LOGIN“Apa kau pikir ini lelucon?”
Yusuf menggebrak meja. Wajahnya pucat dan terlihat marah, tapi tetap berusaha mengendalikan emosinya. Suasana di ruangan itu terasa lebih pengap dan sesak daripada sebelumnya. Siapa yang menduga Leonhart akan mengusulkan ide gila? Menggantikan Rafael menikahi Nadine? Rasa-rasanya tidak mungkin! Leonhart tetap berdiri tenang. “Saya sangat serius,” ucapnya datar. “Kau pikir mengganti pengantin satu hari sebelum pernikahan itu masuk akal? Ini bukan main-main! Jangan coba-coba mengacaukannya!” Cecilia melotot ke arah Leonhart. Wajahnya merah padam karena marah. “Pernikahan ini sudah kacau bahkan sebelum dimulai, dan saya hanya ingin membantu menyelesaikan masalah yang ditimbulkan keponakan saya!” sindir Leonhart. Rafael melangkah cepat ke arah Leonhart dan berdiri di seberangnya. Ia menunjuk dada pria itu dengan kemarahan yang meledak-ledak. “Kau pikir siapa dirimu, hah? Seenaknya datang dan mengacaukan pernikahanku!” “Orang yang tidak tidur dan menikahi adik tiri calon istrinya!” sindir Leonhart. Rafael hanya bisa terdiam. Wajahnya memerah menahan malu. Ia hanya bisa menatap Leonhart dengan geram. Nadine yang sedari tadi hanya mendengarkan perdebatan ini, masih berdiri membeku, berusaha mencerna semua hal yang baru saja terjadi. Padahal Nadine membawa bukti pengkhianatan Rafael untuk membatalkan pernikahan, tapi ia malah dilamar oleh paman dari tunangannya sendiri. “Apa tujuanmu sebenarnya?” tanya Yusuf dengan curiga. Leonhart menarik kursi dan duduk dengan tenang. “Saya tidak menginginkan apa pun, saya hanya menawarkan win-win solution,” ucapnya. “Jika begitu, apa untungnya bagiku?” tanya Yusuf. “Lebih baik pengantin prianya tetap Rafael. Masalah ini juga tidak akan diketahui siapa pun, kecuali ada yang membocorkannya.” “Apa? Papa serius? pernikahan ini tetap dilakukan, padahal Rafael telah menikahi Laura?” tanya Nadine, tidak percaya. Yusuf menatap Nadine dengan dingin. “Ya, karena semua ini demi reputasi keluarga, Nadine.” Rafael menyeringai mendengar perkataan Yusuf. Nadine menahan tangis. Ia terkejut dengan apa yang dikatakan Papanya. “Jadi demi menjaga reputasi keluarga, Papa mengorbankan hidupku?” Yusuf hanya terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Nadine. Perasaan Nadine bercampur aduk. Amarah, kecewa, dan takut menjadi satu. Ia merasa hanya dijadikan alat untuk bisnis dan reputasi keluarga. “Bagaimana jika … sebagai imbalan kau memberikan saya izin untuk menikahi Nadine? Saya akan berinvestasi besar-besaran di bidang fashion digital Wijaya Group. Saya juga akan membuka akses Inter Tech untuk distribusi ke Eropa dan Timur Tengah serta menghapus hutang perusahaan Wijaya Group yang tertahan di cabang Korea,” ucap Leonhart, tenang namun tajam. Leonhart menatap lurus ke mata Yusuf. “Ini win-win solution, bukan?” Yusuf terpaku. Ia terkejut dengan perkataan Leonhart. “Kau … bagaimana bisa ….” Leonhart tersenyum tipis. “Kau pikir aku tidak menyelidiki dan menyiapkan apa pun?” “Jadi bagaimana? Apakah kau mengizinkanku menikahi Nadine?” Yusuf terdiam sebentar. Ia berpikir sejenak, lalu memutuskan, “ Baiklah, tapi dengan syarat, lakukan dengan rapi tanpa merusak reputasi keluarga.” Semua orang terkejut dengan jawaban Yusuf. Terutama Nadine, ia tidak menyangka bahwa ia jadinya malah akan dinikahkan oleh paman dari tunangannya. “Pa ...” panggil Nadine dengan lirih. “Lho … tidak bisa seperti itu dong, Om!” tolak Rafael dengan tegas. Yusuf membentak Rafael, “Diam! Semua ini karena ulahmu sendiri!” “Mas, jika pengantin prianya diganti, lalu bagaimana kita akan menjelaskannya ke media dan orang-orang yang akan hadir besok?” tanya Cecillia dengan panik. Namun, Yusuf hanya menoleh ke arah Leonhart seolah meminta jawaban. “Tenang