“Terus, apa hubungannya denganku?” seloroh Brian cuek.
Sofia menggeleng lemah. “Keluarga kamu satu-satunya orang berduit di kampung ini. Kalian bisa bantu orang-orang seperti Mang Somad.”
“Orang-orang seperti Mang Somad lah yang bikin usaha papa bangkrut! Coba kamu bayangin kalau warga kampung kredit macet semua, papa kena imbasnya, tahu! Makannya, jangan sok baik kamu sama warga kampung.”
“Membantu sesama nggak akan bikin kamu jatuh miskin, Brian,” ucap Sofia tegas.
Brian hanya berdecak mengejek.
Mereka tiba di pekarangan luas rumah, dan mendapati mobil mewah Wira sudah terparkir di sana.
Mahawira Anggabaya bergegas keluar rumah saat mengetahui kedatangan Sofia dan Brian.
“Dari mana kamu, Brian? Papa mencari kamu sampai ke kampung lain!”
“Sudahlah, Bang, yang penting Brian sudah pulang,” ucap Sofia letih.
Pembelaan Sofia justru membuat Brian berang.
“Nggak usah sok belain aku di depan Papa, deh, kamu!”
“Brian,” ucap Wira dengan nada rendah yang berbahaya, “Bukankah sudah Papa ingatkan untuk senantiasa bersikap sopan pada Mamamu?”
Brian membuang wajah sebal.
“Masuk kamar! Mulai besok, sepedamu Papa sita sampai kamu mau bersikap baik!”
Brian tidak membantah. Dengan marah, ia berlari ke kamarnya.
Sofia mengusap lengan Wira yang mengepal menahan emosi.
“Bang, tolong jangan marahi Brian lagi. Aku nggak mau jadi penyebab kalian terus bertengkar.”
Wira mengusap wajah frustasi. Ia menghempaskan diri di atas sofa, dan memejamkan mata.
“Sofia, apa menurutmu aku salah mendidik Brian? Anak itu tumbuh menjadi pemuda yang manja dan gampang sekali marah.”
Sofia tersenyum lemah. Bagi Sofia, sifat Brian dan Wira sungguh tiada beda. Sulit baginya mengatakan hal tersebut tanpa menyinggung perasaan Wira.
Maka, Sofia memilih untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut.
“Abang sudah makan? Aku bikinkan oseng sawi kesukaan Abang, ya?”
Wira tersenyum. Ia melambai pada Sofia agar gadis itu datang mendekat.
“Sayang, kamu ketemu Brian di mana? Bukankah tadi Abang bilang tunggu saja di rumah?” tanya Wira lemah lembut.
Sofia menunduk. Ia berkata pada ujung jemari tangannya yang saling bertaut. “Aku … aku nggak bisa tenang seandainya Brian nggak pulang lagi malam ini. Jadi, aku pergi ke rumah Haris untuk menanyakan keberadaannya.”
Wira mengerutkan kening. “Bukannya Ajat sudah ke sana juga?”
“Pak Ajat bertanya, apa Brian ada di rumah Haris atau tidak, tentu saja Haris menjawab tidak, karena memang Brian tidak berada di rumahnya.”
“Lalu?”
“Aku bertanya kemana Brian biasa pergi, Haris memberitahuku puncak bukit tempat biasa Brian berkumpul dengan teman-teman sepedanya.”
Wira tertawa kecil. “Anak itu ada di sana?”
Sofia mengangguk.
Wira menepuk kepala Sofia gemas. “Gadis pintar!” katanya memuji.
“Abang mau makan malam, nggak? Biar aku masakin,” tawar Sofia.
Wira memainkan tangan lembut Sofia yang mungil dalam genggaman. “Kamu sendiri, sudah makan?”
“Belum.”
“Kalau begitu, kita makan sama-sama.”
Wira merangkul Sofia sampai ke dapur, lalu duduk dengan tenang di kursi makan sampai Sofia selesai dengan masakannya.
“Ini, dimakan, Bang.” Sofia menyodorkan sepiring nasi lengkap bersama lauknya.
Kemudian Sofia menyendok nasi dan lauk ke piring lain, lalu bangkit berdiri.
“Aku antar ini dulu ke kamar Brian, ya. Pasti dia belum makan sejak kemarin.”
Wira mengangguk sambil terus mengunyah.
