Karena perjanjian di masa lalu, Alea terpaksa menerima perjodohan yang dirancang oleh ayahnya. Namun ia sama sekali tak menduga jika lelaki yang harus dinikahinya itu adalah gurunya sendiri. Pak Jonathan memang guru paling tampan di SMA Merah Putih. Tapi dia terkenal galak, bahkan Alea sendiri memberinya julukan “Simba”, karena lelaki itu sering kali menegurnya tanpa alasan. Bagaimana jika siswi se tengil Alea dipaksa untuk menikahi guru segalak Pak Jonathan? Bagaimana jika salah satu dari mereka akhirnya jatuh cinta?
Lihat lebih banyak“Nggak mau, Pa!” teriakku dengan kesal. Kuletakkan kedua tanganku menutup telingaku rapat-rapat. “Pokoknya Alea nggak mau dijodohin. Titik!”
“Alea, ini permintaan terakhir kakek kamu, loh. Dia udah janji bakal nikahin keturunannya dengan keturunan sahabatnya.” Sesak rasa di dadaku, ketika papa tiba-tiba menyampaikan wasiat kakekku. Bukan tentang harta, tapi tentang perjodohan konyol antara keluargaku dengan keluarga sahabatnya. “Kalau memang Papa mau, kenapa nggak Papa aja yang nikah sama anaknya?” balasku masih tidak bisa menerima kenyataan. “Anaknya cowok, Alea,” sahut papaku, “cowok nggak bisa nikah sama cowok.” “Iya, tapi nggak harus ngorbanin Alea juga, kan,” omelku, “emangnya Alea kucing, gitu? Bisa asal dikawinin gitu aja sama kucing lain yang baru ditemuinnya.” “Bukan gitu, Al. Papa udah lihat kok, calon suami kamu. Dia itu lelaki hebat! Dia sudah mandiri bahkan di usianya yang masih terbilang muda, pekerja keras, baik, sopan, ganteng, pinter pula. Paket lengkap lah buat diambil jadi mantu papa.” “Alea nggak mau, Pa. Pokoknya Alea nggak mau.” Tentu saja aku kekeh tidak mau menerima perjodohan ini. Seorang lelaki yang sempurna, pasti akan menolak perjodohan seperti ini. Faktanya hampir semua cowok tampan itu sudah punya pacar. Dan aku yakin, kriteria yang disebutkan papa itu semuanya palsu. Jadi yang ada dalam bayanganku saat ini adalah sosok Datuk Maringgih yang akan menikahi Siti Nurbaya. Hih! Ngebayangin aja sudah bikin bulu kudukku merinding. Cuma laki-laki tua beraroma minyak cap kapak yang mungkin tidak akan menolak dijodohkan seperti ini. Bisa kubayangkan bagaimana ciuman pertamaku yang nantinya bakal jadi pengalaman terburuk seumur hidupku. Membayangkan gigi geliginya yang sudah tidak lengkap saja sudah membuatku geli. “Kalau gitu, terpaksa ….” Ucapan papa berhenti sampai di situ. Dan itu membuatku semakin penasaran. “Terpaksa apa Pa?” “Terpaksa Papa hentikan uang saku kamu,” sahut papaku sambil melangkah pergi meninggalkan aku. “Yaelah …. Pa! Ini namanya pemaksaan, pemerasan, nggak berperikemanusiaan,” teriakku dengan kesal, “Pa, Alea bukan Siti Nurbaya yang bisa dijodoh-jodohin gini.” “Iya. Memang bukan Siti Nurbaya. Kamu Alea Nurbaya,” sahut papa dari dalam kamarnya. Hiih! Aku menghentakkan kakiku dengan kesal. Papa sungguh menyebalkan. Seandainya saja mama masih ada, pasti dia akan membantuku merayu papa agar membatalkan wasiat yang sama sekali tak masuk akal ini. Tapi pada kenyataannya, mama sudah meninggalkan aku setahun yang lalu. Suara ponsel seakan menyentakku kembali pada kenyataan. Kenyataan bahwa sekarang aku harus berjuang tanpa mama. Aku harus bisa melalui permasalahan ini dengan baik bagaimanapun caranya. “Alea! Kamu dah kerjain tugas math belum?” Suara cempreng itu langsung memenuhi rongga telingaku. “Ah … matematika minat, ya?” “Ho–oh! Jangan