Share

Bab 2

last update Last Updated: 2024-09-20 21:35:21

“Non Alea sudah bangun?” Suara Bik Titin membuatku tersadar bahwa semua itu hanyalah mimpi. 

Perempuan setengah baya itu memang selalu datang di pagi hari dan pulang di sore hari. Ia satu-satunya orang yang kami andalkan membantu kami membereskan pekerjaan rumah semenjak mama pergi. 

“Mimpi apa sih Non, kok sampe teriak histeris gitu?” tanya Bik Titin mengkepo sementara tangannya sibuk merapikan tirai yang baru saja dibukanya. 

“Mimpi digigit macan ompong, Bik,” sahutku kesal. 

“Eh, macan ompong,” timpal Bik Titin sambil tertawa, “geli dong, Non. Diemut namanya, bukan digigit.” 

“Nggak tahu lah!” teriakku dari dalam kamar mandi. 

Tiba-tiba saja tercetus beragam ide di benakku. Bagaimana seandainya Bik Titin menggantikan aku untuk menikahi pria itu? 

Atau …. Bagaimana kalau aku kabur dari rumah? Mungkin papa akan membatalkan perjodohan itu. Lagipula aku bisa tinggal sementara di rumah Vena sampai papa nggak marah lagi. 

Ah! Sepertinya hanya ini hal yang paling masuk akal. 

Pagi itu sengaja aku mempercepat persiapanku untuk berangkat ke sekolah. Bahkan aku sengaja tidak menghampiri meja makan untuk sekedar sarapan pagi. Tentu saja karena aku tidak ingin terlibat perdebatan yang pasti akan menghancurkan mood ku seharian ini. 

“Non Lea nggak sarapan dulu, Non?” panggil Bik Titin saat aku hendak membuka pintu. 

“Nggak keburu, Bik. Ada yang harus Lea kerjain di sekolah,” sahutku sembari langsung keluar dari pintu. Ku starter motor matic ku cepat-cepat karena tak ingin terlibat pembicaraan lebih panjang lagi. 

“Tapi Non, Bibik sudah siapkan nasi goreng cumi hitam kesukaan Non Lea,” lanjut Bik Titin sembari menyembulkan kepalanya dari jendela ruang tamu. 

Aku tak menjawabnya. Hanya lambaian tangan yang kuberikan pada perempuan setengah baya itu sembari berlalu begitu saja. 

Jalanan masih sangat lengang saat aku meluncur dari rumahku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk tiba di sekolah. Hanya terlihat beberapa siswa dan guru yang sudah tiba lebih awal dariku. Dan gadis berkacamata yang sangat kukenal. Tirza!

“Gimana? Tugasku udah kamu selesaiin, kan?” tanyaku langsung pada tujuan. 

“Aih … maap, sori, gomenasai,” ucapnya dalam aneka bahasa yang diketahuinya, “aku nggak tahu kalo itu tugas matematika. Aku nggak pinter matematika, Lea. Kalo aku kerjain, sama aja aku ngancurin nilai formatif kamu.”

“Astaga, Tirza. Apa bedanya? Kalo kamu nggak kerjain, sama aja aku nggak dapat nilai,” sahutku. Lututku terasa lemas seketika. 

“Ini buku kamu. Mending kamu contek aja punya teman sekelas kamu sekarang,” lanjut Tirza sambil menyerahkan buku matematika minat yang kemarin ku selipkan uang kertas berwarna biru. Gadis itu menatap arloji di pergelangan tangannya, “masih sisa lima belas menit sebelum bel. Buruan!”

Aku menarik bukuku dengan kasar. Tentu saja karena aku merasa sangat kesal. Bagaimana bisa aku mengerjakan sepuluh soal matematika berikut jalan hitungnya dalam waktu lima belas menit. 

Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Seandainya moodku semalam tidak rusak gara-gara perjodohan konyol itu, mungkin aku masih bisa mengerjakan soal-soal itu di kertas kosong. 

“Syukurlah kamu dah datang, Ven.”

“Kenapa?”

“Tirza nggak bisa matematika!”

