Home / Romansa / Menikahi Musuh Bebuyutan / Bab 5 – Pertunangan yang Disiarkan Dunia

Share

Bab 5 – Pertunangan yang Disiarkan Dunia

Author: Capoeng Biru
last update Last Updated: 2025-06-18 09:11:05

Sorotan kamera menyilaukan mata, bagaikan kilat tanpa hujan. Ballroom hotel The Palisade, tempat di mana biasanya diselenggarakan peluncuran produk mewah dan pesta para konglomerat, malam itu diubah menjadi altar dunia korporasi: panggung pengumuman pertunangan dua pewaris bisnis paling berpengaruh di negeri ini.

Jocelyn berdiri di tengah panggung, dibalut gaun putih gading rancangan eksklusif. Rambutnya di gelung kecil, berhiaskan sirkam berlian yang berkilauan. Senyumnya terlatih, matanya tak tersenyum. Di sampingnya, Sebastian tampil sempurna dalam setelan hitam custom-made, satu tangan diselipkan ke saku, satu lagi melingkar santai di pinggang Jocelyn, membuat gadis itu nampak seperti properti panggung.

Kilat kamera terus menyambar, diiringi suara wartawan yang saling bersahutan.

“Miss Hartfeld, kapan pertama kali Anda dan Mr. Grey menjalin hubungan?”

“Mr. Grey, rumor menyebutkan ini hanya pernikahan korporat—bisakah Anda memberikan klarifikasi?”

Jocelyn menahan napas. Ia ingin melangkah turun, melempar mikrofon, dan berteriak bahwa semua ini adalah kebohongan. Tapi ia malah tersenyum lebar.

“Hubungan kami dimulai dari kerja sama bisnis... dan berkembang secara alami, Selain itu kami sudah saling mengenal semenjak kami di sekolah menengah.” katanya dengan suara yang nyaris robotik. “Saya rasa, koneksi yang kuat bisa muncul dari saling menghargai—dan saling memahami arah visi ke depan.”

Sebastian melanjutkan dengan nada rendah tapi tegas, “Kami memutuskan untuk tidak menyembunyikan rencana masa depan. Pernikahan ini... bukan sekadar simbol pribadi, tapi juga kolaborasi besar dua entitas yang punya nilai dan misi yang sejalan.”

Kata-katanya terdengar sempurna—nyaris meyakinkan. Bahkan bagi Jocelyn yang tahu semua ini hanya sandiwara, ada satu detik ketika ia nyaris percaya dirinya sedang dilamar oleh pria sungguhan, bukan musuh lamanya.

Tepuk tangan membahana di dalam Ballroom. Para penyaji hilir mudik ketika champagne disajikan. Jurnalis dan eksekutif mulai menyebar, mewawancarai tamu dan menikmati hors d'oeuvres berlapis kaviar.

Tapi saat itu juga, udara di sekeliling Jocelyn berubah.

“Astaga, Jo. Aku nyaris tak percaya kau benar-benar setuju menjadi Nyonya Grey.”

Suaranya halus, senyumnya lebar—tapi tajam. Amber Wu berdiri di hadapan mereka, mengenakan gaun merah marun yang memeluk tubuhnya seperti kulit kedua. Rambut hitamnya disanggul elegan, dan mata elangnya menatap Jocelyn dengan campuran kagum palsu dan ancaman tersembunyi.

“Amber,” jawab Jocelyn datar. “Senang kau datang.”

“Ah, tentu. Masa aku melewatkan pesta yang... seberarti ini?” Ia tertawa kecil, lalu menoleh ke Sebastian. “Congratulations, Seb. Meski kamu belum menjawab pesan terakhirku.”

Sebastian menegang sepersekian detik, tapi tetap tenang menjawab. “Saya kira sudah tak ada lagi yang perlu dijawab, Amber. Kita berdua tahu kita sudah selesai jauh sebelum acara ini dimulai.”

