Share

BAB 2

Author: Ranisipenulis
last update Last Updated: 2025-07-07 09:51:19

"Apa ini?" tanyanya pelan, suaranya berat dan penuh tanda tanya.

Yuli mendengus pelan, lalu menjawab dengan nada tajam yang dingin.

"Surat cerai," katanya tanpa ragu.

"Mari kita akhiri saja. Kamu pikir aku masih sanggup hidup dengan laki-laki yang kerjanya cuma nyopir angkot? Penghasilan kecil, hidup makin susah, semua serba mahal. Cepat tanda tangani!"

Tatapan matanya menusuk, seperti tak ada lagi sedikit pun cinta yang tersisa.

Ergan terdiam, tangannya bergetar saat memegang surat itu, tatapannya kosong, dadanya sesak. Ia begitu hancur, bukan karena ditinggalkan, tapi karena rumah tangga yang dulu ia bangun dengan cinta kini hancur dalam kebencian.

Ergan menarik Jihan ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah tak ingin melepaskannya lagi. Ia mencium kening anak itu cukup lama, diam-diam menyalurkan seluruh cintanya ke dalam ciuman itu.

Lalu, untuk pertama kalinya hari itu, Ergan tersenyum. Senyum yang rapuh, namun tulus.

"Ini semua bukan kesalahan Jihan. Ini adalah ujian dari Allah untuk kita,” ucap Ergan lembut sambil mengusap rambut Hujan penuh kasih sayang.

Namun, suasana hangat itu langsung buyar oleh suara bentakan keras.

"Banyak sekali drama dari kalian yang tidak berguna ini! Cepat tanda tangani surat itu! Setelah itu, angkat kaki dari rumah ini, ini rumah saya! Dan saya tidak ingin melihat wajah kalian berdua lagi!" bentak Yuli dengan nada tinggi, matanya tajam menatap Ergan dan Jihan.

Ergan tidak membalas, begitu pula Jihan yang hanya bisa menunduk diam, Ergan sebenarnya sangat lelah. Seharian ia bekerja keras, dan kini harus menghadapi badai di dalam rumahnya sendiri. Meski tubuhnya gemetar, ia berusaha tegar.

Tangannya perlahan meraih pulpen di atas meja. Dengan napas berat dan tangan bergetar, ia menandatangani surat cerai yang sudah disodorkan oleh Yuli.

Senyum puas langsung terukir di wajah Yuli, merasa telah menang.

Namun, suasana mendadak berubah tegang ketika terdengar suara pintu terbuka dengan kasar.

Brak!

Semua yang berada di ruang tamu sontak menoleh ke arah kamar. Dari sana, muncul seorang pria muda dengan wajah merah padam menahan amarah.

"Arga! Apa yang kamu lakukan?! Apa kamu ingin merobohkan rumah kita satu-satunya ini!" bentak Yuli, memelototi anak sulungnya itu.

Arga, anak pertama dari pasangan Ergan dan Yuli, berusia 27 tahun dan bekerja sebagai manajer di perusahaan milik keluarga Danendra. Adiknya, Naura, berusia 23 tahun dan masih kulia, sementara si bungsu, Jihan, bahkan belum genap berusia lima tahun.

Pernikahan Ergan dan Yuli telah berjalan selama 29 tahun, tahun ini seharusnya menjadi peringatan pernikahan mereka yang ke-30.

Namun, kenyataan berkata lain, Yuli menggugat cerai suaminya sendiri dan bahkan tega membenci anak bungsunya yang sama sekali tak bersalah. Jihan justru menjadi pelampiasan amarah dan kekesalan ibunya, sering disuruh-suruh, dimarahi, bahkan tak jarang disiksa secara fisik.

"Diamlah, Ma, Mama lihat ponselku?" tanya Arga, nadanya terdengar ketus.

