Sementara itu, Roro melangkahkan kakinya menyusuri koridor hotel sambil menghafal nomor kamar yang disebutkan oleh Angga. Begitu sampai di kamar yang dengan nomor yang tepat, ia langsung mengetuk pintu.
Tok ... tok ... tok ...!
Ayu menghela napas sambil menunggu Nanda membukakan pintu untuknya. Ia melangkah mondar-mandir, memutar tubuhnya dengan gelisah karena Nanda tak kunjung membukakan pintu. Sementara, ia sudah ingin pulang ke rumahnya.
Tok ... tok ... tok ...!
Ayu kembali mengetuk pintu tersebut.
“Apa Nanda sudah tidur? Ini Birthday Party dia. Nggak mungkin tidur ‘kan?” gumam Ayu .
KLEK!
“Aargh ...!” teriak Ayu saat Nanda menyambar pergelangan tangannya dan menarik paksa untuk masuk ke dalam kamar tersebut.
“Sst ...! Jangan teriak!” bisik Nanda sambil menekan tubuh Ayu di balik pintu yang sudah tertutup rapat.
“Nan ... Da ...!” Suara Ayu tercekat saat melihat mata Nanda yang tepat berada di hadapannya. Mata itu menatap tajam ke arahnya. Ia bisa melihat dengan jelas meski lampu ruangan itu sangat redup. Hanya lampu tidur di sudut ruangan yang menyala dan membuatnya tidak bisa melihat semua sudut ruangan itu dengan baik.
“I’m waiting you, Baby.” Nanda menangkup wajah Ayu dan menghisap kuat bibir wanita itu.
Ayu langsung menjatuhkan kotak kado yang sedari tadi ia genggam erat di tangannya. Ia berusaha mendorong tubuh Nanda yang menciumnya paksa.
“Kamu ...!?” Nanda sangat kesal saat ia mendapat penolakan. Ia kembali menekan tubuh wanita itu dan mencium paksa. Semakin gadis itu memberontak, gairahnya semakin tidak terkendali.
“Nanda ...! Aku Ayu , bulan Arlita ...!” seru Ayu sambil mendorong tubuh Nanda.
“Ayu ?” Nanda terdiam sesaat. Ia mengerjapkan mata sambil memukul pelan keningnya yang berdenyut. Kepalanya terasa pening karena alat vitalnya sudah berada dalam mode on sejak ia menarik paksa gadis yang ada di hadapannya itu.
Tiga puluh menit lalu, ia baru saja menghisap permen yang mengandung epimedium. Membuatnya sangat bergairah. Terlebih, ia sengaja memasang aroma therapi yang dapat membangkitkan gairah seksualnya karena ia ingin menikmati malam yang indah bersama kekasihnya, Arlita.
“Nan, aku ke sini untuk kasih hadiah dari aku dan Sonny. Sonny nggak bisa ke sini. Jadi, aku yang antar langsung. Sorry! Aku udah ganggu kamu. Aku pulang dulu!” pamit Ayu sambil meraih gagang pintu dan bersiap untuk pergi.
“Aargh ...!” Ayu kembali berteriak saat Nanda menarik pergelangan tangannya dengan kasar.
Nanda menarik paksa tubuh Ayu dan menghempaskannya ke atas tempat tidur. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mendengar suara Ayu yang begitu lembut dan sensual, membuatnya tak bisa menahan diri.
“Nan, kamu mau apa?” Ayu menatap Nanda dengan tubuh gemetaran. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada. Berusaha bergerak mundur untuk menghindari Nanda yang sedang menatapnya seperti Singa kelaparan.
“Kamu yang ngantar dirimu sendiri ke sini,” ucap Nanda sambil tersenyum menatap Ayu . Ia segera melepas kemejanya. Memperlihatkan dadanya yang kekar dengan kotak-kotak teratur di perutnya.
GLEG!
Ayu menelan ludah melihat tubuh Nanda yang terekspose di hadapannya. Delapan tahun berpacaran dengan Sonny, ia bahkan tidak pernah melihat tubuh pria itu secara langsung. Bagaimana bisa ia menodai matanya sendiri dengan pemandangan yang seharusnya tidak ia lihat?
