Demi menyelamatkan dua kerajaan bisnis, Jocelyn dan Sebastian, dua musuh bebuyutan, dipaksa menikah. Namun di malam pernikahan, petir menyambar… dan mereka terbangun dalam tubuh satu sama lain. Kini, sambil menjaga rahasia besar dan menyelamatkan reputasi keluarga, mereka harus hidup sebagai pasangan suami istri, dalam tubuh musuhnya sendiri. Pertukaran jiwa. Pernikahan kontrak. Dan benih perasaan yang tak seharusnya tumbuh.
Lihat lebih banyakLangit Manhattan pagi itu tampak kelabu. Gedung pencakar langit Hartfeld Tower menjulang bagai dewa-dewa besi yang congkak—dingin, tinggi, tak terjamah. Di lantai tertinggi gedung itu, ruang rapat utama Hart Group dipenuhi puluhan kursi kulit, aroma kopi hangus, dan tekanan yang nyaris tak terlihat namun begitu nyata. Udara berat terasa menaungi ruangan itu.
Jocelyn Hartfeld melangkah masuk dengan gaun hitam sederhana dan sepatu hak setinggi harapan semua orang padanya. Rambutnya berwarna merah tembaga, dengan mata berwarna coklat cemerlang seperti madu, dibingkai alis yang terbentuk rapih, membuat wajahnya sangat cantik tapi penuh keangkuhan. Langkahnya anggun, matanya tajam. Tapi siapa pun yang cukup peka bisa melihat—rahangnya sedikit mengencang, dan jemarinya menggenggam map rapat-rapat seolah itu adalah perisai terakhir yang ia miliki untuk melindungi dirinya dari monster kasat mata yang sebentar lagi harus dihadapinya. Semuanya berdiri ketika Joseph Hartfeld masuk. Sosok pria berusia awal enam puluhan itu mengenakan setelan biru tua dan dasi perak, penampilannya nyaris tak berubah sejak pertama kali muncul di halaman Forbes tiga puluh tahun lalu. “Silakan duduk,” ucapnya pendek. Ruang rapat sunyi. Hanya suara detik jam dinding dan helaan napas resah para investor yang terdengar. Di ujung meja, layar LED memproyeksikan grafik yang terus menurun—saham Hart Group jatuh 60% dalam waktu kurang dari tiga minggu. Beberapa wajah pucat di ruangan bahkan belum sempat menyembunyikan keringat dingin mereka. Joseph berdiri. “Saya tidak akan bertele-tele. Ini—” Ia menunjuk layar, “—adalah akibat manuver ekspansi ke pasar blockchain Eropa yang, saya akui, terlalu agresif.” Bisik-bisik samar terdengar dari seluruh ruangan rapat, tapi semua menahan suara agar tidak terlalu terdengar. Jocelyn menatap lurus ke depan, namun di dalam pikirannya, ingatan tentang rapat dua bulan lalu muncul—dia pernah memperingatkan ayahnya soal risiko itu. Tapi seperti biasa, dia diabaikan. “Kita kehilangan enam puluh persen aset likuid, dan lebih dari dua puluh proyek besar harus dibekukan,” lanjut Joseph dalam satu tarikan nafas. “Namun, saya sudah siapkan solusi.” Mata-mata penuh harap menatapnya. Jocelyn mengerutkan dahi. “Sore ini, Hart Group akan menandatangani nota kesepahaman merger strategis dengan Grey International.” Suara-suara kembali berbisik, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Beberapa langsung menyipitkan mata, yang lain melirik kearah Jocelyn. “Grey International?” gumam seseorang. “Bukankah itu...” “Kompetitor utama kita selama lima tahun terakhir?” lanjut yang lain. “Dan CEO-nya... Sebastian Grey?” Nama itu meluncur kencang seperti pisau. Jocelyn merasakan perutnya menegang. Ia berusaha tetap tenang, namun ada sesuatu yang merayap naik dalam dirinya—sebuah pertanyaan yang tajam dan penuh amarah. “Merger?” tanya Jocelyn akhirnya, suaranya jernih dan datar, namun penuh nada waspada. “Atas dasar apa, Papa? Dan kenapa saya baru mendengarnya sekarang?” Joseph menatap putrinya. Di mata pria itu, tidak ada kelembutan seorang ayah. Yang ada hanya kalkulasi dingin seorang pebisnis. “Kamu akan tahu detailnya setelah konferensi pers nanti sore. Tapi intinya, ini akan menyelamatkan kita dari kehancuran.” “Apa itu berarti aku akan kehilangan kendali sebagai pewaris?” tanya Jocelyn lagi, kali ini lebih tajam. “Sebaliknya,” kata Joseph. “Kesepakatan ini hanya akan berhasil jika kamu tetap menjadi simbol kepercayaan pasar.” Dan itulah saatnya. Kalimat itu—simbol. Jocelyn ingin tertawa sinis, ingin rasanya ia berteriak ke wajah