Yuli mengangkat alis. "Tidak. Kamu baru saja pulang dari kantor, bukan? Lagipula, itu kan ponsel kamu. Mengapa tanya ke Mama?"sahutnya sambil mencubit lengan Arga ringan, seolah menggoda, namun terdengar tidak peduli.

"Justru karena tidak ada, aku tanya ke Mama, jangan-jangan malah Mama yang mengambilnya," balas Arga dengan curiga, lalu menoleh ke arah adik bungsunya.

"Atau... jangan-jangan kamu yang ambil, Jihan?"

Jihan tersentak, wajahnya langsung pucat.

"Tidak, Kak! Sungguh, aku tidak mengambilnya! Melihat pun tidak" ujarnya terbata-bata.

"Kakak kan baru saja pulang..."

Yuli langsung menyambar, memperkeruh suasana.

"Jangan percaya ucapannya, Arga! Anak itu pembawa sial! Siapa tahu dia dendam sama kita. Terutama kamu! Mungkin dia sengaja mengambil ponselmu saat kamu lengah," kata Yuli, suaranya tajam dan penuh kebencian.

Arga mengangguk, pikirannya terbakar oleh emosi.

"Benar juga kata Mama. Cepat kembalikan ponselnya, Jihan! Itu ponsel mahal! Seumur hidup Papa kamu yang miskin itu tidak akan mampu membelinya!"

Dengan wajah tegang dan tangan mengepal, Arga melangkah mendekati Jihan.

Melihat hal itu, Ergan langsung menarik Jihan ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah ingin melindunginya dari dunia.

"Cukup, Arga! Jangan sakiti adikmu!" seru Ergan tegas, matanya menatap putra sulungnya dengan campuran marah dan kecewa.

"Jihan tidak mungkin melakukan itu. Dia anak kecil! Kamu mungkin menjatuhkannya di jalan atau tertinggal di kantor. Jangan asal menuduh tanpa bukti yang jelas dan akurat."

"Hahaha! Lihat, Ma, dia berani sekali berkata seperti itu kepadaku. Jadi, apa dia sudah menandatangani surat cerai itu?" tanya Arga sambil menatap ibunya dengan penuh kemenangan.

"Sudah, Sayang, tenang saja, Mama sudah mengurus semuanya," jawab Yuli dengan senyum puas.

"Dan kabar baiknya, Mama sekarang punya Papa baru untuk kamu. Dia orang kaya, bahkan katanya masih kerabat dekat keluarga Danendra yang super kaya itu."

"Benarkah, Ma? Wah, itu luar biasa!" Arga tersenyum lebar, wajahnya dipenuhi semangat yang sinis.

"Tentu saja benar, sekarang mari kita singkirkan dulu hama-hama ini dari rumah kita. Mereka hanya mengotori pemandangan, Mama muak melihat orang rendahan seperti mereka," kata Yuli, mencubit lengan anaknya dengan geli.

"Mama tenang saja. Ini urusan sepele, serahkan padaku," jawab Arga dengan penuh percaya diri.

Dengan langkah cepat, ia mendekati Ergan dan Jihan yang masih berdiri di sudut ruangan.

"Ayo, cepat pergi dari sini, dasar sialan!" bentak Arga sambil menarik paksa tangan Ergan.

Refleks, Ergan berdiri dan langsung menggenggam erat tangan kecil Jihan, namun, kekuatan Arga jauh lebih besar. Ia menyeret mereka menuju pintu depan tanpa ampun.

Di luar, hujan turun sangat deras, petir menyambar dengan keras, menerangi langit malam yang kelam. Begitu pintu dibuka, angin dingin langsung menusuk kulit. Tanpa sedikit pun belas kasihan, Arga mendorong ayah dan adiknya keluar rumah.

Brak!

Ergan dan Jihan terjatuh ke tanah yang berlumpur, air hujan segera membasahi tubuh mereka, membasuh luka di hati yang lebih dalam daripada luka fisik.

