Share

009. Anak Perajuk

Penulis: Juni Rev
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-16 10:00:13

“Terus, apa hubungannya denganku?” seloroh Brian cuek.

Sofia menggeleng lemah. “Keluarga kamu satu-satunya orang berduit di kampung ini. Kalian bisa bantu orang-orang seperti Mang Somad.”

“Orang-orang seperti Mang Somad lah yang bikin usaha papa bangkrut! Coba kamu bayangin kalau warga kampung kredit macet semua, papa kena imbasnya, tahu! Makannya, jangan sok baik kamu sama warga kampung.”

“Membantu sesama nggak akan bikin kamu jatuh miskin, Brian,” ucap Sofia tegas.

Brian hanya berdecak mengejek.

Mereka tiba di pekarangan luas rumah, dan mendapati mobil mewah Wira sudah terparkir di sana.

Mahawira Anggabaya bergegas keluar rumah saat mengetahui kedatangan Sofia dan Brian.

“Dari mana kamu, Brian? Papa mencari kamu sampai ke kampung lain!”

“Sudahlah, Bang, yang penting Brian sudah pulang,” ucap Sofia letih.

Pembelaan Sofia justru membuat Brian berang.

“Nggak usah sok belain aku di depan Papa, deh, kamu!”

“Brian,” ucap Wira dengan nada rendah yang berbahaya, “Bukankah sudah Papa ingatkan untuk senantiasa bersikap sopan pada Mamamu?”

Brian membuang wajah sebal.

“Masuk kamar! Mulai besok, sepedamu Papa sita sampai kamu mau bersikap baik!”

Brian tidak membantah. Dengan marah, ia berlari ke kamarnya.

Sofia mengusap lengan Wira yang mengepal menahan emosi.

“Bang, tolong jangan marahi Brian lagi. Aku nggak mau jadi penyebab kalian terus bertengkar.”

Wira mengusap wajah frustasi. Ia menghempaskan diri di atas sofa, dan memejamkan mata.

“Sofia, apa menurutmu aku salah mendidik Brian? Anak itu tumbuh menjadi pemuda yang manja dan gampang sekali marah.”

Sofia tersenyum lemah. Bagi Sofia, sifat Brian dan Wira sungguh tiada beda. Sulit baginya mengatakan hal tersebut tanpa menyinggung perasaan Wira.

Maka, Sofia memilih untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut.

“Abang sudah makan? Aku bikinkan oseng sawi kesukaan Abang, ya?”

Wira tersenyum. Ia melambai pada Sofia agar gadis itu datang mendekat.

“Sayang, kamu ketemu Brian di mana? Bukankah tadi Abang bilang tunggu saja di rumah?” tanya Wira lemah lembut.

Sofia menunduk. Ia berkata pada ujung jemari tangannya yang saling bertaut. “Aku … aku nggak bisa tenang seandainya Brian nggak pulang lagi malam ini. Jadi, aku pergi ke rumah Haris untuk menanyakan keberadaannya.”

Wira mengerutkan kening. “Bukannya Ajat sudah ke sana juga?”

“Pak Ajat bertanya, apa Brian ada di rumah Haris atau tidak, tentu saja Haris menjawab tidak, karena memang Brian tidak berada di rumahnya.”

“Lalu?”

“Aku bertanya kemana Brian biasa pergi, Haris memberitahuku puncak bukit tempat biasa Brian berkumpul dengan teman-teman sepedanya.”

Wira tertawa kecil. “Anak itu ada di sana?”

Sofia mengangguk.

Wira menepuk kepala Sofia gemas. “Gadis pintar!” katanya memuji.

“Abang mau makan malam, nggak? Biar aku masakin,” tawar Sofia.

Wira memainkan tangan lembut Sofia yang mungil dalam genggaman. “Kamu sendiri, sudah makan?”

“Belum.”

“Kalau begitu, kita makan sama-sama.”

Wira merangkul Sofia sampai ke dapur, lalu duduk dengan tenang di kursi makan sampai Sofia selesai dengan masakannya.