sampe lupa. Nanti bisa diterkam lagi sama Pak Simba.” Suara cempreng itu kini terkekeh. “Iyah … aman. Aku dah kasih tugas itu ke Tirza,” sahutku. “Hah! Kamu yakin dia bisa kerjainnya? Tirza itu cuman bisa diandalkan buat kerjain tugas macem tulis menulis yang modalnya nemu dari buku paket sama dari gugel,” cicit Vena, sahabatku. “Tapi dia bilang bisa. Dan aku dah bayar dia goban buat kerjain tugas itu.” “Yaah … siap-siap deh kamu,” ucap Vena dengan nada frustasi, “siap-siap diterkam sama simba.” Aku menghela napas. Rasanya beban di pundakku terus bertambah. Mulai dari tugas sekolah yang tiada akhir di kelas terakhir sekolahku tahun ini, hingga masalah wasiat konyol yang dibicarakan oleh papaku tadi. Untung saja papa ngomong masalah sensitif ini setelah makan malam. Seandainya tidak, pasti perutku masih kosong karena kehilangan nafsu makan. “Kamu kenapa, Al,” tanya Vena tiba-tiba. “Nggak … nggak papah, kok.” “Udah, nggak usah bete. Kamu kerjain aja di kertas. Besok kamu tempelin itu kertas ke buku kamu,” usul Vena seolah dapat membaca kegalauan hatiku. “Ven, kalau misal nih ya … misal. Aku kabur dari rumah, aku boleh nggak diam di rumah kamu,” tanyaku. Seribu satu ide muncul di benakku untuk menghindari perjodohan yang tak bisa ditolak ini. “Loh … kenapa? Kamu mau kabur dari rumah, Al?” tanya Vena. “Misal kok, misal aja,” lanjutku karena sedikit ragu untuk menceritakan hal yang sesungguhnya. “Astaga, kamu ini. Bikin aku kaget aja,” sahut Vena. “Tapi dibolehin nggak?” “Boleh! Boleh aja. Malah aku seneng ada teman di rumah. Nggak kesepian lagi, akunya.” Aku bisa menghela napas lega. Seandainya papa memaksa, tentu saja aku bakal pergi dari rumah. Gila aja kalo aku sampe nerima perjodohan macam ini. “Al …” “Hmm?” “Kamu yakin kamu nggak papah?” “Nggak, aku beneran nggak papah,” sahutku, “emangnya kenapa?” “Soalnya … kamu nggak kayak biasanya, deh. Aku kenal kamu nggak setahun dua tahun, loh,” sahut Vena yang sepertinya mencurigai sikapku. “Iya … iya. Kamu itu bestie aku, yang paling baik, pokoknya. Tapi aku beneran nggak papah kali ini. Jangan khawatir,” elakku. “Ah … sudahlah kalo kamu nggak mau cerita sekarang. Tapi … kalau kamu sudah siap buat cerita, jangan ragu buat cerita,” cicitnya, “aku siap nampung semua beban kamu. Walau mungkin aku nggak bisa bantu apa-apa.” Entah kenapa hatiku rasanya begitu dingin mendengar kalimat itu. Setidaknya ada seseorang yang mau mendengarku tanpa menghakimi, menuntut dan menyerangku atas ketidakmampuanku sebagai seorang remaja. “Pasti,” sahutku lemah sesaat sebelum menutup panggilan itu. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, kuarahkan sepasang mataku menatap langit-langit putih itu sambil menghela napas panjang. Delapan belas tahun! Kenapa justru papaku sendiri ingin mengakhiri masa remajaku dengan menjodohkanku, bahkan dengan lelaki yang sama sekali tidak pernah kukenal. Ah! Dunia memang benar-benar gila. Kucoba memejamkan mata, namun kalimat yang diucapkan papa terus terngiang bahkan sampai terbawa dalam mimpiku. “Alea, Alea! Bangun!” Suara papa seakan mengguncang isi kamarku. “Itu calon suami kamu sudah datang. Kenapa kamu masih tidur dan belum bersiap-siap?” tegur papa tanpa kompromi, “lima menit lagi acara ijab kabul dimulai. Cepat turun, atau papa suruh mereka melangsungkan acaranya di kamar ini.” Aku menelan kasar salivaku. Mulutku