Share

BAB 3

Author: Ranisipenulis
last update Last Updated: 2025-07-07 09:52:57

"Jangan takut, Sayang, Papa di sini, Nak, Jihan tidak sendirian. Masih ada Papa yang akan selalu menemani Jihan, sampai Jihan tumbuh menjadi anak yang sukses," ucap Ergan dengan lembut, berusaha menenangkan anak perempuannya yang ketakutan oleh suara petir yang menggelegar.

Jihan memang sangat takut pada suara petir, tangisnya pecah, tubuh kecilnya gemetar hebat, bukan hanya karena rasa takut, tetapi juga karena dingin yang menusuk kulit. Ia tak mampu membalas ucapan ayahnya, hanya memeluk erat tubuh kekar itu, berusaha mencari rasa aman dan kehangatan dalam pelukan sang Papa.

"Kita mau ke mana, Pa?" tanya Jihan lirih di sela isaknya.

"Kita ke pos ronda dulu, Sayang, kita berteduh di sana sampai hujannya reda. Setelah itu, baru kita pergi dari sini," jawab Ergan dengan suara tenang, mencoba memberikan rasa nyaman kepada putrinya.

Jihan hanya mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa, Ergan pun melanjutkan langkahnya, berjalan perlahan sambil tetap menggendong Jihan. Di tengah perjalanan, ia sempat berpapasan dengan sebuah mobil sedan mewah yang melaju cepat menuju arah rumahnya, namun, Ergan tidak menoleh, ia tak punya waktu untuk memedulikan siapa yang datang di malam-malam seperti ini, apalagi di tengah hujan deras, ia bukan tipe orang yang mudah penasaran.

Di rumah...

Arga, Yuli, dan Naura sedang menikmati makan malam dengan penuh selera. Suasana di ruang makan tampak hangat, kontras dengan dinginnya hujan di luar sana.

"Aku benar-benar senang, Ma. Akhirnya orang bodoh itu pergi juga dari rumah ini," ucap Naura dengan nada puas, seraya menyendokkan makanan ke mulutnya.

"Apalagi Kakak...""Arga menghela napas panjang,

"Rasanya jauh lebih tenang tanpa kehadiran mereka. Tapi... ponsel Kakak hilang," wajahnya seketika berubah muram, jelas terlihat kekhawatiran yang mulai menyelimuti pikirannya.

"etelah makan, kita cari ponselmu, Nak. Jangan langsung berpikiran yang buruk, ya," ucap Yuli lembut, mencoba menenangkan anak sulungnya dan menanamkan sikap tenang di tengah situasi yang belum pasti.

"Aku sangat setuju dengan Mama, Kak," timpal Naura penuh semangat. "Semua pasti akan baik-baik saja. Kakak pasti menemukan ponselnya dalam waktu dekat."

Arga mengangguk pelan, meski wajahnya masih diliputi kecemasan.

"Baiklah, Naura... tapi Kakak benar-benar khawatir, di dalam ponsel itu ada data-data penting milik perusahaan. Kalau sampai hilang, Kakak bisa celaka... Dona Danendra dan seluruh keluarga besar Danendra tidak akan pernah memaafkan Kakak." Suaranya terdengar berat, dibayangi ketakutan akan kemungkinan terburuk.

Yuli menatap Arga dengan penuh keyakinan.

"Jangan berpikiran sejauh itu, Arga, percayalah, ponselmu akan ditemukan. Sekarang habiskan dulu makananmu. Setelah itu, kita cari bersama-sama, ya."

Pria itu hanya mengangguk pelan. Mereka bertiga kembali melanjutkan makan malam dengan tenang. Beberapa menit kemudian, santap malam selesai, dan kini mereka sibuk mencari keberadaan ponsel Arga di sekitar kamar pria itu.

Tokkk... tokkk... tokkk.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu utama tiga kali, jelas dan teratur, Yuli, Arga, dan Naura spontan menghentikan semua gerakan mereka. Sunyi mendadak menyelimuti ruangan.

"Siapa yang datang malam-malam begini?" tanya Naura dengan dahi berkerut, suara heran jelas terdengar.

"Entahlah... jangan-jangan pria tua itu dan anak sialan itu kembali?" sahut Arga curiga, matanya menatap tajam ke arah pintu.

Yuli menanggapinya dengan tenang, "Tidak mungkin. Mereka pasti sudah pergi jauh dari sini."

"Tapi bisa saja, Ma..." ujar Naura, masih belum yakin, matanya menatap ibunya dengan cemas.

Hening, tidak ada yang menjawab. Detik-detik berlalu dalam sunyi yang menegangkan, hingga suara ketukan kembali terdengar, kali ini dengan irama yang sama.

