LOGIN"Jangan takut, Sayang, Papa di sini, Nak, Jihan tidak sendirian. Masih ada Papa yang akan selalu menemani Jihan, sampai Jihan tumbuh menjadi anak yang sukses," ucap Ergan dengan lembut, berusaha menenangkan anak perempuannya yang ketakutan oleh suara petir yang menggelegar.
Jihan memang sangat takut pada suara petir, tangisnya pecah, tubuh kecilnya gemetar hebat, bukan hanya karena rasa takut, tetapi juga karena dingin yang menusuk kulit. Ia tak mampu membalas ucapan ayahnya, hanya memeluk erat tubuh kekar itu, berusaha mencari rasa aman dan kehangatan dalam pelukan sang Papa. "Kita mau ke mana, Pa?" tanya Jihan lirih di sela isaknya. "Kita ke pos ronda dulu, Sayang, kita berteduh di sana sampai hujannya reda. Setelah itu, baru kita pergi dari sini," jawab Ergan dengan suara tenang, mencoba memberikan rasa nyaman kepada putrinya. Jihan hanya mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa, Ergan pun melanjutkan langkahnya, berjalan perlahan sambil tetap menggendong Jihan. Di tengah perjalanan, ia sempat berpapasan dengan sebuah mobil sedan mewah yang melaju cepat menuju arah rumahnya, namun, Ergan tidak menoleh, ia tak punya waktu untuk memedulikan siapa yang datang di malam-malam seperti ini, apalagi di tengah hujan deras, ia bukan tipe orang yang mudah penasaran. Di rumah... Arga, Yuli, dan Naura sedang menikmati makan malam dengan penuh selera. Suasana di ruang makan tampak hangat, kontras dengan dinginnya hujan di luar sana. "Aku benar-benar senang, Ma. Akhirnya orang bodoh itu pergi juga dari rumah ini," ucap Naura dengan nada puas, seraya menyendokkan makanan ke mulutnya. "Apalagi Kakak...""Arga menghela napas panjang, "Rasanya jauh lebih tenang tanpa kehadiran mereka. Tapi... ponsel Kakak hilang," wajahnya seketika berubah muram, jelas terlihat kekhawatiran yang mulai menyelimuti pikirannya. "etelah makan, kita cari ponselmu, Nak. Jangan langsung berpikiran yang buruk, ya," ucap Yuli lembut, mencoba menenangkan anak sulungnya dan menanamkan sikap tenang di tengah situasi yang belum pasti. "Aku sangat setuju dengan Mama, Kak," timpal Naura penuh semangat. "Semua pasti akan baik-baik saja. Kakak pasti menemukan ponselnya dalam waktu dekat." Arga mengangguk pelan, meski wajahnya masih diliputi kecemasan. "Baiklah, Naura... tapi Kakak benar-benar khawatir, di dalam ponsel itu ada data-data penting milik perusahaan. Kalau sampai hilang, Kakak bisa celaka... Dona Danendra dan seluruh keluarga besar Danendra tidak akan pernah memaafkan Kakak." Suaranya terdengar berat, dibayangi ketakutan akan kemungkinan terburuk. Yuli menatap Arga dengan penuh keyakinan. "Jangan berpikiran sejauh itu, Arga, percayalah, ponselmu akan ditemukan. Sekarang habiskan dulu makananmu. Setelah itu, kita cari bersama-sama, ya." Pria itu hanya mengangguk pelan. Mereka bertiga kembali melanjutkan makan malam dengan tenang. Beberapa menit kemudian, santap malam selesai, dan kini mereka sibuk mencari keberadaan ponsel Arga di sekitar kamar pria itu. Tokkk... tokkk... tokkk. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu utama tiga kali, jelas dan teratur, Yuli, Arga, dan Naura spontan menghentikan semua gerakan mereka. Sunyi mendadak menyelimuti ruangan. "Siapa yang datang malam-malam begini?" tanya Naura dengan dahi berkerut, suara heran jelas terdengar. "Entahlah... jangan-jangan pria tua itu dan anak sialan itu kembali?" sahut Arga curiga, matanya menatap tajam ke arah pintu. Yuli menanggapinya dengan tenang, "Tidak mungkin. Mereka pasti sudah pergi jauh dari sini." "Tapi bisa saja, Ma..." ujar Naura, masih belum yakin, matanya menatap ibunya dengan cemas. Hening, tidak ada yang menjawab. Detik-detik berlalu dalam sunyi yang menegangkan, hingga suara ketukan kembali terdengar, kali ini dengan irama yang sama. Tokkk... tokkk... tokkk. "Mama..." Suara