ayahnya. Ia bukan simbol. Ia manusia. Ia perempuan yang sejak usia dua belas tahun dipaksa duduk di meja rapat, belajar mengelola laporan keuangan sebelum belajar mencintai dirinya sendiri. “Aku bukan boneka, Ayah!” Jocelyn menukas dengan dingin ucapan ayahnya. Beberapa orang di ruangan terlihat tak nyaman. Joseph mendekat, mencondongkan tubuh. Suaranya pelan namun menghantam keras. “Dengar, Jocelyn. Dunia tidak peduli kamu suka atau tidak. Dunia hanya peduli kamu bisa menyelamatkan warisan keluarga ini—atau tidak.” Hening menggantung. Jocelyn menatap mata ayahnya, dan dalam sepersekian detik, ia melihat bayangannya sendiri di sana—gadis kecil dalam gaun putih yang berdiri di pemakaman, menggenggam tangan dingin Joseph Hartfeld sambil bertanya: “Mama kenapa tidak pulang-pulang?” Jawaban itu tidak pernah datang. Sama seperti hari ini—jawaban atas semua ini hanyalah perintah dan tekanan. “Aku ingin bertemu Sebastian Grey,” katanya akhirnya. “Sebelum kesepakatan itu ditandatangani.” Joseph mengangguk tipis. “Sudah diatur. Hari ini pukul empat sore. Hotel Regent, suite 29B. Kalian akan makan siang bersama... dan menentukan tanggal pernikahan.” Bom sudah dijatuhkan dan mata Jocelyn, lidahnya kelu tercekat tak dapat berkata-kata. Untuk sesaat ia mengira dirinya salah dengar. “Pernikahan?” “Ini bukan merger biasa,” ucap Joseph, sekarang dengan nada penuh rencana. “Ini merger personal. Kita butuh lebih dari tanda tangan hukum. Kita butuh sesuatu yang mengikat kedua nama—Hartfeld dan Grey—dalam ikatan yang tidak bisa dibantah oleh publik maupun media.” “Dan menurut Papa, jawabannya adalah menikah dengan Sebastian Grey?” suara Jocelyn nyaris bergetar, matanya nanar menahan amarah. Joseph tidak menjawab. Ia hanya menatap balik putrinya, dengan tatapan yang dingin, kejam, dan beku secara bersamaan. Tatapan seorang pria yang terlalu lama hidup di dunia korporat, dan lupa bagaimana rasanya menjadi ayah. Rapat selesai. Para anggota dewan satu per satu keluar dari ruangan, meninggalkan Jocelyn sendiri. Ia duduk di sana, tak bergerak, hanya menatap grafik merah di layar yang kini perlahan redup. Langit di luar jendela mulai menunjukkan tanda-tanda hujan. Di kejauhan, gemuruh menggema. Dan di dalam dirinya, sesuatu mulai retak.Lukas Crawford tak pernah membayangkan bahwa cinta bisa terasa seperti pengkhianatan. Sejak pertemuannya dengan Prof. Malik Al-Ghazi beberapa hari lalu, saat kebenaran tentang pertukaran jiwa Sebastian dan Jocelyn terkuak, segala sesuatunya terasa seperti teka-teki yang telah lama ia curigai, tapi tak berani ia susun.Dan sekarang, semuanya sudah jelas. Tapi justru karena itu, semuanya menjadi jauh lebih rumit.Ia berdiri di depan cermin kecil ruangannya, menatap wajahnya sendiri, seperti ingin menanyai refleksi itu: Apa kau benar-benar jatuh cinta pada wanita yang kini tidak lagi berada dalam tubuhnya sendiri?Lukas menyusuri lorong Hartfeld Tower dengan langkah pelan. Di tangannya ada dua folder: laporan operasional dan masalah yang jauh lebih berat, hatinya yang belum selesai bicara.Di ruang CEO, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, sedang mengetik dengan cepat. Meski mengenakan blazer hitam, ada kesan maskulin dalam sorot matanya yang tak bisa disembun
Apartemen Evelyn Grey selalu diselimuti aroma mawar kering dan teh hijau basi, seperti waktu yang mandek, berhenti di masa lalu yang enggan dilepaskan.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di depan pintu putih gading itu dengan napas yang tak stabil. Ia menatap bel pintu selama beberapa detik, seolah berharap waktu bisa dibekukan. Tapi tidak. Kali ini, ia tak bisa lari.Dengan jari gemetar, ia menekan bel. Suara lembut berbunyi di dalam. Lalu derit pintu terbuka. Seorang perawat muda membukakan pintu. Ia mengenalinya—perawat privat yang disewa Grey International untuk menjaga Evelyn selama krisis mentalnya. “Oh, Nona Jocelyn,” sapa perawat itu dengan sopan. “Ibu Evelyn sedang agak… tertekan hari ini. Tapi dia ingin ditemui.”Sebastian hanya mengangguk. Langkahnya terasa seperti berjalan di atas batu nisan kenangan.Di dalam, Evelyn duduk di kursi goyang antik. Rambut peraknya digelung setengah rapi, dan matanya menatap koson