Tokkk... tokkk... tokkk.

"Mama..." Suara kecil Naura terdengar pelan namun penuh ketakutan, ia berjalan cepat ke arah ibunya, lalu memeluknya erat. "Jangan-jangan itu orang jahat. Aku takut..."

Yuli segera membalas pelukan putrinya dan mengusap punggungnya dengan lembut.

"Tenanglah, Sayang, itu bukan orang jahat. Kalau memang orang jahat, mereka pasti sudah masuk sejak tadi. Rumah kita terkunci rapat, tidak perlu takut, ya," ucap Yuli menenangkan, meskipun dalam hatinya sendiri mulai muncul rasa was-was.

"Ayo... kita buka pintunya," ajak Arga dengan suara pelan, namun tegas.

Meski bibirnya mengucapkan ajakan itu, di dalam hatinya, Arga sebenarnya merasakan ketakutan yang sama seperti adiknya, namu, rasa penasarannya jauh lebih besar daripada rasa takut yang menggelayuti pikirannya.

"Baiklah. Kamu jalan duluan, Mama dan adikmu akan mengikutimu dari belakang," ucap Yuli, berusaha menjaga ketenangannya di hadapan anak-anaknya.

Arga mengangguk singkat, lalu melangkah keluar dari kamar, Yuli dan Naura mengikuti dari belakang, langkah mereka pelan namun waspada, ketiganya bergerak menuju pintu utama rumah. Sesampainya di sana, Arga meraih kenop pintu, tangannya sedikit gemetar saat memutar kunci sebanyak dua kali, karena memang pintu itu dikunci rangkap.

Perlahan, dengan hati-hati, ia membuka gagang pintu dan menariknya ke arah dalam.

Sebuah kejutan langsung menyambutnya.

"Ibu Dona...?" ucap Arga nyaris berbisik, matanya membelalak melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.

Ya, sosok yang datang malam-malam di tengah hujan deras itu bukan lain adalah Dona Danendra, bos besar yang selama ini dihormatinya dan juga ditakutinya.

"Selamat malam, Pak Arga. Maaf jika saya mengganggu di tengah malam seperti ini, apalagi saat hujan deras turun," sapa Dona Danendra dengan nada lembut dan penuh wibawa.

"Sama sekali tidak, Bu Dona. Silakan masuk, nanti Anda bisa basah terkena air hujan," jawab Arga cepat, mempersilakan bosnya masuk dengan sopan dan sedikit gugup.

"Iya, Bu Dona. Ayo masuk, kita bisa mengobrol sambil menikmati teh hangat," sambut Yuli, mencoba terdengar ramah sambil menahan kegugupannya sendiri.

Saat Dona melangkah masuk ke dalam rumah, mata Yuli tak bisa lepas dari kilauan perhiasan yang dikenakan wanita itu, berlian murni berkilau di leher, menghiasi kedua telinga, membalut beberapa jari, dan melingkar anggun di pergelangan tangan kirinya, namun, bukan hanya itu, tas mewah yang menggantung di lengan kanan Dona langsung mencuri perhatian. Itu adalah tas keluaran terbaru dari merek Chanel, yang kabarnya hanya diproduksi 10 unit di seluruh dunia.

Yuli menelan ludah pelan. Ia adalah tipe wanita yang sangat menyukai kemewahan, perhiasan, barang-barang branded, dan tentu saja... uang.

Dan kini, semua itu berdiri tepat di hadapannya.

"Tidak perlu repot-repot, saya ke sini hanya ingin mengembalikan ponsel Pak Arga yang tertinggal di ruangan," ucap Dona sembari membuka tas mewahnya dan mengeluarkan sebuah ponsel.

Arga tampak terkejut, lalu menghela napas lega begitu melihat benda itu di tangan atasannya.

"Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Saya benar-benar takut kalau ponsel itu hilang, Bu. Mohon maaf atas kelalaian saya... tadi saya sangat khawatir," ujar Arga tulus, rasa lega tampak jelas di wajahnya.

"Tidak masalah, namanya juga manusia, apalagi dalam keadaan lelah. Kamu kan manajer di perusahaan saya, wajar kalau sesekali ada yang terlewat," jawab Dona sambil tersenyum hangat.

"Terima kasih atas pengertian Ibu, memang hari ini pekerjaan sangat menumpuk, saya sampai kewalahan. Untung saja saya dibantu oleh sekretaris pribadi saya, jadi beban kerjanya sedikit lebih ringan," jelas Arga, berusaha terdengar profesional meski nada suaranya masih menyisakan kelelahan.