Amber tertawa. “Tapi tidak semua yang selesai... betul-betul berakhir, kan?” Lalu matanya beralih ke Jocelyn. “Semoga kamu kuat ya, Jo. Sebastian bukan orang yang mudah dijinakkan.”

“Saya tidak berniat menjinakkan siapa pun,” balas Jocelyn manis. “Kami bekerja sama. Seperti dua CEO yang tahu kapan harus menyerang, dan kapan harus bertahan.”

Mereka saling tersenyum, seperti dua singa betina di tengah arena tarung gladiator.

Dari kejauhan, Lukas Crawford mengamati, berdiri di dekat bar dengan segelas sparkling water. Matanya tak pernah lepas dari Jocelyn. Ada yang aneh, pikirnya. Cara Jocelyn tersenyum hari ini... terlalu palsu bahkan untuk standar seorang Hartfeld. Gerak tubuhnya kaku. Pandangannya terlalu cepat menghindar tiap kali Sebastian bicara. Lukas mengenal Jocelyn seperti ia mengenal algoritma ciptaannya sendiri: saat ada kendala, ia pasti akan langsung tahu.

“Ini bukan pertunangan biasa,” gumamnya pelan.

Di sisi lain ruangan, Joseph Hartfeld berbicara dengan investor. Evelyn Grey tidak hadir—konon kesehatannya sedang menurun. Tapi Amber tetap datang, seolah mewakili ‘masa lalu’ Sebastian, atau mungkin ‘masa depan yang ia inginkan kembali’.

Acara terus berlangsung, dan tiba saatnya sesi pemotongan kue pertunangan.

Sebastian berdiri di samping Jocelyn, pisau perak di tangan mereka, kamera mengelilingi. Tangan mereka bersentuhan di pegangan pisau, dan untuk pertama kalinya malam itu, mereka saling menatap tanpa bicara.

“Aku benci ini,” bisik Jocelyn.

“Aku juga,” jawab Sebastian datar.

Tapi pemotongan kue tetap dilakukan. Senyum tetap dipertahankan. Seperti dua boneka porselen yang hidupnya diputar oleh tuan rumah yang kasat mata.

Setelah acara formal selesai, Jocelyn menarik diri ke balkon hotel. Angin malam menyapu rambutnya, memberikan jeda dari panas ruangan yang penuh topeng kepalsuan.

Sebastian muncul beberapa menit kemudian.

“Lari dari pesta sendiri?” tanyanya.

“Aku butuh oksigen.”

“Dan aku pikir kau butuh pelindung dari wanita berbaju merah berduri itu.”

Jocelyn tertawa lirih. “Amber, ya? Aku tahu dia mantanmu. Tapi aku tidak tahu... bahwa dia masih merasa memiliki.”

“Amber tidak pernah merasa kehilangan,” jawab Sebastian. “Ia hanya benci jika bukan dia yang menang.”

Jocelyn menoleh, menatap Sebastian dalam-dalam. “Kau yakin bisa menjalani ini tanpa drama?”

Sebastian mengangkat bahu. “Kau sanggup berdansa dengan iblis korporat setiap hari. Aku pikir kita punya kemampuan akting yang cukup.”

Hening.

Lalu Jocelyn berkata, “Satu permintaan.”

“Apa?”

“Jangan permalukan aku di depan publik. Apa pun yang terjadi di balik layar, di depan kamera... kita harus satu suara.”

Sebastian mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Jocelyn. “Dan kau... jangan jatuh cinta padaku.”

Jocelyn tertawa, suara rendah yang pahit. “Jangan khawatir. Aku lebih mungkin jatuh cinta pada kopi basi dibanding kau.”

Mereka diam sesaat. Lalu Sebastian membuka mulut lagi, lebih pelan kali ini. “Ada sesuatu yang berbeda darimu malam ini.”

Jocelyn mengangkat alis. “Berarti aktingku buruk?”

