Dua tahun yang lalu perasaan Tami membuncah bahagia. Dia tak menyangka akan dapat pria yang membuatnya jatuh cinta. Namun, kebahagiaan tak berlangsung lama. Beberapa bulan setelah berpacaran, Irwan mulai mengeluh banyak hal dan mulai meminjam uang pada Tami. Padahal Irwan juga memiliki kedudukan di kantor. Entah digunakan untuk apa uang itu.
Lebih menjijikkan lagi pria itu pun kerap terlihat menggoda beberapa wanita dan selalu berkelit saat terciduk langsung oleh Tami.
Kesabaran Tami habis dan malam itu adalah puncaknya. Mulai saat itu, Tami bersumpah tak ingin lagi bertemu dengan Irwan, apa pun kondisinya. Tetapi, takdir berkata lain.
“Mas Irwan,” suara Tami sangat lirih, hingga hanya dirinya yang bisa mendengar.
Matanya membola sempurna, pria yang disangkanya telah mendekam di dalam penjara malah terlihat beberapa meter di depan sana sedang tersenyum menatapnya. Tami segera membalikkan badan berjalan cepat menuju kasir dan mencari jalan keluar.
Jantungnya semakin berdegup kencang saat melihat Irwan juga berjalan cepat ke arahnya. Keringat dingin mulai muncul saat bayangan malam itu kembali muncul. Dia ketakutan. Tak ingin semakin membuang waktu, Tami meletakkan begitu saja keranjang belanjaannya dan berlari melewati orang-orang keluar dari supermarket itu dengan kencang.
“Tami!” teriakan Irwan semakin membuat Tami mempercepat langkahnya. Tetapi, gerakannya masih kurang cepat.
“Lepas, Mas. Lepas atau aku teriak!” pekik Tami saat lengannya ditarik Irwan dan mereka berdiri berhadapan.
“Oke. Aku hanya ingin bicara,” pinta Irwan sembari menaikkan kedua tangan di kedua sisi wajahnya.
Irwan terlihat lebih kurus dan sedikit menyedihkan. Pria itu tak lagi terlihat necis seperti biasanya. Rambutnya sedikit panjang dan rahang yang tak lagi bersih tanpa di cukur.
Tami sedikit terenyuh sesaat, namun dia menyadarkan diri untuk tak lagi jatuh lebih dalam. Dia mendelik dan menjawab dengan ketus, “Enggak ada yang harus kita bicarakan lagi. Aku harap ini pertemuan terakhir kita.” Lalu Tami berbalik dan pergi.
Irwan masih kekeh mengejar Tami. “Tolong dengarkan aku dulu sebentar, Tam. Aku ingin menjelaskan segala sesuatunya. Sepuluh menit saja, boleh?” Irwan menurunkan egonya di depan Tami.
“Lebih baik kita tak usah saling kenal lagi, Mas,” ucap Tami dengan tangan yang memegang erat tali tasnya berusaha menutupi kegugupan dan kali ini dia benar-benar pergi.
Meski suara penuh penyesalan Irwan terdengar, dia tak mau menoleh ke belakang lagi. “Maafkan aku, Tami. Aku mohon .... “
Ingatan kebersamaan mereka langsung menyeruak kala Tami sudah duduk di dalam mobilnya. Betapa manis perlakuan Irwan yang selalu romantis padanya. Tak pernah bersuara tinggi dan selalu memberikan kenyamanan pada Tami. Namun, ingatan tentang malam itu pun menghantam keras dirinya. Hingga air mata tak tertahankan lagi.
Tangannya mengepal erat di kemudi mobil dengan napas yang tak beraturan. Dia kesal sendiri sekaligus takut pada pria itu. Butuh beberapa saat untuk Tami merasa lebih tenang dan akhirnya melaju keluar dari area parkir tersebut.
Sesaat lalu otak Tami seolah kosong, dia tak bisa berpikir jernih dan kini dia semakin bingung karena telah memarkirkan mobilnya di halaman rumah mamanya. Gadis itu melihat ke sekeliling dan mengernyit saat menyadari bahwa ada mobil Satria di luar pagar sana.
