“Kita menikah”
Gelegar bunyi petir terdengar dari luar, tak berselang lama hujan pun turun cukup deras. Bau tanah basah menyelinap masuk melalui jendela kamar yang terbuka sedikit. Aruna bangun dan menutup rapat jendela dengan sebelah tangan, karena satu tangannya yang lain masih memegang ponsel di telinga, meski tadi ia sempat ingin melempar ponsel itu begitu Damar mengatakan kalimat yang membuatnya entah melayang entah jatuh terperosok, akal sehat Aruna masih berjalan dan mengingatkannya berapa lembar Rupiah yang harus ia keluarkan untuk mendapatkan benda ini.
“Kamu mabuk.” Decak Aruna kesal.
“Kamu tahu kadar toleransiku pada alkohol, aku tak mungkin mabuk.”
“Artinya kamu gila sama seperti ayahmu.”
Damar mendengus, Aruna dapat menangkap deru mesin mobil di seberang sana.
“Kamu sedang mengemudi, berhenti menghubungiku.”
“Kamu tak berubah, tetap sama seperti dulu.”
Aruna memejamkan mata dalam-dalam dan menghembuskan nafas keras-keras seolah-olah dengan begitu sesak yang ia rasakan akan ikut menghilang. Tanpa berfikir panjang dan menunggu tanggapan Damar, Aruna memutuskan sambungan. Dengan kasar Aruna menyentak tirai jendela membuat beberapa kancing di atas tirai berjatuhan. Aruna menjatuhkan tubuhnya telungkup di atas tempat tidur. Lagi-lagi ia menangis teredam bantal, membiarkan suara tangisannya tak terdengar siapapun, hal yang sama yang gadis itu lakukan lima tahun lalu.
000ooo000
“Say Cheese!” Teriak Kirei, gadis berambut coklat kemerahan itu orang yang nampak paling semangat hari ini.
Lima orang lainnya mengikuti instruksi Kirei mengatakan Keju dan berpose di depan kamera dengan gaya yang hampir sama persis, mengacungkan dua jari membentuk symbol perdamaian. Setelah kamera itu berbunyi “biip!” semua kembali seperti semula. Rangkulan di bahu Aruna pun menghilang, ia menjauh dan menjaga jarak seperti dua hari yang lalu.
Aruna bosan untuk terus berpura-pura tersenyum dan nampak baik-baik saja. Ia bukan gadis baik dan berhati lapang yang dapat menerima kenyataan ini begitu saja. Maka setelah sesi foto bersama selesai, Aruna membereskan barang-barangnya dan berjalan meninggalkan mereka.
“Runa, mau kemana? Kita pulang bersama.” Kejar Sigit, pria chubby itu menahan bahu Aruna dan memaksanya berbalik.
“Kamu…menangis, kenapa?”
Aruna menggeleng, dan berbohong karena tak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya itu akan membuatnya terlihat semakin terpuruk “Aku harus segera pulang, Bibi baru saja menghubungiku.”
“Acaranya baru saja dimulai, ini kesempatan terakhir kita berkumpul sebelum kita masuk universitas.” Sigit memasang tampang memelas,” Ayolah, sekali ini saja. Biar aku yang mengantarmu pulang nanti dan minta maaf pada bibi.”
“Maaf, tapi aku harus pulang.”
“Kalau ia ingin pergi, biarkan saja!”
Sigit berbalik, “Damar,kamu diam saja kalau tak ingin membantu!”
Damar menghampiri Sigit dan Aruna, “Tak ada gunanya menahan orang yang akan pergi jika dari awal ia memang tak pernah ingin datang.”
“Apa kalian bertengkar?” Baik Kirei maupun yang lain kini sudah mengerubungi mereka dan meninggalkan barbeque yang tadi menjadi santapan yang paling ditunggu-tunggu.
“Benar, tak biasanya seperti ini. Sejak awal aku sudah curiga melihat kalian datang terpisah.” Timpal Kinanti
“Aah…jangan-jangan isu yang beredar benar, kalian memang sepasang kekasih!” Tebak Dimitri, ia tersenyum usil.
