Share

BAB 5

Gadis itu mendecak kesal ketika hembusan angin membuat helaian rambutnya terlepas dari ikatan, dengan tergesa-gesa ia mengikat ulang ikat ekor kudanya sambil berlari dan berusaha agar ia tak sampai terjatuh mengingat kakinya kini memakai sepatu high heels.

“Runa, cepat!” Teriak Kirei dari puncak tangga, Kirei bersama empat temannya yang lain menunggu Aruna tak sabar untuk mengambil gambar bersama.

Hari ini upacara kelulusan Aruna dan Kirei dari universitas, dan kesemua sahabat-sahabat mereka sengaja meluangkan waktu untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu, hanya satu yang tak ada. Sejak pembukaan acara, Aruna terus berdoa agar pria itu datang sebentar atau meskipun kini ia sibuk, setidaknya pria itu mengiriminya ucapan selamat. Hanya itu, Aruna rasa wajar baginya mengharapkan ucapan selamat dari pria yang ia cintai.

Ketika menapaki anak tangga pertama, ia merasakan kehadiran pria itu. Tak memedulikan lehernya yang berderak ketika menoleh terlalu cepat, Aruna segera berbalik dan ia bersorak dalam hati ketika menemukannya di antara kerumunan orang yang hadir, Damar berdiri di sana. Tatapan mereka bertemu, dan tak sampai satu menit pria itu berbalik menghindar, tertelan keriuhan acara. Aruna tak mau kehilangan kesempatan ini, ia segera berlari mengejar jejak Damar. Nafasnya terengah, ikatan rambutnya pun terlepas membuat rambutnya berkibar tertiup angin. DI gerbang universitas, Aruna menyisir seluruh sudut jalanan. Nihil, pria itu kembali menghilang. Ia tahu sia-sia mengejarnya, selain karena langkah nya tak sepanjang Damar, jarak yang terbentang di antara mereka juga terlampau jauh.

“Runa, ada apa?” Tanya Dimitri, ia ikut terengah di belakang Aruna.

Di saat Aruna tiba-tiba berbalik dan berlari seperti orang kesetanan, sontak keempat sahabatnya mengikuti Aruna meski tak mengerti apa yang membuat Aruna bertingkah aneh.

“Kamu menakuti kami, tahu! Kamu mirip seperti orang gila tiba-tiba berlari kencang seperti itu.” Cecar Sigit,

“Aku melihatnya, tadi dia ada di sana.” Kata Aruna gugup, ia masih berusaha menormalkan pernafasan juga detak jantungnya.

Kirei menghampiri Aruna dan meraih kedua tangannya, sedikit menyentak seakan dengan itu dapat mengembalikan kesadaran Aruna. Di mata teman-temannya kini Aruna nampak seperti orang linglung.

“Dia tak ada di sini, Runa. Kita semua tahu, ia tak mungkin datang. Tak satu pun dari kita yang dapat menghubunginya, jadi bagaimana mungkin ia tahu tentang hari ini.”

Kalimat Kirei benar, Aruna tak menyangkal itu. Sejak lulus sekolah menengah pria itu menghilangkan jejaknya. Tak ada yang tahu dimana keberadaanya saat ini. Aruna sempat putus asa, menghilangnya pria itu lebih parah dibanding penolakannya dulu. Tapi ia yakin dengan apa yang dilihatnya tadi. Damar benar-benar ada di sana.

` “Kamu hanya berhalusinasi Aruna, kamu terlalu merindukannya.” Kirei menepuk lembut pundak Aruna menenangkan.

Mungkin benar apa yang teman-temannya katakan, ia hanya berhalusinasi. Aruna terlalu merindukan Damar, membuat otaknya tanpa sadar membentuk bayangan Damar di depan matanya.

000ooo000

Aroma kental kopi menyambut hidung Aruna keesokan harinya. Gadis itu membuka mata dan menemukan langit-langit kamar yang tak asing, ia mengerjap berkali-kali sambil berdoa semoga ia baru saja mengalami mimpi buruk. Ia keluar kamar dan merenggangkan badan di depan pintu, mulutnya menguap lebar-lebar. Rasa kantuk yang sempat hilang karena disergap was-was kini datang lagi setelah melihat keadaan rumah masih normal seperti hari-hari kemarin. Nenek tengah duduk di beranda menatapnya sambil tersenyum.

“Tidurmu nyenyak, Nona?”

“Hmm..”Gumam Aruna, Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

Tak ada penampakan sedikit pun pamannya, Juna. Aruna menghembuskan nafas lega, mereka tak akan pindah ke Thailand dan yang paling penting tak ada tawaran aneh dari dua Daniswara. Hari masih berjalan normal seperti sebelumnya, artinya apa yang ia alami kemarin hanya mimpi buruk. Aruna mengusap kasar wajahnya, ia benar-benar harus melepaskan perasaannya pada pria itu,ia mudah sekali berhalusinasi dan buruknya halusinasinya kini bercerita. Ini lebih parah dari halusinasinya saat upacara kelulusan dulu.

Aruna berjalan menuju dapur, ia mengambil segelas air dan hampir menjatuhkan satu gelas lagi jika tak ada tangan yang menahan laju gelas dari tangan Aruna.

“Aku tahu aku tetap tampan meski belum mandi, tapi cobalah untuk terbiasa dengan itu Runa.”

“Aku bermimpi!aku masih bermimpi!” Pekik Aruna seraya berlari kembali masuk kamar.

Tepat ketika membuka pintu kamar, pintu kamar Sara terbuka menampilkan Sara dengan balutan gaun silver. Di susul Juna yang memakai setelan senada.

