Share

Bab 6 - Cemburu?

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2024-05-20 11:30:34

"Abang."

"Ehm."

"Kok, diam aja dari tadi?"

"Males ngomong."

"Kenapa?"

"Sakit gigi."

Raisa cekikikan. Aku bersedekap tangan di dada sambil mesem-mesem. "Fokus dong nyetirnya. Entar celaka!" protesku.

"Ini juga udah fokus, Abang. Kalau nggak, Abang aja, deh, yang nyetir."

"Aku nggak punya SIM. Entar ditilang."

"Bikin atuh. Besok kuanterin, ya!"

Aku mengangguk, kemudian melemparkan pandangan ke luar kaca. Dalam hati terus bertanya-tanya tentang pria tadi. Namun, aku malas untuk memulai pembicaraan mengenai dirinya.

Setelah lama terdiam akhirnya aku memecah kecanggungan sekaligus interogasi. "Tadi, kenapa pake pelukan segala sama dia?"

"Kenapa? Cemburu?" Raisa balik bertanya.

"Enggak. Cuma kesal!"

Raisa tergelak. Bahunya berguncang menahan tawa. "Andra yang meluk aku, Bang. Kan aku nggak balas meluk," ujarnya di sela-sela tawa.

"Tetap aja bikin kesel. Kamu, kan, istriku. Harusnya dia udah nggak boleh peluk-peluk!"

"Iya, deh, iya. Nanti kubilangin ke dia. Enggak boleh peluk, tapi cium pipi kanan kiri aja, ya?"

Aku memelototi Raisa yang kian mengencangkan tawa. Sepertinya dia senang membuatku tambah kesal.

Sesampainya di mal, Raisa sibuk berkeliling dari satu toko ke toko lainnya. Beberapa paper bag telah digenggamnya. Namun, sepertinya dia belum puas berbelanja.

Dia menyeretku ke toko tas ber-merk mahal. Matanya berbinar melihat berbagai model tas di etalase. Sedangkan mataku langsung kuyu melihat harga benda-benda yang dipajang.

"Tas-mu kan udah banyak, Sa," tukasku.

"Model ini belum punya, Bang," kilahnya sambil memasuki toko.

Aku menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Benar-benar harus bersabar menghadapi hobi mahal istriku.

"Empred!"

Teriakan itu!

Hanya satu orang di dunia ini yang memanggilku begitu.

Aku cepat berbalik. Sesosok perempuan berlari dan menghambur memelukku. Wangi parfum khas-nya sangat dikenal dan pernah kucintai, dulu.

Ghea melepaskan pelukan, lalu merangkum wajahku dengan kedua tangan. Dia menyentuh hidungku dengan ujung jemarinya. Hal yang selalu kami lakukan dulu, saat masih bersama hampir 2 tahun silam.

Wajah Ghea masih cantik. Rambut panjangnya dibentuk sanggul kecil ciri khas pramugari. Mata besarnya mengerjap. Mata yang pernah membuatku tenggelam di dalamnya.

"Apa kabar, Kasep?" sapanya lembut.

"Baik. Kamu?"

"Seperti biasa."

"Ke sini ngapain?"

"Lagi mau makan bareng sama teman-teman. Ikut, yuk!"

"Ehm, nggak deh."

"Kenapa? Biasanya kamu nggak pernah nolak diajak makan," tanyanya keheranan.

"Abang lagi sakit gigi!"

Ucapan seseorang dari belakang membuat kami serentak menoleh. Ghea memandangi Raisa yang justru tengah mendelikku tajam. Sedangkan aku sibuk mengamati lantai. Sangat berharap lantai tiba-tiba merekah dan menyedotku ke dalam.

***

"Cantik ya, Bang."

"Siapa?"

"Cewek tadi."

"Ooo, Ghea. Iya, dia cantik."

"Seksi pula."

"He em."

"Kok, tahu body dia seksi?"

"Ehh ...."

Aku mulai salah tingkah. Ditambah lagi Raisa tiba-tiba meminggirkan mobil di bahu jalan dan menatapku dengan tajam. Sekilas aku seperti melihat ada tanduk kecil muncul di atas kepalanya.

"Bang, jujur, deh. Apa Abang pernah lihat dia tanpa busana?" tanyanya.

"Enggak pernah," jawabku.

"Pernah tidur sama dia?"

"Enggak. Kamu ngapain nanya detail begitu?"

"Lah, itu tau bodynya seksi," cakapnya sambil merengut.

"Dia, kan, bajunya ketat terus. Kelihatanlah lekuk tubuhnya, Sa."

