"Akhirnya Mas sadar juga ...."
Setelah satu hari, pria yang ditemukan Kasih di tengah jalan dengan luka parah itu akhirnya siuman juga. Pria itu mengerjapkan mata, lalu meneliti sekeliling kamar, sebelum raut wajahnya berubah sedih. “Mana Kakek Xavi? Kakak siapa?” kata pria itu mencebik seperti bayi. Kasih yang sebenarnya masih trauma berdekatan dengan pria, kini terlihat bingung. Jika ditaksir, pria yang ditolongnya ini seharusnya sudah memasuki usia matang. Namun, kenapa barusan kalimat dan gesturnya justru seperti layaknya anak balita? Dan, kenapa juga pria itu memanggilnya Kakak?! “Namaku Kasih. S-sebentar, ya, aku panggil dokter dulu!” ujar Kasih, lalu berlari memanggil dokter jaga. Selama dokter memeriksa, tatapan pria itu tidak perlah lepas menatap Kasih. Hal itu membuat Kasih yang sebetulnya masih takut pada pria usai kejadian malam itu, menjadi gemetar dan tidak nyaman. “Bagaimana, Dok?” Kasih langsung bertanya usai dokter selesai memeriksa. Dokter itu menghela napas, lalu menjelaskan jika keadaan yang dialami pria itu adalah efek dari benturan yang cukup keras di kepalanya. Pria malang itu seolah mengalami hilang ingatan, dan memorinya kembali ke beberapa tahun silam, ketika pria itu masih kecil. Mendengar penuturan itu, Kasih mengerjap. Ia jadi bimbang, harus bagaimana. Namun, melihat pria yang sedari tadi selalu menyebut namanya Xavi itu masih saja menangis, Kasih pun tidak tega. Mengalahkan ketakutannya pada pria, Kasih akhirnya menghampiri pria itu. “Hei. Kamu … benar kamu bernama Xavi?” tanya Kasih ragu-ragu. Pria dewasa yang jiwanya bocah itu mengangguk cepat. “Xavier. Kak Sisi lihat Kakeknya Xavi, tidak? Kenapa Xavi sendirian di sini?” tanya pria itu bertubi-tubi. “Namaku bukan Sisi, tapi Kasih ... Ehm, begini, Xavier. Aku menemukanmu tergeletak di pinggir jalan.” Kasih mencoba menjelaskan situasinya, berharap Xavier mengerti. “Dan sekarang, aku harus menghubungi keluargamu. Apa kamu tahu ke mana aku harus menghubungi orang tuamu?” “Xavi sudah tidak punya orang tua.” Pria itu menunduk, dan terlihat sedih untuk sesaat, sebelum kemudian terlihat berbinar lagi. “Tapi, ada Kakek.” Melihat Xavier seolah tengah mencari sesuatu, Kasih seketika teringat pada ponsel yang dititipkan pria itu. “Kamu cari ini?” Kasih menunjukkan ponsel yang dititipkan Xavier sebelum pria itu tidak sadarkan diri. “Kamu menitipkannya padaku sebelum pingsan.” Raut wajah Xavier terlihat bingung. Namun kemudian, senyum pria itu terbit. “Terima kasih, Kak Sisi. Xavi bisa dimarahin Kakek kalau sampai ponsel ini hilang!” Dengan sebelah tangannya yang bebas dari infus, Xavier menarik tubuh Kasih ke pelukan, membuat gelenyar aneh dirasakan gadis itu. “A-ah, i-iya. Sama-sama.” Setelah perkenalan layaknya bocah itu, Kasih meminta izin pada Xavier untuk menghubungi kakeknya. Pria itu menolak untuk bicara sendiri pada kakeknya, karena takut dimarahi sebab sudah tidak pulang seharian. Akhirnya, Kasih menghubungi kakeknya Xavier, dan mengabari jika sang cucu tengah dirawat di rumah sakit yang tidak jauh dari kampungnya. “Kakekmu akan segera datang. Kalau begitu, aku pamit, ya?” Usai telepon ditutup, Kasih berencana pamit. Namun, Xavier merajuk. Pria itu terus memegangi tangan Kasih. “Nggak boleh! Kak Sisi harus tetap di sini!” tolaknya, mencegah Kasih ke mana-mana. “Tapi, kakekmu akan datang, Xavi….” Gelengan diberikan pria itu berulang kali. “Kak Sisi jahat! Xavi kan, takut sendirian.” Ia kemudian menangis