“Ini, dimakan, Bang.” Sofia menyodorkan sepiring nasi lengkap bersama lauknya.

Kemudian Sofia menyendok nasi dan lauk ke piring lain, lalu bangkit berdiri.

“Aku antar ini dulu ke kamar Brian, ya. Pasti dia belum makan sejak kemarin.”

Wira mengangguk sambil terus mengunyah.

Sofia membawa piring nasi ke depan pintu kamar Brian, dan mengetuknya.

“Brian?”

Pintu kamar langsung menjeblak terbuka. Brian menatap Sofia murka.

“Ngapain, sih? Nggak bosan ganggu aku terus?”

Sofia menyodorkan piring ke hadapan Brian.

“Makan dulu, kamu pasti belum makan sejak kemarin.”

Brian mendengus kesal. “Aku nggak laper!”

“Tetap harus makan. Biar sedikit, yang penting perut kamu terisi. Apalagi setelah berkemah di puncak bukit semalaman.”

“Bawel banget!” hardik Brian sambil membanting pintu kamarnya menutup.

Sofia menghela napas. Ia sudah hendak balik badan, saat pintu kamar kembali terbuka.

Penuh harap, Sofia mengulurkan piring yang sama sekali tidak dilirik Brian.

“Jangan lupa balikin kausku!”

Blak! Pintu kembali menutup keras.

Sofia menunduk menatap kaus Brian yang masih ia kenakan. Sofia berniat untuk mencucinya lebih dulu sebelum dikembalikan.

“Sofia?” Wira yang heran karena Sofia belum juga kembali ke dapur, datang menyusul.

“Kenapa masih berdiri di situ? Ketuk saja pintu kamarnya,” ucap Wira menatap piring di tangan Sofia.

“Dia, um … nggak lapar.”

Wira bergegas menghampiri. Wajahnya terlihat tidak senang.

“Brian!” panggil Wira tajam.

Tidak ingin terjadi lagi pertengkaran, Sofia buru-buru menghentikan langkah Wira.

“Sudah, Bang, nggak apa-apa.”

“Nggak apa-apa gimana! Dia harus belajar menghormati ibunya!”

“Bang, sudahlah … aku lapar, ayo kita makan sama-sama di dapur.”

Sofia menarik tangan Wira yang ngotot ingin menegur Brian. Akhirnya Wira balik badan, memenuhi keinginan sang istri yang mengajaknya ke dapur.

Beberapa saat lamanya mereka makan dan saling diam, hingga Sofia angkat bicara dengan nada rendah dan lembut.

“Bang, sebetulnya kemarin aku melihat warga kampung berduyun-duyun pergi ke puskesmas.”

Mahawira mengangkat wajah, menatap Sofia yang bicara pada piringnya.

“Um … mereka bilang Mang Somad kritis, dan butuh uang untuk biaya pengobatan ke rumah sakit umum.”

Wira berdecak, namun tidak mengatakan apa-apa. Ia melanjutkan makan dalam diam.

Sofia bergerak tidak enak hati di kursinya. Diliriknya Wira dengan hati-hati, sebelum menuangkan jus jeruk ke dalam gelas kaca lalu menyodorkannya ke hadapan sang suami.

“Jeruk dari ladang Mang Imat memang paling segar, ya,” ucap Sofia ceria.

Wira tersenyum. Diteguknya jus jeruk pemberian sang istri, dan mendesah puas.

“Memang. Abang datangkan bibitnya langsung dari Amerika, Sofia. Jeruk-jeruk si Imat laku keras hingga ke Florida dan Inggris.” Wira mengumumkan bangga.

Sofia membeliak. “Yang benar?” katanya terkejut. “Artinya, keuntungan hasil panen Mang Imat, besar, dong?”

Wira mengangguk, “Salah satu hasil panen dengan pendapatan terbesar, selain rempah-rempah,” ucap Wira menyetujui.

“Tapi kulihat kehidupan Mang Imat nggak lebih baik dari keluargaku sendiri. Seharusnya, kalau hasil panen Mang Imat sampai berhasil menyentuh pasar luar negeri, pendapatan hasil panennya juga tinggi, dong.” Sofia bicara pada gelas berembun di tangan. Berharap ucapannya tidak terdengar menuding.

