Share

4. Satu langkah besar

Dua tahun yang lalu perasaan Tami membuncah bahagia. Dia tak menyangka akan dapat pria yang membuatnya jatuh cinta. Namun, kebahagiaan tak berlangsung lama. Beberapa bulan setelah berpacaran, Irwan mulai mengeluh banyak hal dan mulai meminjam uang pada Tami. Padahal Irwan juga memiliki kedudukan di kantor. Entah digunakan untuk apa uang itu.

Lebih menjijikkan lagi pria itu pun kerap terlihat menggoda beberapa wanita dan selalu berkelit saat terciduk langsung oleh Tami.

Kesabaran Tami habis dan malam itu adalah puncaknya. Mulai saat itu, Tami bersumpah tak ingin lagi bertemu dengan Irwan, apa pun kondisinya. Tetapi, takdir berkata lain.

“Mas Irwan,” suara Tami sangat lirih, hingga hanya dirinya yang bisa mendengar.

Matanya membola sempurna, pria yang disangkanya telah mendekam di dalam penjara malah terlihat beberapa meter di depan sana sedang tersenyum menatapnya. Tami segera membalikkan badan berjalan cepat menuju kasir dan mencari jalan keluar.

Jantungnya semakin berdegup kencang saat melihat Irwan juga berjalan cepat ke arahnya. Keringat dingin mulai muncul saat bayangan malam itu kembali muncul. Dia ketakutan. Tak ingin semakin membuang waktu, Tami meletakkan begitu saja keranjang belanjaannya dan berlari melewati orang-orang keluar dari supermarket itu dengan kencang.

“Tami!” teriakan Irwan semakin membuat Tami mempercepat langkahnya. Tetapi, gerakannya masih kurang cepat.

“Lepas, Mas. Lepas atau aku teriak!” pekik Tami saat lengannya ditarik Irwan dan mereka berdiri berhadapan.

“Oke. Aku hanya ingin bicara,” pinta Irwan sembari menaikkan kedua tangan di kedua sisi wajahnya.

Irwan terlihat lebih kurus dan sedikit menyedihkan. Pria itu tak lagi terlihat necis seperti biasanya. Rambutnya sedikit panjang dan rahang yang tak lagi bersih tanpa di cukur.

Tami sedikit terenyuh sesaat, namun dia menyadarkan diri untuk tak lagi jatuh lebih dalam. Dia mendelik dan menjawab dengan ketus, “Enggak ada yang harus kita bicarakan lagi. Aku harap ini pertemuan terakhir kita.” Lalu Tami berbalik dan pergi.

Irwan masih kekeh mengejar Tami. “Tolong dengarkan aku dulu sebentar, Tam. Aku ingin menjelaskan segala sesuatunya. Sepuluh menit saja, boleh?” Irwan menurunkan egonya di depan Tami.

“Lebih baik kita tak usah saling kenal lagi, Mas,” ucap Tami dengan tangan yang memegang erat tali tasnya berusaha menutupi kegugupan dan kali ini dia benar-benar pergi.

Meski suara penuh penyesalan Irwan terdengar, dia tak mau menoleh ke belakang lagi. “Maafkan aku, Tami. Aku mohon .... “

Ingatan kebersamaan mereka langsung menyeruak kala Tami sudah duduk di dalam mobilnya. Betapa manis perlakuan Irwan yang selalu romantis padanya. Tak pernah bersuara tinggi dan selalu memberikan kenyamanan pada Tami. Namun, ingatan tentang malam itu pun menghantam keras dirinya. Hingga air mata tak tertahankan lagi.

Tangannya mengepal erat di kemudi mobil dengan napas yang tak beraturan. Dia kesal sendiri sekaligus takut pada pria itu. Butuh beberapa saat untuk Tami merasa lebih tenang dan akhirnya melaju keluar dari area parkir tersebut.

Sesaat lalu otak Tami seolah kosong, dia tak bisa berpikir jernih dan kini dia semakin bingung karena telah memarkirkan mobilnya di halaman rumah mamanya. Gadis itu melihat ke sekeliling dan mengernyit saat menyadari bahwa ada mobil Satria di luar pagar sana.

“Ngapain dia di rumah mama? Apa jangan-jangan mau ketemu Sissy?” gumam Tami sambil mencoba menebak.

Karena begitu penasaran, akhirnya dia memilih turun dan masuk ke dalam rumah untuk mencari tahu sendiri.

“Bagaimana dengan permintaan saya?”

Tami mengernyit di balik tembok, suara Satria terdengar mengintimidasi tak seperti biasanya. “Permintaan apa?” batin Tami.

“Em, Nak Satria enggak mau dipikirkan lagi. Sissy ini selain lebih muda, dia juga jauh lebih baik dari Tami. Kecantikannya juga menang jauh dari pada kakaknya,” kali ini suara mamanya terdengar membujuk dan melanjutkan dengan perkataan yang membuat hati Tami teriris, “dia bahkan bisa melakukan apa pun yang tak bisa dilakukan kakaknya, Sissy juga enggak akan bersikap memalukan seperti Tami.”

Pijakan Tami mulai goyah, hatinya sakit sekali hingga tenggorokannya tercekat.

“Apa mungkin Nak Satria butuh waktu untuk memikirkan ulang lagi semuanya?” pinta mama.

Yang tak Tami sangka adalah jawaban tegas Satria setelahnya, “Saya hanya mau Tami, bukan yang lain!”

Perasaan Tami tak karuan, setelah sakit karena ucapan mamanya, kini dia terkejut hebat.

Dia mengernyit dan semakin mendekat. Di dalam sana terdengar suara samar Satria, tapi dia tak bisa mendengarnya secara jelas.

“Kalau begitu, saya terima niat baik Nak Satria pada Tami. Selanjutnya akan kami bicarakan dengan keluarga besar terkait dengan penentuan tanggal untuk kalian menikah,“ suara bahagia mama terdengar jelas dipaksakan. Namun, kalimat setelahnya membuat Tami semakin bertanya-tanya. “Saya yakin Nak Satria adalah pria yang teguh memegang janji.”

Tami tak kuat lagi, dia kesal karena semua orang menentukan masa depan tanpa bicara padanya. Dia ingin protes, tapi langkah cepatnya langsung terhenti kala dirinya memasuki ruang keluarga. Tubuhnya membeku saat melihat di dalam sana tak hanya ada Satria, tapi juga ada kedua orang tuanya.

Satria menoleh dan menatapnya dalam, dengan senyuman yang tak bisa Tami artikan. Dan ucapan Satria membuat dia ingin menghilang dari rumah itu, sekarang juga.

“Terima kasih karena sudah menerima lamaran saya. Saya janji akan membahagiakan Tami dan menjadikan pernikahan kami penuh senyuman.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status