“Nanda ... jangan, Nan!” seru Ayu saat Nanda melepas gesper yang melingkar di pinggangnya. Ia bergerak mundur dan terduduk di pojok ranjang hingga terdesak pada headboard. Matanya menatap tubuh Nanda yang sudah berhasil melepas seluruh pakaiannya. Ia bahkan bisa melihat dengan jelas bagian inti kelelakian Nanda yang sudah menegang sempurna.
Nanda langsung menangkap pergelangan kaki Ayu dan menyeretnya.
“Jangan, Nan! Please ...!” pinta Ayu sambil berpegangan kuat pada ujung kasur agar tubuhnya tidak tertarik.
Nanda semakin kesal karena Ayu terus memberontak. Ia naik ke atas ranjang berukuran King sambil menyingkap dress yang dikenakan oleh Ayu . Dengan cepat, ia menurunkan hot pant yang membalut string yang dikenakan oleh Ayu .
“Nanda, kamu jangan gila! Kita bukan ... mmh ... mmh ...” Ayu menghentikan ucapannya saat telapak tangan Nanda membungkam mulutnya. Ia berusaha menguasai kesadarannya meski ia sendiri dipengaruhi oleh alkohol.
Ayu menitikan air matanya saat Nanda duduk di atas tubuhnya yang menelungkup. Pria itu membungkam mulut Ayu dengan telapak tangan kirinya. Sementara, tangan kanannya melingkar erat di tubuh Ayu hingga ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
“Nanda, jangan lakuin ini ...!” lirih Ayu dalam hati sambil terus menitikan air mata. Bayangan wajah Sonny yang selalu menjaga dan menyayanginya dengan tulus, tiba-tiba terlintas di pelupuk mata. Bagaimana jika Sonny tahu kalau ia kehilangan keperawanan di tangan sahabat baiknya sendiri? Ia langsung diselimuti rasa bersalah pada kekasihnya saat Nanda berubah menjadi penguasa tak terkalahkan di ruangan yang hanya disinari lampu tidur warna biru di sudut ruangan.
“Aargh ...! Nan ... don’t touch me!” seru Ayu saat Nanda melepaskan telapak tangan dari wajahnya.
Nanda semakin tak sabar mendengar teriakan Ayu . Kepalanya semakin pusing dan kesal saat ia kesulitan melakukan penyatuan dengan Ayu .
“Nan, aku ....” Ayu tak sanggup berkata-kata lagi saat Nanda membenamkan tubuhnya dan berubah menjadi penguasa atas semua yang ia miliki. Merenggut hal paling berharga yang seharusnya ia berikan pada pria yang sangat ia cintai dan sedang berjuang bersama menyusun rencana masa depannya.
Air mata Roro Ayu menetes dan semua rasa persahabatannya kini berubah jadi kebencian. Nanda telah menghancurkan semuanya detik itu juga. Yang lebih kejamnya lagi, ia tidak berdaya karena Nanda menganggapnya memiliki pergaulan yang sama dan sudah sering melakukan hal seperti dengan tunangannya.