Di dunia korporat, tidak ada yang benar-benar teman. Dan Amber Wu tahu itu lebih awal daripada siapa pun.Pagi itu, kantor pusat Grey International dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat namun nyata. Para karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi serius, dan tatapan penuh penilaian selalu ada di balik layar komputer. Tapi satu hal yang paling menyita perhatian banyak mata pada hari itu adalah: sebongkah senyum di wajah Amber Wu.Ia mengenakan gaun cheongsam berwarna gading dengan bordiran emas pada bagian dada, yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajah khas oriental miliknya tampak sangat menawan. Di tangannya ada dua gelas kopi dari kafe premium di lantai bawah. Satu untuk dirinya. Satu lagi untuk "Sebastian."Ia mengetuk pintu ruang CEO.“Masuk,” suara dalam itu berat dan tegas. Tapi bagi Amber, ada nada baru di sana. Lebih... manusiawi? Terlalu sopan untuk Sebastian Grey yang dikenalnya dulu.Ia masuk dengan langkah halus, menye
Langit Manhattan seperti biasa tampak bagai lukisan abu-abu yang gagal diselesaikan. Hujan rintik turun sejak pagi, membasahi kaca-kaca tinggi kantor Grey International. Di ruang pertemuan privat lantai 42, suasana tak kalah muram dari cuaca.“Ini orangnya?” tanya pria berjanggut dengan sorban lepas yang diikat rapi, mengenakan jas panjang hitam dan kemeja linen kusut.“Ya,” jawab Lukas pelan, mempersilakan Prof. Malik Al-Ghazi masuk ke dalam ruang pertemuan rahasia.“Luar biasa. Getaran ruangannya berat sekali,” ucap Prof. Malik sambil menatap kearah Jocelyn berdiri disamping jendelan dengan pandangan keluar dan Sebastian yang duduk di ujung meja meeting.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri dengan kedua tangan disilangkan di dada. “Saya tidak percaya pada spiritualisme. Kami butuh solusi, bukan mantra.” Prof. Malik menoleh. “Dan saya tidak percaya pada CEO yang hidup dalam tubuh bukan miliknya. Tapi nyatanya kita semua di sini.”
Kebenaran selalu punya cara untuk keluar dari bayang-bayang. Kadang melalui bisikan. Kadang melalui ledakan. Pagi itu, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di lobi utama Hart Group, mengenakan setelan navy yang menjadikannya tampak persis seperti pewaris konglomerat mapan. Tapi hari ini, dia bukan hanya menghadapi rapat dewan. Hari ini, dia menghadapi masa lalu. Malam sebelumnya, Lukas mengirim pesan: “Aku menemukan sesuatu tentang ibumu. Kita perlu bicara. Segera.” Sekarang mereka berada di ruang arsip bawah tanah Hart Group. Ruangan gelap, lembab, dan penuh lemari besi tua. Lukas menarik keluar sebuah folder berlabel merah: “HARTFELD – PRIVATISASI 2003.” Di dalamnya, bukan hanya dokumen bisnis, tapi juga salinan rekaman terapi, dengan kop resmi rumah sakit swasta Swiss. Sebastia — dalam tubuh Jocelyn —mengambil halaman pertama. Tangannya gemetar. “Saya takut pada Joseph,” suara d
Dunia bisa berubah dalam semalam. Dan bagi Jocelyn Hartfeld serta Sebastian Grey, dunia mereka kini adalah sebuah panggung sandiwara raksasa—di mana satu kesalahan bisa menghancurkan segalanya. Pagi itu, Jocelyn, masih terjebak dalam tubuh Sebastian, berdiri di depan cermin kamar apartemen hotel mereka. Ia mengenakan setelan abu-abu gelap, dasi hitam, dan rambut disisir rapi ke belakang. Penampilannya sempurna. Tapi yang terpancar dari matanya hanyalah kelelahan dan kegelisahan. “Kau tidak bisa terus begini,” gumamnya kepada bayangan di cermin. Di sisi lain, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, tengah berjuang mengaitkan kancing gaun blus satin yang terasa terlalu ketat di dada. Gaun itu pilihan Jocelyn pagi tadi untuk menghadiri galeri amal Clarissa Vane. Lengkap dengan heels 9 cm yang membuat lututnya gemetar sejak percobaan ketiga. “Kenapa sih pakaian perempuan harus jadi bentuk penyiksaan terselubung?” gerutunya. Jocelyn muncul dari b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen