“Apakah kalian benar-benar saling mencintai atau ini hanya akuisisi dalam bentuk gaun pengantin?”
Judul itu terpampang besar di halaman depan Capital Gossip Weekly, lengkap dengan foto Jocelyn dan Sebastian yang diambil saat pertunangan—senyum mereka beku, seperti dua manekin yang dipaksa berdiri berdampingan. Di bawahnya, tulisan kecil berbunyi: “Menurut sumber dalam, pasangan pewaris konglomerat ini menandatangani kontrak pranikah setebal perjanjian merger.” Jocelyn melempar majalah itu ke meja kaca ruang kerjanya. “Clarissa Vane,” gumamnya dingin. “Gadis ular itu memang tak pernah bisa diam, selalu mencari kesempatan menyemburkan bisa beracunnya.” Di layar tablet di depannya, artikel lain bermunculan, semua menyuarakan nada sama: mempertanyakan keaslian hubungannya dengan Sebastian Grey. Beberapa menyebutnya fake romance, ada yang menyebutnya strategic love, dan yang paling keterlaluan, paksaan bisnis demi menutupi kehancuran finansial Hartfeld Corporation. “Kau harus merespons ini, Jo,” ujar Amber tajam saat video call. Ia sedang berada di Milan untuk urusan bisnis, tapi wajahnya memenuhi layar. “Clarissa bukan cuma dengki. Dia sedang menjatuhkan kredibilitas kalian.” “Kalau aku balas, justru memberikan konfirmasi argumennya. Dan memang itu yang dia mau.” Jocelyn memijat pelipisnya. Amber mendesah. “Lalu kau biarkan saja dia menggoreng gosip sesuka hati? Aku tahu, seharusnya tidak ikut campur.masalah ini. Tapi kau dan Seb adalah teman baikku” “Sebentar lagi publik akan bosan. Mereka akan segera pindah mencari skandal baru.” Jocelyn menjawab sekenanya. Batinnya berpikir sejak kapan dia menjadi teman baik Amber? “Tapi sebelum itu, mereka akan mengunyah nama keluargamu seperti permen karet basi. Kuharap kau dan Seb tetap bertahan, Jo.” Amber memutus sambungan lebih dulu. Jocelyn memandangi layar kosong. Lalu memutar tubuh ke jendela tinggi di belakangnya. Manhattan dinaungi langit sore itu kelabu, penuh dengan awan hitam yang menggantung. Seperti hatinya saat ini. Pintu terbuka. Lukas masuk tanpa mengetuk, seperti biasa. “Kau sudah lihat berita?” tanyanya, duduk di sofa dan melempar berkas ke meja. “Aku tidak buta, Luke,” jawab Jocelyn, datar. “Clarissa Vane bilang pada kolumnis bahwa kau dan Sebastian kelak akan tidur di kamar terpisah. Bahwa kalian bahkan tidak tinggal di satu rumah saat sudah menikah nanti. Bahwa ini semua hanya panggung politik bisnis yang dibungkus renda satin putih.” Jocelyn menatap Lukas dalam-dalam dan menjawab dengan tenang “Hmm…Dia benar. Tapi itu bukan urusannya, dan bukan pula urusanmu.” Lukas menatapnya. “Tapi itu urusan publikmu, Jo.” Jocelyn berdiri. “Apa kau datang untuk menceramahiku?” Lukas bangkit. “Aku datang karena peduli.” Kalimat itu menggantung di udara. Jocelyn memalingkan muka. “Ini bukan saatnya membahas perasaan lama, Luke.” “Aku bukan membahas masa lalu, Jo. Aku membahas masa kini. Kau makin rapuh. Dan aku takut sebentar lagi... kau akan hancur.” Jocelyn menahan napas. Matanya panas. Tapi ia tak membiarkan air mata jatuh. “Percayalah, aku tidak semudah itu untuk dihancurkan” Sementara itu, di ruang tamu rumah tua keluarga Grey yang disulap menjadi set wawancara dadakan, Evelyn Grey duduk mengenakan dress pastel yang agak longgar. Matanya sayu. Tatapannya kosong. Wartawan dari stasiun TV nasional duduk di depannya. Lampu studio membuat ruangan itu makin pengap. “Mrs. Grey, bagaimana perasaan Anda tentang pernikahan putra Anda dengan Jocelyn Hartfeld?” Evelyn membuka mulut, lalu menutupnya. Bibirnya bergerak-gerak, seperti ragu dengan jawabannya sendiri. “Aku... aku berharap yang terbaik untuk Sebastian,” katanya akhirnya. “Tapi... semua ini terasa terburu-buru.” “Apakah Anda merestui hubungan mereka?” Evelyn terdiam terlalu lama. Kameramen mengangkat alis. Produser memberi isyarat di belakang layar. “Sebastian anak yang keras kepala. Ia selalu melakukan apa yang dia anggap benar. Tapi... saya harap dia tahu pernikahan bukanlah bisnis. Pernikahan seharusnya menyatukan dua hati.” Wawancara itu menyebar viral keesokan harinya. Potongan videonya diunggah ke berbagai akun gosip. Judulnya sensasional: “Ibu Sebastian Menangis: Ini