Angin malam menghembus lembut dari arah taman. Dedaunan trembesi tua bergesekan perlahan, seolah berbisik satu sama lain dalam bahasa yang tak dimengerti manusia.
Langit Manhattan malam itu bersih, langka. Bulan menggantung bulat sempurna, cahayanya jatuh di kulit pucat Jocelyn Hartfeld yang berdiri diam di balkon lantai dua rumah keluarganya. Gaun tidurnya longgar, sutra putih yang bergoyang lembut diterpa angin. Di tangannya segelas anggur, belum disentuh. Pandangannya tertuju jauh ke arah gerbang depan. Ia bahkan tak sadar bahwa sudah lebih dari sejam ia berdiri di sana. Menunggu. Entah apa yang ditunggu. Besok, dia akan menikah. Bukan dengan cinta masa kecil. Bukan dengan sahabat lama. Tapi dengan Sebastian Grey—musuh bebuyutan, rival berdarah dingin, dan lelaki yang paling membuatnya kesal sejak masa sekolah. Dada Jocelyn terasa sesak. Bukan karena cinta. Tapi karena ketakutan akan kehilangan jati diri, menggerogoti relung hati gadis itu yang paling dalam. Seorang pria muncul di balik pintu geser balkon. “Masih berdiri di sini?” suara berat milik ayahnya, Joseph Hartfeld. Ayahnya. Yang dulu pernah menjadi pahlawan masa kecilnya. Kini tidak lebih hanya seorang CEO yang mengenakan jas berlabel orangtua. Jocelyn tak menjawab. Ia hanya menyesap udara malam. Joseph melangkah mendekat, mengabaikan suhu dingin dan fakta bahwa putrinya sedang larut dalam dunia pikirannya sendiri. “Aku baru saja menyelesaikan pertemuan dengan dewan direksi,” katanya pelan. “Beberapa dari mereka masih ragu dengan keputusanmu. Mereka takut ini cuma pertunjukan sementara.” Jocelyn menoleh. “Bukankah memang begitu?” Joseph tak tersenyum. “Tapi pertunjukan yang bagus bisa menyelamatkan perusahaan.” Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sebuah kotak beludru kecil. Disodorkannya ke tangan putrinya. “Apa ini?” Jocelyn menatap benda itu curiga. “Cincin ibumu. Dulu dia memakainya saat kami menikah. Dan dia bilang... dia percaya kamu akan tahu kapan saat yang tepat memakainya.” Jocelyn membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, sebentuk cincin emas putih dengan batu safir biru tua berkilau dalam cahaya bulan. Cantik. Dan berat—bukan secara fisik, tapi makna yang dibawanya. “Kenapa Papa berikan padaku malam ini?” tanyanya pelan. Joseph memandangnya. “Karena besok, kamu akan jadi wajah perusahaan. Bukan hanya sebagai pewaris. Tapi sebagai simbol.” “Sebuah simbol yang dibungkus gaun pernikahan dan perjanjian kontrak,” balas Jocelyn, datar. Hanya itu arti dirinya bagi sang ayah. Simbol. “Dunia tidak adil, Jo,” kata Joseph, nada suaranya lebih lembut dari biasanya. “Kadang, kita harus menciptakan dongeng sendiri agar orang percaya hidup ini masih layak untuk dijalani.” Jocelyn menatapnya lama. “Dan jika aku tak percaya pada dongeng itu?” Joseph menarik napas dalam. “Maka buatlah orang lain percaya bahwa itu dongeng terindah yang pernah ada, meski dirimu tidak mempercayainya. Karena itulah kekuatan seorang Hartfeld.” Jocelyn menatap kembali langit malam. Ia tahu maksud ayahnya. Besok bukan hanya hari pernikahan. Tapi hari pertunjukan terbesar dalam hidupnya. Kelangsungan Hart Corp berada di bahunya. Dan semua mata menonton, seolah menantikan kapan dia akan jatuh. Malam makin larut. Rumah keluarga Hartfeld sudah tenang, hanya ditemani detak jam antik di lorong dan sesekali dengkuran pelan dari anjing tua keluarga mereka, Max. Di kamar, Jocelyn duduk di depan cermin. Gaun tidur telah terganti, diganti dengan kimono putih lembut. Rambutnya dibiarkan tergerai. Wajahnya tak memakai riasan. Ini, mungkin, satu-satunya waktu dalam hidupnya ia tak perlu memoles citra sama sekali. Ia memandangi pantulan dirinya. "Apa aku masih Jocelyn Hartfeld? Atau hanya peran yang disusun oleh nama keluarga?" Ia membuka kotak cincin lagi. Memandangi safir itu dalam-dalam. Ada sesuatu yang dalam di balik warnanya, seperti kedalaman laut. Seolah ingin menenggelamkan segalanya. Termasuk perasaannya sendiri. Lalu ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk. Dari: Sebastian Grey Pesannya singkat: “Besok, kita mulai pertunjukan. Siap?” Ia menatap layar. Jemarinya ingin mengetik sesuatu, tapi tak ada kata yang terasa tepat. Akhirnya, ia hanya menjawab: “Aku tidak pernah siap untuk menikah denganmu. Tapi aku bisa berpura-pura.” Sebastian