Share

Chapter 3 LAMARAN EKSTRIM

Chapter 3

LAMARAN EKSTRIM

Maudy merasa sangat lega. Operasi adiknya berjalan lancar. Adiknya sudah keluar dari kamar bedah, meskipun belum siuman. Kata dokter, semua baik-baik saja dan akan selalu dipantau dua puluh empat jam. 

Maudy meluncur ke rumah sakit setiap ada kesempatan. Meskipun dia masih kebingungan mencari pinjaman untuk melunasi biaya operasi adiknya. 

Hati Maudy sakit sekali. Bagaimana bisa adiknya yang tidak tahu apa-apa harus menderita penyakit seperti itu. Dia yang miskin juga harus memikirkan biaya operasi yang angka-angkanya fantastis seolah bukan uang sesungguhnya. Ini masih operasi kecil. Dokter bilang, selama transplantasi jantung belum dilakukan, bisa saja operasi-operasi akan dilakukan setiap keadaan adiknya memburuk. 

"Tetapi, kamu tenang saja! Biasanya, jika berjalan dengan baik, operasi ini akan mempertahankan kondisi adikmu tetap sehat dalam waktu yang lama."

"Lama itu seperti apa, Dok?" tanya Maudy.

"Lebih dari enam bulan. Namun, dia harus tetap dirawat intensif di rumah sakit!"

'Hah! Apa-apaan itu? Apa waktu enam bulan itu waktu yang lama? Aku sama sekali tidak boleh bernapas lega. Yang lima puluh juta saja belum sanggup kupenuhi,' pikir Maudy kalut. 

Tangannya sibuk mencoret-coret buku kecil yang ada di depannya. Banyak hal yang ditulisnya dari tadi mulai dari rencana pinjaman lain, kemungkinan melakukan banyak pekerjaan sekaligus atau yang tidak mengganggu jadwal kerja utamanya, pekerjaan yang cepat menghasilkan uang, hingga menjual organ? Ah, Maudy langsung mencoret kuat-kuat pilihan itu. 'Aku juga harus sehat supaya bisa mencari uang dan merawat Alysa,' pikirnya.

"Maafkan aku, Tuhan!" bisiknya dalam doa kecil. Bisa-bisanya dia sempat berpikiran bodoh ingin menjual organ dalamnya? Seandainya pun itu terjadi, bagaimana dia bisa merawat adiknya jika dia dalam keadaan kurang sehat?

"Sudah kuduga kamu ada di sini!" 

Maudy yang sedang melamun segera menutup buku yang berisi coretan tangannya saat melihat siapa yang datang. Akan tetapi, Marcel sudah telanjur melihat tulisan itu. Maudy menyadari hal itu dan membuang muka dengan wajah memerah.

"Untuk apa lagi kamu ke sini?" tanya Maudy ketus. Orang yang ditanya malah senyum-senyum kegirangan karena merasa memegang kartu penting dari musuhnya.

"Aku datang untuk melamarmu. Apa kamu tidak merasa tersanjung?" tanya Marcel santai.

"Apa? Me-la-mar?" Tanpa sadar, Maud mengeja satu kata yang membingungkan benaknya.

"Iya. Melamar. Apa kamu tidak pernah mendengar kata melamar?" tanya Marcel. "Atau...ya, ampun, atau jangan-jangan kamu belum pernah dilamar atau bahkan belum pernah pacaran?"

Gadis itu menatap Marcel penuh amarah. "Apa kamu pikir kata melamar itu digunakan orang untuk main-main?" desisnya dengan tatapan sinis.

Dia menatap Marcel penuh benci dan amarah, tetapi dalam hati dia mengakui hal itu seratus persen. Sejak dulu, dia hanya sibuk bekerja dan memikirkan adiknya. Mana pernah ada waktu memikirkan pacaran? Dia bahkan tidak pernah terpikirkan akan menikah suatu saat nanti.

"Aku yakin tidak. Aku mengucapkan itu bukan untuk main-main. Nah, aku juga ingin bertanya padamu. Apakah menurutmu angka-angka yang ada di kertasmu itu adalah angka uang mainan?" kilah Marcel dengan wajah tidak kalah sinis.

Maudy terdiam sejenak. Sepertinya dia menduga sesuatu dari perkataan Marcel akan tetapi dia tidak yakin. "Jelaskan maksudmu. Katakan saja apa maumu sebenarnya! Otakku tidak sanggup diajak bermain teka-teki untuk saat ini."