“Lah kamu … anak Sos disuruh kerjain tugasnya anak MIPA,” sahutnya sambil tertawa terkekeh. Gadis itu mengeluarkan buku bersampul kertas warna hijau, sampul yang ditentukan oleh Pak Jonathan untuk mata pelajarannya. 

“Iya … iya. Nggak lagi-lagi deh,” sahutku sambil membuka buku itu untuk menyalin isinya ke dalam bukuku. 

Tapi baru tiga nomor berhasil kusalin, tiba-tiba Vena menarik bukunya. Aku langsung menoleh, memperlihatkan raut kesalku padanya. “Belum selesai, Markonah. Mana –”

Namun ketika aku melihat sosok yang berdiri di sampingnya, aku pun segera menarik sudut bibirku. “Eh … Pak Jonathan. Selamat pagi, Pak.” 

Lelaki itu terlihat menatap buku yang ada di depanku. Buku yang masih bertuliskan tiga nomer pertama tugas yang diberikannya itu justru membuat perasaanku tak enak. 

“Alea, bawa tugas kamu dan ikut ke ruangan saya sekarang!” perintahnya dengan suaranya yang tegas. 

Ya ampun! Rasanya seperti udah jatuh ketimpa tangga. Seperti keluar dari liang ular, masuk ke goa simba. Mimpi apa aku semalam. Euh … apa arti mimpi nikah sama aki-aki itu sama dengan diterkam simba, ya?

“Bapak sudah nggak tau lagi harus bilang apa,” ucap laki-laki itu setelah kami sampai di ruangannya. Ia mengatupkan kedua tangannya di atas meja dan menatapku dengan tajam, setajam silet.

“Nggak usah bilang, Pak!” batinku dengan perasaan kesal. 

“Kamu tahu gunanya tugas yang Bapak berikan?” 

“Tahu. Buat ambil nilai formatif,” sahutku dengan polosnya.

“Bukan cuman itu. Tugas itu buat latihan kamu, biar nanti waktu ujian nggak ada kesulitan,” tuturnya. 

“Ooooh ….” ucapku spontan, “jadi nggak masuk nilai, ya Pak?” 

“Masuk nilai. Dan kamu nggak dapat nilai kali ini.” 

“Yaaah …. Jangan gitu, dong Pak,” rayuku, “masa sih Bapak mau bikin nama sekolah ini jelek karena siswanya ada yang nggak lulus?” 

“Bapak nggak peduli, nggak mau terima komplain apalagi dari siswa yang nggak tertib seperti kamu, Alea Putri Harya Wenang.”

Aku melihat keseriusan dari nada suaranya. Lebih daripada biasanya, lebih daripada tegurannya pada siswa yang membolos atau bahkan mencorat-coret tembok sekolah. Nada suara itu menekan pada nama panjangku seakan penuh kebencian. Bahkan aku bisa merasakan aura tak bersahabatnya lebih daripada biasanya.

“Sebagai guru kesiswaan sekolah ini, Bapak tidak akan mentolerir hal-hal seperti ini. Dan satu hal yang perlu kamu ingat, kemalasan adalah jalan awal menuju kehancuran. Tidak masalah jika satu siswa tidak lulus di tahun ini, jika itu bakal menjadi cemeti bagimu untuk bangkit dan maju,” ucapnya lagi, “entah jadi apa pemalas sepertimu jika tetap diluluskan nantinya.”

Aku mengatupkan rahangku. Rasa malu, kesal, gelisah dan marah bercampur aduk menjadi satu. Seandainya saja dia bukan guruku, mungkin saja aku akan memprotesnya dengan keras. Kenapa dia bisa sekasar itu kepadaku?

Cukup Pak! Apa Bapak cuma bisa marah tanpa menyelidiki alasanku tidak mengerjakan tugas itu? Kenapa Bapak cuma bisa menuntut tanpa tahu bahwa aku juga punya kehidupan dan masalah lain di luar sekolah? 

Aku juga ingin menikmati masa mudaku dengan bahagia seperti yang lainnya, hanya memikirkan pelajaran dan sekolah. Tapi bahkan perjodohan tolol itu membuatku muak dan merasa tak berharga. 