Dona mengangguk pelan, menyimak dengan tatapan tajam, namun, bersahabat, seperti sedang menilai, sekaligus mempertimbangkan sesuatu dalam pikirannya.

"Terima kasih kembali atas kerja kerasmu untuk kemajuan perusahaan saya, Pak Arga. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, saya pamit pulang dulu, hujannya juga semakin deras," ucap Dona sambil melirik arlojinya, sebuah jam tangan Gucci yang berkilau elegan di pergelangan tangannya.

"Baik, Bu Dona. Hati-hati di jalan," jawab Arga sopan, menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk penghormatan.

"Terima kasih, Pak Arga. Mari, Ibu... dan adik cantik," kata Dona sambil melemparkan senyuman hangat ke arah Yuli dan Naura.

"Silakan, Bu Dona. Ya ampun... ternyata bosnya Arga bukan hanya cantik, tapi juga sopan sekali," puji Yuli tulus, namun, juga terdengar sedikit terpukau.

Dona tertawa kecil. "Hahaha, ibu terlalu berlebihan memuji saya. Kalau begitu, saya pamit sekarang, ya."

Ia membalikkan badan dengan anggun, lalu menerima payung yang dibuka oleh sopir pribadinya, dengan langkah tenang, Dona berjalan menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah. Begitu tiba, sang sopir segera membukakan pintu belakang dengan sigap, Dona masuk ke dalam mobil dengan penuh wibawa, lalu melipat kembali payungnya sebelum pintu ditutup.

Di dalam mobil, suasana berubah sunyi, Dona menatap keluar jendela yang tertutup embun, sebelum akhirnya berbisik pelan namun tegas, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

"Jadi... ini manajer yang dulu kukira begitu sopan pada orangtuanya dan keluarganya. Ternyata aku salah besar."

Tatapannya menajam. Wajahnya tetap tenang, namun dalam matanya tersimpan kekecewaan yang dalam, dan mungkin, awal dari sebuah keputusan besar.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 59

    "Saya bangga padamu, Dona. Meski sibuk memimpin perusahaan, kamu tetap menyempatkan diri untuk Jihan," ucap Ergan. Dona menoleh ke arah tumpukan hadiah di sudut ruangan. "Aku memang lelah, Mas, tapi setiap pulang dan melihat Jihan, semua rasa letih hilang. Senyumnya adalah kebahagiaan terbesar untukku," jawab Dona dengan jujur. Mata Ergan memanas. Ia menatap Jihan yang hampir terlelap. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Terima kasih, Dona, karena mencintai anak saya seperti anakmu sendiri," ucapnya pelan, tapi bisa di dengar oleh Dona. Dona menoleh perlahan, mengusap rambut putrinya dengan penuh kelembutan. "Mas, jangan pernah berkata seperti itu. Jihan adalah anak kita. Aku akan selalu menjaganya," jawab Dona. Ergan meraih tangan istrinya, menggenggam erat. "Saya benar-benar beruntung memiliki kamu, Dona," Ergan menatap dalam mata istrinya. Wanita itu tersenyum halus, menyandarkan kepala di bahunya sambil tetap memeluk Jihan. "Aku tidak meminta balasan apa pun, Mas. Ak

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 58

    Mobil hitam itu berhenti mulus di depan rumah besar bergaya modern, lampu-lampu taman menyinari jalan setapak, sementara udara malam membawa ketenangan. Begitu pintu mobil dibuka, Dona turun dengan anggun, diikuti Hendrian dan Mira yang membantu membawa kantong belanjaan. Di ruang keluarga, Jihan sedang duduk di karpet bermain dengan boneka kecil kesayangannya. Gadis mungil itu, belum genap lima tahun, mengenakan piyama warna ungu dengan pita kecil di dadanya, saat melihat pintu terbuka, matanya langsung berbinar. "Mamaaa!" serunya riang, berlari kecil menghampiri Dona. Dona merendahkan tubuhnya, membuka kedua lengannya. "Sayangnya Mama… kemari," pinta Dona Jihan langsung memeluk erat pinggang Dona, wanita itu menunduk, mencium puncak kepala putri kecil itu berkali-kali. Wangi khas anak-anak langsung memenuhi inderanya, ia menahan haru, lalu mengangkat tubuh Jihan ke dalam gendongannya. "Aduh, beratnya Jihan sekarang. Jangan-jangan sudah mau besar, ya?" Dona mencubit pipi chubb