Selama beberapa saat suasana hening. Raisa masih merengut sambil terus mendelik dengan tatapan tajam ala Medusa. "Seksi mana, aku atau dia?"

Aku termangu. Lalu memaksa otakku berpikir cepat untuk mencari jawaban atas pertanyaannya. Saat ini aku bagaikan berhadapan dengan situasi yang sangat tidak enak. Maju berhadapan dengan singa atau mundur ke sungai yang penuh buaya.

"Sa, Abang nggak mau menjawab pertanyaanmu. Karena akhirnya semua jawaban Abang pasti akan salah," terangku sambil berusaha bersikap tenang. Padahal sebetulnya jantungku jumpalitan.

Raisa masih diam sambil mengetuk-ngetukkan jari ke setir mobil. Aku mengamatinya sembari berdoa dalam hati, agar kemarahannya bisa cepat reda.

"Sekarang kita lanjut jalan lagi, yuk! Nih, Mama udah nanyain," ajakku seraya memperlihatkan chat di ponselku.

Raisa menghela napas dan mengembuskan dengan cepat. Dia mulai menyetir lagi, tetapi dengan wajah yang tetap ditekuk. Perjalanan ke rumah orang tuaku terasa sangat panjang dan melelahkan. Terutama karena sopirnya tengah merajuk.

***

Sampai malam pun Raisa masih merajuk. Dia hanya menegur saat di rumah orang tuaku saja. Selebihnya dia akan diam dan membisu. Ditanya pun dia cuma mendelik. Atau membalas dengan satu kalimat pendek. Yakni, ehm.

Aku berpura-pura sibuk dengan ponsel di tangan, padahal mataku curi-curi pandang melihatnya yang sedang duduk di kursi dekat jendela sambil bertopang dagu.

"Sa," panggilku.

"Ehm."

"Ke luar, yuk?"

"Ehm."

"Beli martabak mau?"

"Nggak."

"Gorengan?"

"Nggak sehat!"

"Kebab?"

"Jauh."

"Hmm ... buryam?"

Raisa menoleh. "Oke."

Syukurlah, di detik-detik terakhir aku ingat makanan favoritnya. Tempat Mamang buryamnya juga masih sangat hapal. Dulu, kami sering disuruh Mami beli itu kalau aku dipaksa ngapel sama Mama. Anak SMU ngapel anak SMP. Jiahhhhh!

"Abang yang nyetir. Aku capek dari pagi jadi sopir," tuturnya, masih mempertahanksn wajah cemberut yang terlihat kecut.

Tanpa penolakan aku mengambil kunci mobil dari tangannya. Kulit kami yang sedikit bersentuhan membuat dadaku berdesir.

Tenang ganteng, habis makan buryam entar makan Raisa! (Upps)

Puluhan menit berikutnya, kami sudah berdempetan di meja sempit Mamang buryam. Kami menikmati hidangan masing-masing nyaris tanpa berbicara sedikit pun.

Raisa dengan semangat mengaduk buryamnya hingga tak berbentuk. Menyuap sesendok dan memejamkan mata sambil mengecap. No table manner!

Aku akhirnya mengajak Raisa berlomba makan sate usus dan ati ampela ayam. Aku menambah satu porsi bubur lagi untuk dibagi dua.

Ralat. Dibagi seperempat buatku. Selebihnya buat dia. Aku mengalah dengan hati yang gondok. Ditambah lagi, Raisa menyabet semua sate usus tanpa menyisakan satu pun buatku.

Seusai bersantap, kami berpamitan pada Mamang pedagang yang telah memberikan bonus banyak kerupuk. Dalam perjalanan pulang ke rumah, kami tetap tidak mengobrol apa pun. Aku fokus menyetir sedangkan Raisa serius tidur.

Iya, dia tidur. Sambil mangap pula.

Sampai di rumah, aku merasa tidak tega untuk membangunnya yang tertidur pulas. Akhirnya aku berinisiatif untuk menggendongnya.

"Lho, Raisa kenapa? Pingsan?" tanya Mami mertua yang keheranan.

"Tidur, Mi. Mau dibangunin kasihan. Pulas banget," jelasku.

Aku bergegas jalan menuju kamar kami yang terletak di sebelah ruang keluarga. Mami membantu membukakan pintu kamar.

"Kebiasaan, deh. Suka ketiduran di jalan kalau kekenyangan," tutur Mami, sambil mengelus rambut Raisa dengan penuh rasa sayang.

Mami menutupi tubuh Raisa dengan selimut, lalu mengecup pipinya dengan lembut. Mami menegakkan badan, lalu memandangiku. "Kamu udah mau tidur, Bang?" tanyanya.

"Belum, Mi."

