Share

Bab 5 : Uluran Tangan Gavin

Ara keluar dari ruangan ibunya, sudah waktunya dia pulang dan memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk melunasi biaya rumah sakit. 

Saat dia sedang memutar otaknya, sambil mengingat-ingat kiranya ada seseorang yang dapat membantunya, tapi tidak ada yang terlintas dalam benaknya kecuali Gavin. 

"Lupakan, Ara! Kau belum mengenalnya, bagaimana bisa kau menerima tawaran orang asing. Walaupun, Gavin memang baik, tapi..." 

"Wow! Lihatlah, siapa dia, Frey. Bukankah dia si buntelan lemak, Arabella? Hahahaha...." 

"Coba kulihat? Oh my God! Benar, dia kan Arabella teman sekelas kita di SMA dulu? Wah, kau lupa ya, Jen. Dia sudah bukan buntelan lemak lagi. Tubuhnya kurus sekarang, nyaris tak memiliki lemak. Hahahaha!" 

Ara menghentikan langkahnya dengan perasaan kesal, tapi dia tidak mau menunjukkan hal itu di depan dua wanita yang bernama Freya dan Jennifer, mereka berdua adalah teman sekelas Ara. 

Meskipun Ara tidak tahu kenapa dirinya bisa bertemu dengan dua orang itu. Baru mendengar suara tanpa melihat wajahnya saja Ara sudah tahu, bahwa mereka adalah orang yang selalu menghinanya dulu. 

"Sombong sekali, kau! Tidak mau menatap kita? Hei, kau di rumah sakit bukan untuk menggoda dokter, kan? Aku sudah dengar, kau bekerja keras rupanya. Tentu saja, kalau tidak bekerja keras, mana bisa kau menghidupi dirimu sendiri, iya, kan?" 

Freya melipat kedua tangannya ke dada sambil memasang raut sinis. 

Jennifer mengambil beberapa lembar uang dari tasnya, lalu memberikan uang itu kepada Ara. "Ambillah. Anggap saja ini kompensasi karena kita telah mengganggumu, jangan marah, ya?" 

Ara mengangkat wajahnya lalu tersenyum. Ia menggenggam uang itu, lalu berjalan mendekati Jennifer. "Simpan uang ini, aku bukan pengemis." 

"Apa? Hahahaha lihatlah, Jen. Dia sungguh sombong," ejek Freya. 

"Ambillah, Ara. Aku dengar kau menemui mami Kania, bukan?" 

Mami Kania adalah mucikari yang memang ditemui oleh Ara kemarin. Tapi bagaimana Jennifer tahu hal itu?

"Kau bicara apa, Jen?" tanya Ara. 

"Kita berdua sudah tahu kalau kau menjual diri untuk uang, kan?" bisik Freya dengan nada menghina. "Kau sungguh memalukan, Arabella. Jangan karena wajahmu cantik, tubuhmu tidak lagi gemuk, ya. Kau kira ada yang mau membayarmu? Cih!!" 

"Sudahlah, terima ini." Jennifer melemparkan lembaran uang ke wajah Ara, hingga uang itu berhamburan jatuh ke lantai. 

Arabella tidak tahu apa masalah yang diperbuatnya pada Freya dan Jennifer. Kenapa mereka selalu saja menghinanya, apakah ini semua salahnya? 

Dengan hati yang perih sambil memendam rasa emosi. Ara memungut lembaran uang tersebut. Freya dan Jennifer terkekeh melihat Ara membungkuk mengambil lembaran uang itu satu persatu. 

"Lihatlah, rupanya dia tidak sesombong yang kita kira, Frey." 

"Baguslah, itu tandanya dia sadar siapa dirinya." Jennifer menanggapi. 

Namun Ara bukan mengambil uang itu untuk dirinya, melainkan dia memberikan uang itu pada dua wanita di depannya. 

"Jangan menyampah. Bawalah sampah ini." Ara menaruh uang itu ke telapak tangan Jennifer. 

"Apa?" Jennifer geram, ia meremas uang itu. 

"Beraninya, kau!" sentak Freya. 

"Kalian benar, aku ini memang menemui Mami Kania kemarin, tapi aku penasaran dari mana kalian mengenal Mami Kania? Bukankah orang itu tidak sembarangan bisa dikenal kecuali kalian terlibat langsung dengannya? Jangan-jangan..." Ara menggeleng. 

"Cari tahu lagi, tanyakan pada Mami Kania apakah aku menjual diriku atau tidak! Aku memang miskin, tapi setidaknya aku tidak munafik seperti kalian," sentak Ara. 

"Kau menuduh kami menjual harga diri pada Mami Kania, begitu?" Jennifer melotot sambil berkacak pinggang dengan sombongnya. 

"Kau gila, Arabella! Yang hina itu dirimu, bukan kami!" Freya tidak kalah geram, dia meninggikan suaranya. 

"Hentikan, pelankan suara kalian. Ini rumah sakit. Apa kalian tidak berpendidikan? Ah, aku lupa. Otak kalian bukan berisi pendidikan, tapi hanya berisi sampah." Ara tersenyum bengis. Jennifer dan Freya tidak menyangka bahwa Ara yang pendiam telah berubah. 

"Kau keterlaluan, Ara! Kau menuduh kami yang tidak-tidak!" Jennifer tidak terima dengan sikap Ara.

"Siapa yang memulai, hah? Gunakan mulutmu dengan benar, jangan suka menghina orang. Aku tidak pernah menyusahkan hidupmu. Jangan kau urus bibir mu saja dengan mengoleskan lipstick di sana, rawat juga mulutmu untuk menyaring kata-kata yang tidak bermoral. Memalukan!" Ara sudah merasa terhina dengan kata-kata mereka berdua, tidak masalah bukan, jika dia balik menghina mereka, pikirnya. 

Freya dan Jennifer hendak menarik rambut Ara, tapi Ara lebih dulu menangkisnya.

"Jangan sentuh rambutku. Atau bagian tubuhku yang lainnya. Aku masih bersih, tapi aku tidak yakin kalian bersih, kalian mengenal Mami Kania, kan? Cih! Rupanya kalian yang menjijikkan! Jangan coba mengusikku lagi, atau kalian akan menyesal!" 

"Brengsek kau Arabella!" 

Hidup Ara sudah terbiasa begini. Menerima hinaan, hanya karena dia miskin. Tapi Ara tidak bisa ditindas oleh siapapun juga. Dia mengurus hidupnya sendiri, tanpa membebani orang lain. Meski hatinya sakit, tidak dipungkiri, dia selalu teriris ketika menerima kata-kata buruk dari orang lain tentang dirinya. 

"Kau sudah biasa, Ara. Jangan menangis," ucapnya pada dirinya sendiri. Semula ia ingin pulang ke rumah kontrakannya. Tapi, Ara memutuskan untuk duduk di taman rumah sakit sambil menenangkan hatinya. 

"Kau tidak salah, Ara. Bahkan jika kau menjual dirimu, kau tidak menyusahkan orang lain. Jangan menangis, ini bukan kesalahanmu." Ara menyentuh dadanya, meski matanya terasa pedih dan panas. Hingga bulir bening akhirnya menetes membasahi pipinya. 

"Aku tidak meminta hidup seperti ini, kalau boleh memilih aku ingin hidup bahagia bersama keluargaku. Tapi..." Dadanya terasa sesak, tak kuat lagi menahan tangisnya. 

Tangannya basah, lalu dia menengadah menatap langit yang menggelap. Rupanya bukan hanya air matanya yang jatuh, hujan seolah melindunginya dari perasaan malu. Air langit turun dengan derasnya, sehingga air matanya tersamarkan, berbaur dengan air hujan. 

"Terima kasih, Tuhan. Setidaknya ini melegakan," gumamnya sambil memejamkan mata, dia membiarkan hujan membuatnya basah kuyup tanpa berusaha menghindar mencari tempat berteduh. 

Saat dinginnya hujan menyentuh kulit putihnya, tiba-tiba saja sebuah payung menutupinya, membuatnya terkejut. Arabella mengangkat wajahnya, lalu di depannya sedang berdiri sosok pria sedang menatapnya dalam ke sepasang matanya yang basah. 

"Kau? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ara saat melihat Gavin, pria yang kemarin membantunya. Lalu kenapa dia bisa ada di sini?

"Apa kau sedang menikmati air hujan?" pria itu malah balik bertanya pada Ara. 

"Tidak. Aku hanya sedang...." Tidak mungkin Ara memberitahu pria itu kalau dia sedang menangis. 

"Tidak perlu menjawab jika tidak ingin menjawabnya. Ikutlah denganku, sepertinya keadaanmu tidak sedang baik-baik saja, Arabella." 

Apakah ini saatnya Ara menerima tawaran pria bernama Gavin itu? Tapi, dia bisa apa sekarang. Sementara ibunya membutuhkan uang itu. 

"Aku minta maaf," ucap Ara dengan suara tercekat. 

"Aku tidak ingin mendengar kata itu. Ikutlah denganku, kita bicarakan lagi semuanya." Gavin mengulurkan tangannya pada Ara. 

Ara tidak tahu, apakah dia sudah melakukan hal yang benar atau tidak? Saat ini sepertinya tidak ada pilihan untuknya menolak Gavin. Meski ragu, dia meraih tangan Gavin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status