ternganga namun tak ada satu kata pun yang bisa keluar dari dalamnya. Semua terjadi dengan begitu cepat. “Ok, jadi kamu nggak mau bergerak,” ancam papaku,” papa nggak main-main. Papa panggil mereka kemari sekarang juga. Kita lakukan ijabnya di kamar ini.” Mataku membulat. Heh! Apa-apaan ini. Kenapa pria tua itu bahkan diijinkan papa masuk ke kamar anak gadisnya. “Pa, jangan Pa. Alea nggak mau.” Setengah mati ingin ku ucapkan kalimat itu. Tapi tak ada satupun kata yang lepas dari mulutku. Pria tua itu mendekatiku lalu duduk di sisiku. Tiba-tiba saja ia berbisik di telingaku. “Calon istri abang … cantik juga ternyata.” Dengan sekuat tenaga, aku pun berteriak. “Tidaaaak!”Kurasakan hangatnya hembusan napas di leherku. Seperti menyapu di setiap inci kulit leherku, memagut dengan liar bersama napasnya yang memburu. Tangannya dengan gesit menarik lepas kaos berukuran jumbo yang kupakai. Gegas aku menyilangkan kedua tanganku, menutupi sepasang gundukan kenyal, tempat Kiara biasa mendapatkan nutrisinya. “Kamu makin seksi, Alea.” “Ish! Emang dulu enggak?” “Semakin berisi dan menggemaskan,” godanya sembari menarik tanganku yang berusaha menyembunyikan puncak dadaku. Bagian berwarna merah itu saat ini sedang membengkak lebih dari biasanya karena Kiara sering kali menggigitnya, dan aku malu untuk sekedar memperlihatkannya. Tapi … Pak Jonathan justru tersenyum saat melihatnya. Dan, sumpah! Itu membuatku semakin nggak percaya diri. Tapi lagi-lagi Pak Jonathan justru menahan tanganku agar aku tak bisa lagi menyembunyikannya. Tangannya menggapai dan mengusap di puncaknya, menciptakan sensasi yang membuatku tak mampu menahan desah yang keluar dari bibirku.Sen
Suara tangis itu menyadarkan aku. Samar kulihat bayi dengan kulitnya yang merah menangis dengan kencangnya. “Bayi perempuan yang cantik. Semuanya lengkap, sempurna.” Seorang perawat memperlihatkan bayi itu kepadaku. Namun aku merasa tanpa daya, bahkan untuk mengucapkan sebuah kata. Ingin kusentuh makluk mungil itu, namun aku tak sanggup untuk meraihnya. Mungkin efek dari anestesi itu benar-benar kuat di tubuhku. Dan aku kembali ke alam bawah sadarku.Saat aku terjaga, aku telah berada di dalam ruang kamar inapku. Ruangan dengan wallpaper bernuansa merah jambu itu seperti sengaja di desain untuk penghuninya. Rasa dingin itu terasa sampai ke tulangku. Aku benar-benar menggigil seperti sedang berada dalam lemari pendingin. Bahkan selimut yang menutup tubuhku seperti tak berarti. “Alea … kamu sudah sadar?” tanya Pak Jonathan sembari menggenggam tanganku. Wajahnya terlihat sangat cemas. “Dingin,” ucapku. Pak Jonathan segera menekan tombol di dinding untuk memanggil tenaga medis.“Ap
“Dia menendangku! Aku bisa merasakannya!” teriak Pak Jonathan dengan wajah sumringah seakan baru pertama kalinya merasakan gerakan bayi di dalam perutku. Tentu saja, ini bukan yang pertama kalinya. Apalagi di usia kehamilanku yang sudah sembilan bulan ini. Ia bukan hanya menyentuh dan mengamati perutku sekali ini saja, tapi hampir setiap malam!Kini hanya tersisa beberapa hari sebelum jadwal kelahiran putra pertama kami. Sepertinya ia lebih kerap memperhatikan perutku. Gerak yang membuat perutku menjadi tak simetris pun, tak luput dari pandangannya. “Kamu nggak takut, kan?” tanyanya.“Jujur. Aku takut.” Pak Jonathan tersenyum, namun terlihat canggung. “Aku … sebenarnya aku juga. Aku mungkin … justru lebih takut dari kamu, Alea.” “Takut?” “Iya, aku takut tidak bisa menjadi suami yang baik. Aku takut tidak bisa menjadi sosok ayah yang baik buat anak kita. Aku takut gagal menjadi seorang imam dalam keluarga kecil kita,” sahutnya.Aku menarik sudut bibirku. “Kamu itu suami yang palin
