Share

Chapter 2 MUSUH LAMA

Chapter 2

MUSUH LAMA

"Kamu tidak berubah, ya?" Suara itu memecah konsentrasi Maudy yang duduk di taman rumah sakit. Dia sedang berusaha menghubungi orang-orang yang belum sempat dihubungi sejak kemarin malam. Sayangnya, dana yang terkumpul hanya lima juta rupiah padahal rencananya operasi akan dilaksanakan besok.

"Siapa?" Maudy menjawab dengan ogah-ogahan. Setelah menoleh sekilas, dia langsung mengarahkan pandangannya kembali ke layar ponsel. Ada hal lain yang jauh lebih penting baginya.

"Sesibuk itukah sampai-sampai aku tidak dipedulikan? Adikmu bagaimana?" tanya orang itu lagi. Pria dengan pakaian kerja itu mendekat dan duduk di depan Maudy. 

Mau tidak mau, gadis itu akhirnya memberikan sedikit perhatian kepada pria yang telah terang-terangan mengusiknya itu.

"Oh, sopir, eh, maksudku Anda yang kemarin membantu kami, ya?" Maudy berdiri dan menundukkan kepala secukupnya untuk mengucapkan terima kasih. "Terima kasih banyak, ya. Berkat Anda, adik saya tertolong," kata perempuan berambut panjang itu tulus. 

"Oh. Tidak aku sangka! Kamu memang masih sama, ya. Sulit membedakan orang," gerutu laki-laki itu sambil melipat kedua tangan di dada. "Ck, ck, ck."

'Sombong sekali! Sopir taksi online saja pun sombong! Apa hak dia menilai seperti itu hanya dengan satu kali pertemuan?' Maudy merasa kesal sekali. 

"Maaf, saya bukan lupa. Namun, pikiran saya sedang tidak bisa fokus. Ah...," Wajah Maudy tiba-tiba berubah. 'Mungkinkah karena hal itu?" tanya Maudy lalu buru-buru merogoh isi tasnya.

"Karena apa?" tanya pria itu justru semakin heran.

"Saya baru ingat. Maaf yang sebesar-besarnya. Saya akan membayarnya sekarang." Dikeluarkannya dompet dari dalam tas.

Laki-laki itu tersenyum. "Wah...kamu langsung minta maaf juga, ya. Apa itu tulus?" 

"Ten...tentu saja! Berapa yang harus saya bayar?" Maud mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribu. 

"Apa kamu bercanda?" Dahi laki-laki itu mengernyit. "Kamu pikir bisa membayar kekacauan yang sudah kamu buat hanya dengan dua lembar uang lima puluh ribuan? Gadis ini...ck, ck!"

"Apaan, sih? Anda...sopir taksi paling aneh yang pernah saya temui. Maksud Anda bagaimana? Karena sudah membantu menggendong adik saya jadi saya harus bayar berjuta-juta?"

tanya Maudy kesal. 

Laki-laki itu seolah enggan menanggapi Maudy. 

"Tarif ongkos ke rumah sakit kan hanya dua puluh lima ribu rupiah. Saya sudah memberikan empat kali lipat. Masih kurang jugakah? Lalu, apa-apaan itu? Anda selalu berdecak di hadapan orang asing setiap ada kesempatan. Hah ...saya bisa gila karena bertemu orang seperti Anda ini. Saya pikir Anda dewa penyelamat. Saya pikir Anda orang baik yang tulus. Ini... saya tambah satu lembar lagi. Ah, tidak. Itu sudah cukup. Saya bukan orang kelebihan uang. Jangan pernah mencari saya lagi. Saya mohon karena saya sedang sibuk dengan urusan lain."

Maudy berdiri dan meninggalkan laki-laki itu sambil merepet marah. 

"Pfft...Buahahaha...!" Setelah bengong sesaat, pria bernama lengkap Marcel Baret, sang pemilik grup Ferrore itu pun sengaja tertawa terbahak-bahak sambil memegangi. perutnya. Tidak disangka laki-laki itu malah terhibur dengan tingkah Maudy.