"Wow!" Marcel berdecak kagum dan bertepuk tangan tiga kali. "Kamu pintar juga, ya. Tidak salah Kamu kuliah di universitas ternama."

"Apakah kamu memata-mataiku?" tuduh Maudy dalam keadaan hampir meledak karena emosi.

"Tenang! Jangan marah-marah, sayang. Nanti kamu cepat keriput. Tujuanku baik, kok." Marcel mendekatkan diri pada Maudy lalu berbisik, "Aku hanya ingin membantu, Sayangku!"

"Diam, kamu. Siapa yang sayangmu?" Maudy mendorong tubuh Marcel dengan kesal. Dia segera meraih tasnya dan beranjak meninggalkan tempat itu.

"Maud. Tunggu! Tunggu! Dengarkan dulu aku bicara," bujuk Marcel sembari terus mengikuti Maudy. 

Perempuan itu tetap melangkah tanpa menggubris perkataan Marcel. 'Bahkan, sekarang dia berani menyebut nama panggilanku,' pikir Maudy kesal.

"Sepertinya, mereka sepasang kekasih yang sedang marah-marahan," kata seorang nenek yang mengenakan pakaian pasien.

"Jadi ingat masa muda kita," kata seorang kakek yang sedang bersama nenek itu. 

Maudy menahan rasa malunya sambil mempercepat langkahnya. Marcel mengikuti dalam diam. Mereka tidak berbicara sepatah kata pun sampai memasuki ruang pembayaran. Sebenarnya, Maudy ingin memastikan tanggal terakhir pelunasan biaya operasi adiknya. Akan tetapi, karena laki-laki itu mengikutinya, Maudy pura-pura lewat begitu saja. Tiba-tiba saja Marcel memegang tangan Maudy dan menariknya mendekat. Maudy merasa tidak bisa menahan amarahnya lagi terhadap laki-laki kurang ajar itu. Dia bersiap menghajar pria itu, tetapi tidak jadi karena Marcel sepertinya menariknya untuk mendekat kepada sepasang suami istri.

"Marcel. Dari mana saja kamu? Dia... siapa?" tanya wanita paruh baya yang mengenakan baju bermerek itu. Wanita itu adalah Kirana, ibunya Marcel Baret.

"Ini pacar aku, Ma. Dia calon istri aku."

"Calon istri?" Kirana melihat Maud dengan tatapan curiga. "Benar, nih? Bukan karena kamu tidak ingin kujodohkan?"

"Bu... bukan, Tante!" Maudy menggerakkan tangan untuk menjauhkan Marcel darinya. 

"Wah, jadi kamu memang pacarnya? Kamu sampai membela Marcel," kata Kirana dengan wajah gembira.

"Bukan pacar maksud aku," sambung Maudy.

"Kamu yang benar dong Marcel. Apa ini karena kami ingin menjodohkan kamu?" tanya Yutama, ayah tiri Marcel yang merupakan keturunan campuran Indonesia-Jepang.

Sepertinya dia dikelilingi orang-orang baik dan kaya, batin Maudy. 

"Hei. Iya kan saja. Aku akan membayar semua biaya pengobatan adikmu," bisik Marcel di telinga Maudy. Gadis itu membelalakkan mata mendengar tawaran Marcel. 

"Sepertinya, dia begitu minder, Ma, Pa. Padahal aku sudah bilang bahwa Mama sama Papa tidak akan berbuat jahat pada calon menantunya hanya gara-gara dia miskin. Padahal kami sudah sangat cocok dan sepakat untuk menikah. Karena itu aku selalu menolak untuk dijodohkan," kata Marcel penuh percaya diri. 

"Benarkah? Apa itu benar, Nak? Siapa namamu?" tanya Kirana sambil menatap Maud dengan tatapan penuh harap. "Ayo, jangan malu-malu."

"Saya Maudy, Tante. Itu...itu kalau Tante dan Om tidak keberatan." Maudy menjawab sambil mencubit lengan Marcel diam-diam. Laki-laki menggigit bibir menahan sakit. Tidak disangka cubitan perempuan begitu sakit.

"Bagus kalau begitu. Ah, kalian mesra juga, ya. hmm...bagaimana jika kita adakan pernikahan akhir bulan ini?"

"Apa?" Maudy tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Bukankah itu terlalu cepat Tante? Sebenarnya...kami belum bicarakan sampai ke sana." Maudy memberikan ekspresi wajah memelas.

