LOGIN"Apa ini?" tanyanya pelan, suaranya berat dan penuh tanda tanya.
Yuli mendengus pelan, lalu menjawab dengan nada tajam yang dingin. "Surat cerai," katanya tanpa ragu. "Mari kita akhiri saja. Kamu pikir aku masih sanggup hidup dengan laki-laki yang kerjanya cuma nyopir angkot? Penghasilan kecil, hidup makin susah, semua serba mahal. Cepat tanda tangani!" Tatapan matanya menusuk, seperti tak ada lagi sedikit pun cinta yang tersisa. Ergan terdiam, tangannya bergetar saat memegang surat itu, tatapannya kosong, dadanya sesak. Ia begitu hancur, bukan karena ditinggalkan, tapi karena rumah tangga yang dulu ia bangun dengan cinta kini hancur dalam kebencian. Ergan menarik Jihan ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah tak ingin melepaskannya lagi. Ia mencium kening anak itu cukup lama, diam-diam menyalurkan seluruh cintanya ke dalam ciuman itu. Lalu, untuk pertama kalinya hari itu, Ergan tersenyum. Senyum yang rapuh, namun tulus. "Ini semua bukan kesalahan Jihan. Ini adalah ujian dari Allah untuk kita,” ucap Ergan lembut sambil mengusap rambut Hujan penuh kasih sayang. Namun, suasana hangat itu langsung buyar oleh suara bentakan keras. "Banyak sekali drama dari kalian yang tidak berguna ini! Cepat tanda tangani surat itu! Setelah itu, angkat kaki dari rumah ini, ini rumah saya! Dan saya tidak ingin melihat wajah kalian berdua lagi!" bentak Yuli dengan nada tinggi, matanya tajam menatap Ergan dan Jihan. Ergan tidak membalas, begitu pula Jihan yang hanya bisa menunduk diam, Ergan sebenarnya sangat lelah. Seharian ia bekerja keras, dan kini harus menghadapi badai di dalam rumahnya sendiri. Meski tubuhnya gemetar, ia berusaha tegar. Tangannya perlahan meraih pulpen di atas meja. Dengan napas berat dan tangan bergetar, ia menandatangani surat cerai yang sudah disodorkan oleh Yuli. Senyum puas langsung terukir di wajah Yuli, merasa telah menang. Namun, suasana mendadak berubah tegang ketika terdengar suara pintu terbuka dengan kasar. Brak! Semua yang berada di ruang tamu sontak menoleh ke arah kamar. Dari sana, muncul seorang pria muda dengan wajah merah padam menahan amarah. "Arga! Apa yang kamu lakukan?! Apa kamu ingin merobohkan rumah kita satu-satunya ini!" bentak Yuli, memelototi anak sulungnya itu. Arga, anak pertama dari pasangan Ergan dan Yuli, berusia 27 tahun dan bekerja sebagai manajer di perusahaan milik keluarga Danendra. Adiknya, Naura, berusia 23 tahun dan masih kulia, sementara si bungsu, Jihan, bahkan belum genap berusia lima tahun. Pernikahan Ergan dan Yuli telah berjalan selama 29 tahun, tahun ini seharusnya menjadi peringatan pernikahan mereka yang ke-30. Namun, kenyataan berkata lain, Yuli menggugat cerai suaminya sendiri dan bahkan tega membenci anak bungsunya yang sama sekali tak bersalah. Jihan justru menjadi pelampiasan amarah dan kekesalan ibunya, sering disuruh-suruh, dimarahi, bahkan tak jarang disiksa secara fisik. "Diamlah, Ma, Mama lihat ponselku?" tanya Arga, nadanya terdengar ketus. Yuli mengangkat alis. "Tidak. Kamu baru saja pulang dari kantor, bukan? Lagipula, itu kan ponsel kamu. Mengapa tanya ke Mama?"sahutnya sambil mencubit lengan Arga ringan, seolah menggoda, namun terdengar tidak peduli. "Justru karena tidak ada, aku tanya ke Mama, jangan-jangan malah Mama yang mengambilnya," balas Arga dengan curiga, lalu menoleh ke arah adik bungsunya. "Atau... jangan-jangan kamu yang ambil, Jihan?" Jihan tersentak, wajahnya langsung pucat. "Tidak, Kak! Sungguh, aku tidak mengambilnya! Melihat pun tidak" ujarnya terbata-bata. "Kakak kan baru saja pulang..." Yuli langsung menyambar, memperkeruh suasana. "Jangan percaya ucapannya, Arga! Anak itu pembawa sial! Siapa tahu dia dendam sama kita. Terutama kamu! Mungkin dia sengaja mengambil ponselmu saat kamu lengah," kata Yuli, suaranya tajam dan penuh kebencian. Arga mengangguk, pikirannya