Share

BAB 4

Kenapa tak bertanya aku akan membawamu kemana?” Tanya Damar begitu mereka keluar dari lingkungan rumah Aruna.

Aku tak peduli, kemana pun tak akan ada yang berubah.”

Aku tahu kamu akan menjawab seperti itu.”

Pintar.”

Maaf.”

Aruna diam, sejak dulu ia memang mengharapkan pria ini meminta maaf padanya. Meminta maaf atas semua yang pernah terjadi di antara mereka, maaf untuk kehadirannya yang begitu lancang dalam hidupnya dan juga maaf karena telah mengabaikannya sekian lama. Tapi malam ini, setelah mendengar permintaan maaf itu Aruna sama sekali tak merasa lega seperti yang ia kira. Kosong, ia merasa tawar akan permintaan maaf yang Damar katakan.

Tak perlu meminta maaf kalau tak ingin. Lagipula semuanya sudah terjadi.”

Aku tak meminta maaf untuk yang lalu, aku minta maaf untuk hari-hari ke depan.”

Apa maksudmu?”

Diam dan lihat saja.” Kata Damar dingin, ia tetap fokus mengemudi tak memedulikan Aruna yang hampir mirip kepiting rebus.

000ooo000

“Keluarlah.” Kata Damar sebelum ia sendiri keluar dari dalam mobil dan membiarkan Aruna menganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

“Pria ini benar-benar.” Desisnya

Pikiran pertama yang muncul dalam benak Aruna ketika Damar menghentikan mobilnya di pemakaman adalah, pria ini berniat membunuhnya dan segera melenyapkan mayatnya. Ia tak menyangka kebencian Damar padanya begitu besar hingga membuat pria itu tega melakukan kejahatan.

“Apapun yang kamu pikirkan sekarang, itu salah.” Kata Damar ketika mereka mulai memasuki kompleks pemakaman.

“Ha?” Teriak Aruna kaget,

“Aku tahu kegemaranmu membaca novel thriller maka aku tahu jalan pikiranmu sekarang, asal kau tahu aku bukan pengikut Stephen King.” Jelas Damar menyebutkan penulis novel misteri pembunuhan kesukaan Aruna, pipi Aruna bersemu merah lagi-lagi pikirannya terbaca dengan mudah dalam satu hari.

“Lalu apa maksudnya membawaku kesini.”

“Jangan cerewet dan ikuti saja aku.”

“Cih, bukankah dari tadi aku mengikutimu.”

Hanya orang gila yang berani mengunjungi areal pemakaman di malam hari, dan keduanya mungkin pantas dikategorikan gila karena berani datang ke sana. Sejak ‘makan siang’ tadi, keduanya memang nampak seperti orang gila karena kegilaan si tua Dennis .

“Lagi-lagi gadis itu menangis karena mu,” Kata Dennis pongah. Ia memutari meja dan menghampiri Damar, “Sayang sekali, padahal ia nampak cantik saat tersenyum. Aku sungguh menyukainya.”

“Kamu gila.”

“Kamu tahu itu dengan jelas, karena itu menikah-lah dengannya.”

Damar sejak lahir telah terbiasa dengan ide-ide gila Dennis, tapi untuk kali ini ia tak habis pikir. Bertanding dalam segala hal bukan hal asing bagi mereka , meskipun mereka ayah dan anak tak ada kata mengalah bagi keduanya. Tapi memperebutkan seorang gadis? Tidak, ini di luar batas. Terlebih jika gadis yang Dennis inginkan adalah Aruna. Damar memahami benar bagaimana tabiat Dennis, dan demi apapun ia tak ingin hal itu menimpa Aruna.

Aruna berhenti berjalan mengikuti Damar yang juga berhenti beberapa langkah di depannya. Pria itu duduk bersimpuh di samping batu nisan dengan tulisan “Sasmita Praba”. Damar menoleh pada Aruna, mengulurkan tangannya dan tersenyum. Pertama kalinya Aruna melihat senyum itu sejak lima tahun lalu.

Mendekatlah, beri salam pada ibuku.”

Angin malam berhembus pelan, membuat dedaunan berjatuhan dan menimbulkan bunyi gemerisik mengiringi roda-roda dalam otak Aruna yang berjalan sangat lambat malam ini, bahkan kecepatan otaknya tak melebihi kecepatan jalan seekor penyu besar.

Beri salam pada ibuku?

Sasmita Praba, pantas saja Aruna tak asing pada nama itu. Sasmita Praba adalah seorang penulis novel roman ternama, bahkan tak sedikit novel yang ditulisnya diangkat ke layar lebar dan panggung teater. Namun selain karyanya, Sasmita Praba tak pernah membuka kehidupan pribadinya pada publik. Masyarakat termasuk Aruna hanya mengetahui Sasmita Praba adalah seorang orang tua tunggal dan meninggal lima tahun lalu karena penyakit lambung akut. Mungkinkah mereka Sasmita Praba yang sama?

Halo, apa kabar?” Kata Aruna terbata-bata, ia masih merasa kebingungan terlebih saat ini Damar tengah merangkul bahunya.

Ibu, maaf aku mengunjungimu malam-malam dan maaf karena calon menantumu kurang sopan menyapamu, tapi ia gadis yang baik. Tenang saja.”