Sofia membawa piring nasi ke depan pintu kamar Brian, dan mengetuknya.
“Brian?”
Pintu kamar langsung menjeblak terbuka. Brian menatap Sofia murka.
“Ngapain, sih? Nggak bosan ganggu aku terus?”
Sofia menyodorkan piring ke hadapan Brian.
“Makan dulu, kamu pasti belum makan sejak kemarin.”
Brian mendengus kesal. “Aku nggak laper!”
“Tetap harus makan. Biar sedikit, yang penting perut kamu terisi. Apalagi setelah berkemah di puncak bukit semalaman.”
“Bawel banget!” hardik Brian sambil membanting pintu kamarnya menutup.
Sofia menghela napas. Ia sudah hendak balik badan, saat pintu kamar kembali terbuka.
Penuh harap, Sofia mengulurkan piring yang sama sekali tidak dilirik Brian.
“Jangan lupa balikin kausku!”
Blak! Pintu kembali menutup keras.
Sofia menunduk menatap kaus Brian yang masih ia kenakan. Sofia berniat untuk mencucinya lebih dulu sebelum dikembalikan.
“Sofia?” Wira yang heran karena Sofia belum juga kembali ke dapur, datang menyusul.
“Kenapa masih berdiri di situ? Ketuk saja pintu kamarnya,” ucap Wira menatap piring di tangan Sofia.
“Dia, um … nggak lapar.”
Wira bergegas menghampiri. Wajahnya terlihat tidak senang.
“Brian!” panggil Wira tajam.
Tidak ingin terjadi lagi pertengkaran, Sofia buru-buru menghentikan langkah Wira.
“Sudah, Bang, nggak apa-apa.”
“Nggak apa-apa gimana! Dia harus belajar menghormati ibunya!”
“Bang, sudahlah … aku lapar, ayo kita makan sama-sama di dapur.”
Sofia menarik tangan Wira yang ngotot ingin menegur Brian. Akhirnya Wira balik badan, memenuhi keinginan sang istri yang mengajaknya ke dapur.
Beberapa saat lamanya mereka makan dan saling diam, hingga Sofia angkat bicara dengan nada rendah dan lembut.
“Bang, sebetulnya kemarin aku melihat warga kampung berduyun-duyun pergi ke puskesmas.”
Mahawira mengangkat wajah, menatap Sofia yang bicara pada piringnya.
“Um … mereka bilang Mang Somad kritis, dan butuh uang untuk biaya pengobatan ke rumah sakit umum.”
Wira berdecak, namun tidak mengatakan apa-apa. Ia melanjutkan makan dalam diam.
Sofia bergerak tidak enak hati di kursinya. Diliriknya Wira dengan hati-hati, sebelum menuangkan jus jeruk ke dalam gelas kaca lalu menyodorkannya ke hadapan sang suami.
“Jeruk dari ladang Mang Imat memang paling segar, ya,” ucap Sofia ceria.
Wira tersenyum. Diteguknya jus jeruk pemberian sang istri, dan mendesah puas.
“Memang. Abang datangkan bibitnya langsung dari Amerika, Sofia. Jeruk-jeruk si Imat laku keras hingga ke Florida dan Inggris.” Wira mengumumkan bangga.
Sofia membeliak. “Yang benar?” katanya terkejut. “Artinya, keuntungan hasil panen Mang Imat, besar, dong?”
Wira mengangguk, “Salah satu hasil panen dengan pendapatan terbesar, selain rempah-rempah,” ucap Wira menyetujui.
“Tapi kulihat kehidupan Mang Imat nggak lebih baik dari keluargaku sendiri. Seharusnya, kalau hasil panen Mang Imat sampai berhasil menyentuh pasar luar negeri, pendapatan hasil panennya juga tinggi, dong.” Sofia bicara pada gelas berembun di tangan. Berharap ucapannya tidak terdengar menuding.
Wira menghela napas. Ia meletakkan sendok di atas piring, menyisakan suara berkelontangan ke langit-langit rumah yang megah.
“Sayang, Imat itu seperti juga warga kampung lain, masih berutang banyak padaku. Bibit, ladang, tanah, sampai peralatan yang mereka pakai itu dariku, dan dibayar dengan mencicil. Hasil panen jeruknya memang besar, tapi utang dia jauh lebih besar lagi.” Wira bersidekap, menatap Sofia dengan sorot tegasnya yang disegani Sofia sejak ia pertama kali bisa ingat.
