"Kenapa kita harus menjalani hubungan seperti ini?" Aira menatap Hiro dengan pandangan nelangsa. Sejujurnya, dia tidak ingin terjebak dengan kedua pria ini. Terlebih, demi uang dia sampai mengorbankan Hiro yang tidak tahu apa-apa.Melihat wajah Aira yang begitu tertekan, Hiro segeda memeluknya. Dadanya yang bidang segera menyembunyikan wajah wanita berbadan mungil itu, tenggelam seluruhnya."Ayo keluar. Sepertinya kamu butuh udara segar!"Belum sempat Aira menjawab, tubuhnya lebih dulu melayang di udara. Hiro menggendongnya ke beranda dan mendudukkannya di atas kursi sofa yang ada di sana.Sepersekian detik Aira membenahi posisinya, termasuk menetralkan napasnya yang sempat tersekat. Jangan lupakan detak jantungnya yang sempat berhenti berdegup sementara. Bagaimanapun juga, dia bisa mencium parfum yang menempel di leher suami ke duanya."Dia pergi." Aira membuka percakapan, mengeratkan cengkeramannya pada ujung baju oversize yang dikenakannya. Tatapannya melangla
Bel kembali berbunyi, menandakan kalau si pengantar barang tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Masih ada banyak pesanan yang harus sampai ke tangan costumer tepat waktu atau mereka akan mendapat komplain.Perlahan Aira membuka pintu di hadapannya. Awalnya dia hanya sekadar melongok, tidak benar-benar membukanya lebar-lebar. Itu yang disarankan untuk mengurangi tingkat kriminalitas di kota besar ini. Jika yang datang adalah penjahat ataupun semacamnya, setidaknya masih ada waktu untuk menutup pintu dan membatasi diri dengan mereka."Dengan Nona Aira?" Pria dengan pakaian serba merah itu mengkonfirmasi tuan rumah yang ditemuinya dengan membacakan alamat yang ada di ponselnya. Sudah menjadi standard operational procedure atau SOP bagi mereka, para kurir pengantar barang, untuk menanyakan identitas sebelum menyerahkan barangnya. Terlebih, benda di tangannya itu bernilai jutaan yen."Benar, saya sendiri.""Ada paket untuk Anda."Buru-buru wanita itu membuka pint
"Love?"Panggilan lirih dari Hiro berhasil membuat Aira mengangkat wajahnya. Bekas air mata masih tampak membasahi pipinya, baru terhapus setelah Hiro menyeka dengan ibu jari yang terasa begitu hangat.Senyum yang terukir di wajah tampan pria ini berhasil menyita atensi Aira. Meski sedu sedan tangisnya masih tersisa satu dua. Namun, kehadiran Hiro yang terus memeluknya selama menangis tadi, seolah memberikan kekuatan yang amat sangat berarti."Sudah merasa lebih baik?" Hiro kembali bersuara, bertanya dengan nada lembut. Satu tangannya naik, mengusap puncak kepala wanita yang amat sangat disayanginya, sedangkan tangan lain masih bersemayam di wajah sebelah kanan Aira. Tetap mengelusnya.Aira mengangguk lemah, sudah bisa mengendalikan perasaannya.Perlahan namun pasti, Hiro membimbing Aira untuk meninggalkan lantai tempatnya bersimpuh. Mereka duduk di atas kursi sofa yang ada di ruang tengah, menghadap televisi layar datar berukuran super besar yang kini tampak gelap seluruhnya.Hingga
"Selamat malam, Love," sapa Hiro begitu melihat wanita di hadapannya membuka mata.Mengerjap dua kali, Aira berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. Lampu berbentuk lingkaran yang tertanam di atas sana begitu menyilaukan. Mau tak mau dia harus memejamkan matanya lagi, mengambil napas dalam setelahnya. Aroma lavender terasa menenangkan, membuatnya nyaman."Ah, tunggu sebentar."Tanpa diminta, Hiro bergegas meraih remote di atas laci dan menekan salah satu tombol mungil yang ada di sana. Detik berikutnya, lampu neon padam dan membuat Aira bisa membuka matanya lebih lebar.Dibandingkan Ken yang suka memerintah, tentu saja Hiro amat sangat berbeda. Pria ini lebih pengertian, juga bisa memperlakukan wanita layaknya manusia. Perlahan, Aira semakin jatuh hati pada semua perhatian suami keduanya. Dia luluh melihat senyumnya yang tulus."Maaf membuatmu kelelahan." Sebuah kecupan mendarat di kening Aira, membuat matanya terbuka sempurna."Apa kau lapar?"Aira tak menjawab, menatap pria
