LOGINPernikahan antara Arthur Kailash dan Alena Caitlyna Meijer telah dilaksanakan. Kini, Alena adalah istri sah dari sang Dewa Iblis. Sejak saat itu juga, Alena telah berpisah dengan keluarganya di Kerajaan Romana.
Dia saat ini berada di Istana, yang Arthur berikan kepadanya dengan nama Mansion Athlana. Istana ini dibangun dengan sembilan puluh sembilan persen material emas murni. Mutiara begitu banyak di mana-mana. Ornamen permata warna-warni juga tergantung apik di sisi-sisi lampu istana. Sangat indah, membuat Alena takjub. Padahal, Alena belum memasuki istana itu, namun rasanya kemewahan sudah terasa sangat pekat. Arthur Kailash mempersiapkan Istana yang begitu megah itu, memang khusus untuk tempat tinggal Alena. Bagaimanapun juga, perempuan itu sudah menjadi istrinya. Meski dikenal sebagai Dewa Iblis yang kejam dan bengis di dunia perang, namun faktanya Arthur adalah orang yang menghormati perempuan. Karena dia terlahir dari perempuan. Fakta bahwa Alena adalah reinkarnasi darah daging Raja Surgawi musuh bebuyutannya, tidak menghalanginya untuk memperlakukan Alena dengan layak. Selagi Alena berguna dan tidak merepotkan, tentunya Arthur akan menjaga kondisinya untuk dapat memanfaatkannya dengan baik. "Tuan Putri, mari saya antarkan ke kamar," kata Alan sopan, kepada Alena. "Sebelum aku masuk kamar. Beritahu aku warna apa yang dominan di kamarku," kata Alena. Arthur melewati Alan dan Alena yang masih berdiri berbincang di depan pintu Istana. Membuat Alena memperhatikan geraknya. Alena terasa sedikit heran, bagaimana orang kejam itu bisa mempersiapkan istana seperti ini untuknya? Apakah benar, pria itu sangat menggilai kecantikannya? "Warna emas, Tuan Putri." "Astaga!" Alena terkaget, begitu juga Alan. "Maaf, Tuan Putri," kata Alan. Alena menggeleng. "Maaf, saya sedikit melamun. Apa tadi katamu?" "Warna emas, Tuan Putri." "Aku akan menunggu di sini, ubah semua warna kamarku menjadi biru. Aku suka warna biru," pinta Alena. "Apa tuan Putri, tidak mau masuk terlebih dahulu." "Tidak." "Sepertinya malam akan tiba, Tuan Putri. Di Istana ini, di luar kurang baik." "Kau ini bukannya hanya kaki tangan Arthur. Untuk apa mengaturku?" sinis Alena. "Maaf Tuan Putri, hamba tidak bermaksud. Jika begitu, hamba izin memenuhi permintaan Tuan Putri." "Segeralah." "Baik, Tuan Putri." Alena lalu berbalik badan ketika melihat Alan sudah masuk ke istana. Alena memperhatikan pemandangan. Gerbang istana ini juga terlihat kokoh. Bibirnya tersenyum ketika matanya menangkap gambar burung-burung yang sedang kejar-mengejar. Terdengar pula kicaunya yang memanjakan telinga. Langit petang menjadi pembangun suasana hangatnya pemandangan itu. Oh, alangkah indahnya. Sampai tidak terasa cukup lama Alena menunggu di depan pintu, kemudian beberapa saat, Alena tak mengaja melihat Arthur keluar dari sebuah pintu sisi samping Istana. Alena memandang Arthur dari posisinya berdiri. Dewa Iblis itu, nampak sedang menanggalkan jubahnya. Hingga terlihat perawakan asli Arthur tanpa mengenakan jubah. Alena mendadak kikuk. Pertama kalinya seumur hidup, dia melihat perawakan tubuh seorang laki-laki. Selama ini laki-laki di Romana tidak pernah berani memperlihatkan tubuhnya di depannya. Entah mengapa, ada perasaan berdesir yang dirasa menjalar di sekujur tubuhnya. Sensasi apa ini? Sampai tanpa sadar, kaki Alena bergerak. Dia mendekati Arthur yang masih sibuk dengan luka di lengan kanannya. Dan beberapa langkah ditempuh, Alena berhasil berdiri tepat di belakang Arthur. Entah naluri dari mana, tiba-tiba tangan Alena meraba tubuh Arthur. Akurasi ketegangan dua mahluk berbeda kelamin itu seketika memuncak. Sama-sama terkena perasaan berdesir yang tak jelas dari mana asalnya. Seketika, Arthur memutar balikkan