“Kamu lihat Runa, sampai kapan kamu akan bertingkah seperti anak kecil?” Tanya Damar
Aruna mengangguk, “Kamu benar Tuan muda , aku memang seperti anak kecil. Aku kekanak-kanakan, bahkan aku terlalu bodoh mengartikan semua yang kamu lakukan sebagai hal yang lain. “
000ooo000
Malam telah tiba, Aruna tak menyadari berapa lama waktu yang ia habiskan untuk kembali menangisi pria itu. Setiap kali teringat tentang betapa bodohnya ia saat tujuh belas tahun dulu, Aruna tak dapat menghentikan tangisnya. Seharusnya sejak mengenal pria itu, Aruna tak perlu menaruh harapan berlebihan, bagaimanapun Damar memang terlahir sebagai cassanova.
Setelah mengganti bath robe dengan piyama, gadis itu keluar kamar berniat mendiskusikan kepindahan mereka esok dengan Juna.
“Paman, besok kita berangkat jam berapa? Aku harus ke kantor sebentar mengajukan surat pengunduran diri.” Kata Aruna seraya menuangkan segelas air membelakangi meja makan yang penuh dikelilingi keluarganya.
“Kamu tak perlu pergi ke kantor lagi, sore ini masa magangmu resmi dihentikan.”
Sontak Aruna berbalik, dan ia tak dapat mencegah gelas dalam genggamannya meluncur ke bawah begitu saja.
“Sedang apa kamu disini?”
“Runa, tidak sopan bertanya seperti itu pada calon suami mu. Duduklah dulu, biar pecahan gelas itu aku yang bersihkan.” Kata Sara sambil mendorong Aruna duduk.
“Kamu, untuk apa ke sini?” Ulang Aruna, ia memandang Sara dari ujung matanya.
Kenapa Sara bersikap manis pada Damar, seharusnya Sara membenci Damar sebagaimana Aruna membenci Damar sekarang. Sara menjadi salah satu orang yang tahu persis bagaimana kisah diantara mereka. Dan apa tadi? Sara mengatakan Damar calon suaminya? Damar pasti telah mengatakan hal yang tidak-tidak pada Sara.
“Merundingkan hal yang belum selesai.”
“Kurasa tak ada yang harus di selesaikan karena tak pernah ada yang dimulai, bukankah itu –“
“Damar, tambah ikannya?” Tanya Nenek dan sebelum sempat Damar menjawab, nenek sudah menaruh potongan ikan tanpa duri di atas nasi Damar.
“Terima kasih, Nek.”
Baik Aruna, Juna maupun Sara membeku melihat Nenek memanggil Damar dengan nama, Nenek masih mengingat Damar. Hal yang aneh, padahal pada anak, menantu serta cucunya sendiri Nenek sama sekali tak ingat.
“Kamu bertambah gemuk dari terakhir kali datang ke sini, senang melihatmu sehat.”
“Ibu…”Panggil Sara lirih, ia membiarkan sapu tergeletak begitu saja.
Nenek menoleh pada Sara, “ Bibi, berhati-hatilah pecahan gelas itu tajam. Kamu harus membersihkannya segera, aku takut Nona tak sengaja menginjaknya nanti.”
“Kenapa Nenek mengingatnya sementara sama sekali tak mengingat kami?” Tanpa sadar Aruna memekik pada Nenek, membuat Nenek mengerjap ketakutan. Sara segera memeluk Nenek yang gemetar, berusaha menenangkan Nenek.
“Aruna, kendalikan dirimu!” Juna membentak Aruna, hal yang tak pernah ia lakukan pada Aruna sebelumnya, “Aku tak pernah membesarkanmu untuk bersikap kasar.”
“Paman, mewakili Aruna aku meminta maaf untuk sikapnya. Ia sedang kesal padaku, hingga tak dapat mengendalikan emosinya.” Kata Damar menengahi suasana yang hampir memanas.