"Senang membuat orang lain khawatir, heh?!" pertanyaan ketus segera terdengar begitu Aira membuka kelopak mata. Penglihatannya masih agak buram, juga kepala yang terasa berat.Aroma cairan antiseptik tercium samar, membuatnya segera tahu di mana dirinya berada. Dinding putih bersih dengan tiang infus di sebelah kanan tubuhnya mengonfirmasikan dugaannya. Ah, tentu dirinya ada di rumah sakit. Dia kehilangan kesadaran setelah menghubungi Kosuke, asisten pribadi suaminya.Aira mengambil napas dalam-dalam sebelum coba membuka mata untuk ke dua kalinya. Sosok pria duduk di atas kursi roda menjadi satu-satunya manusia yang tertangkap indra penglihatannya. Tidak ada dokter, perawat, ataupun yang lainnya. Termasuk tidak terlihat sosok pria yang dengan ramah mematikan lampu utama ruangan saat dia merasa silau.Gerakan kepala Aira yang menoleh ke kanan kiri tentu saja tertangkap oleh mata Hiro. Sebuah senyum miring terukir di separuh wajah. Sisanya masih tersembunyi topeng hitam yang menambah ke
“Ayolah, Ken. Berhenti bermain-main. Aku tahu kamu ingin melihat kesungguhan istrimu, tapi bukan berarti dengan menindasnya semacam itu. Kondisi fisiknya berbeda dengan wanita lain. Dia sedikit lebih lemah.” Suara Kaori terdengar tidak sabaran, menatap pria yang sedang merokok di depan jendela.Ken menghela napas, coba mengendalikan emosi. Kursi roda miliknya teronggok di samping pintu, ditinggalkan begitu saja sejak beberapa menit lalu. Ah, tepatnya dihempaskan sedemikian rupa setelah sampai di ruangan pribadi milik Kaori. Tidak akan ada yang berani masuk ke sana kecuali pemiliknya sendiri. Salah satu fasilitas yang disiapkan untuk dokter yang bekerja di rumah sakit ini.Ingatan Kaori kembali ke belakang, tepatnya saat dia masih ada di ruang perawatan Aira. Tentu saja dengan Ken yang pura-pura lumpuh di atas kursi berjalannya. Dia masih menepuk-nepuk punggung Aira, merasa bersalah membuat wanita itu sampai terbatuk-batuk. Tersedak oleh air mineral yang diminumnya.“Apa pertanyaanku m
“Ai-chan, bagaimana keadaanmu?” Hirota masuk ke dalam ruang perawatan dengan wajah khawatir. Tiga puluh menit lalu, Kosuke menghubunginya dan mengatakan apa yang terjadi dengan putri angkat kesayangannya.“Kau baik-baik saja, Sayang?” Sebuah kecupan mendarat di kening Aira. Hal yang sama juga dilakukan oleh Asami, istrinya.“Maaf karena kami baru bisa menjengukmu, Nak.”Aira tersenyum, merasa begitu beruntung memiliki keluarga seperti mereka. Meskipun tidak memiliki hubungan darah, tapi mereka tetap menyayanginya seperti putri sendiri. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Sakura, kakak angkatnya, merasa kalau Aira lebih disayang oleh ayah ibu mereka.“Aku baik, Ayah, Ibu. Maaf sudah membuat kalian cemas.”Asami kembali memeluk putrinya, memerhatikan wajah bulat Aira yang masih tampak sedikit pucat. Hari ke tiga dirawat di rumah sakit setelah pingsan malam itu.“Aku akan menemui dokter, kau t
“Hati-hati, Sayang.” Asami membantu Aira turun dari mobil hitam yang membawanya kembali. Seorang asisten rumah tangga segera mendekat, mengambil alih tas yang dibawa oleh tuannya. Hirota bergegas memutari mobil dan ikut memapah Aira, membimbingnya ke beranda.“Aku bisa jalan sendiri, Ayah, Ibu.”“Tidak perlu sungkan. Kondisimu masih lemah, Sayang. Ayo.” Lagi-lagi Asami tidak membiarkan putri angkatnya mandiri. Dia ingin memanjakannya, termasuk sebagai penebus rasa bersalah karena sudah menggadaikan kebebasan gadis itu.Satu persatu anak tangga dilewati bersama. Hirota begitu posesif, seperti memperlakukan putri raja agar tidak tersandung kerikil kecil sekalipun. Aira layaknya intan permata yang amat berharga bagi keduanya.Dari lantai dua, tampak tatap mata yang iri melihatnya. Dia Sakura, putri kandung pasangan tuan dan nyonya Nagasawa. Sejak kecil dia merasa kalau kedua orang tuanya lebih menyayangi Aira, melebihi dirinya sendiri. Padahal, Asami dan Hirota berusaha adil pada keduany