"Rin. Kenapa belum berangkat ...?" Nilam menyusul putrinya karena mendengar suara. Namun, ucapannya terjeda ketika melihat dua orang pria asing yang tak dikenal berdiri di depan rumah. "Eh? Ada tamu? Cari siapa, Mas?" tanya Nilam berubah ramah.
Xavier beralih menatap wanita paruh baya di hadapannya. Tatapannya masih saja tajam. "Bu, mereka mencari Kasih," bisik Arina pada sang ibu. Nilam membulatkan kedua matanya lalu menatap kembali pada dua pria asing itu. "Oh. Mencari Kasih? Tapi ... Kasih sudah tidak tinggal di sini ...." jawabnya dengan senyuman ramah. Mencoba menutupi kegelisahannya karena telah berhasil mengusir sang keponakan. Xavier tak merubah ekspresi wajahnya yang dingin. "Di mana dia sekarang?" Nilam gelagapan. Tampak wajah itu mulai memucat. Aura menyeramkan yang terpancar dari pria tampan berjas hitam itu begitu kuat dirasakan. Belum pernah sebelumnya Nilam bertemu dengan seseorang beraura menyeramkan seperti itu. "Ah. Emmm. Apa tidak se-sebaiknya Anda berdua masuk dulu?" ucap Nilam mempersilakan kedua tamu tak dikenal itu untuk masuk ke dalam rumah. Xavier berjalan menuju ke teras rumah dan memilih duduk pada kursi kayu yang ada di sana. Johan pun berdiri di sampingnya. "Tidak perlu, kami tidak akan lama.” Xavier menjawab, masih dengan ekspresi dinginnya. “Anda bilang, Kasih sudah tidak tinggal di sini? Lalu, di mana dia tinggal sekarang?” Nilam menelan ludahnya. Kehadiran dua orang itu seperti debt kolektor yang sedang menagih utang. Suasana di depan rumah itu pun menjadi begitu canggung. “Maaf, Om, kami nggak tau.” Arina yang berdiri di samping Nilam menggenggam lembut tangan sang ibu, lantas mulai menebar kesaksian bohongnya. “Kasih diusir dari kampung ini karena mabuk-mabukan dan berbuat mesum.” Arina yang kebetulan menyimpan foto-foto mesum Kasih, lantas memperlihatkannya pada Xavier. Wajah pria itu terlihat mengernyit. Johan di sisinya, ikut-ikutan memastikan foto di layar ponsel itu. Dua pria itu saling lirik, lantas menyerahkan kembali ponsel itu pada sang pemilik. Melihat hal itu, Nilam bisa bernapas sedikit lega. “Ah, benar. Anda pasti belum tahu soal itu, kan?” Sebuah senyum sudah bisa muncul dari bibirnya yang tadi pucat. “Ngomong-ngomong, Tuan-Tuan ini siapa? Apa keponakan saya juga membuat masalah dengan Anda berdua?” Xavier merasa terganggu dengan penjelasan barusan, tetapi ia tidak langsung percaya. “Kalian tidak perlu tahu siapa kami.” Dengan lirikan singkat, ia memberi kode pada Johan untuk segera angkat kaki dari sana. Kepergian dua pria yang salah satunya begitu dingin itu membuat Nilam dan Arina bingung. Namun, dua orang jahat itu bisa mencium gelagat, jika dua pria itu bukanlah orang sembarangan. “Ingat-ingat wajahnya, Rin. Kita harus waspada sama mereka,” pesan Nilam ketika mobil Alphard itu meninggalkan pekarangan rumahnya. Di dalam mobil, Xavier tidak berhenti berpikir. Keterangan dari warga dan juga bibi Kasih sama—gadis itu dikenal nakal, hingga berakhir diusir dari tempat tinggalnya. Belum lagi, foto-foto yang diberikan Arina tadi. Tadinya, Xavier pikir perbuatan mesum yang menjerat Kasih adalah ketika mereka menghabiskan malam berdua. Ternyata, bukan. Meski bukti-bukti sudah dilihat, Xavier masih merasa janggal. Malam itu, ia yakin betul tidak mencium alkohol dari mulut Kasih. Pun jika Kasih memanglah gadis nakal, tidak mungkin Xavier yang pertama kali merenggut kesuciannya, kan? Anggukan samar dari Xavier terlihat. Ia lantas melirik ke arah Johan yang tengah mengemudi. “Aku yakin, Kasih dijebak. Johan, pastikan kamu menyelidiki ini.” Johan mengangguk, siap. Sementara Xavier kembali berkutat dengan puzzle-puzzle di pikirannya. Tentang Kasih, yang ternyata masih sangat muda, yang kesuciannya telah ia renggut karena sebuah jebakan. Pikiran Xavier yang penuh itu teralih ketika mobilnya ditabrak dari belakang. Brak! “Sial! Mereka sengaja menabrak kita, Tuan!” lapor Johan terus berusaha menghindari mobil di belakang yang terus mengikuti. Xavier menoleh ke belakang untuk mengetahui mobil yang dimaksud. “Tepikan mobilnya! Aku yakin, mereka