saja, biar aku dan timku yang mengurusnya,” jawab Leonhart dengan tenang. Nadine yang sedari tadi diam, akhirnya bicara, “Lalu bagaimana dengan pendapatku?” “Benar. Nadine, pasti kau tidak mau menikah dengan pamanku, kan?” tanya Rafael penuh harap. “Kau tidak harus menjawabnya sekarang. Tapi kau harus memutuskan sebelum tengah malam nanti. Waktu kita terbatas,” ucap Leonhart. Nadine kembali terdiam. Ia seperti sudah pasrah dengan keadaannya. Ia tidak bisa membatalkan pernikahannya. Nadine hanya bisa memilih, menikah dengan Rafael yang mengkhianatinya atau menikah dengan Leonhart, orang asing yang tiba-tiba datang melamarnya? “Tidak perlu, aku akan menjawabnya sekarang. Aku … akan menikah denganmu,” jawab Nadine dengan putus asa. “Baiklah, terima kasih atas jawabanmu,” jawab Leonhart, tersenyum tipis sambil menatap Nadine. “Tunggu … Nadine kau serius ingin menikah dengan Pamanku, hanya karena aku meniduri dan menikahi adikmu?” tanya Rafael. Plak! Nadine menampar Rafael dengan cukup keras. Ia muak mendengar ucapan Rafael. “Ini semua karena kau berulah, Bajingan!” Rafael sangat syok dengan sikap Nadine. Padahal selama ini Nadine selalu bersikap lembut dan baik. Rafael hanya bisa terdiam mematung. “Nadine, kau sudah gila! Beraninya kau menampar tunanganmu sendiri!” ucap Cecillia sambil membentak. Nadine menatap Cecillia dengan acuh, “Lebih tepatnya mantan tunangan.” “Sudah hentikan! Percakapan ini sudah selesai, dan keputusanku sudah final!” bentak Yusuf. Cecillia dan Rafael terdiam. Tidak ada satu pun dari mereka yang mencoba menentang kembali keputusan itu. “Aku ingin berbicara berdua denganmu,” kata Nadine pada Leonhart. Leonhart menatap Nadine dengan intens, “Baiklah.” Namun, tanpa mereka sadari, ada seorang pelayan yang diam-diam merekam percakapan tentang pernikahan dari balik pintu ruang rapat yang sedikit terbuka.“Apa kau sudah siap? Pastikan tidak ada barang yang tertinggal.”Leonhart bertanya untuk memastikan Nadine tidak melupakan barang penting yang perlu dibawa ke Prancis.“Ya, aku sudah siap dan sudah memastikan semua barang penting dibawa,” jawab Nadine dengan yakin.Nadine pun menghampiri Leonhart sambil menarik dua kopernya dan satu tas besar yang sedang ia gunakan.Leonhart mengambil alih satu koper yang sedang Nadine bawa.“Biar aku bawakan satu kopermu,” ucapnya sambil menarik koper dari tangan Nadine.“Terima kasih,” jawab Nadine lembut.Mereka berdua pun keluar dari kamar lalu berjalan menuruni lift menuju lobi. Seorang sekuriti yang melihat Leonhart dan Nadine muncul dengan banyak koper segera menghampiri mereka.“Sini, Pak. Biar saya bantu,” ucap sekuriti itu sopan sambil tersenyum ramah.“Oh, ya. Terima kasih,” balas Leonhart sambil tersenyum tipis.Leonhart kemudian berjalan menuju area parkir untuk mengambil mobil, sementara Nadine menunggu di depan lobi bersama sekuriti yan
“Maafkan aku, ya, teman-teman.”Mira berdiri di hadapan Nadine dan Revan saat mereka berada di ruang kerja.“Terutama kau, Nad. Maafkan Ardian, ya,” tambahnya dengan wajah memelas.Mira tertunduk lesu. Nadine yang melihatnya seperti itu merasa kasihan, lalu mencoba meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.“Tidak apa-apa, Mir. Jangan khawatirkan itu,” ucapnya lembut.“Sekali lagi, maafkan aku,” ucap Mira pelan.Nadine berdiri di samping Mira, lalu merangkul pundaknya dengan lembut untuk menenangkannya.Tak lama kemudian, mereka kembali ke meja kerja masing-masing.Nadine mulai menyicil kembali beberapa pekerjaannya yang tersisa agar nanti, saat ia pergi, tidak ada pekerjaan yang harus dialihkan ke rekan lain.Tak terasa jam kerja pun berakhir. Nadine segera bersiap menuju kantor Leonhart.Namun, saat ia hendak pergi, Mira memanggilnya.“Nadine!”Nadine berhenti dan menoleh.“Ada