terbakar oleh emosi. "Benar juga kata Mama. Cepat kembalikan ponselnya, Jihan! Itu ponsel mahal! Seumur hidup Papa kamu yang miskin itu tidak akan mampu membelinya!" Dengan wajah tegang dan tangan mengepal, Arga melangkah mendekati Jihan. Melihat hal itu, Ergan langsung menarik Jihan ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah ingin melindunginya dari dunia. "Cukup, Arga! Jangan sakiti adikmu!" seru Ergan tegas, matanya menatap putra sulungnya dengan campuran marah dan kecewa. "Jihan tidak mungkin melakukan itu. Dia anak kecil! Kamu mungkin menjatuhkannya di jalan atau tertinggal di kantor. Jangan asal menuduh tanpa bukti yang jelas dan akurat." "Hahaha! Lihat, Ma, dia berani sekali berkata seperti itu kepadaku. Jadi, apa dia sudah menandatangani surat cerai itu?" tanya Arga sambil menatap ibunya dengan penuh kemenangan. "Sudah, Sayang, tenang saja, Mama sudah mengurus semuanya," jawab Yuli dengan senyum puas. "Dan kabar baiknya, Mama sekarang punya Papa baru untuk kamu. Dia orang kaya, bahkan katanya masih kerabat dekat keluarga Danendra yang super kaya itu." "Benarkah, Ma? Wah, itu luar biasa!" Arga tersenyum lebar, wajahnya dipenuhi semangat yang sinis. "Tentu saja benar, sekarang mari kita singkirkan dulu hama-hama ini dari rumah kita. Mereka hanya mengotori pemandangan, Mama muak melihat orang rendahan seperti mereka," kata Yuli, mencubit lengan anaknya dengan geli. "Mama tenang saja. Ini urusan sepele, serahkan padaku," jawab Arga dengan penuh percaya diri. Dengan langkah cepat, ia mendekati Ergan dan Jihan yang masih berdiri di sudut ruangan. "Ayo, cepat pergi dari sini, dasar sialan!" bentak Arga sambil menarik paksa tangan Ergan. Refleks, Ergan berdiri dan langsung menggenggam erat tangan kecil Jihan, namun, kekuatan Arga jauh lebih besar. Ia menyeret mereka menuju pintu depan tanpa ampun. Di luar, hujan turun sangat deras, petir menyambar dengan keras, menerangi langit malam yang kelam. Begitu pintu dibuka, angin dingin langsung menusuk kulit. Tanpa sedikit pun belas kasihan, Arga mendorong ayah dan adiknya keluar rumah. Brak! Ergan dan Jihan terjatuh ke tanah yang berlumpur, air hujan segera membasahi tubuh mereka, membasuh luka di hati yang lebih dalam daripada luka fisik. "Hahahahaha! Memang begitulah tempat yang pantas untuk kalian di luar sana, seperti sampah! Karena kalian memang sampah!" Arga tertawa puas, berdiri di ambang pintu seperti raja yang baru saja mengusir musuhnya. Ergan hanya bisa memeluk tubuh kecil Jihan, melindunginya dari dinginnya hujan dan panasnya penghinaan, tak ada kata yang sanggup ia ucapkan. Tapi dalam hatinya, ia bertekad: kehancuran hari ini akan menjadi awal bagi bangkitnya harga diri mereka suatu hari nanti. Pria itu, Arga tidak menyadari bahwa dari kejauhan, seseorang tengah memperhatikannya, sejak tadi, sosok itu berdiri diam dalam bayang-bayang, menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Arga mendorong Ergan dan Jihan keluar rumah dengan kasar. Ia menyaksikan segalanya... tanpa suara, namun dengan sorot mata tajam penuh tanya dan amarah yang terpendam. "Hahaha, kamu benar, Sayang, ayo kita masuk. Mama sudah memasak makanan kesukaan kamu dan Naura," ujar Yuli dengan senyum cerah, seolah tak terjadi apa-apa. "Benarkah? Tapi... bagaimana dengan ponselku, Ma?" tanya Arga, sedikit ragu. "Tenang saja, nanti Mama dan Naura bantu mencarinya. Mungkin kamu hanya lupa meletakkannya di mana. Kita cari bersama setelah makan, pasti ketemu," jawab Yuli dengan suara lembut, seperti menenangkan anak kecil. Ia begitu lembut dan penuh perhatian saat berbicara kepada Arga, cinta dan kasih sayangnya tampak tercurah hanya untuk dua anaknya, Arga dan Naura. Walaupun keduanya telah tumbuh dewasa, Yuli tetap memperlakukan mereka seperti anak kecil yang tak pernah bersalah. Namun berbeda halnya dengan Jihan, anak bungsunya