Langit sore menggelap lebih cepat dari biasanya di atas Hartfeld Estate. Awan kelabu menggantung berat, seolah menyimpan firasat akan badai yang lebih besar dari sekadar cuaca.
Jocelyn duduk kaku di ruang kerja sang ayah—ruangan yang lebih menyerupai ruang takhta daripada ruang pribadi. Dinding dihiasi lukisan pendiri Hart Group dari generasi ke generasi, seolah masing-masing dari mereka ikut menghakimi dari balik pigura emas tua. Joseph Hartfeld berdiri membelakangi putrinya, menatap keluar jendela tinggi yang menghadap taman belakang. Tangannya bersilang di belakang tubuh, jas Armani yang dikenakannya tetap jatuh sempurna meski postur tubuhnya mulai termakan usia. “Merger ini,” katanya pelan namun tegas, “bukan hanya solusi terbaik. Ini satu-satunya jalan.” Jocelyn menggertakkan gigi. “Pernikahan? Dengan Sebastian Grey?” Suaranya naik satu oktaf, tidak bisa lagi menyembunyikan amarah. “Itu bukan merger, itu perbudakan modern.” Joseph berbalik. Sorot matanya tajam, penuh kalkulasi. “Jangan dramatis. Ini bukan tentang cinta atau benci. Ini tentang mempertahankan kerajaan yang telah kubangun selama empat dekade.” “Dan Papa pikir aku harus menyerahkan hidupku untuk menebus kesalahan bisnis yang Papa buat? Bukankah sebelumnya aku sudah mengingatkan Papa akan resiko manuver ini?” Jocelyn berdiri, bahunya tegang. “Aku bukan alat tukar, Papa.” “Bukan kesalahanku,” potong Joseph cepat. “Tapi risikonya memang tak berhasil. Dan sekarang kita terpojok. Jika kita tak segera bersatu dengan Grey International, dewan akan memilih untuk mengangkat CEO baru. Bukan kamu.” Perkataan itu mengenai Jocelyn lebih dalam daripada yang ia kira. “Jadi ini tentang posisiku?” tanyanya, lebih pelan memastikan apa yang didengarnya benar. “Ini tentang kelangsungan keluarga kita,” jawab Joseph. “Hart Group takkan bertahan jika investor terus menarik dana. Percaya atau tidak, Sebastian Grey adalah satu-satunya pihak yang bersedia menyelamatkan kita—dengan syarat merger menyeluruh, termasuk kepemimpinan. Dan dia hanya akan menyetujui jika kamu... bersedia menjadi penghubung resmi antara dua keluarga.” “Penghubung?” Jocelyn tertawa getir. “maksud Papa pengantin paksaan? Kalian memperlakukanku selayaknya barang rampasan perang!” Joseph mengangguk. Tidak ada ekspresi bersalah di wajahnya. Hanya logika. Hanya strategi. “Dia membenciku dan aku juga sangat membencinya,” ujar Jocelyn nyaris berbisik. “Kami nyaris berkelahi di setiap kompetisi saat SMA. Dia menghancurkan proposal startup pertamaku di konferensi Zurich. Dia—dia memanggilku 'Putri Es' di hadapan seluruh board!” “Dan kau memanggilnya ‘anak yatim sombong dengan ego seukuran New York.’ Aku tahu,” ucap Joseph datar. “Tapi Sebastian telah berubah. Dia CEO sekarang. Seperti halnya dirimu, dia juga dibentuk oleh luka dan ambisi. Kalian lebih mirip daripada yang kau kira.” Jocelyn memejamkan mata. Napasnya berat. Rasanya seperti dijebak dalam catur kehidupan—dan ia pion yang dikorbankan. “Berapa lama kalian merancang ini?” tanyanya, kini suaranya lebih stabil, namun dingin. “Sebulan terakhir,” jawab Joseph tanpa ragu. “Sejak saham kita mulai anjlok. Ini bukan keputusan ringan, Jo.” “Lalu kenapa Sebastian mau? Dia bukan tipe yang suka menikah demi drama perusahaan.” Joseph menatap anaknya dengan cara yang tidak biasa—sedikit... iba? “Dia akan memberimu jawabannya sendiri. Kalian akan makan malam sore ini. Aku sudah mengatur semuanya.” “Jadi aku tidak punya pilihan?” Jocelyn menatap ayahnya, matanya berkaca-kaca tapi penuh perlawanan. “Kalau aku menolak, maka aku dicoret dari pewarisan, dan orang seperti—seperti Jonathan Cline akan mengambil alih posisi CEO?” Joseph mengangguk sekali. Perlahan tapi mematikan. Keheningan membungkus ruangan seperti kabut. Jocelyn ingin meneriakkan semua luka yang ia pendam sejak remaja—tentang bagaimana ia dipaksa menjadi pewaris, bukan