“Kenalkan, ini Ardian dari divisi marketing.”Mira memperkenalkan pasangan barunya kepada Nadine dan Revan.Mereka bertemu di sebuah kafe yang terletak di depan kantor. Nadine dan Revan duduk berhadapan dengan Mira dan Ardian.“Ya, halo. Saya Nadine, temannya Mira,” sapa Nadine ramah.“Ya, saya Revan,” ucap Revan dengan nada datar.Ardian tersenyum, lalu memperkenalkan dirinya dengan percaya diri,“Ya, saya Ardian, pacarnya Mira.”Nadine membalas senyumnya, dan mereka pun mulai menyantap hidangan sambil berbincang ringan. Namun, di tengah obrolan, Ardian tiba-tiba menoleh pada Nadine.“Oh iya, Nadine, kamu itu istrinya Pak Leonhart, kan?” tanyanya sambil tersenyum.Nadine mengangguk pelan.Ardian kembali melanjutkan,“Kenapa kamu bekerja? Bukannya lebih enak jadi istri CEO, tinggal di rumah, belanja, dan jalan-jalan?” tanyanya polos namun terdengar menyinggung.Pertanyaan itu membuat Na
“Harusnya kau langsung mengusirnya saja!”seru Nadine dengan nada kesal setelah mereka akhirnya pergi.Leonhart menatap Nadine dengan lembut.“Jika kau ingin membalas dendam, jangan tunjukkan taringmu sekarang,” ucapnya tenang.Nadine hanya menatap datar, lalu melanjutkan makan tanpa banyak bicara.Setelah selesai dan membayar, mereka kembali menuju apartemen.“Aku sudah mendapat hotel untuk kita tinggal sementara di Paris,” ujar Leonhart sambil menyetir.“Sudah? Bukankah Marissa yang akan menyediakannya?” tanya Nadine heran.Leonhart sempat melirik Nadine sekilas.“Ya, aku memintanya untuk menyerahkan urusan akomodasi padaku,” jawabnya santai.Nadine mengangguk pelan.“Baiklah, aku percaya pada pilihanmu,” katanya singkat.Nadine lalu menatap keluar jendela mobil, membiarkan pikirannya melayang dalam diam.Tak lama, mereka tiba di apartemen.Begitu sampai, Nadine berp
“Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini.”Sapaan dari ayahnya itu membuat Nadine merasa tidak nyaman. Ia sangat menghindari pertemuan dengan keluarganya.Tanpa aba-aba, Yusuf, papa Nadine langsung meminta pelayan untuk menambah dua kursi di meja mereka.Ternyata, Yusuf datang bersama Cecilia, ibu tiri Nadine, yang sebelumnya sudah ia temui di mal tadi.“Ya,” jawab Nadine malas, tanpa ekspresi.Berbeda dengan Nadine, Yusuf justru tampak antusias. Bukan karena rindu bertemu putrinya, melainkan karena di hadapan mereka duduk Leonhart, sumber keuntungan yang ia incar.“Bagaimana kabar kalian berdua? Tidak ada masalah, kan?” tanyanya ramah, berusaha mencairkan suasana.Leonhart menjawab sopan, “Tidak ada masalah. Kami baik-baik saja,” ujarnya sambil tersenyum tipis.Sementara itu, Cecilia menatap Nadine dengan pandangan sinis.“Ya, mereka setelah menikah sama sekali tidak memberi kabar. Bukankah itu bisa
“Lama tidak bertemu, putriku.”Perkataan itu terasa seperti duri yang menusuk kulit Nadine. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan ibu tirinya di mal tempat ia memulai kehidupan barunya.Nadine terdiam, tak mampu menjawab. Perasaannya campur aduk antara terkejut, marah, dan muak.“Kenapa kau tidak menyapaku? Kau sungguh tidak sopan!” tegas Cecilia sambil melipat kedua tangannya di dada.Leonhart yang melihat ekspresi Nadine mulai berubah, segera mengambil alih pembicaraan.“Halo, Tante. Selamat siang, sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Leonhart dengan nada ramah.Namun Cecilia, yang memang tidak menyukai Leonhart, menjawab dengan ketus,“Ya.”Setelah itu, ia mulai mengintimidasi Nadine dengan nada sinis yang seolah menempatkan Nadine sebagai anak durhaka.“Kenapa kau tidak mengirim kabar setelah menikah? Apa kau sudah melupakan keluargamu?” tanyanya tajam.Nadine masih diam. Ia menunduk, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi.“Ya, memang begitulah jadinya kalau merawat an