Beberapa orang yang melintas di depan taman itu menatap mereka dengan berbagai ekspresi. Maudy sampai berhenti dan berbalik untuk menutup mulut laki-laki itu. 

"Apakah kamu tidak punya rasa sopan? Ini rumah sakit. Di sini kebanyakan orang-orang sedang membutuhkan suasana tenang karena keluarganya sakit dan sedang dirawat." Maudy marah besar sehingga tidak lagi menggunakan kata "Anda". Menurutnya, orang yang ada di hadapannya sudah kelewatan.

"Tunggu! Tunggu! Kamu salah paham, Maudy Angelia!" desis pria itu sedikit geram. "Apakah kamu baru saja mengira aku sopir taksi dan menuduhku orang yang akan memeras uang dari orang miskin yang kutolong?"

Maudy terperangah dengan kata-kata Marcel yang penuh tekanan. Benar juga! Mungkin laki-laki ini bukan sopir taksi bila dilihat dari pakaiannya dan benda-benda yang melekat di badannya mulai dari ujung kaki ke atas. Semuanya terlihat mahal dan berkelas dan juga terlihat ... tidak seperti membutuhkan uang dua lembar lima puluh ribuan. 

"Bagaimana Anda bisa tahu nama lengkap saya?" tanya Maud dengan gugup.

Laki-laki itu melotot padanya. Wajah angkuh dan senyum sinis itu menatapnya garang. Lalu diambilnya kacamata yang terletak di meja lalu memakainya.

"Marcel? Mar...Marcel Baret?" seru Maudy tidak percaya. Dia segera mengenal wajah tampan berkaca mata itu. 

"Ah, hai Maudy Angelia...," sapa Marcel sambil menggerakkan tangannya pelan lebih seperti mengipas debu. "Hei...jangan bengong saja. Duduk dulu di sini. Nanti kamu pingsan dan ini...aku kembalikan uangmu," kata Marcel sambil menyelipkan kembali dua lembar lima puluh ribuan itu ke tangan Maudy yang masih kaget.

"Sudah lama sekali, ya. Ini pertama kali kita bertemu setelah kejadian itu," kata Marcel dengan senyum terlukis di wajahnya yang tampan namun terlihat licik dan sombong. "Kamu masih seperti dulu. Susah mengenali orang, menuduh dan memarahi orang sembarangan. Suka asal menilai orang." 

"Jangan asal menuduh!" kilah Maudy dengan kesal.

"Aku tidak asal menuduh. Semua itu terbukti."

"Kejadian itu tidak ada buktinya, Maudy. Yang ada hanya video viral yang langsung merusak nama baikku. Hari ini juga kamu langsung menuduh. Untung hari ini tidak ada yang memideokan dan memiralkan. Kalau tidak sudah ada judul berita viral baru "'CEO Grup Ferrore Mencari Uang Saku Tambahan dengan Menjadi Supir Taksi Online dan Baru Saja Memalak Salah Satu Penumpang. Hohoho... bisa-bisa investor kami lari semua," kata Marcel sarkas.

Maudy menatap Marcel dengan ekspresi tidak terbaca. Dalam benaknya, laki-laki ini mungkin hadir untuk menambah masalah baru baginya. Bagaimana pun, hubungan mereka di masa lalu tidak baik-baik saja, malahan sangat rusak. 

"Maaf, aku harus pergi. Ada urusan lain yang lebih penting yang harus segera kuurus hari ini. Aku tahu kamu ingin membalas dendam padaku, bukan? Bisakah membalas dendam setelah adikku sembuh? Aku tidak akan lari," kata Maudy tersenyum dibuat-buat.

"Ah, jangan salah sangka. Aku datang hari ini bukan untuk balas dendam. Aku datang karena ingin menemani wanita terhebatku yang masih tersisa untuk periksa kesehatan. Tentu, memastikan kesehatan orang yang kita cintai lebih baik daripada melancarkan usaha balas dendam pada orang yang tidak berarti apa-apa, bukan?"