badannya cepat dan sigap menangkap tangan Alena yang semula meraba tubuhnya. "Tuan putri Alena, ingatlah martabatmu sebagai perempuan yang sangat cantik. Apa sekarang kau mencoba merayu seorang Dewa Iblis?" Demam tinggi. Itulah yang terjadi di tubuh Alena setelah kejadian tidak sengaja yang dia lakukan di depan pintu Istana Athlana. Tidak tahu, apa penyebabnya demam, tapi Arthur tidak mau jika Alena mati sebelum dia dapat memanfaatkannya. "Ini sup demamnya, Tuan." Alan datang membawakan mangkuk bubur itu, menyerahkannya kepada Arthur yang berdiri mematung di samping ranjang Alena. "Kau suapkan," suruh Arthur singkat. "Apa tuan tidak apa-apa." "Memangnya kenapa?" Arthur bertanya heran kepada Alan. Alan menggeleng. "Baik tuan, saya suapkan." Arthur mendesis. Ia sampai lupa, bahwa lengan kanannya belum sempat dia obati. Di peperangan melawan Raja Romana, Arthur terkena tebas pedang kuno milik Raja Antonio. Siapa sangka, pedang berkarat itu malah membuat luka untuknya yang tak kunjung sembuh. "Tuan, saya sudah suapkan. Tuan bisa pantau keadaan Tuan Putri. Saya tidak boleh memantau berdua saja, Tuan. Karena itu tidak sesuai etika dari Putri Kailash." Arthur menghela napasnya. "Kapan kau bertemu ibu?" "Hamba tidak bertemu. Tetapi Putri Kailash pernah berkata sebelum kita mulai berkelana, Tuan." "Terserah saja." Alan terkekeh. "Semoga tuan menikmati." Arthur memandang Alan yang melipir keluar dari kamar Alena. Aneh memandang kaki-tangannya itu. Di sisi lain, ia melihat Alena yang masih tertidur. Heran juga, kenapa perempuan itu tiba-tiba demam hanya karena beberapa kalimatnya saja. "Aku akan membunuhmu Dewa Iblis!" Tiba-tiba Alena menggeliat sambil menggertak, kedua tangannya bergerak membentuk salah satu pola pukulan bela diri. Arthur menaikkan sebelah alisnya. "Apa yang dia lakukan? Berkata di tengah tidur?" Tindakan selanjutnya, Arthur melihat air mata Alena keluar. Pola tangan Alena melemas, tangannya beralih mencengkeram pipinya sendiri. Dengan terisak Alena berkata,"Ayah, Alena belum siap menikah." Arthur memandang Alena lamat-lamat. "Lumayan kasihan juga." "Segeralah bermanfaat untukku jika kau ingin bebas dariku," katanya sambil menatap tajam pada Alena yang masih memejamkan mata. ***** "Bertodo. Kau tidak tahu malu sekali." Penguasa Matahari itu tertawa renyah. "Jangan begitu Kailash. Aku merindukanmu." Putri Kailash. Ibu kandung Arthur, keluar dari pusaran angin yang bergemuruh di Kastil Perbatasan Dunia Iblis. Penampilannya begitu anggun, gaun yang dia kenakan memiliki dominan warna merah gelap dengan bercak api kecil di sekeliling tubuhnya selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi Raja Bertodo. "Bukankah Kerajaan Surgawi masih membenci aku dan putraku. Apa kau tidak takut diusir juga karena menemuiku? Handryc pasti tidak akan tinggal diam," tanya Kailash langsung pada intinya. "Aku juga Putra kandung Raja Abadi 11 Alam Semesta. Benci atau tidak selain ayah, tidak ada yang bisa mengusirku." "Aku tidak yakin, dia diam saja melihatmu berurusan denganku." "Sudah cukup Kailash. Aku bersengketa dengannya semenjak kau dan Arthur dipaksa turun ke Bumi. Dan sekarang kupastikan dia tidak bisa mencampuri urusan hubunganku denganmu. Lagipula, matahari masih setia kepadaku, jadi lupakan saja soal Handryc." Kailash menyunggingkan senyum indahnya. "Aku tahu kau tidak hanya sebatas mengucapkan kalimat rindu. Tapi kau punya maksud terselubung hingga susah payah membakar energi datang kemari." Raja bertodo membalas senyuman indah Putri Kailash. Dia menatap jua Putri Kailash dengan penuh cinta kasih. "Kamu memang paling tahu aku." "Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu Bertodo?" Raja Bertodo menurunkan senyumnya. Mimiknya berubah