Ingin rasanya kusampaikan semua yang ada dalam hatiku. Tapi aku rasa semua itu tak ada gunanya. Entah kenapa aku merasa Pak Jonathan tidak akan mau mendengar penjelasan apapun dariku. 

“Kenapa kamu melotot seperti itu? Apa kamu masih juga nggak merasa bersalah?” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
mungkin nasib buruk sedang berpihak padamu Alea jadi GK sukses waktu nyontek ke vena dan kena omel Simba
goodnovel comment avatar
wieanton
hari apes gk ada di kalender lho Lea, makin uring2 aja kamu di bikin kesal gk di rmh gk di sekolahan... bisa naik darah mu lho le.. itu guru gk ada kata memaklumi paling seru tp sm yg killer tuh...
goodnovel comment avatar
Nurhayati
ini sih namanya double sial ya le? di rumah ditekan papa buat nerima perjodohan. di sekolah di terkam simba.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menikahi Guru Killer   Bab 142

    Kurasakan hangatnya hembusan napas di leherku. Seperti menyapu di setiap inci kulit leherku, memagut dengan liar bersama napasnya yang memburu. Tangannya dengan gesit menarik lepas kaos berukuran jumbo yang kupakai. Gegas aku menyilangkan kedua tanganku, menutupi sepasang gundukan kenyal, tempat Kiara biasa mendapatkan nutrisinya. “Kamu makin seksi, Alea.” “Ish! Emang dulu enggak?” “Semakin berisi dan menggemaskan,” godanya sembari menarik tanganku yang berusaha menyembunyikan puncak dadaku. Bagian berwarna merah itu saat ini sedang membengkak lebih dari biasanya karena Kiara sering kali menggigitnya, dan aku malu untuk sekedar memperlihatkannya. Tapi … Pak Jonathan justru tersenyum saat melihatnya. Dan, sumpah! Itu membuatku semakin nggak percaya diri. Tapi lagi-lagi Pak Jonathan justru menahan tanganku agar aku tak bisa lagi menyembunyikannya. Tangannya menggapai dan mengusap di puncaknya, menciptakan sensasi yang membuatku tak mampu menahan desah yang keluar dari bibirku.Sen

  • Menikahi Guru Killer   Bab 141

    Suara tangis itu menyadarkan aku. Samar kulihat bayi dengan kulitnya yang merah menangis dengan kencangnya. “Bayi perempuan yang cantik. Semuanya lengkap, sempurna.” Seorang perawat memperlihatkan bayi itu kepadaku. Namun aku merasa tanpa daya, bahkan untuk mengucapkan sebuah kata. Ingin kusentuh makluk mungil itu, namun aku tak sanggup untuk meraihnya. Mungkin efek dari anestesi itu benar-benar kuat di tubuhku. Dan aku kembali ke alam bawah sadarku.Saat aku terjaga, aku telah berada di dalam ruang kamar inapku. Ruangan dengan wallpaper bernuansa merah jambu itu seperti sengaja di desain untuk penghuninya. Rasa dingin itu terasa sampai ke tulangku. Aku benar-benar menggigil seperti sedang berada dalam lemari pendingin. Bahkan selimut yang menutup tubuhku seperti tak berarti. “Alea … kamu sudah sadar?” tanya Pak Jonathan sembari menggenggam tanganku. Wajahnya terlihat sangat cemas. “Dingin,” ucapku. Pak Jonathan segera menekan tombol di dinding untuk memanggil tenaga medis.“Ap

  • Menikahi Guru Killer   Bab 140

    “Dia menendangku! Aku bisa merasakannya!” teriak Pak Jonathan dengan wajah sumringah seakan baru pertama kalinya merasakan gerakan bayi di dalam perutku. Tentu saja, ini bukan yang pertama kalinya. Apalagi di usia kehamilanku yang sudah sembilan bulan ini. Ia bukan hanya menyentuh dan mengamati perutku sekali ini saja, tapi hampir setiap malam!Kini hanya tersisa beberapa hari sebelum jadwal kelahiran putra pertama kami. Sepertinya ia lebih kerap memperhatikan perutku. Gerak yang membuat perutku menjadi tak simetris pun, tak luput dari pandangannya. “Kamu nggak takut, kan?” tanyanya.“Jujur. Aku takut.” Pak Jonathan tersenyum, namun terlihat canggung. “Aku … sebenarnya aku juga. Aku mungkin … justru lebih takut dari kamu, Alea.” “Takut?” “Iya, aku takut tidak bisa menjadi suami yang baik. Aku takut tidak bisa menjadi sosok ayah yang baik buat anak kita. Aku takut gagal menjadi seorang imam dalam keluarga kecil kita,” sahutnya.Aku menarik sudut bibirku. “Kamu itu suami yang palin