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 57

    Dona meraih ponsel di atas meja. Ia menekan nomor yang sudah sangat familiar, nomor Hendrian. Tak lama, suara berat nan sopan terdengar dari seberang. "Selamat malam, Nyonya Dona," sapa Hendrian. "Selamat malam juga, Pak Hendrian, tolong siapkan mobil sekarang. Saya akan pulang," pinta Dona dengan suara tenang namun tegas. "Siap, Nyonya Dona, mobil sudah di basement. Saya akan menunggu di pintu utama gedung kantor dalam lima menit," jawab Hendrian. Dona terdiam sejenak, lalu menambahkan instruksi lain. "Dan satu hal lagi, tolong carikan toko mainan yang paling direkomendasikan malam ini. Saya ingin membeli hadiah spesial," pinta Dona lagi. Ada jeda sebentar sebelum suara Hendrian kembali. "Maaf jika saya lancang, Nyonya. Mainan itu untuk Nona Jihan ya?" tanya Hendrian dengan hati-hati Dona tersenyum tipis meski tak ada yang melihat. "Benar sekali, Pak Hendrian, itu untuk Jihan, saya ingin sesuatu yang benar-benar membuatnya senang. Bukan mainan biasa, cari yang terbaik, t

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 56

    Hari itu waktu seakan berlari, setelah briefing singkat dengan tim pengembangan produk di ruangannya, Dona kembali terbenam dalam tumpukan dokumen yang menanti di meja kerjanya. Angka-angka, laporan tren pasar, hingga evaluasi proyek-proyek lama silih berganti ia telaah. Sesekali ia menandai beberapa halaman dengan stabilo, lalu menuliskan catatan singkat yang harus ditindaklanjuti. Di sisi lain, Mira selalu sigap mendampingi. Sekretaris itu keluar-masuk ruangan, memastikan semua agenda berjalan sesuai rencana. "Bu Dona," ucap Mira pelan sambil mengetuk pintu. "Tim pemasaran sudah turun dari rapat barusan, mereka menitipkan ringkasan hasilnya. Apa Anda ingin saya bacakan sekarang?" tanya Mira. Dona mendongak dari layar laptopnya, menarik napas dalam. "Letakkan saja di meja, Mira, saya akan membacanya setelah ini. Pastikan semua data sudah tersaring, saya tidak ingin membaca laporan mentah," jawab Dona. "Baik, Bu Dona." Mira segera meletakkan map rapi berwarna biru tua di sisi k

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 55

    Di sisi kanan pintu masuk, Mira, sekretaris pribadinya yang setia, sudah menunggu, rambutnya tersisir rapi, pakaian formal yang dipakainya mencerminkan profesionalisme yang tak main-main. Senyumnya menyambut Dona hangat, meski matanya tetap penuh kewaspadaan, siap menghadapi hari yang panjang bersama CEO nya. "Selamat siang, Bu Dona," sapa Mira sambil menundukkan sedikit kepala. "Semua persiapan di lantai 15 sudah selesai. Saya akan menemani Bu Dona ke ruang kerja," lanjut Mira. Dona mengangguk ringan, memberi senyum tipis pada Mira. "Terima kasih, Mira. Hari ini sepertinya akan padat, tolong pastikan semua sudah siap," pinta Dona dengan wajah datar dan nada suara tegas. "Tentu, Bu Dona. Saya sudah menyiapkan ringkasan jadwal, dokumen penting, dan undangan rapat yang akan Bu Dona hadiri hari ini," jawab Mira sambil membuka tas kulit hitamnya, mengeluarkan beberapa map berwarna netral. Mereka mulai berjalan menuju lift utama yang mengarah ke lantai 15, selama perjalanan, Dona

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 54

    "Waktu kejadian itu," lanjut Dona, matanya berkaca-kaca."Aaku tidak berdiri di sana… aku melihatnya dari dalam mobilku, yang terparkir tak jauh dari rumahmu dulu, saat aku masih menjadi orang asing bagimu. Aku menyaksikan semuanya dengan jelas, dan aku tidak sendiri, Mas… Pak Hendrian, supir pribadiku sekaligus bodyguard yang paling kupercaya, juga melihat kejadian kejam itu."Wajah Dona tegang, suaranya penuh luka. "Kami berdua hanya bisa terpaku, hujan menutupi pandangan, tapi cukup jelas melihat bagaimana Mas dan Jihan kecilmu didorong tanpa belas kasihan. Dan yang membuatku semakin tidak percaya… aku juga melihat wajah Yuli, mantanmu, Mama kandung Jihan, tersenyum bahagia seolah ia menantikan saat itu."Ruangan mendadak hening. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar.Ergan menghela napas berat."Dona…"Dona menatap suaminya, air mata sudah menggenang. "Mas, bagaimana mungkin aku bisa melupakan semua itu? Aku berusaha kuat demi kamu, demi Jihan… tapi bayangan malam itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status