Jleb!

Rasanya di jantung Maudy tertancap sebilah pisau. Kata-kata itu mirip dengan kata-kata yang diucapkan Maudy enam belas tahun yang lalu.

"Tanpa uangmu, kamu tidak berarti apa-apa!" Kalimat itu bergaung berkali-kali di kepala Maudy sehingga kepalanya terasa sakit.

Maudy merasa sedih sekaligus marah. Namun, mengapa Marcel harus mengatakan 'wanita tersisa'? Apa maksudnya?

"Aku pergi duluan! Aku akan mencarimu lagi," kata Marcel sambil mengedipkan mata. 

Maudy merasa marah dan malu di saat yang bersamaan. Bagaimana mungkin penolongnya adalah musuh bebuyutannya? Dan, malunya, Maudy memang bersalah atas hubungan buruk mereka. Akan tetapi, mengapa dia harus muncul di saat seperti ini?

'Ah, tidak. Aku tidak bersalah. Dia juga andil atas meninggalnya, Mama!" batin Maudy meskipun rasa menyalahkan diri sendiri lebih kuat dari apa pun.

Maudy bergegas memasuki rumah sakit. Dia harus memastikan hingga pukul berapa besok batas pembayaran awal uang operasi adiknya. Setidaknya dia harus membayar sekitar dua puluh juta di awal. Lalu, setelah ini akan ada banyak operasi lainnya sebelum transplantasi akhirnya bisa dilakukan suatu saat nanti. Ukh, kepala Maudy terasa berdenyut sakit. Hatinya juga perih mengingat Alysa harus melewati itu semua.

Ponsel Maudy bergetar. Itu panggilan dari Kayla, ketua timnya yang masih seorang gadis. Dengan harap-harap cemas, diangkatnya telepon itu.

"Selamat sore, Bu!" sapa Maudy pada Kayla di seberang sana.

"Maudy. Uang yang bisa kupinjamkan hanya sepuluh juta. Bisakah?" tanya Kayla dari seberang.

"Oh, terima kasih banyak, Bu. Itu sangat membantu saya." Maudy menangis karena haru. Tujuh juta dari tabungannya ditambah lima juta dari temannya lalu tambah sepuluh juta lagi dari Kayla berarti ada dana dua puluh dua juta. Setidaknya, itu cukup sampai besok.

"Kirimkan saja nomor rekeningmu, ya!" kata Kayla. 

"Terima kasih, Bu! Baik. Saya akan segera kirimkan. Sekali lagi terima kasih." Suara Maudy terbata.

"Sudah. Santai saja. Maaf hanya itu yang bisa kubantu. Oh, iya. Tidak perlu balik ke kantor. Konsentrasi saja dengan pengobatan adikmu sampai besok selesai operasi. Aku sudah minta izin ke direktur," timpalnya lagi.

"Baik. Baik, Bu. Terima kasih."

"Semoga operasi adikmu lancar dan dia segera pulih, ya! Kamu juga harus menjaga kesehatan supaya bisa merawat adikmu dengan baik," kata Kayla dengan penuh perhatian.

"Terima kasih, Bu." Maud berterima kasih berulang-ulang. 

"Sudah. Aku sudah bilang, di luar kantor anggap saja aku kakakmu sama seperti yang aku bilang sebelumnya."

"Baik, Kak."

Maudy merasa begitu lega karena saat ini ada penyelamat yang muncul tiba-tiba untuk situasi yang dihadapinya. Dengan langkah lebih ringan, dia segera bergegas mengurus pendaftaran dan pembayaran operasi Adiknya, Alysa. Setelah itu, Maudy menemui dokter bedah yang akan menangani operasi.

"Alysa! Kamu harus kuat juga supaya kakak tetap semangat!" Sebenarnya, kalimat itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.

Maudy berjalan sambil berdoa untuk adiknya.

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status