“Jujur, katakan sama aku. Kamu masih ada perasaan kan, sama dia?” tanyaku dengan perasaan tak karuan. Mungkin seharusnya aku tak pernah mengatakan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang justru seperti bom waktu yang kupasang di antara kami. “Masih.” Jawaban itu seakan membuat jantungku berhenti berdetak. Aku masih menatapnya dalam diam. Sebuah jawaban yang akan menentukan nasib sebuah pernikahan. “Tapi perasaan yang berbeda dengan yang kurasakan untukmu,” lanjutnya, “dan aku sadar … dulu maupun sekarang, hubungan kami bukan tentang cinta.” “Lalu apa kalau bukan cinta? Tapi, kalian pacaran, kan. Mana mungkin nggak cinta?” cecarku. “Kamu mau dengar ceritaku?” tanyanya.Aku mengangguk dengan perasaan ragu. Tentu saja karena aku tidak yakin akan cerita yang akan dituturkannya. Bisa saja semua itu hanya karangannya agar aku memaafkannya. Tapi tak urung, aku ingin mendengar pembelaannya. Apa yang sebenarnya dirasakannya pada perempuan itu.Pak Jonathan menarik kursi dan duduk tepat
Setelah mengatakan semua yang mengganjal di hatiku, aku segera menutup panggilan itu. Napasku bahkan terengah hanya karena menyampaikan emosiku yang meluap hebat. Bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu, sementara dirinya sendiri melakukan hal yang tak berbeda. Hah! Seandainya saja dia tahu kalau Doni bahkan sudah tak ada lagi di hatiku. Seandainya saja dia tahu kalau perasaanku hilang begitu saja setelah mengenal keluarganya, setelah aku merasakan betapa takutnya kehilangan dirinya saat ditahan dulu. Seandainya saja dia tahu, bahwa aku bahkan hanya mengurung diri di kamarku sejak kedatanganku, menikmati kesendirianku. Seandainya saja dia tahu bahwa kenyataan bahwa keantusiasannya datang ke acara itu telah menorehkan luka di hatiku tentang masih adanya jejak cinta di hatinya. “Ah, pusingnya kepalaku,” keluhku. Kuangkat tanganku dan mulai memijit keningku yang terasa berdenyut. Suara telepon kembali terdengar. Kali ini sengaja aku tidak mengangkatnya. Kepalaku semakin terasa pusin
“Aku ada ide!” teriak Vena tiba-tiba. Suara cempreng itu membuatku melompat saking terkejutnya. Ditambah lagi tepukannya di pundakku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu pergi aja sama Kak Bernard!” “Vena …. Kali aja dia nggak marah, ngeliat aku sama kakak kamu,” keluhku, “kamu inget kan, terakhir kali mereka ketemu juga berantem. Aku nggak mau Kak Bernard terluka cuma gara-gara jagain aku.”“Lah … memang mesti ada pengorbanan buat mencapai suatu tujuan, kan. Seperti Kak Bernard, ngelakuin itu pasti ada tujuan. Walau nggak semua tujuan itu bakal tercapai,” ucapnya, “butuh effort buat mencapai sesuatu yang kita ingini, Al.” “Iya, kamu benar. Tapi aku tetap harus memperhitungkan kerugian apa yang bakal aku terima kalau melakukan semua itu, kan?” Vena mengedikkan pundaknya. “Jadi … kamu nggak mau datang ke acara itu?” Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membuat kekacauan besar, yang bisa menahannya agar tidak bisa datang ke acara itu.” “Kekacau
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen