Ruang rapat di lantai 49 gedung Hart Tower diselimuti keheningan seperti ruang bedah. Langit kota yang kelabu terpantul di permukaan kaca jendela yang menjulang, menciptakan ilusi bahwa mereka layaknya dewa-dewa Romawi kuno, yang mengemban tugas untuk memutuskan apakah dunia akan selamat — atau justru berada di ambang kehancurannya.
Di ujung meja panjang berlapis marmer hitam, Jocelyn duduk dengan punggung tegak, wajahnya setajam pahatan. Berseberangan dengannya, Sebastian Grey tampak tak kalah tenang. Dasi hitam armani-nya terikat rapi, wajahnya tanpa ekspresi, mata peraknya seperti menyorot isi kepala siapa pun yang menatap terlalu lama. Joseph Hartfeld duduk di tengah, menyatukan dua kutub yang sama-sama enggan bersentuhan. Asistennya berdiri di belakang, memegang berkas, sementara pengacara perusahaan duduk di sisi kanan dengan map tebal penuh dokumen kontrak. “Sebastian Grey,” ujar Joseph memulai, “kami ingin menyampaikan draf awal kerja sama—dalam bentuk pernikahan kontrak selama dua tahun.” Sebastian menyandarkan diri ke kursinya. “Saya tidak punya kebiasaan mengikat diri pada sesuatu yang tak bisa saya kendalikan. Tapi jika itu menyelamatkan bisnis Anda dan memperluas ekspansi saya ke pasar Asia, maka... saya akan pertimbangkan.” Nada suaranya seolah mengiris udara. Jocelyn menggigit bagian dalam pipinya, menahan keinginan untuk menyela. “Ini bukan ekspansi biasa,” kata Jocelyn akhirnya, dingin. “Ini sandiwara. Dan aku tak akan menjual hidupku hanya demi saham.” Sebastian menoleh. “Oh, bukan hidupmu yang sedang dijual, Nona Hartfeld. Hanya namamu.” Tatapan mereka beradu, seperti dua samurai saling menguji ketajaman pedang mereka sebelum duel mati-matian. Di balik ketenangan mereka, sejarah berdarah dari masa remaja masih menyala. “Kontraknya akan menyatakan batasan-batasan yang jelas,” lanjut Sebastian. “Kita tak perlu tinggal serumah jika memang Nona Hartfelt tidak menginginkannya. Tidak ada tuntutan fisik, emosional, atau... marital. Walaupun menurutku kita tinggal satu atap dengan kamar yang berbeda. Jadi kita tidak membiarkan publik mencari celah” “Dan bagaimana kita meyakinkan publik?” tanya Jocelyn, sinis. “Kita tampil. Di depan kamera. Memberi wawancara. Menghadiri acara sosial. Dan bila perlu, sedikit sandiwara asmara,” jawab Sebastian santai. “Aku pernah memenangkan piala debat nasional dengan topik ‘Cinta Itu Fiksi’. Aku cukup ahli memainkan peran.” Jocelyn tertawa sinis. “Dan aku pernah memenangkan hati dewan direksi di usia 24. Aku tak butuh pelajaran akting darimu.” Joseph mengetuk meja. “Anak-anak—” “Kami bukan anak-anak,” sahut mereka bersamaan. Sebastian menyeringai sekilas. “Itu satu-satunya hal yang kita sepakati sejauh ini.” Jocelyn melirik map kontrak yang didorong oleh pengacara ke arahnya. Ia membuka halaman depan, membaca nama-nama di dokumen itu seperti sedang membaca naskah kematian. “Perjanjian Pernikahan Antara Jocelyn M. Hartfelt dan Sebastian T. Grey.” Kalimat itu seperti ranjau tersembunyi dalam perang korporasi. Pernikahan ini bukan janji suci, tapi transaksi. Sebuah merger berdarah dingin. “Kita perlu menetapkan klausul pembatalan,” kata Jocelyn, tanpa mengangkat wajah. “Jika salah satu dari kita melanggar poin utama, pernikahan bisa dibatalkan tanpa penalti.” Sebastian mengangguk. “Setuju. Tapi jika salah satu pihak menjatuhkan reputasi pihak lain secara publik, akan ada penalti ganda—baik dalam bentuk kompensasi media maupun saham.” “Saham?” Jocelyn menatapnya tajam. “Kau yang menyebut ini bisnis, bukan cinta.” Senyumnya setipis pisau. Joseph memotong pembicaraan. “Kalian bisa bertukar pendapat dengan pengacara masing-masing, tapi yang terpenting adalah... kalian berdua setuju?” Keheningan merambat di antara mereka. Di luar, awan bergulung. Dunia seakan menahan napas. Jocelyn melipat tangan di atas dada. “Aku setuju. Tapi hanya karena ini satu-satunya cara menyelamatkan perusahaan—dan nama keluargaku.” Sebastian menyentuh jam tangannya, lalu berdiri. “Aku akan mengirim pengacara pribadiku untuk finalisasi detail kontrak. Tapi secara prinsip... aku terima.” Ia berbalik hendak pergi, lalu berhenti sejenak, menatap Jocelyn. “Satu hal lagi.” Jocelyn mengangkat alis. “Jika kita akan berpura-pura jadi pasangan sempurna di depan dunia, kita perlu tahu kelemahan masing-masing. Aku tidak ingin panggung kita runtuh karena kau tidak tahu aku alergi kerang.” Jocelyn menyipitkan mata. “Dan kau harus tahu, aku tidak minum alkohol. Bukan karena alasan moral. Karena aku tahu siapa saja yang jadi brengsek setelah mabuk.” Tatapan mereka masih bertaut, seperti dua pemain catur yang belum selesai menyusun strategi. Sebastian menyunggingkan senyum kecil. “Well, akan jadi pertunjukan yang menarik.” Ia pergi, menyisakan aroma parfum mahal dan atmosfer yang seolah lebih dingin satu derajat. Joseph masih duduk diam. “Kau benci aku sekarang?” “Lebih dari biasanya,” jawab Jocelyn, tak menoleh. “Tapi... aku mengerti.” Joseph menunduk, tangan tuanya menyentuh meja sejenak. “Dunia ini tak ramah, Jo. Aku hanya ingin kau cukup kuat.” Jocelyn bangkit. “Dan aku hanya ingin hidupku jadi milikku sendiri, bukan milik perusahaan.” Ia melangkah keluar dengan langkah mantap. Tapi jauh di dalam dirinya, suara kecil bertanya—jika ini hanya akting, mengapa detik tadi terasa begitu nyata?Lukas Crawford tak pernah membayangkan bahwa cinta bisa terasa seperti pengkhianatan. Sejak pertemuannya dengan Prof. Malik Al-Ghazi beberapa hari lalu, saat kebenaran tentang pertukaran jiwa Sebastian dan Jocelyn terkuak, segala sesuatunya terasa seperti teka-teki yang telah lama ia curigai, tapi tak berani ia susun.Dan sekarang, semuanya sudah jelas. Tapi justru karena itu, semuanya menjadi jauh lebih rumit.Ia berdiri di depan cermin kecil ruangannya, menatap wajahnya sendiri, seperti ingin menanyai refleksi itu: Apa kau benar-benar jatuh cinta pada wanita yang kini tidak lagi berada dalam tubuhnya sendiri?Lukas menyusuri lorong Hartfeld Tower dengan langkah pelan. Di tangannya ada dua folder: laporan operasional dan masalah yang jauh lebih berat, hatinya yang belum selesai bicara.Di ruang CEO, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, sedang mengetik dengan cepat. Meski mengenakan blazer hitam, ada kesan maskulin dalam sorot matanya yang tak bisa disembun
Apartemen Evelyn Grey selalu diselimuti aroma mawar kering dan teh hijau basi, seperti waktu yang mandek, berhenti di masa lalu yang enggan dilepaskan.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di depan pintu putih gading itu dengan napas yang tak stabil. Ia menatap bel pintu selama beberapa detik, seolah berharap waktu bisa dibekukan. Tapi tidak. Kali ini, ia tak bisa lari.Dengan jari gemetar, ia menekan bel. Suara lembut berbunyi di dalam. Lalu derit pintu terbuka. Seorang perawat muda membukakan pintu. Ia mengenalinya—perawat privat yang disewa Grey International untuk menjaga Evelyn selama krisis mentalnya. “Oh, Nona Jocelyn,” sapa perawat itu dengan sopan. “Ibu Evelyn sedang agak… tertekan hari ini. Tapi dia ingin ditemui.”Sebastian hanya mengangguk. Langkahnya terasa seperti berjalan di atas batu nisan kenangan.Di dalam, Evelyn duduk di kursi goyang antik. Rambut peraknya digelung setengah rapi, dan matanya menatap koson
Di dunia korporat, tidak ada yang benar-benar teman. Dan Amber Wu tahu itu lebih awal daripada siapa pun.Pagi itu, kantor pusat Grey International dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat namun nyata. Para karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi serius, dan tatapan penuh penilaian selalu ada di balik layar komputer. Tapi satu hal yang paling menyita perhatian banyak mata pada hari itu adalah: sebongkah senyum di wajah Amber Wu.Ia mengenakan gaun cheongsam berwarna gading dengan bordiran emas pada bagian dada, yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajah khas oriental miliknya tampak sangat menawan. Di tangannya ada dua gelas kopi dari kafe premium di lantai bawah. Satu untuk dirinya. Satu lagi untuk "Sebastian."Ia mengetuk pintu ruang CEO.“Masuk,” suara dalam itu berat dan tegas. Tapi bagi Amber, ada nada baru di sana. Lebih... manusiawi? Terlalu sopan untuk Sebastian Grey yang dikenalnya dulu.Ia masuk dengan langkah halus, menye
Langit Manhattan seperti biasa tampak bagai lukisan abu-abu yang gagal diselesaikan. Hujan rintik turun sejak pagi, membasahi kaca-kaca tinggi kantor Grey International. Di ruang pertemuan privat lantai 42, suasana tak kalah muram dari cuaca.“Ini orangnya?” tanya pria berjanggut dengan sorban lepas yang diikat rapi, mengenakan jas panjang hitam dan kemeja linen kusut.“Ya,” jawab Lukas pelan, mempersilakan Prof. Malik Al-Ghazi masuk ke dalam ruang pertemuan rahasia.“Luar biasa. Getaran ruangannya berat sekali,” ucap Prof. Malik sambil menatap kearah Jocelyn berdiri disamping jendelan dengan pandangan keluar dan Sebastian yang duduk di ujung meja meeting.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri dengan kedua tangan disilangkan di dada. “Saya tidak percaya pada spiritualisme. Kami butuh solusi, bukan mantra.” Prof. Malik menoleh. “Dan saya tidak percaya pada CEO yang hidup dalam tubuh bukan miliknya. Tapi nyatanya kita semua di sini.”
Kebenaran selalu punya cara untuk keluar dari bayang-bayang. Kadang melalui bisikan. Kadang melalui ledakan. Pagi itu, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di lobi utama Hart Group, mengenakan setelan navy yang menjadikannya tampak persis seperti pewaris konglomerat mapan. Tapi hari ini, dia bukan hanya menghadapi rapat dewan. Hari ini, dia menghadapi masa lalu. Malam sebelumnya, Lukas mengirim pesan: “Aku menemukan sesuatu tentang ibumu. Kita perlu bicara. Segera.” Sekarang mereka berada di ruang arsip bawah tanah Hart Group. Ruangan gelap, lembab, dan penuh lemari besi tua. Lukas menarik keluar sebuah folder berlabel merah: “HARTFELD – PRIVATISASI 2003.” Di dalamnya, bukan hanya dokumen bisnis, tapi juga salinan rekaman terapi, dengan kop resmi rumah sakit swasta Swiss. Sebastia — dalam tubuh Jocelyn —mengambil halaman pertama. Tangannya gemetar. “Saya takut pada Joseph,” suara d
Dunia bisa berubah dalam semalam. Dan bagi Jocelyn Hartfeld serta Sebastian Grey, dunia mereka kini adalah sebuah panggung sandiwara raksasa—di mana satu kesalahan bisa menghancurkan segalanya. Pagi itu, Jocelyn, masih terjebak dalam tubuh Sebastian, berdiri di depan cermin kamar apartemen hotel mereka. Ia mengenakan setelan abu-abu gelap, dasi hitam, dan rambut disisir rapi ke belakang. Penampilannya sempurna. Tapi yang terpancar dari matanya hanyalah kelelahan dan kegelisahan. “Kau tidak bisa terus begini,” gumamnya kepada bayangan di cermin. Di sisi lain, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, tengah berjuang mengaitkan kancing gaun blus satin yang terasa terlalu ketat di dada. Gaun itu pilihan Jocelyn pagi tadi untuk menghadiri galeri amal Clarissa Vane. Lengkap dengan heels 9 cm yang membuat lututnya gemetar sejak percobaan ketiga. “Kenapa sih pakaian perempuan harus jadi bentuk penyiksaan terselubung?” gerutunya. Jocelyn muncul dari b