Share

2. Selamat Tinggal Mama

"Saya permisi sebentar, Tuan," pamit Guzel beranjak berdiri sambil menarik tangan putrinya.

"Apaan, sih, Ma. Lara mau di sini saja. Bukankah Mama mau menjodohkan Lara dengan cucu dari Kakek ini? Lalu, kenapa Mama menarik tangan Lara?" protes Dilara tidak suka. Padahal dalam hatinya sedang menertawakan sang ibu.

"Ikut mama sebentar," geram Guzel sambil menggertakkan giginya.

"Ya sudah, iya," sungut Dilara ketus.

Apa pun yang terjadi, ia harus membawa putrinya ke kamar dan memperbaiki riasan wajah juga pakaiannya. Jujur, ia tidak berpikir sama sekali bahwa putrinya akan melakukan hal konyol seperti itu.

"Tunggu sebentar!" cegah Arash.

"Iya, Tuan. Apa ada yang Anda butuhkan?" tanya Guzel.

"Biarkan saja penampilan Dilara seperti ini. Sebenarnya, kedatanganku ke sini karena ingin memberitahukan bahwa pernikahan Dilara dan cucuku akan digelar tiga hari dari sekarang," jelas Arash membuat bola mata Dilara nyaris melompat keluar.

"A-apa?" Dilara begitu terkejut.

Harus menikah dengan pria yang jauh lebih tua darinya saja sudah membuatnya cukup terkejut. Apalagi ia harus menikah tiga hari mendatang. Rasanya jantung yang bersemayam di dalam tubuhnya hampir berhenti berdetak.

"Kenapa? Apa terlalu lama?" Arash bertanya seolah ia tidak tahu keterkejutan yang Dilara tunjukkan. "Kalau begitu, bagaimana kalau dua hari dari sekarang?"

Alih-alih memundurkan waktunya, pria tua itu justru semakin memajukan harinya. Ia terlihat sangat bersemangat ingin menikahkan cucunya dengan Dilara.

"Apa?!" teriak Dilara jauh lebih terkejut dari sebelumnya. Bahkan ia sampai beranjak berdiri.

"Astaga, Dilara! Apa kau sudah tidak sabar ingin menikah dengan cucuku?" Arash mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyentuh jenggot putihnya, "Baiklah kalau begitu, acara pernikahanmu dan cucuku digelar besok pagi saja," putus pria tua itu tanpa memberi Dilara kesempatan untuk berbicara.

"Be-besok?"

Mulut dan mata Dilara terbuka lebar-lebar. Seluruh tubuhnya terasa lemas seolah tidak Memiliki tulang. Hanya dalam hitungan detik, tubuhnya sudah meluruh ke sofa.

"Lara tidak salah dengar, 'kan?" tanya Dilara dengan tatapan kosong.

"Tentu saja tidak." Arash menatap Dilara dengan seringaian tipisnya, "Kalau begitu, kakek permisi pulang dulu karena harus mengurus semuanya," imbuhnya sambil beranjak berdiri.

"Tunggu!" Dilara beranjak bangun, "Tidak bisakah pernikahan ini diundur? Setidaknya, Lara harus mempersiapkan diri," lanjutnya meminta.

Jika rencananya akan kabur nanti menjelang hari pernikahan, maka ia harus mempersiapkan segalanya. Jangan sampai ia tertangkap di tengah jalan dan kembali dinikahkan.

"Sayangnya tidak bisa," tolak Arash.

Rencana awal memang akan menikahkan cucunya dengan Dilara tiga hari lagi. Akan tetapi, kesabarannya tiba-tiba hilang melihat betapa menggemaskannya Dilara saat ini. Ia yakin, cucu semata wayangnya akan menyukai gadis pilihannya.

Mendengar penolakan Arash, tubuh Dilara kembali meluruh ke sofa. Bedanya, kali ini gadis itu terlihat lebih hancur dari sebelumnya. Ia terlihat tidak memiliki semangat hidup sama sekali.

"Mari saya antar," kata Guzel sambil mengulurkan tangannya mempersilakan agar Arash berjalan lebih dulu.

Setelah sampai di depan pintu, Arash berkata, "Besok pagi, akan ada yang datang menjemput."

"Baik, Tuan," balas Guzel mengangguk.

Arash kembali melanjutkan langkahnya. Di depan sana, terlihat seorang supir terburu-buru turun dan membuka pintu mobil. Arash menoleh ke belakang sekilas dan mengangguk. Lalu, ia masuk dan mobil pun mulai menghilang dari area pelataran rumah.

Guzel menghela nafas pelan. Manik matanya menyapu setiap pot bunga yang tersusun rapi di halaman rumah. Mungkin sebentar lagi, ia sendiri yang akan menggantikan Dilara merawat bunga-bunga itu. Lalu, ia membalikkan tubuhnya hendak masuk ke dalam.

"Mama jahat. Mama sudah tidak sayang Lara lagi," ujar Dilara dingin.

Dada gadis itu bergerak naik turun dan hidungnya pun kembang kempis. Ia benar-benar kesal dengan ibunya yang sama sekali tidak mau memahami perasaannya.

"Ini demi kebaikanmu, Sayang." Guzel melangkah masuk menghampiri putrinya. Namun sayang, Dilara justru bergerak menjauh.

"Tidak. Kalau Mama sayang Lara, Mama tidak akan memaksa Lara untuk menikah," sergahnya sambil menggeleng pelan. Suaranya bergetar diiringi bulir-bulir bening yang menetes.

Andai sang ibu benar-benar menyayanginya, mungkin Dilara tidak akan dipaksa menikah. Mungkin penolakannya akan perjodohan itu akan didengar.

"Mama tidak punya pilihan lain, Lara. Ayolah, Sayang. Calon suamimu itu tampan, kaya, dan berasal dari keluarga baik-baik. Akan sulit mendapatkan pria sempurna sepertinya di luaran sana," kata Guzel membujuk.

"Ya sudah, Mama saja yang nikah sama dia. Kenapa harus Lara?" sanggah Dilara menggebu. Manik matanya membola dan memerah.

Yah. Kenapa tidak Guzel saja? Tentu saja karena yang mereka inginkan itu Dilara dan bukan Guzel.

"Mana bisa? Mama sudah tua dan dia tidak mungkin mau. Lagi pula, di sini masih ada nama Papamu." Guzel menyentuh dadanya yang masih bergetar hebat untuk mendiang suaminya.

Untuk orang kaya seperti mereka, apalagi pria itu tidak memiliki kekurangan apa pun. Tidak mungkin akan menerima janda berusia tiga puluh tujuh tahun dengan seorang putri.

"Bahkan Mama sendiri tidak mau. Pakai alasan Papa segala," sindir Dilara.

Ia tersenyum kecut melirik sinis ke arah ibunya. Lalu, berjalan meninggalkan sang ibu menuju kamar dan membanting pintu dengan keras.

"Astaga, Lara!" Guzel menatap pintu kamar putrinya frustasi. Duduk sambil memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pusing.

***

Keesokan harinya, Dilara sudah di hotel. Saat ini ia berada di sebuah ruangan. Duduk di kursi khusus pengantin dengan mengenakan gaun yang sangat indah.

"Mama pergi ke toilet sebentar ya, Sayang," izin Guzel.

Sebenarnya, ia ingin menahan rasa ingin buang air kecil karena sebentar lagi Dilara akan dipanggil menuju altar. Hanya saja, ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Perutnya sudah terasa sangat sakit jika ditahan lebih lama lagi.

"Iya, Ma," sahut Dilara singkat.

Tidak ada raut mencurigakan apa pun dari gadis cantik itu sehingga Guzel tidak menaruh rasa curiga. Ia pergi begitu saja tanpa tahu rencana besar putrinya untuk kabur.

"Ke toilet yang lama saja, Ma. Nanti setelah kembali, Lara sudah tidak ada lagi di sini," bisik Dilara dalam hati. Ia tersenyum licik sambil menatap punggung ibunya yang perlahan mulai menjauh dan menghilang.

Sesaat kemudian, Dilara beranjak bagun. Melepas sepatu dan mematahkan haknya. Lalu, ia berusaha merobek gaunnya sebatas lutut. Sayangnya, tangannya tidak sekuat itu.

"Sial!" umpatnya kesal. Sepertinya ia tidak akan berlari dengan mudah dengan gaun sepanjang itu.

Ditarik penutup kepala dan dilempar ke sembarang arah. Membuat posisi kuda-kuda dan berbisik, "Selamat tinggal, Mama." Sepersekian detik kemudian, ia melangkah keluar.

Gadis itu berjalan mengendap-endap dengan manik mata yang bergerak ke sana kemari. Ketika ada orang yang melintas, ia bersikap biasa agar tidak ketahuan.

"Maaf. Bukankah Nona calon mempelai?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status