Aruna mendesis, sedang berusaha mengambil hati Paman? Lihat saja bagaimana Paman akan memukulmu hingga masuk ICU jika tahu apa yang kau lakukan pada keponakannnya.
“Aku juga ingin meminta ijin membawa Aruna keluar sebentar, kurasa kami perlu berbicara berdua, menyelesaikan masalah kami.”
Juna melirik bergantian Damar dan Aruna, “Pergilah, dan jangan pulang larut. Bagaimanapun kalian belum menikah.”
Aruna membelalakan mata tak percaya, pamannya yang terkenal protektif kenapa berubah lunak?
Kirani menatap tangan kiri Genta yang dibungkus perban. Untunglah masih ada salep otot milik Hilma, sehingga dapat sedikit meredakan sakit di tangan Genta. Selama membalut tangan Genta, Kirani tak henti menggumamkan kata maaf dan ditanggapi pria itu dengan delikan tajam.“Apa sebaiknya tak ke rumah sakit?” Tanya Kirani.Genta menatap lekat Kirani, pertanyaan Kirani sama seperti yang gadis itu tanyakan dua tahun lalu ketika ia berkelahi dengan Taracandra. Kalau diingat-ingat Kirani selalu ada untuknya, berbuat baik padanya tak peduli sekasar apapun perlakuan Genta padanya.“Kau ingin aku muncul di berita besok pagi dengan Judul : Genta Adikara, cedera terjepit pintu pagar setelah makan malamnya bersama seorang gadis gagal. Silahkan saja, dan kalau itu terjadi aku tak akan membiarkanmu kabur. Kau harus bertanggungjawab!” Ancam Genta diikuti lengkingan anjing tetangga.“Cih! Salahmu sendiri tiba-tiba muncul dari semak-semak.”“Siapa yang bilang dari semak-semak? Kau tak melihat Rossie?”
Sekuat tenaga Kirani berusaha menepis cengkraman Genta di lengannya, Kirani menatap nanar pria itu. Siapa dirinya hingga berani ikut campur begitu dalam di hidup Kirani? Akhirnya usaha Kirani membuahkan hasil, cengkeraman Genta terlepas, dan Kirani berlari keluar.Genta mengendarai mobil dengan kecepatan terendah yang pernah ia lakukan, karena Genta harus mencari keberadaan Kirani sekarang. Genta yakin gadis itu tak mungkin segera pulang ke rumah, pilihan itu terlalu mudah. Kemungkinan besar Kirani sedang menenangkan diri di suatu tempat, dan Genta tak tahu tempat itu. Selama ini, gadis itu yang selalu mendatanginya. Sehingga Genta tak pernah tahu tempat-tempat yang sering Kirani kunjungi selain rumahnya.Genta mencoba menghubungi ponsel Kirani, dan sekali lagi ia hanya mendengar suara mesin operator. Mata pria itu memicing ketika melihat siluet seorang gadis yang mirip Kirani tengah berjalan cepat di deretan pertokoan, kepala gadis itu menunduk melihat ponsel di tangan. Genta segera
Petang menjelang. Kirani berdiri di halaman rumah menunggu Genta menjemputnya. Hilma dan Gamma sedang menginap di rumah teman mereka, sehingga Kirani bosan sendirian di rumah dan memilih menunggu di luar menikmati udara malam musim panas. Sembari menunggu, Kirani membuka internet melawan rasa takutnya sendiri mencari berita tentang rumor pernikahan Genta Adikara.Pantas saja Tania kehilangan semangatnya tadi pagi. Gadis itu tentu sama terkejutnya dengan Kirani ketika membuka laman internet, trending topic dipenuhi berita pernikahan Genta. Bahkan tak sedikit laman yang menambahkan foto-foto pria itu ketika memasuki toko perhiasan dari berbagai sudut. Statement dari salah seorang pegawai toko perhiasan yang menjadi acuan aktor itu datang untuk membeli sepasang cincin memperkuat isi berita.Kirani terus membuka halaman yang baru hingga tak menyadari Genta telah berdiri di dekatnya. Pria itu mengintip apa yang tengah Kirani lihat melalui ponsel dan tersenyum sendiri setelah mengetahuinya.