“Apa yang ia dapat, sudah cukup besar. Aku masih berbaik hati bagi hasil dengan persentase yang tidak merugikan dia sebagai petani,” sambung Wira bijak. Ia tidak tersenyum, membuat Sofia mengurungkan niat untuk mendebat.
Sofia tahu, Mang Imat, dan semua warga kampung, tidak akan bisa bersuara melawan rezim seorang Mahawira Anggabaya karena dibungkam oleh utang-utang mereka sendiri.
“Bang,” panggil Sofia lemah lembut.
“Hm?”“Soal kuliah, boleh nggak aku ngambil jurusan pertanian?” Sofia memasang tampang lugu, tahu betul hal itu bisa dengan mudah meluluhkan hati sang suami.Benar saja, Wira langsung menjawil hidung Sofia gemas, dan menanggalkan sikap arogannya tadi.“Kan sudah Abang bilang, Abang ingin mengembangkan sektor peternakan di kampung ini. Ada baiknya, kamu dan Brian belajar soal peternakan yang Abang sendiri nggak kuasai. Jadi, kalian berdua bisa mengurusnya dengan baik di kemudian hari, Sayang.”“Tapi, dari dulu cita-citaku ingin seperti Abang, belajar tentang pertanian sampai ke luar negeri, dan pulang kampung untuk membawa tanah kelahiranku ini menjadi lebih baik.” Sofia membuat nada suaranya seimut mungkin. Sampai-sampai ia mual sendiri mendengarnya.“Memangnya, apa yang mau kamu tahu, Sofia? Abangmu ini bisa mengajarimu lebih
“Brian laper! Sudah boleh makan?” Brian Mahesa mengempaskan diri di kursi dapur dan menatap hasil masakan Sofia yang mulai dingin sambil cemberut.“Brian!” Wira terlonjak kaget dan menjauh dari wajah Sofia yang semakin padam. “Maaf, kami ….”“Nggak apa-apa, aku nggak lihat.” Brian menjawil tahu goreng dan melahapnya acuh. “Makan, Pa.”Tanpa mempedulikan dua insan yang salah tingkah di hadapannya, Brian memenuhi piring dengan nasi dan lauk hasil masakan Sofia lalu makan.Wira bergerak grogi persis seperti remaja yang tertangkap basah bermesraan dengan kekasih di koridor kelas.“Kamu pulang, kok, nggak bilang-bilang.” Wira mengambil tempat di hadapan Brian dan membalik piring kosong yang tergelincir di jemarinya yang licin.“Hati-hati, Bang.” Sofia dengan sigap menahan pi
“Nggak lucu!” alis tebal Brian saling terpaut, tanda Sofia telah berhasil menangani tingkah angkuhnya dengan baik.“Aku nggak ngelucu. Keren lagi, lo… gue… seasyik itu jadi mahasiswa, ya, Yan?” Sofia menopang dagu dan menatap Brian menggoda.Brian melempar tatapan mencela. “Tahun depan kamu ngerasain juga, kan, jadi mahasiswa. Setelah berhasil merayu papa untuk nguliahin kamu, terus mau minta apa lagi? Mobil biar sekalian keren?”Sofia melirik langit-langit dengan gaya manja yang dibuat-buat, senang bukan kepalang melihat tampang sebal Brian yang susah payah menahan diri untuk tidak menyerangnya.“Hm, menurut kamu apa itu perlu?” Sofia balik bertanya.Sudut bibir Brian otomatis terangkat naik. “Minta aja, papa pasti kasih, toh, sudah kadung basah kamu morotin harta papa!”“Morotin
Sofia tengah menyiram bunga di halaman depan ketika Brian datang dengan sepeda downhillnya yang lagi-lagi dikendalikan sedemikian rupa hingga nyaris menabrak Sofia.“Dari mana kamu anak nakal?” kata Sofia tenang tanpa mengalihkan pandang dari tangkai-tangkai mawar yang mulai berbunga.Brian mencibir sebal. “Nggak usah berlagak kayak ibu tiri, deh.”“Memang aku ibu tirimu,” Sofia membelai satu mawar kuning dan menciumnya dengan mata terpejam.Seulas senyuman puas tergambar di wajah cantiknya. Sudah lama ia mengagumi taman kediaman sang juragan tanah yang mengusung konsep ala Mediterania. Mahawira Anggabaya memang memiliki selera tinggi dalam segala hal.“Ya, cocok sih kamu jadi ibu tiri.” Brian melompat dari sepeda dan menyimpannya asal hingga menyenggol beberapa bunga yang baru disiram Sofia.“Memang benar
