Share

Bab 6

last update Last Updated: 2024-10-19 17:27:23

“Iya, iya. Aku lepasin.” 

Audrico melepaskan cekalan tangannya setelah kuhentakkan tanganku dengan kuat.

“Apaan sih,” omelku saking kesalnya, kuraba pergelangan tanganku yang terasa nyeri karena kekuatan tangan lelaki muda itu, “nggak usah tarik-tarik kenapa. Emangnya kamu kira aku kambing korban, apa.” 

“Enggak. Mana berani aku,” sahut Audrico dengan acuh, “ aku cuman dapat perintah buat bawa kamu ke belakang sekolah.”

“Ogah! Buat apa?” 

“Udahlah, ikut aja. Atau … mau aku tarik lagi ke sana.” 

“Kamu … udah gila ya?” 

“Nggak, bukan aku yang gila. Tapi teman aku, kalo kamu nggak ikut sama aku.” 

Ish! Kenapa juga aku harus nuruti perkataannya. Tapi … temannya, maksudnya Doni, bukan sih?

Karena rasa penasaran, dengan perasaan kesal, aku pun melangkahkan kakiku menyusuri koridor menuju ke taman belakang sekolah. Taman yang hampir tak terurus karena jarang dikunjungi oleh siapapun. 

Namun aku benar-benar terkejut ketika melihat apa yang menantiku di sana. 

Senyum Doni Aryanata, teman laki-laki tertampan di sekolahku, mengembang di sudut bibirnya. Senyuman yang menambah semarak ketampanannya semakin meningkat. 

Di belakangnya tampak sebuah banner berukuran cukup besar bertuliskan “Alea, be my girlfriend”. 

“Al, aku tahu. Ini bukan pertama kali aku nembak kamu. Tapi ini udah ketiga kalinya,” ucap Doni dengan suara datar, “tapi aku nggak bisa move on sama kamu. Aku nggak bisa lupain kamu.” 

“Jadi … aku mau, kali ini kamu nerima aku jadi pacar kamu. Dan kali ini aku juga berharap kamu nggak bakal nolak aku lagi,” sambungnya. 

Lelaki muda itu mengulurkan sekuntum mawar merah padaku. Entah bunga siapa yang sudah menjadi korban keusilannya kali ini. 

Aku menatapnya dengan perasaan tak karuan. Tentu saja karena aku ingin sekali menerima permintaan itu, tapi bagaimana jika dia tahu kalau sore nanti aku akan menikah?

Rasanya sangat tidak adil. Aku harus memendam perasaanku hanya karena ingin menuruti ambisi kakekku yang notabene sudah tenang di akhirat. 

Lelaki muda itu melangkah mendekat. Sepertinya dia tahu kegundahan dalam hatiku dan ingin meyakinkan perasaan kami.

“Alea, aku suka kamu sejak awal kita masuk sekolah ini. Aku udah coba jalan sama banyak teman cewek lain, tapi aku nggak pernah ngerasa nyaman dan berdebar seperti saat aku dekat kamu,” bujuknya, “jadi … kenapa kamu nggak mau coba.” 

Sepasang mata itu terlihat begitu tulus, seakan memaksaku untuk mengiyakan semua permintaannya. Tapi … bagaimana jika karena kedekatan kami, dia tahu hubunganku dengan Pak Jonathan? 

Ah …. Tidak! Aku tidak bisa menolaknya. Siapa tahu dia adalah jodohku. Bukankah Pak Jonathan juga tidak akan menjadi suamiku selamanya? Ini semua hanya untuk menyenangkan orang tua kami. 

Bukankah Pak Jonathan juga sudah janji bakal biarin aku ngelakuin apapun yang mau aku lakukan. Aku bebas mau ngapain bahkan mau pacaran sama Doni sekalipun. 

Aku menghela napas panjang, mencoba memantapkan hati untuk menerima posisiku di hati lelaki itu. “Baiklah, kita coba. Tapi … aku nggak mau hubungan ini berubah menjadi tali kekang buat aku,” sahutku pada akhirnya. 

Doni melebarkan kedua tangannya seakan memintaku untuk masuk ke dalam pelukannya. Tapi justru aku berbalik dan melenggang pergi dari tempat itu. 