“Tidak. Justru terlalu baik.”

Ia berjalan menjauh, meninggalkan Jocelyn di balkon dengan pikiran yang lebih bising dari pesta di dalam. Dari balik jendela kaca, Lukas masih mengamati, matanya menyempit dan kepalanya dipenuhi analisis. Sesuatu memang tidak beres. Tapi belum waktunya mengintervensi.

Tapi waktu itu akan datang. Dan lebih cepat dari yang mereka kira.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Musuh Bebuyutan   Bab 24 – Lukas dan Kesetiaan

    Lukas Crawford tak pernah membayangkan bahwa cinta bisa terasa seperti pengkhianatan. Sejak pertemuannya dengan Prof. Malik Al-Ghazi beberapa hari lalu, saat kebenaran tentang pertukaran jiwa Sebastian dan Jocelyn terkuak, segala sesuatunya terasa seperti teka-teki yang telah lama ia curigai, tapi tak berani ia susun.Dan sekarang, semuanya sudah jelas. Tapi justru karena itu, semuanya menjadi jauh lebih rumit.Ia berdiri di depan cermin kecil ruangannya, menatap wajahnya sendiri, seperti ingin menanyai refleksi itu: Apa kau benar-benar jatuh cinta pada wanita yang kini tidak lagi berada dalam tubuhnya sendiri?Lukas menyusuri lorong Hartfeld Tower dengan langkah pelan. Di tangannya ada dua folder: laporan operasional dan masalah yang jauh lebih berat, hatinya yang belum selesai bicara.Di ruang CEO, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, sedang mengetik dengan cepat. Meski mengenakan blazer hitam, ada kesan maskulin dalam sorot matanya yang tak bisa disembun

  • Menikahi Musuh Bebuyutan   Bab 23 – Evelyn dan Luna

    Apartemen Evelyn Grey selalu diselimuti aroma mawar kering dan teh hijau basi, seperti waktu yang mandek, berhenti di masa lalu yang enggan dilepaskan.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di depan pintu putih gading itu dengan napas yang tak stabil. Ia menatap bel pintu selama beberapa detik, seolah berharap waktu bisa dibekukan. Tapi tidak. Kali ini, ia tak bisa lari.Dengan jari gemetar, ia menekan bel. Suara lembut berbunyi di dalam. Lalu derit pintu terbuka. Seorang perawat muda membukakan pintu. Ia mengenalinya—perawat privat yang disewa Grey International untuk menjaga Evelyn selama krisis mentalnya. “Oh, Nona Jocelyn,” sapa perawat itu dengan sopan. “Ibu Evelyn sedang agak… tertekan hari ini. Tapi dia ingin ditemui.”Sebastian hanya mengangguk. Langkahnya terasa seperti berjalan di atas batu nisan kenangan.Di dalam, Evelyn duduk di kursi goyang antik. Rambut peraknya digelung setengah rapi, dan matanya menatap koson

  • Menikahi Musuh Bebuyutan   Bab 22 – Amber Bermain Api

    Di dunia korporat, tidak ada yang benar-benar teman. Dan Amber Wu tahu itu lebih awal daripada siapa pun.Pagi itu, kantor pusat Grey International dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat namun nyata. Para karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi serius, dan tatapan penuh penilaian selalu ada di balik layar komputer. Tapi satu hal yang paling menyita perhatian banyak mata pada hari itu adalah: sebongkah senyum di wajah Amber Wu.Ia mengenakan gaun cheongsam berwarna gading dengan bordiran emas pada bagian dada, yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajah khas oriental miliknya tampak sangat menawan. Di tangannya ada dua gelas kopi dari kafe premium di lantai bawah. Satu untuk dirinya. Satu lagi untuk "Sebastian."Ia mengetuk pintu ruang CEO.“Masuk,” suara dalam itu berat dan tegas. Tapi bagi Amber, ada nada baru di sana. Lebih... manusiawi? Terlalu sopan untuk Sebastian Grey yang dikenalnya dulu.Ia masuk dengan langkah halus, menye

  • Menikahi Musuh Bebuyutan   Bab 21 – Ketika Luka Mengikat

    Langit Manhattan seperti biasa tampak bagai lukisan abu-abu yang gagal diselesaikan. Hujan rintik turun sejak pagi, membasahi kaca-kaca tinggi kantor Grey International. Di ruang pertemuan privat lantai 42, suasana tak kalah muram dari cuaca.“Ini orangnya?” tanya pria berjanggut dengan sorban lepas yang diikat rapi, mengenakan jas panjang hitam dan kemeja linen kusut.“Ya,” jawab Lukas pelan, mempersilakan Prof. Malik Al-Ghazi masuk ke dalam ruang pertemuan rahasia.“Luar biasa. Getaran ruangannya berat sekali,” ucap Prof. Malik sambil menatap kearah Jocelyn berdiri disamping jendelan dengan pandangan keluar dan Sebastian yang duduk di ujung meja meeting.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri dengan kedua tangan disilangkan di dada. “Saya tidak percaya pada spiritualisme. Kami butuh solusi, bukan mantra.” Prof. Malik menoleh. “Dan saya tidak percaya pada CEO yang hidup dalam tubuh bukan miliknya. Tapi nyatanya kita semua di sini.”

  • Menikahi Musuh Bebuyutan   Bab 20 – Rahasia yang Terlontar

    Kebenaran selalu punya cara untuk keluar dari bayang-bayang. Kadang melalui bisikan. Kadang melalui ledakan. Pagi itu, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di lobi utama Hart Group, mengenakan setelan navy yang menjadikannya tampak persis seperti pewaris konglomerat mapan. Tapi hari ini, dia bukan hanya menghadapi rapat dewan. Hari ini, dia menghadapi masa lalu. Malam sebelumnya, Lukas mengirim pesan: “Aku menemukan sesuatu tentang ibumu. Kita perlu bicara. Segera.” Sekarang mereka berada di ruang arsip bawah tanah Hart Group. Ruangan gelap, lembab, dan penuh lemari besi tua. Lukas menarik keluar sebuah folder berlabel merah: “HARTFELD – PRIVATISASI 2003.” Di dalamnya, bukan hanya dokumen bisnis, tapi juga salinan rekaman terapi, dengan kop resmi rumah sakit swasta Swiss. Sebastia — dalam tubuh Jocelyn —mengambil halaman pertama. Tangannya gemetar. “Saya takut pada Joseph,” suara d

  • Menikahi Musuh Bebuyutan   Bab 19 – Di Antara Dua Rahasia

    Dunia bisa berubah dalam semalam. Dan bagi Jocelyn Hartfeld serta Sebastian Grey, dunia mereka kini adalah sebuah panggung sandiwara raksasa—di mana satu kesalahan bisa menghancurkan segalanya. Pagi itu, Jocelyn, masih terjebak dalam tubuh Sebastian, berdiri di depan cermin kamar apartemen hotel mereka. Ia mengenakan setelan abu-abu gelap, dasi hitam, dan rambut disisir rapi ke belakang. Penampilannya sempurna. Tapi yang terpancar dari matanya hanyalah kelelahan dan kegelisahan. “Kau tidak bisa terus begini,” gumamnya kepada bayangan di cermin. Di sisi lain, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, tengah berjuang mengaitkan kancing gaun blus satin yang terasa terlalu ketat di dada. Gaun itu pilihan Jocelyn pagi tadi untuk menghadiri galeri amal Clarissa Vane. Lengkap dengan heels 9 cm yang membuat lututnya gemetar sejak percobaan ketiga. “Kenapa sih pakaian perempuan harus jadi bentuk penyiksaan terselubung?” gerutunya. Jocelyn muncul dari b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status