“Aruna, bagaimana menurutmu?” Tanya Sara, menahan Aruna di ambang pintu.

Aruna tanpa sadar membiarkan mulutnya menganga lebar, “Kalian akan pergi kemana sepagi ini?”

“Ini untuk pesta pernikahanmu besok, bagaimana kamu suka?”

“Pernikahan?”Pekik Aruna merenggut rambutnya frustasi, lalu meracau dan masuk ke dalam kamar ”Ini pasti mimpi, aku masih bermimpi.”

Sara mengikuti Aruna dan menutup pintu kamar Aruna pelan namun tetap membuat gadis itu tersentak kaget mendengar suara pintu tertutup.

“Bibi, tinggalkan aku sendiri. “

Tapi Sara sama sekali tak mengindahkan permintaan Aruna, Aruna dapat mendengar langkah kaki Sara yang semakin mendekat. Perempuan yang hanya terpaut usia sepuluh tahun dengannya itu perlahan meraih bahu Aruna membuatnya berbalik menghadap Sara.

“Maafkan aku, Runa.”

“Aku tahu apa yang akan kamu katakan, Runa tapi biarkan aku dulu yang bicara.”

Aruna tak mengangguk tak juga membantah, ia menatap bingung Sara. Di matanya kini bibinya nampak aneh, selain perpaduan gaun mahal dengan sandal rumah murahan, Aruna menangkap ekspresi janggal di wajah Sara. Sara nampak tengah mempertimbangkan sesuatu, ada kebingungan bergolak dalam pikiran Sara.

“Kami berbohong tentang bisnis pamanmu yang berkembang di Thailand. Pamanmu tak mendapatkan apapun dalam perjalanannya selama satu tahun ini. Sebaliknya, keluarga kita tanpa sepengetahuanmu menuai hutang di sini. Kamu tahu, bagi perempuan tak berpendidikan sepertiku berapa penghasilan yang dapat kudapatkan setiap bulannya. Sama sekali tak mencukupi kebutuhan keluarga ini, terutama untuk pengobatan Nenek. Maka, akhirnya kami memilih jalan terakhir yang ada di depan mata.”

Sara menghembuskan nafas berat, ia menengadah menghalau air matanya yang menggenang.

“Maafkan aku, Runa. Aku tahu rumah ini milikmu dan satu-satunya peninggalan kedua orang tuamu. Tapi inilah satu-satunya cara yang terpikirkan olehku dulu. Aku putus asa, pamanmu hampir mati dikejar-kejar lintah darat. Aku menjual rumah ini sebagai tebusan nyawa suamiku, maafkan aku.” Rintih Sara jatuh bersimpuh di depan Aruna.

Hening mencekam melingkupi kamar kecil itu, hanya isak tangis sesekali yang terdengar. Aruna ikut duduk di lantai di dekat Sara. Ia masih bisu, tak tahu apa yang harus dikatakan meski di otaknya banyak sekali pertanyaan yang muncul. Rumah ini, sejak dalam ingatan pertamanya rumah ini menjadi saksi bisu kehidupannya. Aruna memang tak begitu mengingat jelas bagaimana sosok ayah dan ibunya. Namun setiap kali mencium harum aroma pedas, ia selalu teringat ibu. Ibunya senang membuat masakan pedas untuknya, dan setiap kali mendengar bunyi dengungan dari tayangan sepak bola di tv Aruna mengingat bau asap rokok yang dikepulkan ayahnya. Hal-hal sederhana itu, semuanya terjadi di rumah ini. Dan Sara telah menjual rumah ini, menjual kenangan Aruna.

“Jadi, kepindahan kita ke Thailand hanya alasan agar aku tak tahu rumah ini sudah di jual?”

Sara mengangguk lemah, ia beringsut mendekati Aruna, “Maafkan aku, Runa.”

“Tapi, kamu tak perlu mengkhawatirkan itu lagi jika kamu mau mengikuti keinginannya.” Lanjut Sara.

Aruna tercenung, ia paham apa yang Sara maksud. Keinginan’nya’. Tidak, Aruna menggeleng keras. Tidakkah Sara sadar, ia kini sedang berusaha menjual keponakannya sendiri? Aruna marah pada Sara, ia merasa tak jauh berbeda dengan barang dagangan.

“Jual saja rumah ini, kita pindah. “ Aruna bangkit dan meraih koper lalu mengeluarkan seluruh pakaiannya dari lemari,

“Aruna, tak ada yang menjamin kehidupan kita akan membaik di luar sana. Kamu tak tahu bagaimana kehidupan yang sebenarnya itu.”

Tidak, aku baru saja tahu bagaimana hidup itu. Kehidupan nyata adalah seperti ini, dimana keluargamu sendiri bahkan rela menukar mu dengan uang

“Dimana pun lebih baik dibanding harus bersama dengan pria itu.”

“Ingatlah kondisi nenek, Runa. Kita tak mungkin membuatnya lebih menderita di banding sekarang.” Kata Sara menghentikan gerakan Aruna menumpuk pakaian di atas koper.

Nenek. Aruna memejamkan mata, ia tak mungkin mengabaikan Nenek begitu saja. Sama seperti Nenek yang tak pernah mengabaikannya dulu. Nenek bukanlah perempuan lemah, sejak muda ia telah berjuang menjadi orang tua tunggal membesarkan anak-anaknya. Belum selesai di sana, di usia yang telah renta nenek juga masih harus merawat Aruna hingga akhirnya jatuh sakit. Inikah akhir yang harus neneknya terima setelah berjuang demi keluarga seumur hidupnya? Hidup sungguh tak adil.

Hidup memang tak pernah adil bagi orang seperti kami,batin Aruna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status