Wira menghela napas. Ia meletakkan sendok di atas piring, menyisakan suara berkelontangan ke langit-langit rumah yang megah.

“Sayang, Imat itu seperti juga warga kampung lain, masih berutang banyak padaku. Bibit, ladang, tanah, sampai peralatan yang mereka pakai itu dariku, dan dibayar dengan mencicil. Hasil panen jeruknya memang besar, tapi utang dia jauh lebih besar lagi.” Wira bersidekap, menatap Sofia dengan sorot tegasnya yang disegani Sofia sejak ia pertama kali bisa ingat.

“Apa yang ia dapat, sudah cukup besar. Aku masih berbaik hati bagi hasil dengan persentase yang tidak merugikan dia sebagai petani,” sambung Wira bijak. Ia tidak tersenyum, membuat Sofia mengurungkan niat untuk mendebat.

Sofia tahu, Mang Imat, dan semua warga kampung, tidak akan bisa bersuara melawan rezim seorang Mahawira Anggabaya karena dibungkam oleh utang-utang mereka sendiri.

“Bang,” panggil Sofia lemah lembut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikahi Ayah Temanku   025. Di Balik Jeruji Hati

    Sofia menatap Brian tanpa berkedip. Degup jantungnya seperti genderang perang, keras dan tak beraturan. Tatapan pemuda itu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menangkap ibu tirinya mengintip rahasia suci sang ayah.“Kau tahu tentang ini semua?” tanya Sofia, suaranya pelan, nyaris tidak terdengar.Brian menyandarkan bahunya ke kusen pintu. “Sudah lama.”“Dan kau diam saja?”Brian tertawa pendek, tanpa humor. “Aku belajar dari Papa. Diam lebih aman. Diam itu kekuasaan.”Sofia mengepalkan jemarinya. “Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan?”“Lebih baik kamu nggak tahu,” ucap Brian. “Karena begitu tahu, kamu nggak akan bisa balik jadi Sofia yang dulu.”Sofia melangkah maju, menembus jarak di antara mereka. “Aku sudah bukan Sofia yang dulu sejak aku masuk rumah ini. Sejak aku dinikahkan dengan lelaki sepertinya.”Brian mendongak, menatap wajah Sofia yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. “Kamu berani ngomong kayak gitu ke dia?”“Kalau perlu, ya.”Brian mencibir, tapi ada ke

  • Menikahi Ayah Temanku   024. Luka yang Disembunyikan Malam

    Sofia meninggalkan ingar-bingar drama pengusiran dan melangkah lunglai ke dalam rumah. Ditatapnya tumpukan sate dan nasi yang sudah dingin.Selera makannya sudah sirna terganti mual di ulu hati. Teriakan dan tangis warga seolah telah meninjunya berulang kali hingga nuraninya babak belur.“Maaf, makan malam kita jadi terganggu.” Tiba-tiba Wira muncul dari balik punggung Sofia. Pria itu membelai bahu isterinya sejenak sebelum kembali duduk.Wajahnya masih merah, dan senyumannya tidak segera memudarkan amarah yang tadi merajai.Dari sekian besar ganjalan hatinya, yang keluar dari bibir mungil Sofia adalah sebuah senyuman hambar. Ia ikut duduk berhadapan dengan suaminya dan menuang nasi tanpa emosi sama sekali.Mereka makan dalam diam bak diorama nan indah namun menyimpan sejuta kepedihan. Denting alat makan mewah membawa butir-butir pertanyaan ke dalam benak Sofia.Apa ia sudah mulai tidak peduli dengan ketidak-adilan yang terjadi di kampung? Apa dirinya mulai terbiasa melihat penindasan

  • Menikahi Ayah Temanku   023. Kue Keju, Susu, dan Taman Bacaan

    “Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.

  • Menikahi Ayah Temanku   022. Jalan Bareng

    “Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,

  • Menikahi Ayah Temanku   021. Silih Asuh

    Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per

  • Menikahi Ayah Temanku   020. Distraksi

    “Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status