"Ikut Mami, ya. Ada yang mau Mami omongin sama kamu."

Aku mengangguk. Lalu berdiri dan mengikuti langkah beliau ke ruang tamu. Kemudian kami duduk berseberangan sambil saling menatap.

"Mami tahu kalian tidak saling mencintai, Bang. Namun, Mami sangat berharap kamu bisa menjaga Raisa dengan baik. Sayangi dia. Puji dia walaupun masakannya masih kacau rasanya. Sambil dikoreksi tentunya."

"Tegur dia bila salah, karena itu sudah menjadi tugasmu sekarang. Kami hanya memantau dari jauh," tambah Mami. Mata sipitnya tiba-tiba berembun.

Aku bergerak cepat mengulurkan tisu. Mami menyeka air matanya yang mulai menetes dan membasahi wajahnya yang nyaris serupa dengan sang putri tidur. Mungkin kalau beranjak tua nantinya wajah Raisa akan seperti Mami.

"Iya, Mi. InsyaAllah, Abang akan berusaha menjaga Raisa dengan baik. Mendidiknya agar lebih mandiri. Jangan sungkan untuk menegur kami, ya, Mi. Enggak apa-apa. Abang ikhlas," jawabku.

"Syukurlah, Mami doakan kalian selalu rukun dan bahagia."

"Aamin, hatur nuhun. Doa yang sama juga buat Mami dan Papi."

Mami tersenyum. Sorot matanya tiba-tiba berubah sedikit jahil. "Udah sukses belum buka segelnya?"

Aku tertunduk malu. Ingin tertawa, tetapi ditahan. Akhirnya, aku cuma mengangguk sambil cengengesan, lalu menggaruk-garuk belakang kepala.

"Asik! Semoga Raisa bisa segera hamil. Mami udah nggak sabar pengen nimang cucu." Mami mengikik pelan. Mengingatkanku dengan sifat putrinya yang periang, dan juga sama cerewetnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 50 - Until Jannah

    50Jalinan waktu terus bergulir. Tepat dua minggu setelah Byantara lahir, aku dan Raisa mengadakan acara akikahan di kediaman Papi. Pada awalnya, kupikir acaranya akan sederhana. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Papi mengadakan pesta mewah, yang pastinya sebagian besar dananya berasal dari dompet beliau.Aku bukan tidak sanggup mengadakan akikahan mewah seperti ini, tetapi aku harus menghemat biaya. Terutama karena sampai dua bulan ke depan akan ada dua dapur yang harus diisi. Yaitu, dapur Bandung dan Jakarta. Beberapa saat sebelum pengajian dimulai, aku dipanggil Amran yang berada di teras depan. Aku menyambanginya dan seketika terkejut melihat banyak teman-teman dari PC yang datang. Bahkan beberapa bos PG turut hadir bersama keluarga masing-masing. Aku bergegas jalan menuju depan rumah, kemudian menyalami semua tamu. Kemudian aku mempersilakan mereka memasuki ruang tamu dan ruang tengah. Para istri bos menghampiri Raisa dan memeluknya sembari beradu pipi. Mereka sempat ber

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 49 - Byantara Devananta

    49Seunit motor polisi dengan sirine khas, menjadi pembuka jalan konvoi beberapa kendaraan roda dua dan empat, yang keluar dari area bandara menuju jalan raya utama Kota Bandung.Bang Zein dan kedua staf HWZ memacu motor besar mereka di belakang motor polisi. Aku memandangi mereka dari kursi depan mobil pertama, sembari mengucap syukur dalam hati, karena memiliki para sahabat yang setia kawan.Aku benar-benar takjub dengan kesigapan mereka yang menyambutku dan teman-teman, dengan protokoler yang biasanya dilakukan pada pejabat. Kendatipun sedikit malu, karena aku jadi penyebab para pengguna jalan lainnya menggerutu, tetapi aku tetap bersyukur, sebab dengan terbukanya jalan ini, konvoi kami tidak terjebak kemacetan.Seno mengemudikan mobil operasional kantor dengan kecepatan tinggi. Di belakang, dua unit mobil operasional PBK menyusul dengan jarak dekat. Bang Zulfi yang berada di kursi tengah, sedang bercakap-cakap dengan Bang Wirya yang berada di Jakarta, melalui sambungan telepon.