lagi. Helaan napas terdengar dari Kasih. Melihat Xavier yang tingkahnya sungguh persis seperti balita yang menangis, Kasih yang pada dasarnya menyukai anak-anak jadi tidak tega. “Baiklah. Aku akan menemanimu sampai Kakek datang.” Ia melirik pada nampan yang berisi makanan di samping ranjang Xavier. “Sekarang, ayo makan dulu.” “Yeay! Yeay!! Kak Sisi baik, seperti Ibu Peri!” Xavier bertepuk tangan. Ia dengan badannya yang tinggi tegap itu bahkan melompat-lompat di atas ranjang pasien, membuat kasur itu berderit. “Astaga, Xavier, berhenti! Jangan melompat, itu berbahaya!” teriak Kasih, khawatir pria kekanakan itu jatuh. Beberapa jam merawat pria balita itu, ada saja ulah Xavier yang membuat Kasih menghela napas atau geleng-geleng kepala. Kini, mereka tengah bercanda. Rasa tidak nyaman Kasih yang diakibatkan trauma karena malam itu pun, sirna. Sebab, meski Xavier adalah pria matang dan dewasa, tingkah lakunya membuat Kasih melihatnya sebagai seorang balita. Suara tawa mereka terhenti saat pintu ruang rawat Xavier diketuk. Mereka berdua sama-sama menoleh, dan melihat figure seorang pria tua berusia sekitar 70-an masuk, diikuti seorang pria lainnya. “Kakek!!!” Xavier bersorak kegirangan, dan nyaris saja berlari jika Kasih tidak mengingatkan pria balita itu perihal infusan yang ada di tangannya. Tentu, pemandangan itu tidak lepas dari pengamatan dua orang keluarga Xavier yang kini terlihat bingung melihat tingkah sang cucu. “Kakek, sepertinya ada yang aneh dengan Xavier.” Pria yang sedari tadi diam di belakang tubuh kakek Xavier itu berbicara. “Tolong panggilkan dokter, Jer,” perintah kakek Xavier yang langsung membuat pria yang bernama Jeremy itu bergegas. “Siapa tadi, Kek? Kenapa Kakek tidak datang dengan Jo?” tanya Xavier, menunjuk ke arah pintu. “Berhenti berpura-pura, Xavier! Dia itu Jeremy, kakak sepupumu.” Xavier terlihat bingung. “Jeremy? Kenapa tua sekali?” Kakek Xavier menghela napas. Ia kemudian melirik Kasih. “Apa kamu yang tadi menghubungiku?” tanyanya. “Betul, Pak. Saya Kasih.” Gadis itu menundukkan kepalanya sejenak, memberi hormat. “Dan soal Xavier, dia memang tidak berpura-pura. Dokter sudah menjelaskannya pada saya tadi.” Di samping Kasih, Xavier terlihat senyum-senyum dan hanya menganggukkan kepala. “Saya Wibowo, kakeknya Xavier.” Kakek tua itu menatap Xavier yang terlihat begitu bahagia di samping Kasih. Cucunya itu kini terlihat senyum-senyum dan menganggukkan kepala, membenarkan keterangan Kasih. Tak lama, dokter datang dan kembali menjelaskan kondisi Xavier pada Wibowo, juga Jeremy. Mata Wibowo langsung berkaca-kaca mendengar informasi tersebut. Tatapan pria tua itu kini begitu lekat pada sang cucu yang terlihat seperti saat Xavier kecil dulu. “Sebenarnya, apa yang terjadi, Xavier?” tanya Kakek Wibowo yang lebih terdengar gumaman untuk dirinya sendiri. “Kakek, di mana Jo? Xavi mau main sama Jo, Kek ….” Xavier merengek, mencari-cari sosok Johan yang biasa menemaninya bermain. “Johan ….” Wibowo menghela napas panjang. Baru saja dia juga menerima kabar soal mobil cucunya yang terperosok di bawah jembatan. Bahkan Johan menghilang. “Johan hanyut, Xavi, dan tubuhnya masih belum ditemukan.” “Jo hanyut? Bagaimana bisa? Apa dia bermain sampai ke sungai?” Logika Xavier yang berbalik ke usia balita hanya berpikir pendek. Kedua alis Jeremy terlihat menukik, heran. “Memangnya, kamu nggak ingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan?” Xavier menggeleng dengan wajah yang mulai