menjadi anak. Tentang bagaimana tiap keputusan hidupnya ditentukan rapat dewan, bukan hati nurani. Tapi ia tahu, tidak akan ada gunanya. Joseph Hartfeld tidak mengerti bahasa emosi. Hanya hasil. Akhirnya, dengan langkah lambat, Jocelyn berjalan menuju pintu. Tangannya menyentuh kenop perunggu, tapi ia tak membukanya. Tanpa menoleh, ia berkata, “Baik. Aku akan datang ke makan malam itu. Tapi jangan harap aku akan tersenyum di foto pernikahan.” Joseph tidak menjawab. Dan itu lebih menyakitkan daripada amarah atau makian sekalipun. Malam itu, Jocelyn duduk di beranda kamarnya, memandangi kolam yang memantulkan cahaya bulan. Angin membawa aroma lavender dari kebun di sisi timur rumah. Biasanya, tempat ini memberinya ketenangan, tapi tidak hari ini. Ia membuka ponselnya, lalu menggulir ke galeri kenangan. Foto-foto masa kecil dengan ibunya. Senyuman yang tulus. Pelukan hangat. Dunia yang belum dikendalikan oleh strategi merger dan perang saham. Matanya berhenti pada satu foto—ia dan Sebastian, di usia 16 tahun, dalam kompetisi debat nasional. Keduanya berdiri kaku dengan trofi masing-masing, dan tatapan saling membunuh. Sebastian memakai setelan kebesaran dengan dasi miring. Jocelyn berdiri dengan tangan di pinggang, dagu terangkat. Ia tersenyum kecil. “Dan sekarang aku harus menikahi si brengsek ini?” Sebuah pesan masuk. [Sebastian Grey] Dengar, aku tidak suka ide ini lebih dari kamu. Tapi kita berdua tahu ini bukan tentang suka atau tidak suka. Sampai jumpa di makan malam. Jangan lupa bawa sopan santun. Jocelyn menatap layar itu lama, sebelum membalas: [Jocelyn Hartfeld] Simpan dramamu untuk media. Aku tidak akan tunduk. Jika ini perang, maka aku akan memenangkannya dengan gaun pengantin paling mahal. Ia mematikan ponsel dan menatap langit. Bintang malam itu nyaris tak tampak. Tapi Jocelyn tahu satu hal: jika ia harus menjalani sandiwara ini, maka ia akan menulis ulang naskahnya sendiri.Lukas Crawford tak pernah membayangkan bahwa cinta bisa terasa seperti pengkhianatan. Sejak pertemuannya dengan Prof. Malik Al-Ghazi beberapa hari lalu, saat kebenaran tentang pertukaran jiwa Sebastian dan Jocelyn terkuak, segala sesuatunya terasa seperti teka-teki yang telah lama ia curigai, tapi tak berani ia susun.Dan sekarang, semuanya sudah jelas. Tapi justru karena itu, semuanya menjadi jauh lebih rumit.Ia berdiri di depan cermin kecil ruangannya, menatap wajahnya sendiri, seperti ingin menanyai refleksi itu: Apa kau benar-benar jatuh cinta pada wanita yang kini tidak lagi berada dalam tubuhnya sendiri?Lukas menyusuri lorong Hartfeld Tower dengan langkah pelan. Di tangannya ada dua folder: laporan operasional dan masalah yang jauh lebih berat, hatinya yang belum selesai bicara.Di ruang CEO, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, sedang mengetik dengan cepat. Meski mengenakan blazer hitam, ada kesan maskulin dalam sorot matanya yang tak bisa disembun
Apartemen Evelyn Grey selalu diselimuti aroma mawar kering dan teh hijau basi, seperti waktu yang mandek, berhenti di masa lalu yang enggan dilepaskan.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di depan pintu putih gading itu dengan napas yang tak stabil. Ia menatap bel pintu selama beberapa detik, seolah berharap waktu bisa dibekukan. Tapi tidak. Kali ini, ia tak bisa lari.Dengan jari gemetar, ia menekan bel. Suara lembut berbunyi di dalam. Lalu derit pintu terbuka. Seorang perawat muda membukakan pintu. Ia mengenalinya—perawat privat yang disewa Grey International untuk menjaga Evelyn selama krisis mentalnya. “Oh, Nona Jocelyn,” sapa perawat itu dengan sopan. “Ibu Evelyn sedang agak… tertekan hari ini. Tapi dia ingin ditemui.”Sebastian hanya mengangguk. Langkahnya terasa seperti berjalan di atas batu nisan kenangan.Di dalam, Evelyn duduk di kursi goyang antik. Rambut peraknya digelung setengah rapi, dan matanya menatap koson