  • Menikahi Guru Killer   Bab 139

    “Jujur, katakan sama aku. Kamu masih ada perasaan kan, sama dia?” tanyaku dengan perasaan tak karuan. Mungkin seharusnya aku tak pernah mengatakan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang justru seperti bom waktu yang kupasang di antara kami. “Masih.” Jawaban itu seakan membuat jantungku berhenti berdetak. Aku masih menatapnya dalam diam. Sebuah jawaban yang akan menentukan nasib sebuah pernikahan. “Tapi perasaan yang berbeda dengan yang kurasakan untukmu,” lanjutnya, “dan aku sadar … dulu maupun sekarang, hubungan kami bukan tentang cinta.” “Lalu apa kalau bukan cinta? Tapi, kalian pacaran, kan. Mana mungkin nggak cinta?” cecarku. “Kamu mau dengar ceritaku?” tanyanya.Aku mengangguk dengan perasaan ragu. Tentu saja karena aku tidak yakin akan cerita yang akan dituturkannya. Bisa saja semua itu hanya karangannya agar aku memaafkannya. Tapi tak urung, aku ingin mendengar pembelaannya. Apa yang sebenarnya dirasakannya pada perempuan itu.Pak Jonathan menarik kursi dan duduk tepat

  • Menikahi Guru Killer   Bab 138

    Setelah mengatakan semua yang mengganjal di hatiku, aku segera menutup panggilan itu. Napasku bahkan terengah hanya karena menyampaikan emosiku yang meluap hebat. Bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu, sementara dirinya sendiri melakukan hal yang tak berbeda. Hah! Seandainya saja dia tahu kalau Doni bahkan sudah tak ada lagi di hatiku. Seandainya saja dia tahu kalau perasaanku hilang begitu saja setelah mengenal keluarganya, setelah aku merasakan betapa takutnya kehilangan dirinya saat ditahan dulu. Seandainya saja dia tahu, bahwa aku bahkan hanya mengurung diri di kamarku sejak kedatanganku, menikmati kesendirianku. Seandainya saja dia tahu bahwa kenyataan bahwa keantusiasannya datang ke acara itu telah menorehkan luka di hatiku tentang masih adanya jejak cinta di hatinya. “Ah, pusingnya kepalaku,” keluhku. Kuangkat tanganku dan mulai memijit keningku yang terasa berdenyut. Suara telepon kembali terdengar. Kali ini sengaja aku tidak mengangkatnya. Kepalaku semakin terasa pusin

  • Menikahi Guru Killer   Bab 137

    “Aku ada ide!” teriak Vena tiba-tiba. Suara cempreng itu membuatku melompat saking terkejutnya. Ditambah lagi tepukannya di pundakku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu pergi aja sama Kak Bernard!” “Vena …. Kali aja dia nggak marah, ngeliat aku sama kakak kamu,” keluhku, “kamu inget kan, terakhir kali mereka ketemu juga berantem. Aku nggak mau Kak Bernard terluka cuma gara-gara jagain aku.”“Lah … memang mesti ada pengorbanan buat mencapai suatu tujuan, kan. Seperti Kak Bernard, ngelakuin itu pasti ada tujuan. Walau nggak semua tujuan itu bakal tercapai,” ucapnya, “butuh effort buat mencapai sesuatu yang kita ingini, Al.” “Iya, kamu benar. Tapi aku tetap harus memperhitungkan kerugian apa yang bakal aku terima kalau melakukan semua itu, kan?” Vena mengedikkan pundaknya. “Jadi … kamu nggak mau datang ke acara itu?” Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membuat kekacauan besar, yang bisa menahannya agar tidak bisa datang ke acara itu.” “Kekacau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status