Satu bulan kemudian ... Ayu menatap dua garis merah pada testpack di tangannya dengan tubuh gemetaran. Dia adalah gadis yang belum menikah dan tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengan Sonny yang telah menjadi tunangannya setelah berpacaran selama tujuh tahun. “Aku harus gimana?” tubuh Ayu merosot ke lantai seiring dengan air matanya yang jatuh berderai membasahi pipinya. Ia terus mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga kesucian cintanya dengan baik. Rasa bersalah pada tunangannya, keluarganya dan sahabatnya ... kini telah menjadi selimut kelam yang akan mengawali penderitaan hidupnya. Ayu berusaha untuk bangkit dari lantai kamar mandi setelah air matanya nyaris habis dan tidak bisa keluar lagi. Ia menyiram seluruh tubuhnya dengan air di kamar mandi. Membersihkan setiap inchi tubuhnya yang kini terasa sangat kotor. Ia terus menangis setiap kali menggosok tubuhnya yang begitu menjijikkan. Ayu segera mengganti pakaiannya begitu ia sud
“Kamu nggak mau ngakuin anakmu sendiri, Nan?” seru Ayu . Nanda memutar kepalanya menatap Ayu . “Aku ini masih muda. Nggak mungkin jadi ayah. Kalau memang dia anakku. Gugurkan aja! Toh, kita juga punya pasangan masing-masing,” sahutnya. Ia segera menuruni anak tangga dan bergegas keluar dari rumah karena sudah memiliki janji kencan dengan Arlita, kekasihnya yang juga sahabat baik Roro Ayu . DEG! Jantung Ayu berhenti berdetak begitu mendengar kalau Nanda justru memintanya menggugurkan kandungannya. Hatinya yang sudah luka, kini kembali dilukai oleh pria itu. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan saat ini. Bayi di dalam perutnya butuh seorang ayah, tapi ia tidak mungkin meminta pertanggungjawaban pada tunangan yang tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengannya. Ayu kembali menitikan air mata sambil melangkah perlahan menuruni anak tangga rumah mewah tersebut. “Ay, kamu kenapa?” tanya Tan
“Rindu, kamu kenapa?” tanya Edi begitu melihat istrinya terbaring di sofa ruang tamu. Ia terpaksa pulang ke rumah setelah mengetahui kalau istrinya jatuh pingsan di rumahnya. Rindu hanya mengerdip sekilas. Ia tidak memiliki tenaga untuk menjawab pertanyaan dari suaminya itu. “Bundamu kenapa, Yu?” tanya Edi. Ayu hanya menutup wajahnya sambil sesenggukkan. “Kita ke rumah sakit, sekarang!” ajak Edi sambil mengangkat kepala Rindu. Rindu menggelengkan kepala perlahan. “Nggak usah! Aku cuma perlu istirahat sebentar aja.” “Kamu ini kenapa? Ada pikiran yang mengganggumu?” tanya Edi. Ia mengedarkan pandangannya. Menatap satu pembantu dan supir di rumahnya. “Ibu kenapa?” Dua orang pekerja di rumah keluarga itu tidak berani menjawab pertanyaan dari tuan rumahnya itu. Mereka hanya melirik ke arah Roro Ayu yang terduduk di lantai, tepat di bawah kaki ibunya. “Mas, tolong telepon si Sonny!” pinta Rindu lirih. Edi mengangguk.
“Iya. Apa kamu sebagai tunangannya Ayu, tidak mau bertanggung jawab?” tanya Edi. Hening. “Sonny Pratama ...! Apa kamu dengar Papa?” “Eh!? Dengar, Pa. Aku akan pulang ke Surabaya sore ini.” “Baguslah.” Edi langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia segera masuk kembali ke ruang tamu untuk menghampiri Rindu dan puterinya. “Sonny akan segera pulang sore ini juga. Begitu dia sampai, langsung menikah saja! Papa akan persiapkan semuanya!” tutur Edi sambil menatap wajah Ayu. Ayu masih terisak di tempatnya. Ia semakin merasa bersalah karena anak yang ia kandung bukanlah anak dari Sonny. Akankan Sonny menerima anak ini begitu saja? Ia sudah menghancurkan kesucian cinta yang selama ini mereka jaga. Ia tidak punya muka untuk bertemu dengan tunangannya itu. “Pa, aku tidak mau menikah dengan Sonny,” tutur Ayu lirih. Edi yang sedang menghubungi beberapa orang untuk membantu menikahkan puterinya, langsung memutar