membalas dengan satu emoji wajah datar. Jocelyn tersenyum kecil. Sinis. Tapi sedikit jujur juga. Sementara itu, di kamar hotel tempat Sebastian menginap, suasana berbeda. Musik jazz mengalun pelan dari speaker. Ruangan modern itu rapi, tapi dingin, mencerminkan kepribadian penghuninya. Sebastian duduk sendiri di sofa, memandangi draf terakhir kontrak pernikahan mereka. Tiga puluh halaman. Isinya tentang batasan, tanggung jawab, waktu kontrak, dan hal-hal pribadi yang tak boleh disentuh. Termasuk larangan jatuh cinta. Ironis, pikirnya. Bahkan cinta pun harus dikendalikan dengan pasal. Ia melempar berkas ke meja. Mengambil segelas wine, menyesap sedikit, lalu berdiri menghadap jendela. Dari sana, ia bisa melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti monumen kekuasaan. Dunia tempat ia tumbuh. Dunia yang mengajarkan bahwa emosi adalah kelemahan. Tapi malam ini, ada sesuatu yang tak biasa di dadanya. Seperti tekanan aneh. Kecemasan yang tak bisa ia identifikasi. Bukan soal pernikahan. Bukan soal bisnis. Tapi tentang wanita itu. Jocelyn. Perempuan itu seperti cermin. Memantulkan bagian dirinya yang paling ia benci—ambisi, kesombongan, kehampaan. Tapi ia juga satu-satunya orang yang memahami keheningan dirinya tanpa mencoba mengubahnya. Sebastian membuka ponselnya. Melihat balasan Jocelyn lagi. “Aku tidak pernah siap menikah denganmu. Tapi aku bisa berpura-pura.” Ia menutup layar dan tersenyum tipis. Besok, dunia akan menyaksikan mereka bersatu. Dan sebaliknya mereka berdua akan menyaksikan dunia mulai retak. Kembali ke rumah Hartfeld. Jam menunjukkan pukul 02:14 dini hari. Jocelyn masih belum tidur. Ia kini berdiri di ruang tamu yang remang-remang, memandangi foto lama keluarganya. Foto itu diambil saat ia masih kecil—Joseph tersenyum muda, ibunya masih hidup, dan Jocelyn kecil berdiri di tengah, mengenakan pita merah muda. Ia menyentuh permukaan kaca bingkai foto itu. Tiba-tiba listrik padam sejenak. Lampu berkedip, lalu kembali menyala. Hanya satu detik, tapi cukup membuat Jocelyn melangkah mundur, jantungnya berdetak cepat. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Seolah sesuatu di luar naskah sudah menunggu. Dan di kejauhan, entah di dunia nyata atau sesuatu yang lebih dalam, cermin di ruang tamu keluarga Grey—yang telah ditutup kain selama bertahun-tahun—bergetar pelan. Tak ada angin. Tak ada suara. Tapi permukaannya retak. Tipis. Nyaris tak terlihat. Namun dari retakan itu, seberkas cahaya samar menyelinap keluar. Seperti nafas yang tertahan selama puluhan tahun, akhirnya merasakan kelegaan setelah dibiarkan bebas. Besok adalah hari pernikahan. Hari pertunjukan. Tapi juga hari pertemuan dua dunia—yang lama dan yang akan datang. Dan tidak ada yang benar-benar siap untuk itu. Bahkan untuk Jocelyn dan Sebastian sendiriLukas Crawford tak pernah membayangkan bahwa cinta bisa terasa seperti pengkhianatan. Sejak pertemuannya dengan Prof. Malik Al-Ghazi beberapa hari lalu, saat kebenaran tentang pertukaran jiwa Sebastian dan Jocelyn terkuak, segala sesuatunya terasa seperti teka-teki yang telah lama ia curigai, tapi tak berani ia susun.Dan sekarang, semuanya sudah jelas. Tapi justru karena itu, semuanya menjadi jauh lebih rumit.Ia berdiri di depan cermin kecil ruangannya, menatap wajahnya sendiri, seperti ingin menanyai refleksi itu: Apa kau benar-benar jatuh cinta pada wanita yang kini tidak lagi berada dalam tubuhnya sendiri?Lukas menyusuri lorong Hartfeld Tower dengan langkah pelan. Di tangannya ada dua folder: laporan operasional dan masalah yang jauh lebih berat, hatinya yang belum selesai bicara.Di ruang CEO, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, sedang mengetik dengan cepat. Meski mengenakan blazer hitam, ada kesan maskulin dalam sorot matanya yang tak bisa disembun
Apartemen Evelyn Grey selalu diselimuti aroma mawar kering dan teh hijau basi, seperti waktu yang mandek, berhenti di masa lalu yang enggan dilepaskan.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di depan pintu putih gading itu dengan napas yang tak stabil. Ia menatap bel pintu selama beberapa detik, seolah berharap waktu bisa dibekukan. Tapi tidak. Kali ini, ia tak bisa lari.Dengan jari gemetar, ia menekan bel. Suara lembut berbunyi di dalam. Lalu derit pintu terbuka. Seorang perawat muda membukakan pintu. Ia mengenalinya—perawat privat yang disewa Grey International untuk menjaga Evelyn selama krisis mentalnya. “Oh, Nona Jocelyn,” sapa perawat itu dengan sopan. “Ibu Evelyn sedang agak… tertekan hari ini. Tapi dia ingin ditemui.”Sebastian hanya mengangguk. Langkahnya terasa seperti berjalan di atas batu nisan kenangan.Di dalam, Evelyn duduk di kursi goyang antik. Rambut peraknya digelung setengah rapi, dan matanya menatap koson