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 48 - Kamu Akan Selalu Ditemani

    48Beberapa hari menjelajahi Malang, ternyata aku sangat menyukai kota ini. Udaranya yang cukup sejuk, menjadikanku teringat akan Bandung di masa lampau. Saat aku kecil, Bandung masih dingin. Keluar untuk berangkat ke sekolah masih banyak embun menggantung di pepohonan. Sekarang, kota kelahiranku sudah panas. Sebab telah banyak pohon dan hutan yang dibabat buat dijadikan tempat bisnis. Jangankan Bandung, Lembang yang dulu dinginnya bikin beku, sekarang biasa-biasa saja. Hanya beberapa daerah di sekitar Jawa Barat yang udaranya masih dingin. Contohnya, Pangalengan, Ciwidey, Cijeruk di Bogor, dan tempat-tempat yang posisi tanahnya tinggi di perbukitan. Lainnya, sih, sama saja dengan Bandung, hareudang, dang, dang, dang, dut. Setelah 3 hari berjibaku di tempat proyek, pagi ini aku dan tim berwisata keliling kota. Tadinya, Bang Yoga mengusulkan ke Bromo, tetapi ditolak yang lainnya dengan alasan capai. Aku pun sama. Di tempat proyek yang jalanannya belum rata, ditambah lokasinya di p

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 47 - Double and Triple

    47Hari yang dinantikan Bayu dan Esti, akhirnya tiba. Pagi ini, aku dan keluarga serta kerabat Bayu, mengantarkan papanya Evan ke kediaman orang tua Esti.Suasana akad nikah yang semula tegang, seketika berubah tenang seusai kalimat kabul diucapkan Bayu dalam satu tarikan napas. Aku yang turut tegang sejak tadi, akhirnya bisa menghela napas lega. Aku melirik Raisa yang terlihat serius mengamati pasangan pengantin yang tengah berbincang dengan penghulu. Aku mengulurkan tangan kanan untuk menggenggam jemari Raisa yang seketika menoleh. Aku mengukir senyuman yang dibalasnya dengan hal serupa. Semua runutan acara adat Sunda digelar dengan khidmat. Aku terharu ketika Evan memeluk dan menciumi Esti yang sudah sah menjadi Ibu sambungnya. Isakan lirih terdengar dari semua sudut tempat perhelatan digelar. Begitu pula dengan Raisa. Dia berulang kali mengusap matanya yang basah dengan tisu. Demikian juga dengan Mama, Mami dan Neyla. Geng cengeng. Acara saweran menjadi hal yang paling ditung

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 46 - Perisai Keluarga

    46Perjalanan menjelajahi 2 provinsi dalam waktu 5 hari, ternyata sangat melelahkan. Terutama karena tempat yang didatangi merupakan area proyek, bukan tempat wisata ataupun pusat perbelanjaan. Hari terakhir berada di Jambi, pagi-pagi sekali aku dan teman-teman telah jalan memutari area sekitar hotel. Rencana awal, sih, cuma joging Namun, akhirnya kami berhenti untuk menikmati hidangan sarapan khas daerah, di rumah makan yang disarankan pemandu wisata.Dua staf proyek yang merupakan warga lokal, tampak antusias memperkenalkan berbagai panganan khas. Aku menyicipi nasi gemuk dan mi celor. Kemudian aku mencoba menyuap tempoyak yang disarankan Bang Zein untuk dicicipi. "Rasanya unik," tuturku. "Bau durian lumayan kuat," tambahku. "Ya, tempoyak memang dari fermentasi durian," terang Bang Zein. "Ini makanan khas Melayu. Semua daerah yang banyak suku Melayu-nya, pasti punya olahan serupa ini," jelasnya. "Abang orang Melayu juga, kan?" "Hu um. Aku lahir di Pontianak. SMP di Sambas. SMA

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 45 - 5 Bahasa

    45Matahari pagi baru muncul ketika dua unit mobil melaju dari kediaman orang tuaku. Papa yang memaksa untuk menyetir, berulang kali bersenandung mengikuti irama lagu dari alat pemutar musik.Mama menimpali bernyanyi dengan suara yang cukup merdu. Aku, Raisa, Amran dan Neyla saking melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Kendatipun lagu yang diputar adalah lagu-lagu zaman baheula, kami tidak berani memprotes dan membiarkan kedua orang tua bernostalgia dengan musik saat-saat mereka tengah pacaran, dulu. Di belakang, mobil yang dikemudikan Seno,, mengekor dengan jarak dekat. Mungkin dia takut ketinggalan, karena sopir mobilku adalah mantan pembalap bom-bom car. Tiba di perempatan jalan, seunit mobil MPV hitam bergabung. Aku memicingkan mata saat seseorang melambai dari pintu pengemudi, karena tidak mungkin tangan Papi seputih itu. "Yang jadi sopir, siapa itu?" tanyaku sambil menunjuk mobil terdepan. "Kayaknya itu Pingkan," sahut Raisa. "Gelangnya aku ingat banget, karena beli

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status