“Ngapain dia di rumah mama? Apa jangan-jangan mau ketemu Sissy?” gumam Tami sambil mencoba menebak.
Karena begitu penasaran, akhirnya dia memilih turun dan masuk ke dalam rumah untuk mencari tahu sendiri.
“Bagaimana dengan permintaan saya?”
Tami mengernyit di balik tembok, suara Satria terdengar mengintimidasi tak seperti biasanya. “Permintaan apa?” batin Tami.
“Em, Nak Satria enggak mau dipikirkan lagi. Sissy ini selain lebih muda, dia juga jauh lebih baik dari Tami. Kecantikannya juga menang jauh dari pada kakaknya,” kali ini suara mamanya terdengar membujuk dan melanjutkan dengan perkataan yang membuat hati Tami teriris, “dia bahkan bisa melakukan apa pun yang tak bisa dilakukan kakaknya, Sissy juga enggak akan bersikap memalukan seperti Tami.”
Pijakan Tami mulai goyah, hatinya sakit sekali hingga tenggorokannya tercekat.
“Apa mungkin Nak Satria butuh waktu untuk memikirkan ulang lagi semuanya?” pinta mama.
Yang tak Tami sangka adalah jawaban tegas Satria setelahnya, “Saya hanya mau Tami, bukan yang lain!”
Perasaan Tami tak karuan, setelah sakit karena ucapan mamanya, kini dia terkejut hebat.
Dia mengernyit dan semakin mendekat. Di dalam sana terdengar suara samar Satria, tapi dia tak bisa mendengarnya secara jelas.
“Kalau begitu, saya terima niat baik Nak Satria pada Tami. Selanjutnya akan kami bicarakan dengan keluarga besar terkait dengan penentuan tanggal untuk kalian menikah,“ suara bahagia mama terdengar jelas dipaksakan. Namun, kalimat setelahnya membuat Tami semakin bertanya-tanya. “Saya yakin Nak Satria adalah pria yang teguh memegang janji.”
Tami tak kuat lagi, dia kesal karena semua orang menentukan masa depan tanpa bicara padanya. Dia ingin protes, tapi langkah cepatnya langsung terhenti kala dirinya memasuki ruang keluarga. Tubuhnya membeku saat melihat di dalam sana tak hanya ada Satria, tapi juga ada kedua orang tuanya.
Satria menoleh dan menatapnya dalam, dengan senyuman yang tak bisa Tami artikan. Dan ucapan Satria membuat dia ingin menghilang dari rumah itu, sekarang juga.
“Terima kasih karena sudah menerima lamaran saya. Saya janji akan membahagiakan Tami dan menjadikan pernikahan kami penuh senyuman.”
Satria menyeringai puas. Sambil mengelus foto mendiang kekasihnya, dia berucap lirih, “Pembalasanku untuk kematianmu akan segera terlaksana, Sayang. Tunggulah sebentar lagi, Tami akan kubuat merasakan sakit sampai dia tak ingin ada di dunia ini lagi.”Dia memejamkan mata sejenak, dadanya selalu sesak setiap kali mengingat Vania -tunangannya- yang meninggal satu minggu sebelum hari pernikahan mereka. Satria terpuruk dan hal itu membuat hatinya kebas kehilangan rasa.Sudah tiga tahun berlalu, tapi rasa sakit itu masih ada dan berkembang menjadi dendam yang bukannya menghilang malah semakin membakar diri Satria untuk melampiaskan sakit hatinya pada Tami.Tak peduli apa pun risikonya, dia sudah bertekad untuk membuat keluarga Tami hancur dan bersujud memohon ampun di kakinya.“Kali ini aku tidak akan menahan diri lagi.” Kemarahan terlihat jelas di wajah pria yang selama ini terkenal baik hati dan ramah.Rahangnya mengeras dengan mata yang berkobar, “Tak akan kubiarkan kamu hidup bahagia,