Aruna berniat mengelak karena lagi-lagi Damar mengatakan kata calon tapi ia tak sampai hati melakukan itu, ketika melihat tatapan Damar pada nisan ibunya. Antara sedih, bahagia juga rindu. Aruna paham betul bagaimana arti tatapan Damar sekarang, ia tengah merindukan ibu nya. Kerinduan yang tak akan pernah selesai dan terobati oleh apapun. Merasakannya membuat bahagia dan sedih pada saat bersamaan, bahagia karena ketika merindukan seseorang membuat ingatan tentang orang itu menjadi lebih jelas daripada sebelumnya dan sedih karena kenangan itu hanya akan tetap sebatas kenangan, tak akan pernah terulang. Aruna tak ingin mengganggu Damar, biarlah ini jadi waktu khusus ia dengan ibunya.

000ooo000

Tirai putih perlahan terbuka dan menampilkan Damar dengan setelan tuxedo duduk di atas sofa tengah menatapnya dingin. Sama hal nya dengan Aruna. Gadis itu, meski memakai gaun pengantin namun ia sama sekali tak tersenyum seperti kebanyakan calon mempelai wanita yang lainnya. Keduanya saling memberikan tatapan membunuh, dan ya! Aruna memang berharap pria di hadapannya menghilang dari pandangan.

“Selanjutnya.” Kata Damar,

Aruna membelalak, ini gaun kelima yang ia coba dan masih juga pria ini menyuruhnya mencoba yang lain.

“Tunggu,” Aruna menghentikan pegawai wanita yang hendak mengambil gaun yang lain, “Damar, kesalahan bukan pada gaunnya tapi ada padaku. Aku tak akan cocok memakai gaun yang manapun. Karena itu kurasa akan sia-sia meskipun aku mencoba seluruh gaun yang ada, dengan kata lain pernikahan ini tak a—“

“Baiklah, kami ambil yang ini.” Potong Damar segera lalu berlalu meninggalkan Aruna dengan pegawai tadi.

“Apa? “ Pekik Aruna, “Pria gila.”

“Tapi tampan, anda beruntung mendapatkannya.”

“Beruntung? Aku tak yakin.”

Jika bukan karena pertemuan aneh tadi siang, mendapatkan perlakuan penuh kejutan seperti ini gadis itu tentu akan pingsan saking bahagia. Tapi tidak sekarang, karena sebaliknya Aruna merasa sedang dipermainkan, jelas masih terngiang di telinganya bagaimana kasar dan lantangnya penolakan Damar pada tawaran Dennis. Kini, Damar berbalik seratus delapan puluh derajat memaksa Aruna. Ayolah, Aruna bukanlah gadis yang perlu dikasihani dan ia tak membutuhkan belas kasihan Damar untuk menikahinya.

Setelah kembali memakai pakaiannya, Aruna tergesa-gesa mencari Damar, Ia harus meluruskan semua ini. Aruna tertawa hambar ketika menemukan Damar tengah bercengkerama dengan seorang perempuan –sangat cantik dan cukup mengundang, mereka bahkan tak menyadari tengah berada di ruang umum membuat Aruna harus berpura-pura membersihkan tenggorokan agar Damar menyadari kehadirannya. Pada usahanya yang keempat akhirnya Damar sadar, beruntung perempuan tadi mengerti tatapan membunuh Aruna dan memilih pergi.

“Ah, kamu sudah selesai?”

Aruna mengangguk, “Ada yang ingin kukatakan—“

“Kita pulang sekarang,” Kata Damar acuh,

Kurasa ada yang harus kita luruskan.”Ujar Aruna ketika mereka sudah di dalam mobil, “Aku tak pernah setuju dengan apapun yang kamu dan ayahmu rencanakan.”

Aku tahu.”

“Lalu, untuk apa semua ini?”

“Kamu tahu penyebab ibuku meninggal? Ia mengidap penyakit lambung kronis, dokter bilang jika penyakit ibu karena stress berlebihan. Dan penyebab stress ibu, ayahku. Meski mereka telah bercerai sejak usiaku delapan tahun tapi efeknya terus berlanjut hingga akhirnya penyakit itu merenggut nyawa ibu. ”

Aruna tak mengerti kenapa Damar perlu menjelaskan perihal kematian ibunya, karena ia rasa tak ada kaitannya sama sekali dengan pertanyaannya barusan. Kecuali penjelasan itu menjawab pertanyaan Aruna saat di pemakaman tadi. Sebaliknya Damar menarik nafas dalam-dalam sambil terus memperhatikan jalan, ia seperti tengah menyusun kata yang sesuai.

Pria tua itu tengah mengincarmu, dan ketika ia menginginkan sesuatu ia akan berusaha agar dunia mendukung keinginannya. Aku yakin, kamu tak ingin berakhir seperti ibuku. Karena itu, satu-satunya cara menghindari pria gila itu adalah kita menikah.”

Lampu lalu lintas berganti merah. Aruna memerhatikan pejalan kaki yang tengah melintas di depan mereka, seorang gadis seusianya. Gadis itu memeluk setumpuk map yang sepertinya berkas-berkas yang terpaksa harus dibawa pulang untuk segera diselesaikan, jam tidur yang tak akan didapat karena harus mengerjakan tugas kantor yang takan pernah habis. Dulu semua itu penderitaan bagi Aruna, namun kini rutinitas itu bagaikan surga jika dibanding harus menjalani kondisi yang baru saja Damar ungkapkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status