kecil Naura terdengar pelan namun penuh ketakutan, ia berjalan cepat ke arah ibunya, lalu memeluknya erat. "Jangan-jangan itu orang jahat. Aku takut..." Yuli segera membalas pelukan putrinya dan mengusap punggungnya dengan lembut. "Tenanglah, Sayang, itu bukan orang jahat. Kalau memang orang jahat, mereka pasti sudah masuk sejak tadi. Rumah kita terkunci rapat, tidak perlu takut, ya," ucap Yuli menenangkan, meskipun dalam hatinya sendiri mulai muncul rasa was-was. "Ayo... kita buka pintunya," ajak Arga dengan suara pelan, namun tegas. Meski bibirnya mengucapkan ajakan itu, di dalam hatinya, Arga sebenarnya merasakan ketakutan yang sama seperti adiknya, namu, rasa penasarannya jauh lebih besar daripada rasa takut yang menggelayuti pikirannya. "Baiklah. Kamu jalan duluan, Mama dan adikmu akan mengikutimu dari belakang," ucap Yuli, berusaha menjaga ketenangannya di hadapan anak-anaknya. Arga mengangguk singkat, lalu melangkah keluar dari kamar, Yuli dan Naura mengikuti dari belakang, langkah mereka pelan namun waspada, ketiganya bergerak menuju pintu utama rumah. Sesampainya di sana, Arga meraih kenop pintu, tangannya sedikit gemetar saat memutar kunci sebanyak dua kali, karena memang pintu itu dikunci rangkap. Perlahan, dengan hati-hati, ia membuka gagang pintu dan menariknya ke arah dalam. Sebuah kejutan langsung menyambutnya. "Ibu Dona...?" ucap Arga nyaris berbisik, matanya membelalak melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Ya, sosok yang datang malam-malam di tengah hujan deras itu bukan lain adalah Dona Danendra, bos besar yang selama ini dihormatinya dan juga ditakutinya. "Selamat malam, Pak Arga. Maaf jika saya mengganggu di tengah malam seperti ini, apalagi saat hujan deras turun," sapa Dona Danendra dengan nada lembut dan penuh wibawa. "Sama sekali tidak, Bu Dona. Silakan masuk, nanti Anda bisa basah terkena air hujan," jawab Arga cepat, mempersilakan bosnya masuk dengan sopan dan sedikit gugup. "Iya, Bu Dona. Ayo masuk, kita bisa mengobrol sambil menikmati teh hangat," sambut Yuli, mencoba terdengar ramah sambil menahan kegugupannya sendiri. Saat Dona melangkah masuk ke dalam rumah, mata Yuli tak bisa lepas dari kilauan perhiasan yang dikenakan wanita itu, berlian murni berkilau di leher, menghiasi kedua telinga, membalut beberapa jari, dan melingkar anggun di pergelangan tangan kirinya, namun, bukan hanya itu, tas mewah yang menggantung di lengan kanan Dona langsung mencuri perhatian. Itu adalah tas keluaran terbaru dari merek Chanel, yang kabarnya hanya diproduksi 10 unit di seluruh dunia. Yuli menelan ludah pelan. Ia adalah tipe wanita yang sangat menyukai kemewahan, perhiasan, barang-barang branded, dan tentu saja... uang. Dan kini, semua itu berdiri tepat di hadapannya. "Tidak perlu repot-repot, saya ke sini hanya ingin mengembalikan ponsel Pak Arga yang tertinggal di ruangan," ucap Dona sembari membuka tas mewahnya dan mengeluarkan sebuah ponsel. Arga tampak terkejut, lalu menghela napas lega begitu melihat benda itu di tangan atasannya. "Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Saya benar-benar takut kalau ponsel itu hilang, Bu. Mohon maaf atas kelalaian saya... tadi saya sangat khawatir," ujar Arga tulus, rasa lega tampak jelas di wajahnya. "Tidak masalah, namanya juga manusia, apalagi dalam keadaan lelah. Kamu kan manajer di perusahaan saya, wajar kalau sesekali ada yang terlewat," jawab Dona sambil tersenyum hangat. "Terima kasih atas pengertian Ibu, memang hari ini pekerjaan sangat menumpuk, saya sampai kewalahan. Untung saja saya dibantu oleh sekretaris pribadi saya, jadi beban kerjanya sedikit lebih ringan," jelas Arga, berusaha terdengar profesional meski nada suaranya masih menyisakan kelelahan. Dona mengangguk pelan, menyimak dengan tatapan tajam, namun, bersahabat, seperti sedang menilai, sekaligus mempertimbangkan sesuatu dalam pikirannya. "Terima kasih kembali atas kerja kerasmu untuk kemajuan perusahaan saya, Pak Arga. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, saya pamit pulang dulu, hujannya juga semakin deras," ucap Dona sambil melirik arlojinya, sebuah jam tangan Gucci yang berkilau elegan di pergelangan tangannya. "Baik, Bu Dona. Hati-hati di jalan," jawab Arga sopan, menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk penghormatan. "Terima kasih, Pak Arga. Mari, Ibu... dan adik cantik," kata Dona sambil melemparkan senyuman hangat ke arah Yuli dan Naura. "Silakan, Bu Dona. Ya ampun... ternyata bosnya Arga bukan hanya cantik, tapi juga sopan sekali," puji Yuli tulus, namun, juga terdengar sedikit terpukau. Dona tertawa kecil. "Hahaha, ibu terlalu berlebihan memuji saya. Kalau begitu, saya pamit sekarang, ya." Ia membalikkan badan dengan anggun, lalu menerima payung yang dibuka oleh sopir pribadinya, dengan langkah tenang, Dona berjalan menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah. Begitu tiba, sang sopir segera membukakan pintu belakang dengan sigap, Dona masuk ke dalam mobil dengan penuh wibawa, lalu melipat kembali payungnya sebelum pintu ditutup. Di dalam mobil, suasana berubah sunyi, Dona menatap keluar jendela yang tertutup embun, sebelum akhirnya berbisik pelan namun tegas, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Jadi... ini manajer yang dulu kukira begitu sopan pada orangtuanya dan keluarganya. Ternyata aku salah besar." Tatapannya menajam. Wajahnya tetap tenang, namun dalam matanya tersimpan kekecewaan yang dalam, dan mungkin, awal dari sebuah keputusan besar. Bersambung.Malam turun perlahan, lampu-lampu hangat di koridor villa menyala lembut. Salju yang turun tipis terlihat dari jendela besar kamar mandi suite Jihan. Dona menyiapkan air hangat di bathtub, meneteskan minyak esensial khusus anak yang beraroma lavender.Jihan berdiri di sampingnya sambil memegang boneka kecil."Mama, airnya hangat sekali. Aku boleh masuk sekarang?" tanya Jihan.Dona tersenyum lembut sambil menunduk sejajar dengan Jihan."Silakan, Sayang. Mama akan memandikan Jihan perlahan, agar Jihan nyaman," jawab Dona.Jihan masuk ke bathtub dan langsung tertawa kecil karena gelembung sabun menyentuh dagunya."Mama, baunya enak sekali," ucap Jihan."Mama memang memilihkan yang terbaik untukmu, Sayang. Kamu sudah banyak bergerak hari ini, pasti kamu lelah," Dona sambil menyiramkan air hangat pelan-pelan ke pundak Jihan."Sedikit… tapi aku senang, Mama," jawab Jihan.Dona mengusap rambut Jihan dengan hati-hati."Hari ini kamu sangat pintar. Besok Mama akan ajak Jihan melihat toko maina
Perjalanan Menuju VillaMobil meluncur pelan menyusuri jalan bersalju. Di sepanjang jalan, pohon-pohon pinus tinggi tertutup salju putih.Jihan menempelkan wajahnya ke jendela."Saljunya lucu, Mama. Seperti gula," ucap Jihan.Dona mengusap rambutnya."Kita bisa bermain nanti, Sayang. Mama akan ikut membuat boneka salju bersamamu," ucap Dona."Benarkah, Mama?""Tentu."Ergan memandangi pemandangan luar sambil berbicara perlahan."Saya tidak menyangka tempat ini akan seindah ini," ucap Ergan dengan kagum.Dona tersenyum bangga."Mas akan lebih terkejut lagi ketika melihat villa kita.""Villa?" tanya Ergan."Iya. Villa yang khusus aku bangun untuk musim dingin. Ada perapian besar, kamar tidur luas, dan taman yang sangat cantik," jelas Dona.Jihan menarik lengan Dona."Mama, di villanya ada tempat main salju?" tanya Jihan."Banyak, Sayang. Bahkan Mama siapkan seluncuran kecil untukmu," jawab Dona."Seluncuran?" mata Jihan langsung berbinar."Benar. Mama ingin ulang tahunmu tahun ini menja