menjadi serius. "Aku memperhatikan Arthur, belakangan ini dia bertindak jauh. Dan aku tidak bisa mendekatinya karena Handryc bisa langsung membakar kertas jiwanya yang masih kulindungi diam-diam. Jika aku berada di dekat Arthur, kertas jiwa ini bisa ketahuan, dan Handryc pasti akan menyusahkanku dengan itu." "Lalu, apa rencanamu?" "Kailash, aku masih mencari cara agar kau dan Arthur bisa diterima oleh Kerajaan Surgawi. Jadi, aku minta tolong kepadamu. Temui anak kita dari dekat. Beritahu dia hal-hal yang selama ini masih kita rahasiakan. Aku tidak ingin dia salah langkah sehingga menjauhkanku dari kesempatan untuk menyatukan kita di Kerajaan Surgawi." "Apa yang bisa kulakukan jika aku berada di dekat Arthur?" "Yang dia nikahi adalah reinkarnasi Putri ke-11 Handryc, anaknya bersama Ruby yang sirna akibat sinar kegelapan iblis. Dia sudah terlahir kembali dalam wujud manusia. Kini, dia menjadi anak dari teman lamamu Kailash. Dan kau tahu, anak itu adalah anak yang paling dirindukan Kerajaan Surgawi. Arthur belum tahu masalah politik di Kerajaan Surgawi. Jadi, tolong kau bantu dia, agar tidak membuat kertas jiwa Putri ke-11 secara otomatis menghukumnya. Hal itu sangat berbahaya." "Jika itu yang kau pikirkan dan aku bisa membantu, tentu saja akan kulakukan Bertodo." Raja Bertodo menghela napas legah. "Kalau begitu, aku serahkan Arthur kepadamu. Kau adalah ibu kandungnya. Jangan biarkan dia salah melangkah." "Percayakan saja padaku. Aku tidak akan mengecewakanmu Bertodo." "Terima kasih banyak Putri Kailash."Sedang, di Kerajaan Surgawi, Handryc sudah menyadari bahwa putrinya ternyata hidup dalam tubuh reinkarnasi dari Putri Rosey dan Madrw Antonio di Kerajaan Romana. "Ragna, cepat bawakan utusan Kerajaan. Untuk melindungi Hutan Romana dengan baik. Jangan biarkan, Cathryna terluka di sana," titah Raja, pada Kasim Kerajaan Surgawi. Kasim bernama Ragna itu membungkuk, "hormat Yang Mulia Raja. Tetapi, saat ini Tubuh Reinkarnasi Cathryna tidak berada di sana," terang kasim Ragna. Lantas, Handryc berdiri dari singgasana emasnya, "apa surat dari Tamtama itu benar? Bahwa, putrikj menikah dengan anaknya Bertodo?" tanyanya dengan wajah tanpa ekspresi. Ragna mengangguk, dia menegakkan tubuhnya yang semula terduduk bersimpuh, "benar Yang Mulia. Untuk kabar terbaru, hamba belum mendapatkan informasi lagi. Apakah, Yang Mulia Raja berkehendak untuk mendatangi bumi?" Handryc terdiam. Dia merenungkan beberapa ingatan masalalu, yang membawanya pada masa itu. Saat, pertama kali melihat wujud
Arthur mendatangi penjara di bawah tanahnya. Dua orang terdiam di sana. Sangat terlihat begitu jelas bagaimana keadaan mereka. Sempat iba, tapi dia buang perasaan itu dengan seketika. Kedatangannya pun, tampak mengundang atensi orang yang ada di dalam penjara. Salah satunya Alena, dia masih tertunduk tanpa bergerak sama sekali. Fokus melihat pada jeruji rantainya. Walaupun memang, dia mendengar bahwa Dewa Iblis itu datang. Enggan rasanya untuk melihat. Karena penganiayaan darinya, masih teringat jelas di kepala Alena. "Tuan Arthur, apa kau baik-baik saja?" Suara Alan mengudara, pertama kali ketika ruangan itu sudah berisi tiga orang. "Kau tidak berhak bertanya ataupun berbicara," balas Arthur, akan suara Alan yang menyapa. Alan menoleh sebentar, "ergh," erangnya, karena merasakan rantai itu melukai kulit di lehernya, "hamba benar-benar mengkhawatirkan keadaan Tuan. Sudah lama hamba tak mendampingi Tuan. Tidak tahu apa yang dilakukan oleh Tuan selama hamba tidak mendampingi." A