Tami berulang kali mengumpati Satria. Dia geram bukan main. Entah apa yang ada di pikiran atasannya itu hingga tiba-tiba ingin menikahinya. Apalagi mamanya yang juga ikut setuju tanpa menanyakan apa pun padanya.Bahkan, setelah dia melontarkan penolakan dan semua orang sudah pulang, hatinya masih tak tenang. Saat ini, dia masih di rumah mamanya di dalam kamarnya sendiri dan mencari cara untuk menggagalkan semuanya. Terlebih kata-kata Satria saat dia melabrak pria itu di telepon malah terus terngiang di kepala.“Kita akan menikah dan itu tak lama lagi.”“Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.”“Dengan entengnya dia mengancamku,” gumam Tami sambil mencibir. Hatinya kesal bukan main.Dia terdiam sesaat, menghempaskan tubuh ke kasur dan memandang langit-langit kamarnya. “Tapi apa yang dia bilang itu benar juga, apalagi mas Irwan enggak merasa salah sama sekali.”Tami benar-benar tak tenang, dia bangun d
Tami duduk manis di salah satu kafe yang berada dekat dengan apartemennya. Rencana untuk bertemu di unitnya langsung dia batalkan saat bayangan malam buruk bersama Irwan tiba-tiba berkelebat di benaknya, membuat sekujur tubuhnya merinding dan gemetar ketakutan.Dia meminum perlahan jus alpukat yang sudah berkurang setengah, tapi Satria belum juga tampak batang hidungnya. Tami memejamkan mata dramatis berusaha menekan emosi yang mulai menyeruak di dirinya. Gadis itu tak ingin ada di sini, tapi hal ini harus dilakukan sebelum semua semakin mempercepat penyesalan.Kursi di depannya bergeser, senyum tipis terlihat dari wajah tanpa raut rasa bersalah. “Ada urusan yang harus saya lakukan terlebih dahulu tadi.”“Saya juga belum lama,” cicit Tami mengalah.Mata Satria melirik ke arah gelas Tami yang sudah hampir habis isinya, dia tersenyum miring sebelum memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. “Sudah menyerah dan siap menikah dengan saya?” Suara Satria terdengar dengan pertanyaan merem
Pernikahan yang katanya hanya diadakan secara sederhana dan mengundang keluarga terdekat saja karena persiapan dengan waktu yang singkat. Nyatanya, sejak tadi tamu tak berhenti berdatangan dan lihatlah dekorasinya. Penuh dengan lampu kristal, ruangan yang di dominasi warna putih dan emas, bunga-bunga indah juga pernak pernik lain yang sudah pasti tak murah adanya.Tami sudah berulang kali meringis, kakinya mulai lecet dan betisnya pegal karena terlalu lama berdiri menyapa tamu. Dia tahu kalau berharap perhatian dari suaminya adalah mustahil karena Satria tidak mencintainya. Benar saja, pria itu hanya meliriknya sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah tamu.“Kenapa senyummu jelek sekali hari ini. Biasanya kamu selalu ramah dan ceria.” Tegur Satria.“Tentu saja karena aku terpaksa ada di sini,” ucap Tami yang hanya berani diucapkan dalam hati. Dia mendengkus kecil dan melebarkan bibirnya dengan sangat terpaksa.“Ck ... ya, lumayan lah. Bertahanlah sampai acara ini selesai.