Kabin pesawat pribadi itu tenang dan penuh aroma lavender lembut. Lampu ambient emas menciptakan suasana hangat seperti ruang keluarga mewah. Jihan duduk di kursi kecilnya sambil memeluk boneka saljunya.Dona mencondongkan badan dengan penuh kasih sayang."Sayang, apakah kursinya nyaman? Jika kurang nyaman, Mama akan meminta pramugari menggantinya."Jihan tersenyum manis. "Nyaman sekali, Mama. Aku suka sekali pesawat Mama."Dona mencium pipinya dua kali. “B"Bagus sekali kalau anak kesayangan Mama merasa nyaman."Ergan menatap itu semua sambil tersenyum lemah."Dona, kamu tampaknya akan mencium Jihan sampai pipinya memerah," ucap Ergan sambil terkekeh pelan.Dona menoleh sambil tersenyum kecil. "Mas, Jihan memang pantas mendapatkan kasih sayang sebanyak itu," jawab Dona.Jihan tertawa kecil. "Papa, Mama tadi cium aku banyak sekali," Jihan mengadu kepada Dona.Ergan mencondongkan tubuh ke arahnya. "Apa kamu suka?" tanya Ergan."Suka," jawab Jihan dengan bangga, membuat Dona mengusa
Hendrian kembali berbicara dengan nada resmi, "Nyonya, saya akan berangkat lebih dulu dengan tim pengawalan. Begitu tiba, saya pastikan semua perimeter villa dalam keadaan aman.""Pastikan juga kendaraan pengantar sudah siap di bandara Eropa," perintah Dona lagi. "Saya ingin dua konvoi besar. Satu untuk keluarga, satu untuk tim.""Siap, Nyonya."Jihan berlari kecil menghampiri Dona dan menarik ujung bajunya. "Mama… aku boleh bawa boneka saljuku tidak," tanya Jihan.Dona tersenyum dan mengelus rambut putrinya. "Tentu saja boleh, Sayang. Mama bahkan sudah menyiapkan koper khusus untuk mainanmu," jawab Dona."Yeay!" teriak Jihan senang sambil melompat kecil.Ergan terkekeh melihat tingkah anaknya. "Dua ratus pengawal, tiga asisten, satu sekretaris pribadi… dan satu putri kecil yang heboh karena boneka salju," ucapnya sambil menggeleng lucu.Dona ikut tertawa. "Itu sebabnya semua ini aku atur sedetail mungkin. Supaya aku bisa fokus jadi Mama, bukan sibuk urus yang lain," jawab Dona.
Dona menatap anaknya penuh kasih. "Sabar, Sayang. Kita akan berangkat sore ini. Sekarang kamu harus tidur siang supaya nanti tidak kelelahan," ucap Dona."Tapi aku tidak ngantuk," protes Jihan kecil.Ergan mendekat dan berjongkok di samping kursi anaknya. "Kalau kamu tidur sekarang, kamu akan bangun dengan semangat. Dan nanti kamu bisa duduk di dekat jendela pesawat seperti yang kamu mau."Mata Jihan langsung berbinar. "Benarkah, Papa?""Tentu saja," jawab Ergan tenang."Baiklah… aku akan tidur sekarang," seru Jihan lalu melompat dari kursi dengan semangat.Dona terkekeh kecil. "Kamu ini cepat sekali berubah.""Karena aku mau duduk dekat jendela pesawat," jawab Jihan polos.Para pegawai yang ada di ruang tengah ikut tersenyum melihat keceriaan itu. Dona berdiri lalu merapikan rambut anaknya. "Ayo, Mama antar ke kamar. Tidur siang yang nyenyak," ajak Dona."Baik, Ma," jawab Jihan.Ergan memperhatikan mereka berdua sambil menyandarkan punggungnya pada kursi. Ia menarik napas panjan
Ergan menunduk sedikit. "Dan kamu melakukannya dengan sangat baik."Jihan menyelesaikan sikat gigi dan berkumur. "Selesai," ucap Jihan.Dona mengeringkan tangan anaknya dengan handuk kecil. "Ayo kembali ke tempat tidur," pinta Dona.Mereka bertiga kembali ke kamar. Jihan naik ke tempat tidur dan merapikan selimutnya sendiri. "Mama, Papa, temani aku sebentar sebelum tidur, ya.""Tentu, Sayang," jawab Dona.Ergan duduk di tepi ranjang, Dona duduk di sisi lain. Lampu utama dimatikan, digantikan oleh lampu tidur kecil berbentuk bulan sabit yang menyinari kamar dengan lembut."Papa, terima kasih sudah makan malam bersama aku," ucap Jihan sambil memeluk bonekanya.Ergan menatap wajah kecil itu dengan penuh kasih. "Terima kasih juga sudah menjadi anak yang baik dan penurut, Sayang," jawab Ergan."Mama, terima kasih juga sudah buat aku bahagia," lanjut Jihan sambil menguap kecil.Dona membelai rambut anaknya dengan lembut. "Mama selalu ingin kamu bahagia, Sayang. Selalu," jawab Dona sam