“Andre ...! Mana anakmu yang bajingan itu!” seru Edi sambil menerobos masuk ke dalam rumah Andre, ayah kandung Nanda sekaligus kolega bisnisnya. Di belakangnya, juga ada beberapa pria berpakaian preman. “Mas Edi? Ada apa?” Andre langsung menghampiri Edi yang meneriaki dirinya dengan wajah penuh amarah. “Ada apa, Mas Edi? Kenapa ke sini bawa preman seperti ini?” tanya Nia lembut. “Mana anak kalian!?” seru Edi tak sabar. “Nanda lagi keluar, Mas. Duduk dulu!” pinta Nia dengan tubuh gemetaran. Ia terus mencengkeram lengan suaminya saat melihat Edi begitu emosi. Di saat bersamaan, Nanda melangkah santai memasuki rumahnya sembari memainkan kunci mobil di tangannya. “Itu Nanda, Mas,” bisik Nia sambil menatap tubuh puteranya. Edi memutar tubuhnya dan menatap tajam ke arah Nanda. Beberapa orang preman yang ia bawa, langsung menyambar tubuh Nanda. “Ada apa ini?” seru Nanda, ia berusaha memberontak. Namun, kekuatannya tak ma
“Ay, aku mau bicara!” Nanda langsung menarik Ayu dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita, Nan,” sahut Ayu dingin. “Dia ... beneran anakku?” tanya Nanda sambil melirik perut Ayu. Ayu tak menyahut pertanyaan Nanda. “Dia tidak diinginkan sama ayahnya sendiri. Aku anggap, ayahnya sudah mati.” Nanda menelan salivanya dengan susah payah. Bayangan Arlita yang akan bertunangan dengannya, bergelayut di pelupuk mata. Ayu menghela napas, ia meraih gagang pintu dan bermaksud untuk keluar dari sana. “Kita menikah saja.” “Sejak dulu, kedua orang tuaku tidak menyukaimu. Begitu pun aku. Aku tidak ingin melakukan pernikahan karena terpaksa. Aku sudah memutuskan, akan membesarkan anak ini meski tanpa ayah,” tutur Ayu lirih. “Mamaku tidak berhenti menangis dan jatuh sakit karena ancaman ayahmu. Bisakah kamu punya hati sedikit, Ay? Kita menikah saja. Ini bukan hal sulit. Aku akan berikan apa saja
Nanda menarik kasar lengan Ayu. Dengan cepat, ia menarik tengkuk Ay dan menyambar bibir wanita itu dengan kasar. “Mmh ... mmh ... mmh ...” Ayu berusaha memberontak. Namun, kedua tangan Nanda memegang erat tubuhnya hingga tak mampu bergerak. Nanda terus menciumi bibir Ay dengan liar dan menurunkan ritmenya perlahan. Mengulum lembut bibir wanita itu hingga membuat Ayu tak lagi bergerak untuk melawannya. Bodohnya, Ayu malah merasa nyaman dengan sentuhan bibir Nanda hingga membuatnya justru membalas sentuhan itu tanpa sadar. Nanda tersenyum sinis sambil melepaskan ciumannya. “Malam itu kamu menikmatinya, Ay. Apa kamu lupa? Kita melakukannya bersama-sama. Jangan hanya menyalahkan aku saja,” bisiknya. Ay melirik kesal ke arah Nanda sambil mengatur napasnya yang tak teratur. “Kita menikah saja, oke? Aku akan memperlakukan kamu dengan baik. Soal cinta, kita bisa melakukannya perlahan. Bagaimana?” tanya Nanda lembur sambil
“Roro Ayu, layani suamimu dengan baik!” perintah Bunda Rindu saat mereka berada di meja makan untuk menikmati sarapan pertama kalinya. Ayu langsung menarik piring dari atas meja dengan kasar dan mengambilkan nasi dan lauk untuk Nanda. Wajahnya, tetap saja tak mau bersahabat dengan suaminya itu. “Kamu sudah memutuskan menerima lamaran keluarga Nanda. Bersikap baiklah pada suamimu!” perintah Edi. “Ayah, ayah tahu kalau aku nggak mau menikah. Bukankah ayah sendiri yang bilang kalau aku bisa membesarkan anak ini tanpa ayahnya. Aku rela menanggung malu seumur hidupku daripada harus berumah tangga dengan orang yang tidak mencintaiku seumur hidupnya,” tutur Ayu sambil menahan kesal. “Roro Ayu, nggak baik bicara seperti itu! Nanda sudah jadi suamimu. Sebagai seorang istri, kamu harus tetap berbakti dan menurut pada suamimu.” Ayu menghela napas dan mengangguk terpaksa. Ia meraih susu hangat yang disiapkan oleh pelayan rumahnya d