Bukan Cinta.” Di malam yang sama, Jocelyn duduk sendiri di apartemennya. Gaun kerjanya masih belum diganti sejak sore. Di tangannya, ponsel terbuka menampilkan komentar netizen: “Mana ada cinta dingin gitu?” “Wajah mereka kaku banget, kaya musuh bebuyutan.” “Jangan-jangan ini semacam hukuman dari orang tua?” Ia meletakkan ponsel ke meja, lalu menunduk. Dunia yang dulu ia kuasai kini terasa seperti kandang emas. Ia bebas melangkah, tapi tak bisa keluar. Setiap gerak-geriknya ditonton, dinilai, dijadikan bahan gosip. Pintu diketuk. Ia bangkit pelan, membuka. Sebastian berdiri di sana, mengenakan hoodie gelap dan topi, seperti sedang menyelinap dari dunia luar. “Aku tidak bisa tidur,” katanya singkat. “Kau datang untuk menghiburku?” tanya Jocelyn datar. “Tidak. Aku datang karena media mengikutiku sepanjang hari. Aku butuh tempat berlindung.” Jocelyn memberi jalan. “Luar biasa. Sang raja sinis butuh perlindungan.” Mereka duduk di ruang tamu. Hening. “Evelyn diwawancara,” kata Jocelyn akhirnya membuka percakapan. “Dia terlihat... kacau.” Sebastian menatap lantai. “Ibuku benci semua ini. Dia tumbuh percaya adanya cinta sejati, seperti dalam dongeng. Dan baginya, ini adalah pengkhianatan akan arti cinta itu sendiri.” “Tapi kenapa kau tetap menyetujui usulan ini, Seb?” “Karena jika aku menolak, kamu akan kehilangan perusahaanmu. Dan... aku tidak bisa biarkan kau kalah dariku.” Jocelyn melirik, tak yakin apakah itu ejekan atau pengakuan. Sebastian menatapnya. “Kau terlihat sangat kelelahan.” “Aku dikurung dalam kotak kaca bernama skandal,” jawab Jocelyn. “Kau sendiri bagaimana?” “Aku dikurung dalam cermin. Setiap orang memantulkan wajah palsuku dan menganggapnya nyata.” Hening lagi. Tapi hening yang anehnya tidak membuat mereka tidak nyaman. “Sebastian,” ucap Jocelyn pelan. “Jika kita tidak berhati-hati dalam melangkah dimasa depan, kita bisa benar-benar tenggelam dalam kebohongan ini.” Sebastian menatapnya lekat-lekat. “Atau... kita bisa belajar berenang bersama di dalamnya.” Keesokan harinya, Clarissa Vane mengunggah foto dirinya mengenakan gaun putih di I*******m, dengan caption: “Kalau mereka bisa pura-pura bahagia, kenapa aku tidak pura-pura ikut bahagia?” Jocelyn memandang layar sambil mengeraskan rahangnya. “Aku akan buat dia diam,” katanya. Lukas menatapnya. “Apa yang kau rencanakan?” “Bermain di levelnya,” ujar Jocelyn dengan senyum dingin. “Tapi dengan caraku.” Dari kejauhan, Sebastian memperhatikannya. Dalam diam, dia tahu: badai belum selesai. Ini baru awal dari badai besar.Lukas Crawford tak pernah membayangkan bahwa cinta bisa terasa seperti pengkhianatan. Sejak pertemuannya dengan Prof. Malik Al-Ghazi beberapa hari lalu, saat kebenaran tentang pertukaran jiwa Sebastian dan Jocelyn terkuak, segala sesuatunya terasa seperti teka-teki yang telah lama ia curigai, tapi tak berani ia susun.Dan sekarang, semuanya sudah jelas. Tapi justru karena itu, semuanya menjadi jauh lebih rumit.Ia berdiri di depan cermin kecil ruangannya, menatap wajahnya sendiri, seperti ingin menanyai refleksi itu: Apa kau benar-benar jatuh cinta pada wanita yang kini tidak lagi berada dalam tubuhnya sendiri?Lukas menyusuri lorong Hartfeld Tower dengan langkah pelan. Di tangannya ada dua folder: laporan operasional dan masalah yang jauh lebih berat, hatinya yang belum selesai bicara.Di ruang CEO, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, sedang mengetik dengan cepat. Meski mengenakan blazer hitam, ada kesan maskulin dalam sorot matanya yang tak bisa disembun
Apartemen Evelyn Grey selalu diselimuti aroma mawar kering dan teh hijau basi, seperti waktu yang mandek, berhenti di masa lalu yang enggan dilepaskan.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di depan pintu putih gading itu dengan napas yang tak stabil. Ia menatap bel pintu selama beberapa detik, seolah berharap waktu bisa dibekukan. Tapi tidak. Kali ini, ia tak bisa lari.Dengan jari gemetar, ia menekan bel. Suara lembut berbunyi di dalam. Lalu derit pintu terbuka. Seorang perawat muda membukakan pintu. Ia mengenalinya—perawat privat yang disewa Grey International untuk menjaga Evelyn selama krisis mentalnya. “Oh, Nona Jocelyn,” sapa perawat itu dengan sopan. “Ibu Evelyn sedang agak… tertekan hari ini. Tapi dia ingin ditemui.”Sebastian hanya mengangguk. Langkahnya terasa seperti berjalan di atas batu nisan kenangan.Di dalam, Evelyn duduk di kursi goyang antik. Rambut peraknya digelung setengah rapi, dan matanya menatap koson
Di dunia korporat, tidak ada yang benar-benar teman. Dan Amber Wu tahu itu lebih awal daripada siapa pun.Pagi itu, kantor pusat Grey International dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat namun nyata. Para karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi serius, dan tatapan penuh penilaian selalu ada di balik layar komputer. Tapi satu hal yang paling menyita perhatian banyak mata pada hari itu adalah: sebongkah senyum di wajah Amber Wu.Ia mengenakan gaun cheongsam berwarna gading dengan bordiran emas pada bagian dada, yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajah khas oriental miliknya tampak sangat menawan. Di tangannya ada dua gelas kopi dari kafe premium di lantai bawah. Satu untuk dirinya. Satu lagi untuk "Sebastian."Ia mengetuk pintu ruang CEO.“Masuk,” suara dalam itu berat dan tegas. Tapi bagi Amber, ada nada baru di sana. Lebih... manusiawi? Terlalu sopan untuk Sebastian Grey yang dikenalnya dulu.Ia masuk dengan langkah halus, menye
Langit Manhattan seperti biasa tampak bagai lukisan abu-abu yang gagal diselesaikan. Hujan rintik turun sejak pagi, membasahi kaca-kaca tinggi kantor Grey International. Di ruang pertemuan privat lantai 42, suasana tak kalah muram dari cuaca.“Ini orangnya?” tanya pria berjanggut dengan sorban lepas yang diikat rapi, mengenakan jas panjang hitam dan kemeja linen kusut.“Ya,” jawab Lukas pelan, mempersilakan Prof. Malik Al-Ghazi masuk ke dalam ruang pertemuan rahasia.“Luar biasa. Getaran ruangannya berat sekali,” ucap Prof. Malik sambil menatap kearah Jocelyn berdiri disamping jendelan dengan pandangan keluar dan Sebastian yang duduk di ujung meja meeting.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri dengan kedua tangan disilangkan di dada. “Saya tidak percaya pada spiritualisme. Kami butuh solusi, bukan mantra.” Prof. Malik menoleh. “Dan saya tidak percaya pada CEO yang hidup dalam tubuh bukan miliknya. Tapi nyatanya kita semua di sini.”
Kebenaran selalu punya cara untuk keluar dari bayang-bayang. Kadang melalui bisikan. Kadang melalui ledakan. Pagi itu, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di lobi utama Hart Group, mengenakan setelan navy yang menjadikannya tampak persis seperti pewaris konglomerat mapan. Tapi hari ini, dia bukan hanya menghadapi rapat dewan. Hari ini, dia menghadapi masa lalu. Malam sebelumnya, Lukas mengirim pesan: “Aku menemukan sesuatu tentang ibumu. Kita perlu bicara. Segera.” Sekarang mereka berada di ruang arsip bawah tanah Hart Group. Ruangan gelap, lembab, dan penuh lemari besi tua. Lukas menarik keluar sebuah folder berlabel merah: “HARTFELD – PRIVATISASI 2003.” Di dalamnya, bukan hanya dokumen bisnis, tapi juga salinan rekaman terapi, dengan kop resmi rumah sakit swasta Swiss. Sebastia — dalam tubuh Jocelyn —mengambil halaman pertama. Tangannya gemetar. “Saya takut pada Joseph,” suara d
Dunia bisa berubah dalam semalam. Dan bagi Jocelyn Hartfeld serta Sebastian Grey, dunia mereka kini adalah sebuah panggung sandiwara raksasa—di mana satu kesalahan bisa menghancurkan segalanya. Pagi itu, Jocelyn, masih terjebak dalam tubuh Sebastian, berdiri di depan cermin kamar apartemen hotel mereka. Ia mengenakan setelan abu-abu gelap, dasi hitam, dan rambut disisir rapi ke belakang. Penampilannya sempurna. Tapi yang terpancar dari matanya hanyalah kelelahan dan kegelisahan. “Kau tidak bisa terus begini,” gumamnya kepada bayangan di cermin. Di sisi lain, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, tengah berjuang mengaitkan kancing gaun blus satin yang terasa terlalu ketat di dada. Gaun itu pilihan Jocelyn pagi tadi untuk menghadiri galeri amal Clarissa Vane. Lengkap dengan heels 9 cm yang membuat lututnya gemetar sejak percobaan ketiga. “Kenapa sih pakaian perempuan harus jadi bentuk penyiksaan terselubung?” gerutunya. Jocelyn muncul dari b