berkaca-kaca. Ia berpikir, Jeremy kini tengah marah-marah padanya karena ekspresi keras sepupunya itu. Pria itu lantas menarik tubuh Kasih, lalu memeluk gadis itu seolah meminta perlindungan. “Xavier, jangan begini. Tidak enak dilihat kakekmu.” Dengan lembut, Kasih mencoba melepaskan belitan tangan Xavier. “Xavi takut sama Jeremy. Tolong Xavi, Kak Sisi ….” Melihat tingkah manja Xavier pada gadis penolongnya, baik Wibowo maupun Jeremy terheran-heran. Sebab, bila Xavier kembali ke masa balitanya, pria itu pasti akan sulit didekati orang yang baru ia temui. Namun dengan Kasih, pria itu seolah mendapatkan kenyamanan. “Bagaimana ini, Jeremy?” Wibowo menoleh frustrasi pada cucunya yang lain. Jeremy menatap miris ke arah sepupunya. “Sebaiknya kita bawa saja Xavier pulang untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik, Kek.” “Nggak mau! Xavi nggak mau pulang!”Waktu berlalu begitu cepat, Aidan kini telah berusia lima tahun. Dan kehangatan keluarga kecil Xavier dan Kasih semakin terasa. Setelah Aidan genap berusia satu tahun, Kasih memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda. Usahanya yang gigih selama empat tahun terakhir kini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga kecil itu. Xavier dan Aidan datang ke acara wisuda Kasih dengan setelan rapi. Xavier mengenakan jas hitam elegan yang mempertegas wibawanya, sementara Aidan mengenakan kemeja putih kecil dengan rompi abu-abu yang membuatnya tampak seperti miniatur ayahnya. Rambutnya yang hitam ditata rapi oleh Xavier pagi tadi, meski bocah itu sempat memberontak karena tak mau diam. Namun, ada satu hal yang membuat Xavier sedikit geleng-geleng kepala—Aidan menolak digendong olehnya. "Ayah, aku bukan bayi lagi!" protes Aidan dengan nada malu-malu, sambil memalingkan wajahnya yang tampan dan menggemaskan. Xavier tersen
Malam berlalu dengan tenang, dan keesokan harinya, keluarga kecil itu menikmati waktu bersama di rumah. Xavier sengaja mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama dengan Kasih dan Aidan. Dan tentu saja Johan yang akan menghandel semuanya.Saat pagi menjelang, Xavier membantu Kasih memandikan Aidan yang tertawa gembira saat air hangat menyentuh kulitnya. Atas permintaan Kasih lah mereka merawat Aidan sendiri, tanpa adanya baby sitter. Karena menurut Kasih, dia ingin merawat Aidan dengan benar dan penuh kasih sayang agar ikatan batin di antara orang tua dan anak semakin kuat."Aidan selalu ceria, ya," kata Xavier sambil mengeringkan badan putranya dengan handuk lembut. Kali ini pria itu yang memutuskan untuk memandikan Aidan.Kasih tersenyum, memperhatikan suaminya yang begitu telaten dan penuh kelembutan. "Ya. Aidan memang selalu ceria," jawabnya lembut.Xavier menoleh, menatap istrinya dengan senyum kecil. "Kalau begitu, dia pasti punya sifat seperti itu dari Bundanya yang cantik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aidan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan ceria. Kasih sering menghabiskan waktu di rumah untuk merawat anaknya dan Xavier. Sementara Xavier, meski sibuk dengan urusan perusahaan, selalu menyempatkan waktu untuk pulang lebih awal. Hal ini tak lain karena ia ingin melakukan perannya sebagai seorang ayah dan juga suami dengan baik.Suatu sore, Xavier pulang lebih awal dari biasanya. Pria itu menemukan Kasih dan Aidan di ruang tengah. Kasih sedang duduk di lantai dengan Aidan yang tertawa riang saat ia memainkan mainan berbentuk bola. Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar melihat pemandangan itu."Serunya! Sepertinya kalian bersenang-senang tanpa ayah, ya?" katanya sambil berjalan mendekat. Senyumannya lebar telihat bahagia karena keluarganya aman dan baik-baik saja."Ayah sudah pulang!" Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan senyum lebar. Aidan, meski belum sepenuhnya mengerti, segera mengulurkan tangan kecilnya ke arah sang ayah.Xavier