"Hahahahaha! Memang begitulah tempat yang pantas untuk kalian di luar sana, seperti sampah! Karena kalian memang sampah!" Arga tertawa puas, berdiri di ambang pintu seperti raja yang baru saja mengusir musuhnya.

Ergan hanya bisa memeluk tubuh kecil Jihan, melindunginya dari dinginnya hujan dan panasnya penghinaan, tak ada kata yang sanggup ia ucapkan. Tapi dalam hatinya, ia bertekad: kehancuran hari ini akan menjadi awal bagi bangkitnya harga diri mereka suatu hari nanti.

Pria itu, Arga tidak menyadari bahwa dari kejauhan, seseorang tengah memperhatikannya, sejak tadi, sosok itu berdiri diam dalam bayang-bayang, menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Arga mendorong Ergan dan Jihan keluar rumah dengan kasar. Ia menyaksikan segalanya... tanpa suara, namun dengan sorot mata tajam penuh tanya dan amarah yang terpendam.

"Hahaha, kamu benar, Sayang, ayo kita masuk. Mama sudah memasak makanan kesukaan kamu dan Naura," ujar Yuli dengan senyum cerah, seolah tak terjadi apa-apa.

"Benarkah? Tapi... bagaimana dengan ponselku, Ma?" tanya Arga, sedikit ragu.

"Tenang saja, nanti Mama dan Naura bantu mencarinya. Mungkin kamu hanya lupa meletakkannya di mana. Kita cari bersama setelah makan, pasti ketemu," jawab Yuli dengan suara lembut, seperti menenangkan anak kecil.

Ia begitu lembut dan penuh perhatian saat berbicara kepada Arga, cinta dan kasih sayangnya tampak tercurah hanya untuk dua anaknya, Arga dan Naura. Walaupun keduanya telah tumbuh dewasa, Yuli tetap memperlakukan mereka seperti anak kecil yang tak pernah bersalah.

Namun berbeda halnya dengan Jihan, anak bungsunya yang bahkan belum genap lima tahun. Anak kecil itu tak pernah merasakan pelukan hangat dari seorang ibu, tak pernah merasakan belaian lembut atau kata-kata manis seperti yang sering Yuli berikan kepada Arga dan Naura.

Ia diperlakukan seperti beban, dingin, jauh, bahkan terkadang kejam.

"Sudah pulang dari kampus?” tanya Arga lagi, suaranya terdengar lebih tenang.

“Sudah, Sayang, dia ada di kamar. Ayo panggil dia, kita makan malam bersama,” ajak Yuli dengan senyum lembut yang hanya ia tunjukkan pada dua anak kesayangannya.

Arga mengangguk penuh semangat. Keduanya lalu melangkah masuk ke dalam rumah, menutup pintu tanpa menoleh sedikit pun ke belakang, seolah tak ada siapa pun yang baru saja mereka usir.

Sementara itu, di luar rumah, hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Petir sesekali menyambar langit, dan angin malam menerpa tubuh dua orang yang masih terduduk di tanah.

Tubuh mereka basah kuyup, pakaian menempel erat oleh air hujan yang dingin. Jihan menggigil hebat, wajahnya pucat, bibirnya bergetar menahan rasa dingin dan ketakutan.

"Papa… aku sangat takut… dan dingin sekali…" lirih Jihan, suaranya nyaris tak terdengar di tengah suara hujan.

Ergan mendengar suara anaknya dan seketika hatinya remuk, dengan penuh tenaga, ia berusaha berdiri dari tanah yang becek. Tubuhnya sendiri gemetar, namun ia tak peduli. Ia menggendong tubuh kecil Jihan, lalu memeluknya erat, seerat mungkin, seolah ingin memindahkan sedikit kehangatan dari tubuhnya sendiri kepada anak bungsunya.

Tanpa kata, tanpa rencana, ia mulai melangkah perlahan menjauh dari rumah yang dulunya mereka sebut "rumah".