“Sayang, soal itu… ada baiknya nggak usah kita bahas terutama di depan Brian, ya. Kamu nggak perlu tahu soal ibunya Brian, karena dengan tahu pun nggak akan berpengaruh apa-apa buat kita, dan nggak akan membuat masa depan Brian lebih baik.” Bayang suram menggantung di manik mata Wira yang biasa menyorot tangguh, menyisipkan rasa takut yang coba diabaikan Sofia.“Maaf,” lirihnya pelan.Wira menyapu kerisauan istrinya dengan sebuah senyuman lebar memukau. Diusapnya lembut kepala Sofia yang wangi.“Sudah makan malam?” tanyanya lembut.Sofia menggeleng. “Menunggu Abang.”“Terima kasih, lho. Maaf, ya, Abang pulang terlambat. Jalanan macet, dan diskusi dengan pemasok agak alot tadi.”“Abang pasti capek banget, ya.” Sofia menelaah wajah letih suaminya. “Aku siapkan air hangat untuk
Tak sampai disitu, Wira yang seperti kesetanan menarik Sofia yang masih merintih dan menggiringnya ke luar kamar.“Bang!” lirih Sofia lemah. Ia tak bisa melakukan apapun selain mengimbangi langkah cepat Wira agar dirinya tidak terjatuh.Wira tidak berhenti hingga tiba di halaman rumah. Ajudannya, Ajat, tengah asyik mencuci mobil sambil bersenandung lagu dangdut kesukaannya.“Jatuh bangun akuuu mengejarmuuu… hu… hu…”“Ajat!” Wira meraung garang. “Kunci.” Ia menadahkan tangan, menagih.“Eh… iya mengejar… mengejar ayam!” Ajat yang terkejut nyaris mengarahkan selang air pada tuannya kalau saja tidak ada badan mobil di antara mereka yang menghalangi.“Kunci mobil kemarikan, Ajat!” Wira kembali berteriak tak sabar.“Eh, iya ini, Gan!
Sofia memejamkan mata, tak sanggup jika harus melihat Wira menyerang Rean. Namun suaminya itu malah berpaling dan masuk ke mobil.Sofia menghela napas. Kepalanya terus tertunduk seolah beban dunia ada di tengkuknya yang malang. Gadis itu akhirnya ikut berpaling, namun saat ia hendak melangkah menyusul Wira ke mobil, Rean memanggilnya pelan. Begitu lirih hingga Sofia mengira itu hanyalah suara desiran angin semata.“Sofia ….”Gadis itu menyentuh dada yang terasa nyeri. Satu kata singkat yang keluar dari bibir Rean telah mengirisnya begitu perih.Ia ingin menoleh, menghampiri lelakinya yang terluka. Bertanya tentang keadaannya. Sakitkah itu, bisakah ia berjalan, sudahkah ia mendapatkan pengobatan sesuai. Namun tak ada keberanian tersisa. Wajah marah Wira membayang di pelupuk mata.Sofia menahan tangis seraya mengayun langkah berat menyusul sang suami yang sudah l
“Bapak!” Sofia memeluk tubuh renta itu kuat-kuat, enggan menjauh. Tangan keriput Susanto mengusap kepala Sofia gemetaran.“Apa kabarmu, Nak?”“Baik, Pak.” Sofia terisak.“Kenapa menangis?”“Fia kangen Bapak.”“Bapak juga kangen sama kamu.” Susanto meraih bahu Sofia dan mendorongnya lembut. Ditelititnya wajah sang anak dengan seksama.“Kamu semakin cantik, Sofia, apa kamu bahagia?”Sofia menelan ludah. Ia ingin meluapkan segala kegelisahannya pada sang ayah, namun separuh hatinya tidak tega menambah beban pria tua itu.Ayahnya telah tersiksa rasa bersalah karena perkawinan paksa dengan Mahawira, dan Sofia tidak mau menambah pikulan bobot di pundak sang ayah dengan kisah deritanya.“Fia bahagia, Pak. Abang memp