wira meraung garang. “Kunci.” Ia menadahkan tangan, menagih.“Eh… iya mengejar… mengejar ayam!” Ajat yang terkejut nyaris mengarahkan selang air pada tuannya kalau saja tidak ada badan mobil di antara mereka yang menghalangi.“Kunci mobil kemarikan, Ajat!” Wira kembali berteriak tak sabar.“Eh, iya ini, Gan!