yang bahkan belum genap lima tahun. Anak kecil itu tak pernah merasakan pelukan hangat dari seorang ibu, tak pernah merasakan belaian lembut atau kata-kata manis seperti yang sering Yuli berikan kepada Arga dan Naura. Ia diperlakukan seperti beban, dingin, jauh, bahkan terkadang kejam. "Sudah pulang dari kampus?” tanya Arga lagi, suaranya terdengar lebih tenang. “Sudah, Sayang, dia ada di kamar. Ayo panggil dia, kita makan malam bersama,” ajak Yuli dengan senyum lembut yang hanya ia tunjukkan pada dua anak kesayangannya. Arga mengangguk penuh semangat. Keduanya lalu melangkah masuk ke dalam rumah, menutup pintu tanpa menoleh sedikit pun ke belakang, seolah tak ada siapa pun yang baru saja mereka usir. Sementara itu, di luar rumah, hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Petir sesekali menyambar langit, dan angin malam menerpa tubuh dua orang yang masih terduduk di tanah. Tubuh mereka basah kuyup, pakaian menempel erat oleh air hujan yang dingin. Jihan menggigil hebat, wajahnya pucat, bibirnya bergetar menahan rasa dingin dan ketakutan. "Papa… aku sangat takut… dan dingin sekali…" lirih Jihan, suaranya nyaris tak terdengar di tengah suara hujan. Ergan mendengar suara anaknya dan seketika hatinya remuk, dengan penuh tenaga, ia berusaha berdiri dari tanah yang becek. Tubuhnya sendiri gemetar, namun ia tak peduli. Ia menggendong tubuh kecil Jihan, lalu memeluknya erat, seerat mungkin, seolah ingin memindahkan sedikit kehangatan dari tubuhnya sendiri kepada anak bungsunya. Tanpa kata, tanpa rencana, ia mulai melangkah perlahan menjauh dari rumah yang dulunya mereka sebut "rumah". Kini, hanya menjadi tempat kenangan yang pahit dan luka yang dalam. Bersambung.Baru saja ia hendak duduk, suara mobil berhenti keras di depan mansion. Dari arah luar, Cakra dan Hendrian langsung bergerak cepat ke pintu depan.Tak lama kemudian, suara langkah tergesa dan bentakan terdengar."Mana Dona?! Mana Ergan?!" suara Yuli terdengar keras, menggema di aula depan.Dona menegakkan tubuh, matanya langsung menatap Ergan."Mas... itu Yuli," ucap Dona"Saya sudah duga dia akan datang," ucap Ergan sambil menghela napas panjang.Pintu ruang tamu terbuka keras. Yuli berdiri di sana, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya merah padam menahan amarah. Di tangannya, selembar surat berkop polisi tergenggam erat."Ergan! Ini apa maksudnya! Kamu benar-benar melaporkan anakmu sendiri ke polisi!" bentaknya lantang sambil mengangkat surat itu. Ergan berdiri tenang, tapi sorot matanya tegas."Itu surat panggilan untuk Arga. Polisi yang kirim, bukan saya," jawab Ergan dengan nada sedikit tinggi."Jangan berbohong!" teriak Yuli lagi. "Kalau bukan karena laporan kalian, mana mun
"Tentu saja. Tapi sekarang kamu tidur lagi ya, tubuh kamu masih sangat lelah, Sayang," jawab Ergan sambil tersenyum hangat.Jihan kembali berbaring, dan Dona menunduk mencium kening Jihan berkali-kali. "Mama sayang kamu," bisiknya pelan."Aku juga sayang Mama dan Papa," jawab Jihan lirih sebelum matanya kembali terpejam.Ergan menatap mereka dengan pandangan penuh kasih. "Dona, saya benar-benar bersyukur kamu kuat menghadapi ini," ucapnya pelan."Aku kuat karena aku tahu kamu selalu di sampingku, Mas. Kita berdua harus jadi tembok buat Jihan, dia butuh kita sekarang," jawab Dona sambil menatap suaminya.Ergan mengangguk mantap. "Saya akan pastikan Arga tidak mendekati Jihan sampai dia benar-benar sadar akan perbuatannya," ucap Ergan sambil mengangguk mantap.Dona menatap suaminya dalam diam, lalu berkata dengan nada tegas, "Besok pagi kita ke kantor polisi jam delapan, Mas, aku sudah siapkan semua bukti dan laporan dari pihak hotel. Mereka punya rekaman CCTV di aula pesta," ucap D