“Al … Alea! Pacarku, kamu mau kemana?” 

Aku masih mendengar teriakannya di belakangku. Dan tak lama kemudian pundakku terasa berat karena lengannya telah bertengger di sana. 

Kuhentikan langkahku dan berbalik menatapnya. “Lepasin tangan kamu dari pundakku.”

“Nggak mau. Kenapa harus aku lepas?” tanyanya dengan gaya playboynya yang khas.

“Aku nggak mau deretan para mantanmu musuhin aku. Bisa jadi geprekan aku ntar,” sahutku.

“Kalo aku nggak mau?”

“Ya udah, nggak jadi. Aku nggak jadi nerima perasaan kamu,” sahutku cepat. 

“Leh,” balasnya, “kok gitu?”

“Aku pikir-pikir dulu, takut jadi geprekan,” jawabku lagi sambil berlalu meninggalkannya. 

Ada perasaan bahagia terselip di hatiku. Bagaimana tidak, lelaki yang menjadi rebutan kaum hawa di sekolahku, bahkan menyatakan perasaannya untuk ketiga kalinya! 

Dunia ini terasa begitu indah, seakan semua mimpi berhasil kugenggam dengan mudahnya. 

Namun begitu aku berpapasan lagi dengan Pak Jonathan, mood ku kembali hancur sampai ke dasar. Astaga, bahkan hari ini adalah hari terakhir aku berstatus lajang. 

Biarpun itu hanya status di atas kertas, tapi pikiranku tak dapat membodohi perasaanku.

Matahari semakin tinggi saat aku menatap sekelompok siswa berseragam almamater sekolahku bergerombol di halte. Tentu saja akan sangat menarik perhatian jika Pak Jonathan menjemputku di sini. 

Kutundukkan kepalaku melihat layar ponsel yang memperlihatkan berbagai konten menarik dalam aplikasi toktok. Mulai dari lawakan – yang entah kenapa hari ini sama sekali tak terlihat lucu, sampai berita tentang para selebriti hollywood yang begitu mengerikan. Aku bahkan benar-benar merinding mendengar kasus viral yang berkali-kali diposting dengan berita yang nyaris sama itu. 

Tin! Tin!

Suara klakson itu menyadarkan aku bahwa tak ada lagi siapapun di tempat itu. Dan dari jendela mobil city car yang berhenti tepat di depanku, terlihatlah wajah yang sangat kukenal. 

“Ayo cepat!” teriaknya dari dalam mobil. 

Tanpa jawaban, aku segera memasukkan ponselku ke dalam tasku dan dengan enggan, masuk ke dalam mobilnya. 

“Pake sabuk keselamatanmu. Kita akan langsung ke rumah sakit sekarang,” perintahnya. 

“Langsung? Nggak pulang dulu?” 

“Tidak. Semua sudah menunggu kita di sana,” sahutnya seakan tidak ingin aku melarikan diri. 

“Heran deh. Kenapa perjanjian masa lalu bisa segitu pentingnya, sih?” gumamku dengan kesal. 

Tapi sepertinya Pak Jonathan tidak mendengarnya. Untung saja, bisa kubayangkan omelannya jika mendengar ucapanku tadi. Apalagi perjodohan ini menyangkut hidup kakeknya. 

Pak Jonathan mengecilkan volume audio mobilnya. Aku meliriknya dengan gelisah. Sungguh, suasana ini terasa begitu canggung. Bagaimanapun dia adalah guru yang selalu membuatku stress karena tugas dan hukuman yang seakan sengaja diberikannya secara khusus padaku. 

“Aku harap kerjasamamu kali ini. Aku harap sementara ini kamu lupakan semua yang pernah terjadi di sekolah,” ucapnya, “jangan sampai karena semua itu, rencana hari ini berantakan dan penyakit kakekku jadi semakin berat.” 

Aku menghela napas dengan berat. “Aku nggak bisa lupain semuanya. Tapi … jangan khawatir. Aku juga nggak mau mencelakai orang lain, kok.” 

“Terima kasih,” ucapnya dengan tulus. 

“Jadi … Bapak nggak bakalan marah dan kasih aku hukuman lagi kan setelah ini? Ehm …. Lalu nilai-nilai ulanganku juga nggak bakal dikasih jeblok lagi kan? Hmm … atau Bapak bisa kasih aku bocoran soal eh … jawaban untuk ulangan besok? Bisa kan? Bisa …. Bisa ya,” cicitku sebagai usaha merayunya.