"Kalau begitu, kalian bicarakan saja sekarang. Awal bulan depan, kami harus ke luar negeri," tukas Kirana yang dibalas Yutama dengan senyum. "Selain itu, Marcel pasti sudah bercerita tentang kakeknya yang sedang sakit. Permintaannya adalah supaya Marcel segera menikah dan menambah anggota baru keluarga kita."

"Tapi...." Maudy menatap Marcel sambil menggelengkan kepala. Marcel memeluk bahu Maudy yang kebingungan.

"Kami pergi dulu, Nak. Datanglah ke rumah. Kita akan mengurus persiapan pernikahan pernikahan kalian bersama-sama. Sampai hari pernikahan tiba, kamu tidur di rumah saja, Cel. Biarkan saja dulu rumahmu kosong sampai hari pernikahan tiba," kata Kirana. Laki-laki itu pun mengajak istrinya pergi. 

Ya, ampun. Anak sama orang tua pada gila, ya? pikir Maudy.

Bruk. 

Maudy menendang betis Marcel.

"Aduh!" Marcel melompat kesakitan.

"Jelaskan! Apa maksud semua ini? Apa kamu dan keluargamu orang aneh?" tanya Maudy kesal.

"Kamu boleh bilang aku aneh, tapi jangan mama sama papaku, Maudy. Ini semua ada alasannya. Tapi, kamu tidak perlu tahu karena kamu belum resmi jadi istriku. Kakekku sedang sakit keras."

"Lalu?"

"Seperti yang sudah orang tuaku katakan tadi, mereka ingin aku segera menikah."

Maudy menahan rasa dongkol. "Baiklah. Jelaskan hal yang kamu maksud tadi dengan membayar semua biaya pengobatan adikku!" Maudy bersedekap menunggu penjelasan dari Marcel.

"Aku akan membayar semua biaya pengobatan adikmu. Lho...aku pikir berapa kali pun tidak ada teka-teki dalam kalimat itu. Jelas-jelas aku membuat kalimat sederhana yang mudah dipahami," tantang Marcel. "Aku pikir kamu pintar."

"Oke. Oke. Aku hanya mau memastikan. Aku belum setuju menikah denganmu. Aku harus mengetahui secara jelas segala sesuatunya. Semua biaya itu...itu...termasuk dua puluh miliar yang kubutuhkan untuk biaya transplantasi jantung adikku jika sudah ada donornya nanti?"

"Yap," kata Marcel sambil tersenyum.

Maudy merasa kepalanya mengembang saking tercengang. "Termasuk sisa pembayaran operasi adikku?"

"Hmm....iya."

"Itu...tiga puluh juta lagi, lho...," tukas Maudy. 

Marcel mengangguk setuju.

"Termasuk semua operasi lain yang akan dilakukan dan biaya rawat inap selama di rumah sakit?" 

"Iyaaa, Maud."

Maudy menatap Marcel dengan tatapan curiga. "Jadi, apa yang kamu inginkan? Aku tidak menyukaimu dan tidak pernah membayangkan hidup seumur hidup denganmu." 

Marcel tertawa angkuh. Caranya tertawa lebih mirip seperti dengusan yang melecehkan.

"Tenang saja. Aku juga tidak menyukaimu, kok. Aku bahkan sangat...tidak menyukaimu."

Maudy merasa terhina dengan perkataan Marcel padahal dia awalnya sangat tidak ingin pria itu menyukainya. Mengapa? Tentu saja karena Maudy ingin membencinya dengan bebas.

"Dua tahun. Mari kita menikah selama dua tahun lalu bercerai. Aku akan membiayai pengobatan adikmu dan juga dirimu selama tinggal satu rumah denganku."

Dua tahun, ya? Dua puluh miliar dan biaya lainnya sepertinya, cukup setimpal demi kesembuhan adikku, pikir Maudy.

"Tentu saja, syarat pertama dariku adalah jangan pernah mencintaiku! Jangan pernah menyukaiku sebagai lawan jenis. Kedua, bersikap mesra saat di hadapan orang lain selayaknya suami istri yang harmonis. Jika tidak ada yang melihat, silakan bersikap seperti orang asing. Namun, ingat! Selama dua tahun itu aku sudah membayarmu banyak, jadi menurutlah padaku seperti asisten rumah tangga."

Permintaan apa itu? Maudy menggemeretakkan gigi kuat-kuat. Apa dia menyerah saja?

"Dan, yang paling penting adalah selama dua tahun itu, kamu harus memberiku anak," tukas Marcel.

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status