Di dunia korporat, tidak ada yang benar-benar teman. Dan Amber Wu tahu itu lebih awal daripada siapa pun.Pagi itu, kantor pusat Grey International dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat namun nyata. Para karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi serius, dan tatapan penuh penilaian selalu ada di balik layar komputer. Tapi satu hal yang paling menyita perhatian banyak mata pada hari itu adalah: sebongkah senyum di wajah Amber Wu.Ia mengenakan gaun cheongsam berwarna gading dengan bordiran emas pada bagian dada, yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajah khas oriental miliknya tampak sangat menawan. Di tangannya ada dua gelas kopi dari kafe premium di lantai bawah. Satu untuk dirinya. Satu lagi untuk "Sebastian."Ia mengetuk pintu ruang CEO.“Masuk,” suara dalam itu berat dan tegas. Tapi bagi Amber, ada nada baru di sana. Lebih... manusiawi? Terlalu sopan untuk Sebastian Grey yang dikenalnya dulu.Ia masuk dengan langkah halus, menye
Langit Manhattan seperti biasa tampak bagai lukisan abu-abu yang gagal diselesaikan. Hujan rintik turun sejak pagi, membasahi kaca-kaca tinggi kantor Grey International. Di ruang pertemuan privat lantai 42, suasana tak kalah muram dari cuaca.“Ini orangnya?” tanya pria berjanggut dengan sorban lepas yang diikat rapi, mengenakan jas panjang hitam dan kemeja linen kusut.“Ya,” jawab Lukas pelan, mempersilakan Prof. Malik Al-Ghazi masuk ke dalam ruang pertemuan rahasia.“Luar biasa. Getaran ruangannya berat sekali,” ucap Prof. Malik sambil menatap kearah Jocelyn berdiri disamping jendelan dengan pandangan keluar dan Sebastian yang duduk di ujung meja meeting.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri dengan kedua tangan disilangkan di dada. “Saya tidak percaya pada spiritualisme. Kami butuh solusi, bukan mantra.” Prof. Malik menoleh. “Dan saya tidak percaya pada CEO yang hidup dalam tubuh bukan miliknya. Tapi nyatanya kita semua di sini.”
Kebenaran selalu punya cara untuk keluar dari bayang-bayang. Kadang melalui bisikan. Kadang melalui ledakan. Pagi itu, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di lobi utama Hart Group, mengenakan setelan navy yang menjadikannya tampak persis seperti pewaris konglomerat mapan. Tapi hari ini, dia bukan hanya menghadapi rapat dewan. Hari ini, dia menghadapi masa lalu. Malam sebelumnya, Lukas mengirim pesan: “Aku menemukan sesuatu tentang ibumu. Kita perlu bicara. Segera.” Sekarang mereka berada di ruang arsip bawah tanah Hart Group. Ruangan gelap, lembab, dan penuh lemari besi tua. Lukas menarik keluar sebuah folder berlabel merah: “HARTFELD – PRIVATISASI 2003.” Di dalamnya, bukan hanya dokumen bisnis, tapi juga salinan rekaman terapi, dengan kop resmi rumah sakit swasta Swiss. Sebastia — dalam tubuh Jocelyn —mengambil halaman pertama. Tangannya gemetar. “Saya takut pada Joseph,” suara d
Dunia bisa berubah dalam semalam. Dan bagi Jocelyn Hartfeld serta Sebastian Grey, dunia mereka kini adalah sebuah panggung sandiwara raksasa—di mana satu kesalahan bisa menghancurkan segalanya. Pagi itu, Jocelyn, masih terjebak dalam tubuh Sebastian, berdiri di depan cermin kamar apartemen hotel mereka. Ia mengenakan setelan abu-abu gelap, dasi hitam, dan rambut disisir rapi ke belakang. Penampilannya sempurna. Tapi yang terpancar dari matanya hanyalah kelelahan dan kegelisahan. “Kau tidak bisa terus begini,” gumamnya kepada bayangan di cermin. Di sisi lain, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, tengah berjuang mengaitkan kancing gaun blus satin yang terasa terlalu ketat di dada. Gaun itu pilihan Jocelyn pagi tadi untuk menghadiri galeri amal Clarissa Vane. Lengkap dengan heels 9 cm yang membuat lututnya gemetar sejak percobaan ketiga. “Kenapa sih pakaian perempuan harus jadi bentuk penyiksaan terselubung?” gerutunya. Jocelyn muncul dari b