Tentu saja aku harus bisa memanfaatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi peluang seperti ini sangat jarang terjadi. Bukankah ini yang disebut dengan hubungan mutualisme. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (7)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
wah Doni nembak Alea ternyata..hemm ish ish Alea mau manfaatin pak Jonathan ya..yakin Al kamu bisa tu guru kan galaknya seribu persen
goodnovel comment avatar
annisa syifa
dilema yah all..secara Doni juga tambatan hati Lo tp sayang km bentar lagi bakalan JD istri orang parahnya lagi calsum Lo ada di sekolah juga......
goodnovel comment avatar
Nurhayati
Alea tetap harus memanfaatkan kesempatan dong dengan jadi istri pak Jonathan. setidaknya nilai matematika di sekolah jangan di bikin jeblok deh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menikahi Guru Killer   Bab 142

    Kurasakan hangatnya hembusan napas di leherku. Seperti menyapu di setiap inci kulit leherku, memagut dengan liar bersama napasnya yang memburu. Tangannya dengan gesit menarik lepas kaos berukuran jumbo yang kupakai. Gegas aku menyilangkan kedua tanganku, menutupi sepasang gundukan kenyal, tempat Kiara biasa mendapatkan nutrisinya. “Kamu makin seksi, Alea.” “Ish! Emang dulu enggak?” “Semakin berisi dan menggemaskan,” godanya sembari menarik tanganku yang berusaha menyembunyikan puncak dadaku. Bagian berwarna merah itu saat ini sedang membengkak lebih dari biasanya karena Kiara sering kali menggigitnya, dan aku malu untuk sekedar memperlihatkannya. Tapi … Pak Jonathan justru tersenyum saat melihatnya. Dan, sumpah! Itu membuatku semakin nggak percaya diri. Tapi lagi-lagi Pak Jonathan justru menahan tanganku agar aku tak bisa lagi menyembunyikannya. Tangannya menggapai dan mengusap di puncaknya, menciptakan sensasi yang membuatku tak mampu menahan desah yang keluar dari bibirku.Sen

  • Menikahi Guru Killer   Bab 141

    Suara tangis itu menyadarkan aku. Samar kulihat bayi dengan kulitnya yang merah menangis dengan kencangnya. “Bayi perempuan yang cantik. Semuanya lengkap, sempurna.” Seorang perawat memperlihatkan bayi itu kepadaku. Namun aku merasa tanpa daya, bahkan untuk mengucapkan sebuah kata. Ingin kusentuh makluk mungil itu, namun aku tak sanggup untuk meraihnya. Mungkin efek dari anestesi itu benar-benar kuat di tubuhku. Dan aku kembali ke alam bawah sadarku.Saat aku terjaga, aku telah berada di dalam ruang kamar inapku. Ruangan dengan wallpaper bernuansa merah jambu itu seperti sengaja di desain untuk penghuninya. Rasa dingin itu terasa sampai ke tulangku. Aku benar-benar menggigil seperti sedang berada dalam lemari pendingin. Bahkan selimut yang menutup tubuhku seperti tak berarti. “Alea … kamu sudah sadar?” tanya Pak Jonathan sembari menggenggam tanganku. Wajahnya terlihat sangat cemas. “Dingin,” ucapku. Pak Jonathan segera menekan tombol di dinding untuk memanggil tenaga medis.“Ap

  • Menikahi Guru Killer   Bab 140

    “Dia menendangku! Aku bisa merasakannya!” teriak Pak Jonathan dengan wajah sumringah seakan baru pertama kalinya merasakan gerakan bayi di dalam perutku. Tentu saja, ini bukan yang pertama kalinya. Apalagi di usia kehamilanku yang sudah sembilan bulan ini. Ia bukan hanya menyentuh dan mengamati perutku sekali ini saja, tapi hampir setiap malam!Kini hanya tersisa beberapa hari sebelum jadwal kelahiran putra pertama kami. Sepertinya ia lebih kerap memperhatikan perutku. Gerak yang membuat perutku menjadi tak simetris pun, tak luput dari pandangannya. “Kamu nggak takut, kan?” tanyanya.“Jujur. Aku takut.” Pak Jonathan tersenyum, namun terlihat canggung. “Aku … sebenarnya aku juga. Aku mungkin … justru lebih takut dari kamu, Alea.” “Takut?” “Iya, aku takut tidak bisa menjadi suami yang baik. Aku takut tidak bisa menjadi sosok ayah yang baik buat anak kita. Aku takut gagal menjadi seorang imam dalam keluarga kecil kita,” sahutnya.Aku menarik sudut bibirku. “Kamu itu suami yang palin