Tami mendorong kuat dada Satria dan mengatur napasnya ketika sudah terlepas. Dia masih tersengal dengan dada yang naik turun dan wajah memerah. Matanya terus melirik tajam ke arah Satria yang kini sudah berbaring di sebelahnya. Meski dia begitu menikmati kelembutan yang disuguhkan, tapi harga dirinya menolak untuk mengakui.“Apaan, sih, Pak,” omelnya.Satria tak menggubris, dia malah tersenyum miring lalu berbalik memunggungi Tami.“Dasar Om-om genit. Habis cium-cium malah sok jual mahal,” gerutu Tami dalam hati.Rasanya masih ingin meneruskan marah, tapi ucapan Satria kian menohoknya. “Tenang saja, saya enggak berminat sama tubuh kamu. Tadi hanya mencicip suguhan yang telah saya bayar mahal. Ternyata rasanya sungguh mengecewakan.”Tenggorokan Tami tercekat mendengarnya. Dirinya hanya dianggap sebagai “suguhan” dan mengecewakan. Hatinya bagai diremas kuat saat ini. Padahal dia sudah terbiasa direndahkan mama dan adiknya. Tapi ini sakit sekali. Air matanya sudah berkumpul di pelupuk m
Tepat pukul sepuluh pagi, pesawat sewaan mereka lepas landas. Iya, Papa Felix sengaja tidak membeli tiket pesawat komersial melainkan menyewa sebuah pesawat jet milik salah seorang sahabatnya. Dia tak ingin anak dan menantunya kelelahan di perjalanan dan malah tak ada tenaga lagi begitu sampai di sana.“Sebenarnya kita mau ke mana, sih, Pak? Eh, Mas.” Ralatnya cepat saat melihat lirikan tajam Satria padanya.“Saya juga enggak tahu!”Suara decakan terdengar, membuat Satria menoleh. “Udah sana, kamu duduk yang jauh, jangan ganggu aku!”“Jangan-jangan aku mau di buang ke pulau terpencil,” bisik Tami pada diri sendiri sambil berjalan pelan ke kursi belakang. Dan membayangkan itu dia jadi bergidik.Satria memutar matanya malas. “Dari pada saya mengeluarkan tenaga untuk membuangmu di pulau, lebih baik makananmu di taburi racun. Akan lebih hemat waktu,” cibiran ketus itu terdengar jelas.Mata Tami melotot dan gegas berjalan lebih cepat menghindari suaminya.Perjalanan yang awalnya dikira Tam
Mata Tami memejam erat, dia menahan perih di bagian tubuh bagian bawahnya. Namun, hal itu tak sesakit hatinya. Air matanya menetes perlahan, tapi hal itu tak membuat Satria menghentikan apa yang sedang dinikmatinya sekarang.“Vania ... aku mencintaimu, Sayang. Oh, Vania. Terima kasih sudah menjaganya untukku.” Suara mengeram tertahan Satria terdengar begitu jelas. Karena pria itu menyandarkan kepalanya di bahu Tami yang hanya bisa diam pasrah dalam kungkungannya.Hati Tami membuncah, dia kira Satria mulai bisa membuka hati dan akan belajar menerima dirinya dengan sungguh-sungguh sebagai istri. Tapi, senyumannya seolah melesap langsung ke perut bumi kala mendengar nama wanita lain yang di teriakkan suaminya saat pria itu mendapatkan kepuasan.“Hukuman kamu, benar-benar menghukumku, Mas,” batin Tami menangis. Dia memiringkan badannya saat Satria sudah berguling ke samping. Mereka masih di pinggir pantai, dengan beralaskan daun pisang. “Diri ini benar-benar sudah tak ada lagi harga dir
“Sayangnya mama,” suara penuh kebahagiaan terdengar dan pelukan hangat di terima Tami. Wajahnya juga tak luput dari banyaknya kecupan dari mama mertuanya.Satria entah ke mana. Begitu sampai mereka berpisah di depan bandara dan Tami langsung diantar ke rumah utama.“Maaf ya, Sayang. Kalian jadi terpaksa pulang lebih cepat dan hanya dua malam di sana. Pasti kamu sedih ya. Biasanya kalau sudah ke sana, semua pada betah dan enggak mau pulang.” Mama Emilia terlihat menyesal dan sedikit bersalah pada menantunya ini.“Aku malah bahagia bisa keluar dari pulau itu, Mah,” ucap Tami dalam hati. Yang tampak malah senyum manis menenangkan dan ucapan penuh pengertian,” Enggak kok, Mah. Kami bisa ke sana lagi kapan-kapan dan Mamah benar, di sana begitu indah.”“Iya, kamu benar. Nanti kita bisa ke sana saat liburan dan kamu bisa melanjutkan bulan madu ke negara lain.” Mama Emilia masih terus berusaha menghibur Tami.Wajah Tami malah tercipta senyum pias setiap kali mendengar kata bulan madu.“Ya uda