Di dunia korporat, tidak ada yang benar-benar teman. Dan Amber Wu tahu itu lebih awal daripada siapa pun.Pagi itu, kantor pusat Grey International dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat namun nyata. Para karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi serius, dan tatapan penuh penilaian selalu ada di balik layar komputer. Tapi satu hal yang paling menyita perhatian banyak mata pada hari itu adalah: sebongkah senyum di wajah Amber Wu.Ia mengenakan gaun cheongsam berwarna gading dengan bordiran emas pada bagian dada, yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajah khas oriental miliknya tampak sangat menawan. Di tangannya ada dua gelas kopi dari kafe premium di lantai bawah. Satu untuk dirinya. Satu lagi untuk "Sebastian."Ia mengetuk pintu ruang CEO.“Masuk,” suara dalam itu berat dan tegas. Tapi bagi Amber, ada nada baru di sana. Lebih... manusiawi? Terlalu sopan untuk Sebastian Grey yang dikenalnya dulu.Ia masuk dengan langkah halus, menye
Langit Manhattan seperti biasa tampak bagai lukisan abu-abu yang gagal diselesaikan. Hujan rintik turun sejak pagi, membasahi kaca-kaca tinggi kantor Grey International. Di ruang pertemuan privat lantai 42, suasana tak kalah muram dari cuaca.“Ini orangnya?” tanya pria berjanggut dengan sorban lepas yang diikat rapi, mengenakan jas panjang hitam dan kemeja linen kusut.“Ya,” jawab Lukas pelan, mempersilakan Prof. Malik Al-Ghazi masuk ke dalam ruang pertemuan rahasia.“Luar biasa. Getaran ruangannya berat sekali,” ucap Prof. Malik sambil menatap kearah Jocelyn berdiri disamping jendelan dengan pandangan keluar dan Sebastian yang duduk di ujung meja meeting.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri dengan kedua tangan disilangkan di dada. “Saya tidak percaya pada spiritualisme. Kami butuh solusi, bukan mantra.” Prof. Malik menoleh. “Dan saya tidak percaya pada CEO yang hidup dalam tubuh bukan miliknya. Tapi nyatanya kita semua di sini.”
Kebenaran selalu punya cara untuk keluar dari bayang-bayang. Kadang melalui bisikan. Kadang melalui ledakan. Pagi itu, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di lobi utama Hart Group, mengenakan setelan navy yang menjadikannya tampak persis seperti pewaris konglomerat mapan. Tapi hari ini, dia bukan hanya menghadapi rapat dewan. Hari ini, dia menghadapi masa lalu. Malam sebelumnya, Lukas mengirim pesan: “Aku menemukan sesuatu tentang ibumu. Kita perlu bicara. Segera.” Sekarang mereka berada di ruang arsip bawah tanah Hart Group. Ruangan gelap, lembab, dan penuh lemari besi tua. Lukas menarik keluar sebuah folder berlabel merah: “HARTFELD – PRIVATISASI 2003.” Di dalamnya, bukan hanya dokumen bisnis, tapi juga salinan rekaman terapi, dengan kop resmi rumah sakit swasta Swiss. Sebastia — dalam tubuh Jocelyn —mengambil halaman pertama. Tangannya gemetar. “Saya takut pada Joseph,” suara d
Dunia bisa berubah dalam semalam. Dan bagi Jocelyn Hartfeld serta Sebastian Grey, dunia mereka kini adalah sebuah panggung sandiwara raksasa—di mana satu kesalahan bisa menghancurkan segalanya. Pagi itu, Jocelyn, masih terjebak dalam tubuh Sebastian, berdiri di depan cermin kamar apartemen hotel mereka. Ia mengenakan setelan abu-abu gelap, dasi hitam, dan rambut disisir rapi ke belakang. Penampilannya sempurna. Tapi yang terpancar dari matanya hanyalah kelelahan dan kegelisahan. “Kau tidak bisa terus begini,” gumamnya kepada bayangan di cermin. Di sisi lain, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, tengah berjuang mengaitkan kancing gaun blus satin yang terasa terlalu ketat di dada. Gaun itu pilihan Jocelyn pagi tadi untuk menghadiri galeri amal Clarissa Vane. Lengkap dengan heels 9 cm yang membuat lututnya gemetar sejak percobaan ketiga. “Kenapa sih pakaian perempuan harus jadi bentuk penyiksaan terselubung?” gerutunya. Jocelyn muncul dari b