  • Menikahi Guru Killer   Bab 139

    “Jujur, katakan sama aku. Kamu masih ada perasaan kan, sama dia?” tanyaku dengan perasaan tak karuan. Mungkin seharusnya aku tak pernah mengatakan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang justru seperti bom waktu yang kupasang di antara kami. “Masih.” Jawaban itu seakan membuat jantungku berhenti berdetak. Aku masih menatapnya dalam diam. Sebuah jawaban yang akan menentukan nasib sebuah pernikahan. “Tapi perasaan yang berbeda dengan yang kurasakan untukmu,” lanjutnya, “dan aku sadar … dulu maupun sekarang, hubungan kami bukan tentang cinta.” “Lalu apa kalau bukan cinta? Tapi, kalian pacaran, kan. Mana mungkin nggak cinta?” cecarku. “Kamu mau dengar ceritaku?” tanyanya.Aku mengangguk dengan perasaan ragu. Tentu saja karena aku tidak yakin akan cerita yang akan dituturkannya. Bisa saja semua itu hanya karangannya agar aku memaafkannya. Tapi tak urung, aku ingin mendengar pembelaannya. Apa yang sebenarnya dirasakannya pada perempuan itu.Pak Jonathan menarik kursi dan duduk tepat

  • Menikahi Guru Killer   Bab 138

    Setelah mengatakan semua yang mengganjal di hatiku, aku segera menutup panggilan itu. Napasku bahkan terengah hanya karena menyampaikan emosiku yang meluap hebat. Bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu, sementara dirinya sendiri melakukan hal yang tak berbeda. Hah! Seandainya saja dia tahu kalau Doni bahkan sudah tak ada lagi di hatiku. Seandainya saja dia tahu kalau perasaanku hilang begitu saja setelah mengenal keluarganya, setelah aku merasakan betapa takutnya kehilangan dirinya saat ditahan dulu. Seandainya saja dia tahu, bahwa aku bahkan hanya mengurung diri di kamarku sejak kedatanganku, menikmati kesendirianku. Seandainya saja dia tahu bahwa kenyataan bahwa keantusiasannya datang ke acara itu telah menorehkan luka di hatiku tentang masih adanya jejak cinta di hatinya. “Ah, pusingnya kepalaku,” keluhku. Kuangkat tanganku dan mulai memijit keningku yang terasa berdenyut. Suara telepon kembali terdengar. Kali ini sengaja aku tidak mengangkatnya. Kepalaku semakin terasa pusin

  • Menikahi Guru Killer   Bab 137

    “Aku ada ide!” teriak Vena tiba-tiba. Suara cempreng itu membuatku melompat saking terkejutnya. Ditambah lagi tepukannya di pundakku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu pergi aja sama Kak Bernard!” “Vena …. Kali aja dia nggak marah, ngeliat aku sama kakak kamu,” keluhku, “kamu inget kan, terakhir kali mereka ketemu juga berantem. Aku nggak mau Kak Bernard terluka cuma gara-gara jagain aku.”“Lah … memang mesti ada pengorbanan buat mencapai suatu tujuan, kan. Seperti Kak Bernard, ngelakuin itu pasti ada tujuan. Walau nggak semua tujuan itu bakal tercapai,” ucapnya, “butuh effort buat mencapai sesuatu yang kita ingini, Al.” “Iya, kamu benar. Tapi aku tetap harus memperhitungkan kerugian apa yang bakal aku terima kalau melakukan semua itu, kan?” Vena mengedikkan pundaknya. “Jadi … kamu nggak mau datang ke acara itu?” Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membuat kekacauan besar, yang bisa menahannya agar tidak bisa datang ke acara itu.” “Kekacau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status