Kini, hanya menjadi tempat kenangan yang pahit dan luka yang dalam.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 87

    Malam turun perlahan, lampu-lampu hangat di koridor villa menyala lembut. Salju yang turun tipis terlihat dari jendela besar kamar mandi suite Jihan. Dona menyiapkan air hangat di bathtub, meneteskan minyak esensial khusus anak yang beraroma lavender.Jihan berdiri di sampingnya sambil memegang boneka kecil."Mama, airnya hangat sekali. Aku boleh masuk sekarang?" tanya Jihan.Dona tersenyum lembut sambil menunduk sejajar dengan Jihan."Silakan, Sayang. Mama akan memandikan Jihan perlahan, agar Jihan nyaman," jawab Dona.Jihan masuk ke bathtub dan langsung tertawa kecil karena gelembung sabun menyentuh dagunya."Mama, baunya enak sekali," ucap Jihan."Mama memang memilihkan yang terbaik untukmu, Sayang. Kamu sudah banyak bergerak hari ini, pasti kamu lelah," Dona sambil menyiramkan air hangat pelan-pelan ke pundak Jihan."Sedikit… tapi aku senang, Mama," jawab Jihan.Dona mengusap rambut Jihan dengan hati-hati."Hari ini kamu sangat pintar. Besok Mama akan ajak Jihan melihat toko maina

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 86

    Perjalanan Menuju VillaMobil meluncur pelan menyusuri jalan bersalju. Di sepanjang jalan, pohon-pohon pinus tinggi tertutup salju putih.Jihan menempelkan wajahnya ke jendela."Saljunya lucu, Mama. Seperti gula," ucap Jihan.Dona mengusap rambutnya."Kita bisa bermain nanti, Sayang. Mama akan ikut membuat boneka salju bersamamu," ucap Dona."Benarkah, Mama?""Tentu."Ergan memandangi pemandangan luar sambil berbicara perlahan."Saya tidak menyangka tempat ini akan seindah ini," ucap Ergan dengan kagum.Dona tersenyum bangga."Mas akan lebih terkejut lagi ketika melihat villa kita.""Villa?" tanya Ergan."Iya. Villa yang khusus aku bangun untuk musim dingin. Ada perapian besar, kamar tidur luas, dan taman yang sangat cantik," jelas Dona.Jihan menarik lengan Dona."Mama, di villanya ada tempat main salju?" tanya Jihan."Banyak, Sayang. Bahkan Mama siapkan seluncuran kecil untukmu," jawab Dona."Seluncuran?" mata Jihan langsung berbinar."Benar. Mama ingin ulang tahunmu tahun ini menja

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 85

    Kabin pesawat pribadi itu tenang dan penuh aroma lavender lembut. Lampu ambient emas menciptakan suasana hangat seperti ruang keluarga mewah. Jihan duduk di kursi kecilnya sambil memeluk boneka saljunya.Dona mencondongkan badan dengan penuh kasih sayang."Sayang, apakah kursinya nyaman? Jika kurang nyaman, Mama akan meminta pramugari menggantinya."Jihan tersenyum manis. "Nyaman sekali, Mama. Aku suka sekali pesawat Mama."Dona mencium pipinya dua kali. “B"Bagus sekali kalau anak kesayangan Mama merasa nyaman."Ergan menatap itu semua sambil tersenyum lemah."Dona, kamu tampaknya akan mencium Jihan sampai pipinya memerah," ucap Ergan sambil terkekeh pelan.Dona menoleh sambil tersenyum kecil. "Mas, Jihan memang pantas mendapatkan kasih sayang sebanyak itu," jawab Dona.Jihan tertawa kecil. "Papa, Mama tadi cium aku banyak sekali," Jihan mengadu kepada Dona.Ergan mencondongkan tubuh ke arahnya. "Apa kamu suka?" tanya Ergan."Suka," jawab Jihan dengan bangga, membuat Dona mengusa