“Selamat pagi.”Sapa Tania dan Kirani bersamaan.Semua orang di ruang tim pemasaran menatap heran keduanya. Selain karena kedatangan mereka, Tania dan Kirani juga mengucapkan selamat pagi dengan nada yang sama persis, lemas dan tak bertenaga.“Apa yang terjadi pada mereka?” tanya salah satu karyawan.“Tania sedih karena idolanya akan menikah. Tapi Kirani, entahlah” jelas Melani, teman dekat Tania.Baik Melani maupun staff yang lain menggelengkan kepala heran pada Tania lalu kembali pada pekerjaan mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, Hera keluar dari ruangannya. Ia menaruh dua paper bag di atas meja Tania.“Antarkan ini ke apartemen Genta Adikara”Tania mendelik kaget, ia melihat sekitar dan menjatuhkan pilihan pada Kirani yang sedang merapikan berkas di filling cabinet.“Berikan ini pada Genta Adikara!” Perintah Tania dan tak menunggu jawaban Kirani, Tania bergegas ke kamar kecil.“Ia menangis lagi.”Keluh Melani.***Kirani berjalan gontai setelah keluar dari lift. Kepalanya t
“Kirani, sahabat terbaikku. Saat membaca surat ini, apa yang sedang kau lakukan? Tunggu. Aku akan menebaknya. Kau sedang makan kaki ayam sendirian, bukan? Lihat, kau tersenyum, tebakanku benar! Karena aku mengenalmu dengan saaangat baik.Seandainya aku dapat menemanimu menghabiskan kaki ayam dan minum bir, tentu menyenangkan. Sayang sekali, kesempatan itu telah lama berlalu. Kesempatan yang sama tak akan datang lagi. Tapi, mungkin nanti. Kita lihat saja.Kirani, mewakili ibuku aku minta maaf atas apa yang telah ia katakan malam itu. Tidak-tidak, yang benar adalah untuk semua penderitaan yang harus kau lalui selama ini karena perbuatan ibuku, maafkan kami.Aku menyesal, aku terlambat mengetahui semua perlakuan ibuku. Aku tak tahu kalau ibu yang memintamu pergi dari desa, aku juga tak tahu kalau ibu yang menyebar isu buruk mengenai keluargamu. Kumohon meski aku tahu berat untukmu, suatu saat semoga kau dapat memaafkan ibuku.Aku ingin kau mengerti, ibuku sebenarnya perempuan yang kesepi
Ketika menyusuri lorong menuju ruang tim pemasaran, seseorang memanggil Kirani membuat gadis itu berhenti berjalan dan berbalik. Ia melihat Tania berlari menghampirinya dengan ponsel di tangan. Kepanikan kentara sekali di wajah Tania, perut Kirani mulas mengingat kemungkinan seniornya itu akan mengeluhkan hasil kerjanya lagi.“Apa yang kau lakukan malam kemarin?” Tanya Tania segera bahkan ketika nafasnya masih tersengal akibat mengejar Kirani dari lantai bawah.Kirani memiringka kepala ke kiri tak mengerti. Tania berjingkat-jingkat tak sabar lalu segera menunjukan gambar di layar ponselnya.“Gadis yang bersama Genta Adikara itu bukan dirimu, kan?” Tuntut Tania sambil menunjukan gambar bagian samping seorang perempuan yang berdiri di sebelah Genta.Tania memang gadis yang jeli. Bahkan Kirani harus berkali-kali melihat baru meyakini bahwa gadis dalam gambar itu dirinya sendiri. Tapi Tania sepertinya cepat sekali mengenali gadis dalam foto itu Kirani.“Bagaimana mungkin kau pergi bersama