adalah orang yang mengincarku.” Menuruti sang tuan, Johan pun mengambil laju paling kiri. Nahas, ulah mobil itu yang terus menabrakkan diri ke mobil Alphard yang membawa Johan dan Xavier tidak juga berhenti. Hingga dua mobil itu melintasi sebuah jembatan, dan tiba-tiba mobil Alphard kehilangan kendali hingga nyaris terperosok ke jurang. Kondisi dua pria di dalam mobil yang menggantung itu sudah bersimbah darah. Terutama Xavier yang duduk di belakang dan tidak mengenakan sabuk pengaman. Saat dua pria itu kepayahan, beberapa pria dari mobil yang menabrak mereka datang menghampiri. Bugh! Brak! Kaca dan pintu mobil itu dibuka paksa. Wajah-wajah sangar muncul, lalu menyeret Xavier yang keadaannya mulai melemah. “Mau apa kalian? Siapa yang menyuruh kalian?” tanya Xavier di ujung kesadarannya. “Anda tidak perlu tahu, Tuan Muda.” Salah seorang dari pria bengis itu berujar, memerintah anak buahnya. “Bereskan dia, dan hanyutkan yang satunya!” Hantaman demi hantaman diterima Xavier, hingga membuat tubuhnya tumbang ke tanah. Ia terbatuk-batuk hingga mengeluarkan darah segar. Melihat kondisi Xavier sudah jauh dari kata bisa bertahan, para bandit itu pun segera hengkang. Keadaan kampung yang sepi membuat kondisi Xavier semakin mengenaskan. Xavier yang kondisinya sudah berada di luar mobil, dengan sisa tenaga mencoba mencari pertolongan. Beruntung, saat itu ada seorang gadis dengan koper besarnya melintas. “Tolong….” Langkah kaki gadis itu melambat ketika mendengar sayu-sayup suara meminta tolong. Lalu, ketika menelusuri asal suara lirih tersebut, sang gadis memekik, dan langsung menghampiri pria mengenaskan itu. “Ya ampun, apa yang terjadi?!” Tubuh gadis itu menggigil ketakutan melihat kondisi pria di hadapannya. Wajahnya sudah tak terlihat akibat darah di mana-mana. Beberapa bagian di wajahnya bahkan bengkak. “Tolong, simpan ini.” Xavier merogoh kantongnya, dan menyerahkan ponselnya pada gadis itu. “Jangan berikan pada siapa pun, selain aku….” "A-apa?" Saat gadis itu menerima ponsel tersebut, saat itu juga Xavier tak sadarkan diri. "Astaga! Mas, Mas! Bangun, Mas!"Waktu berlalu begitu cepat, Aidan kini telah berusia lima tahun. Dan kehangatan keluarga kecil Xavier dan Kasih semakin terasa. Setelah Aidan genap berusia satu tahun, Kasih memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda. Usahanya yang gigih selama empat tahun terakhir kini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga kecil itu. Xavier dan Aidan datang ke acara wisuda Kasih dengan setelan rapi. Xavier mengenakan jas hitam elegan yang mempertegas wibawanya, sementara Aidan mengenakan kemeja putih kecil dengan rompi abu-abu yang membuatnya tampak seperti miniatur ayahnya. Rambutnya yang hitam ditata rapi oleh Xavier pagi tadi, meski bocah itu sempat memberontak karena tak mau diam. Namun, ada satu hal yang membuat Xavier sedikit geleng-geleng kepala—Aidan menolak digendong olehnya. "Ayah, aku bukan bayi lagi!" protes Aidan dengan nada malu-malu, sambil memalingkan wajahnya yang tampan dan menggemaskan. Xavier tersen
Malam berlalu dengan tenang, dan keesokan harinya, keluarga kecil itu menikmati waktu bersama di rumah. Xavier sengaja mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama dengan Kasih dan Aidan. Dan tentu saja Johan yang akan menghandel semuanya.Saat pagi menjelang, Xavier membantu Kasih memandikan Aidan yang tertawa gembira saat air hangat menyentuh kulitnya. Atas permintaan Kasih lah mereka merawat Aidan sendiri, tanpa adanya baby sitter. Karena menurut Kasih, dia ingin merawat Aidan dengan benar dan penuh kasih sayang agar ikatan batin di antara orang tua dan anak semakin kuat."Aidan selalu ceria, ya," kata Xavier sambil mengeringkan badan putranya dengan handuk lembut. Kali ini pria itu yang memutuskan untuk memandikan Aidan.Kasih tersenyum, memperhatikan suaminya yang begitu telaten dan penuh kelembutan. "Ya. Aidan memang selalu ceria," jawabnya lembut.Xavier menoleh, menatap istrinya dengan senyum kecil. "Kalau begitu, dia pasti punya sifat seperti itu dari Bundanya yang cantik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aidan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan ceria. Kasih sering menghabiskan waktu di rumah untuk merawat anaknya dan Xavier. Sementara Xavier, meski sibuk dengan urusan perusahaan, selalu menyempatkan waktu untuk pulang lebih awal. Hal ini tak lain karena ia ingin melakukan perannya sebagai seorang ayah dan juga suami dengan baik.Suatu sore, Xavier pulang lebih awal dari biasanya. Pria itu menemukan Kasih dan Aidan di ruang tengah. Kasih sedang duduk di lantai dengan Aidan yang tertawa riang saat ia memainkan mainan berbentuk bola. Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar melihat pemandangan itu."Serunya! Sepertinya kalian bersenang-senang tanpa ayah, ya?" katanya sambil berjalan mendekat. Senyumannya lebar telihat bahagia karena keluarganya aman dan baik-baik saja."Ayah sudah pulang!" Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan senyum lebar. Aidan, meski belum sepenuhnya mengerti, segera mengulurkan tangan kecilnya ke arah sang ayah.Xavier
Malam itu, Xavier kembali ke rumahnya dan duduk di ruang kerja ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di atas meja, ada sebuah foto lama keluarganya— ayahnya; William, serta ibunya; Melinda, dan Haris berdiri berdampingan dengan senyum lebar.Xavier menatap foto itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tak dia sangka pamannya lah yang menjadi orang paling mencurigakan yang telah mencelakai kedua orang tuanya.Saat dirinya sedang bersedih, Kasih datang mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Xavier. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Xavier menghela napas. "Ayahku selalu percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi sekarang aku tahu, bahkan keluarga pun bisa menjadi ancaman yang nyata."Kasih menggenggam tangan suaminya, memberikan kekuatan. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Xavi. Kamu melindungi harga diri keluargamu. Ayahmu pasti bangga padamu."Xavier tersenyum tipis. "Aku harap b
Xavier duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen, rekaman suara, dan foto-foto yang membuktikan keterlibatan pamannya, Haris, dalam berbagai insiden tragis yang menimpa keluarganya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam pada berkas yang baru saja diserahkan Johan, kepala tim investigasinya.Setelah sekian lama, akhirnya meski dengan paksaan dan mencari sampai ke titik yang sulit dijangkau, Xavier menemukan pelaku utama yang selama ini dia cari setelah mendapatkan petunjuk dari catatan lama milik ayahnya."Tuan Xavier, semua bukti ini sudah cukup untuk mengamankan Pak Haris. Dari kecelakaan kedua orang tua Anda hingga penculikan Tuan Muda Junior, semuanya mengarah padanya. Jeremy, yang sudah kita jebloskan ke penjara, akhirnya mengakui bahwa dia hanya menjalankan perintah dari ayahnya, alias ‘Zero,’" lapor Johan dengan tegas.Xavier mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kali ini aku tidak akan membiarkan dia lolos. Om Haris telah menghancurkan keluargaku.
"Xavi, sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Kasih dengan lembut."Maaf, Sayang. Tapi aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita bertiga aman," balas Xavier sembari memeluk sang istri. Lalu pria itu mencium lembut bibir Kasih."Kalau begitu tetaplah hati-hati, Xavi. Kamu juga jangan sampai kelelahan ...." ucap Kasih lagi. Wanita itu memang benar-benar perhatian pada suaminya.Xavier mengangguk. "Pastinya. Kamu juga istirahatlah. Maaf karena aku tidak bisa ikut menjaga Aidan malam ini," ucapnya."Aku mengerti, Xavi. Yang penting kamu jaga kesehatanmu dan semoga masalah ini segera berakhir," ucap Kasih penuh harap.Malam itu, Xavier memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tanpa menunggu waktu lebih lama. Ia tahu bahwa kebenaran sudah ada di depan mata, tetapi harus digali lebih dalam untuk memastikan semua bukti tidak terbantahkan. Ia memanggil Johan dan Bagas ke ruang kerjanya di tengah malam."Johan, Bagas, kita harus memanfaatkan momen ini. Om Haris pasti tahu bahwa