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 84

    Hendrian kembali berbicara dengan nada resmi, "Nyonya, saya akan berangkat lebih dulu dengan tim pengawalan. Begitu tiba, saya pastikan semua perimeter villa dalam keadaan aman.""Pastikan juga kendaraan pengantar sudah siap di bandara Eropa," perintah Dona lagi. "Saya ingin dua konvoi besar. Satu untuk keluarga, satu untuk tim.""Siap, Nyonya."Jihan berlari kecil menghampiri Dona dan menarik ujung bajunya. "Mama… aku boleh bawa boneka saljuku tidak," tanya Jihan.Dona tersenyum dan mengelus rambut putrinya. "Tentu saja boleh, Sayang. Mama bahkan sudah menyiapkan koper khusus untuk mainanmu," jawab Dona."Yeay!" teriak Jihan senang sambil melompat kecil.Ergan terkekeh melihat tingkah anaknya. "Dua ratus pengawal, tiga asisten, satu sekretaris pribadi… dan satu putri kecil yang heboh karena boneka salju," ucapnya sambil menggeleng lucu.Dona ikut tertawa. "Itu sebabnya semua ini aku atur sedetail mungkin. Supaya aku bisa fokus jadi Mama, bukan sibuk urus yang lain," jawab Dona.

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 83

    Dona menatap anaknya penuh kasih. "Sabar, Sayang. Kita akan berangkat sore ini. Sekarang kamu harus tidur siang supaya nanti tidak kelelahan," ucap Dona."Tapi aku tidak ngantuk," protes Jihan kecil.Ergan mendekat dan berjongkok di samping kursi anaknya. "Kalau kamu tidur sekarang, kamu akan bangun dengan semangat. Dan nanti kamu bisa duduk di dekat jendela pesawat seperti yang kamu mau."Mata Jihan langsung berbinar. "Benarkah, Papa?""Tentu saja," jawab Ergan tenang."Baiklah… aku akan tidur sekarang," seru Jihan lalu melompat dari kursi dengan semangat.Dona terkekeh kecil. "Kamu ini cepat sekali berubah.""Karena aku mau duduk dekat jendela pesawat," jawab Jihan polos.Para pegawai yang ada di ruang tengah ikut tersenyum melihat keceriaan itu. Dona berdiri lalu merapikan rambut anaknya. "Ayo, Mama antar ke kamar. Tidur siang yang nyenyak," ajak Dona."Baik, Ma," jawab Jihan.Ergan memperhatikan mereka berdua sambil menyandarkan punggungnya pada kursi. Ia menarik napas panjan

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 82

    Ergan menunduk sedikit. "Dan kamu melakukannya dengan sangat baik."Jihan menyelesaikan sikat gigi dan berkumur. "Selesai," ucap Jihan.Dona mengeringkan tangan anaknya dengan handuk kecil. "Ayo kembali ke tempat tidur," pinta Dona.Mereka bertiga kembali ke kamar. Jihan naik ke tempat tidur dan merapikan selimutnya sendiri. "Mama, Papa, temani aku sebentar sebelum tidur, ya.""Tentu, Sayang," jawab Dona.Ergan duduk di tepi ranjang, Dona duduk di sisi lain. Lampu utama dimatikan, digantikan oleh lampu tidur kecil berbentuk bulan sabit yang menyinari kamar dengan lembut."Papa, terima kasih sudah makan malam bersama aku," ucap Jihan sambil memeluk bonekanya.Ergan menatap wajah kecil itu dengan penuh kasih. "Terima kasih juga sudah menjadi anak yang baik dan penurut, Sayang," jawab Ergan."Mama, terima kasih juga sudah buat aku bahagia," lanjut Jihan sambil menguap kecil.Dona membelai rambut anaknya dengan lembut. "Mama selalu ingin kamu bahagia, Sayang. Selalu," jawab Dona sam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status