Malam itu, Xavier kembali ke rumahnya dan duduk di ruang kerja ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di atas meja, ada sebuah foto lama keluarganya— ayahnya; William, serta ibunya; Melinda, dan Haris berdiri berdampingan dengan senyum lebar.Xavier menatap foto itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tak dia sangka pamannya lah yang menjadi orang paling mencurigakan yang telah mencelakai kedua orang tuanya.Saat dirinya sedang bersedih, Kasih datang mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Xavier. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Xavier menghela napas. "Ayahku selalu percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi sekarang aku tahu, bahkan keluarga pun bisa menjadi ancaman yang nyata."Kasih menggenggam tangan suaminya, memberikan kekuatan. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Xavi. Kamu melindungi harga diri keluargamu. Ayahmu pasti bangga padamu."Xavier tersenyum tipis. "Aku harap b
Xavier duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen, rekaman suara, dan foto-foto yang membuktikan keterlibatan pamannya, Haris, dalam berbagai insiden tragis yang menimpa keluarganya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam pada berkas yang baru saja diserahkan Johan, kepala tim investigasinya.Setelah sekian lama, akhirnya meski dengan paksaan dan mencari sampai ke titik yang sulit dijangkau, Xavier menemukan pelaku utama yang selama ini dia cari setelah mendapatkan petunjuk dari catatan lama milik ayahnya."Tuan Xavier, semua bukti ini sudah cukup untuk mengamankan Pak Haris. Dari kecelakaan kedua orang tua Anda hingga penculikan Tuan Muda Junior, semuanya mengarah padanya. Jeremy, yang sudah kita jebloskan ke penjara, akhirnya mengakui bahwa dia hanya menjalankan perintah dari ayahnya, alias ‘Zero,’" lapor Johan dengan tegas.Xavier mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kali ini aku tidak akan membiarkan dia lolos. Om Haris telah menghancurkan keluargaku.
"Xavi, sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Kasih dengan lembut."Maaf, Sayang. Tapi aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita bertiga aman," balas Xavier sembari memeluk sang istri. Lalu pria itu mencium lembut bibir Kasih."Kalau begitu tetaplah hati-hati, Xavi. Kamu juga jangan sampai kelelahan ...." ucap Kasih lagi. Wanita itu memang benar-benar perhatian pada suaminya.Xavier mengangguk. "Pastinya. Kamu juga istirahatlah. Maaf karena aku tidak bisa ikut menjaga Aidan malam ini," ucapnya."Aku mengerti, Xavi. Yang penting kamu jaga kesehatanmu dan semoga masalah ini segera berakhir," ucap Kasih penuh harap.Malam itu, Xavier memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tanpa menunggu waktu lebih lama. Ia tahu bahwa kebenaran sudah ada di depan mata, tetapi harus digali lebih dalam untuk memastikan semua bukti tidak terbantahkan. Ia memanggil Johan dan Bagas ke ruang kerjanya di tengah malam."Johan, Bagas, kita harus memanfaatkan momen ini. Om Haris pasti tahu bahwa