"Mas," ucap Dona lembut sambil menatap Jihan yang masih tertidur di pelukan dan gendongannya. "Malam ini, biar Jihan tidur bersama kita saja. Aku tidak tenang kalau dia di kamarnya sendiri," ucap Dona.Ergan mendekat, menatap putrinya dengan wajah iba. "Saya setuju, Dona. Setelah apa yang dia alami, lebih baik Jihan tidak jauh dari kita malam ini," jawab Ergan setuju.Dona mengangguk, lalu perlahan mengelus rambut anaknya yang lembut. "Kasihan, Mas… tubuhnya masih lemah. Setiap kali aku menatap wajahnya, rasanya seperti melihat luka yang belum kering," ucap Dona yang menatap sendu ke arah anak kesayangannya itu.Ergan menatap istrinya dalam diam, lalu menepuk bahu Dona pelan. "Saya tahu, Dona, tapi sekarang yang paling penting, kita buat dia merasa aman. Tidak ada yang bisa menyentuhnya lagi di rumah ini," jawab Ergan.Dona tersenyum tipis. "Aku akan pastikan itu, Mas. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mendekatinya tanpa izin kita," ucap Dona dengan nada serius.Mereka berjalan
Dona masih mendekap Jihan erat di pelukannya. Hidungnya menempel pada rambut lembut putrinya itu, berkali-kali mengecup kening dan pipi Jihan. "Sayang, kamu tidak sendiri, ada Mama, ada Papa. Kamu tidak perlu takut lagi, Sayang," ucap Dona.Air mata Jihan menetes lagi. "Mama… aku takut kalau Kak Arga marah lagi. Sakit sekali tadi, Mama," ucap Jihan dengan tubuh gemetar karena ketakutan.Dona menahan perih di dadanya, ia mengecup kedua pipi Jihan bergantian dengan penuh kasih sayang. "Tidak akan ada yang menyakitimu lagi. Mama janji," jawab Dona lalu memeluk Jihan lebih erat, seolah ingin menutupinya dari seluruh dunia.Ergan berdiri tidak jauh, menatap istri dan putrinya. Pandangannya dalam, campuran antara sedih dan marah. "Dona…" panggilnya pelan.Dona menoleh, matanya basah. "Mas… aku tidak mengerti. Kenapa Arga bisa setega itu sama Jihan? Dia kakaknya sendiri," ucap Dona yang masih tidak menyangka."Saya juga tidak mengerti. Tapi satu hal yang jelas, kita tidak bisa diam," ja
Namun Dona menoleh dengan tatapan menusuk. "Arga." Suaranya merendah tapi dingin, membuat ruangan langsung hening. "Kamu sudah menampar anak kecil yang tak bersalah sampai pingsan di pesta ulang tahunnya sendiri. Kamu masih punya keberanian bicara di sini?"Arga terdiam, wajahnya makin memerah."Kalau kamu punya sisa harga diri, lebih baik diam sebelum saya benar-benar menuntutmu secara hukum," lanjut Dona.Suasana ruangan makin tegang. Para wartawan saling menatap, jelas mereka tak menyangka seorang wanita bisa berdiri begitu berani menghadapi keluarganya sendiri.Yuli, mama kandung Jihan, melangkah maju dengan wajah pucat pasi. "Bu Dona… tolong, jangan perbesar masalah ini. Arga hanya… hanya terpancing emosi," ucap Yuli.Dona menatap Yuli, kali ini dengan sorot mata tajam bercampur jijik. "Emosi? Menampar anak lima tahun sampai pingsan itu emosi? Jangan ajari saya membenarkan kekejaman, Bu Yuli," jawab Dona."Dia bukan siapa-siapa bagi saya!" seru Yuli tiba-tiba, suaranya mening
Tanggal 4 Oktober 2025, hari ini terasa istimewa bagi Dona, putrinya, Jihan, baru saja menginjak usia lima tahun, wanita itu sudah menyiapkan pesta mewah di sebuah gedung elegan di pusat kota. Semua sudah diatur rapi, balon, dekorasi bunga, kue besar dengan lima lilin di atasnya. Namun, hanya satu hal yang ia sengaja rahasiakan, bahwa pesta ini sebenarnya ulang tahun Jihan.Pagi ini, Dona berbicara pada suaminya."Mas, tolong bawa Jihan datang lebih dulu. Katakan saja ada acara kantor. Aku menyusul nanti,,," ucap Dona dengan lembut, namun matanya menyimpan sesuatu yang belum diungkap.Ergan menatap bingung. "Baiklah, tapi kenapa saya dan Jihan harus lebih dulu?" tanya Ergan."Aku ingin memberi kejutan," jawab Dona singkat.Ergan mengangguk, lalu mengajak Jihan bersiap. Pakaian mereka sederhana. Ergan mengenakan kemeja polos biru muda dengan celana hitam, sementara Jihan memakai gaun putih sederhana yang pernah dipakainya beberapa kali.Sesampainya di gedung megah itu, musik sudah men