Alan terkekeh, "tidak apa, Tuan Putri. Hamba mengerti mengapa Tuan Putri mengakuinya." Alena terdiam. Dia melihat kembali pada rantai yang mengikat di tubuhnya. Lalu, terbayang akan segala kejadian silam. Saat dirinya pertama kali bertemu Arthur. Laki-laki yang disebut Dewa Iblis itu tampak samar dan belum Alena ketahui. Namun, sekarang Alena benar-benar mengetahui siapa lelaki itu. Benar-benar cerminan sosok Dewa Iblis. "Sejak kapan kau menjadi pelayannya?" tanya Alena, menghalau segala pikirannya. "Sudah tiga tahun, Tuan Putri. Sejak pertama kali bergabung di tentara prajurit Tuan Arthur." "Tentara prajurit?" ulang Alena. "Hamba dulu sebelum menjadi tangan kanan langsung Tuan Arthur, lebih dulu bekerja sebagai prajurit." Alena mangut-mangut. Dalam pikirnya kembali mengudara. Tentara prajurit? Benar juga, saat masih di Romana banyak sekali tentara prajurit Arthur yang membuat kerusuhan. Itu yang menjadi salah satu penyebab Alena mau menyetujui pernikahan ini. Tapi,
"DIAM ALENA!" Arthur meninju dinding tempat Alena terpojokkan. Dinding itu hancur berkeping. Bersamaan dengan hati Arthur yang terluka. Bersamaan pula dengan hati Alena yang sama terlukanya. Alena memejamkan mata, akibat merasakan pusig yang mendadak menghampiri kepalanya. Perlahan-lahan, pandangannya mengabur. Terus gelap hingga dirinya kehilangan kesadaran. Setelah dinding itu hancur, Arthur memutar arah untuk mencari letak Alan. Orang yang selalu dia anggap sebagai orang terdekatnya itu, kini tengah menatapnya dengan bingung. Arthur langsung saja menyambarnya dengan hantaman tangannya. Membuat Alan lagi-lagi tersungkur jatuh tengkurap. Sudut bibirnya sudah robek, sehingga darah segar mulai menetes dari sana. Alan mendongak, "tuan. Hamba yakin kau sedang diadu-domba. Kau paling mengenal hamba, Tuan. Hamba tidak mungkin menghianatimu," terang Alan mencoba untuk menenangkan tuannya. Namun gagal, kini Arthur sudah menerjangnya lagi. Kaki Dewa Iblis itu menendang kepala
Arthur yang sudah dikuasai oleh kemarahannya tak lagi dapat membendung niat untuk segera kembali ke Athlana. "Kurang ajar kau Alan! Berani-beraninya kau menghianatiku!" rutuk Arthur dari dalam hatinya. DIa segera pergi dari rumah penyihir itu. Tidak memperdulikan Arlin yang berteriak memanggilnya. Bagaimana bisa? Alan melakukan hal ini kepadanya? Dia? Kaki tangan ter-ahlinya? Sudah menusuknya dari belakang? Dari hasil ramalan Audygta, Arthur melihat di meja ramal. Terlihat jelas Alan dan Alena sedang berhubungan badan. Mengakibatkan jantung Arthur tertohok begitu dalam. Dia tidak menyangka, Alan akan melakukan hal seperti ini padanya, setelah selama ini mereka beriringan dalam berbagai misi. Rasanya sakit. Apalagi, jika itu perihal Alena. "Alena?" "Kenapa kau melakukan ini padaku di saat aku mulai mencintaimu?" "Kenapa kau benar-benar berselingkuh dengan Alan?" Langkah kakinya kemudian semakin tegap. Sekarang, kalut di pikirannya semakin penuh. Semua terisi atas k
Di belahan Dunia Iblis, kini Arthur masih bersama Arlin. Belum usai teka-teki dari Arlin untuk membuat Arthur mendapatkan jawabannya. Arlin malah terus mengulur waktu. Hingga hari ini, Arthur sama sekali belum bertemu peramal itu. Merasa konyol dengan kegiatan di rumah Arlin ini, mulai membuat Arthur jengah. "ARLIN!" teriak Arthur memanggil wanita itu. Dengan tergopoh, Arlin mendatangi, "ada apa, Arthur kenapa berteriak?" "Sudah cukup kau mengulur waktuku?" tajam Arthur, "cepat sekarang pertemukan aku dengan peramal yang kau katakan!" Arlin merendahkan diri, terduduk bersandar pada kaki Arthut, "tunggulah dulu, Arthur,' katanya melembut, "kau sudah berjanji untuk menemui anak kita dulu. Dia sedang perjalanan kemari, setelah itu aku benar-benar akan membawamu pada peramal itu." Arthur menyibak tubuh Arlin yang bersandar di kakinya, "aku tidak peduli! Cepat pertemukan aku, atau aku akan membuka dinding persembunyian tongkat Raff dan Alan bisa menemukanku. Lebih baik aku memer







