Dalam guyuran hujan yang membasahi malam, seorang ayah tua dan anak bungsunya berdiri menggigil di depan rumah yang pernah mereka sebut sebagai tempat berlindung. Namun, pintu itu kini tertutup rapat-diusir oleh darah dagingnya sendiri, putra sulung yang telah dewasa dan larut dalam ambisi serta gengsi. Tanpa disangka, peristiwa memilukan itu disaksikan oleh seorang wanita terpandang-atasan pria tersebut, yang kebetulan lewat di depan rumah. Kehadirannya mengejutkan sang putra, tetapi lebih dari itu, membuka tabir tentang siapa sebenarnya yang kehilangan arah: si miskin yang tersisih, atau si sukses yang lupa asal usul?
View MoreSeorang wanita berpenampilan elegan keluar dari ruang kerjanya dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Ia adalah Dona Danendra, CEO muda yang dikenal tidak hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena kecerdasan dan ketegasannya dalam memimpin.
Begitu sampai di meja sekretaris pribadinya, yang berada tepat di luar ruang kerjanya, Dona berhenti sejenak dan mengangkat sebuah ponsel dari atas meja. "Ini ponsel siapa?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh otoritas. Mira, sang sekretaris pribadi, sontak menoleh dan menatap ponsel yang kini berada di tangan atasannya. Matanya menyipit, memperhatikan detail ponsel itu dengan cermat, seolah tidak ingin salah menjawab. "Itu milik Pak Arga, Bu," jawab Mira setelah beberapa detik mengamati, suaranya mantap namun tetap sopan. Dona menatap ponsel itu sekali lagi, lalu menoleh kembali ke Mira. "Kamu yakin ini ponsel Pak Arga?" Mira mengangguk tegas. "Sangat yakin, Bu Dona, saya hafal casing dan wallpapernya. Itu pasti milik Pak Arga." Mendengar jawaban tersebut, Dona mengangguk kecil, lalu memasukkan ponsel itu ke dalam tas kerjanya yang berdesain klasik dan berkelas. "Baiklah,"ucapnya singkat sebelum berbalik. Mira kembali menunduk, fokus ke layar laptopnya, jemarinya mulai menari di atas keyboard, melanjutkan laporan yang sempat tertunda, sementara Dona melangkah pergi, membawa ponsel milik Arga yang tertinggal, dan mungkin... sesuatu yang lebih dari sekadar sebuah barang. "Ini sudah pukul delapan malam, Mira, lanjutkan saja besok. Hari ini tidak ada jadwal lembur, seharusnya kamu sudah pulang sejak jam empat sore. Kenapa masih di sini?" tanya Dona, memandang sekretaris pribadinya dengan tatapan heran namun lembut. Mira berhenti sejenak dari pekerjaannya, lalu menoleh dengan tenang. "Maaf, Bu. Saya hanya ingin pekerjaan untuk besok tidak terlalu menumpuk, siapa tahu nanti ada halangan yang tak terduga. Jadi, saya kerjakan sebagian malam ini, lagi pula, ini pekerjaan yang cukup detail. Kalau tidak dikerjakan dengan teliti, bisa saja ada data yang terlewat, dan dampaknya tentu tidak kecil." Dona terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis, ia benar-benar kagum dengan dedikasi Mira. Selama enam tahun bekerja sebagai sekretaris pribadinya, Mira tak pernah sekalipun membuatnya kecewa, justru sebaliknya, Dona selalu merasa puas dan terbantu dengan kinerja wanita itu. "Terima kasih, Mira, kamu memang sangat peduli dengan perusahaan ini, dan saya menghargai itu," ujar Dona tulus. "Tapi cukup untuk hari ini, sudahi pekerjaanmu dan pulanglah. Kamu juga butuh istirahat." Mira mengangguk patuh, meski dari sorot matanya terlihat bahwa ia masih ingin menyelesaikan beberapa hal. Namun, sebagai bawahan yang menghormati atasannya, ia memilih untuk menurut. "Baik, Bu Dona. Terima kasih," jawabnya sambil mulai menutup laptopnya dengan rapi. "Baik, Bu Dona, ini tinggal sedikit lagi. Setelah selesai, saya akan langsung pulang," ujar Mira sambil tersenyum sopan. Dona mengangguk."Baiklah, kalau begitu. Saya pulang terlebih dahulu, ya, selamat malam dan selamat beristirahat." "Selamat malam dan selamat beristirahat juga, Bu Dona. Hati-hati di jalan," jawab Mira sembari berdiri dari kursinya, ia membungkukkan badan dengan sopan selama tiga detik sebagai tanda hormat. "Terima kasih," balas Dona, tersenyum hangat sebelum melangkah pergi meninggalkan meja kerja sekretaris pribadinya. Mira memandangi punggung bosnya yang perlahan menghilang di balik lorong kantor yang mulai sepi. Setelah itu, ia kembali duduk dengan tenang, lalu melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi untuk diselesaikan. Suara hujan yang menetes di luar jendela menjadi satu-satunya irama yang menemani malamnya, di antara lampu kantor yang mulai meredup satu per satu. Mira menatap layar laptopnya yang kini hanya menampilkan beberapa lembar laporan terakhir. Di tengah kesunyian kantor, ia sempat melirik ke arah lorong tempat Bu Dona menghilang. Dengan suara lirih namun sarat kekaguman, ia berbisik pada dirinya sendiri, "Kapan ya Bu Dona menemukan pria yang benar-benar tulus mencintainya dan menerima kekurangannya? Usianya sudah 35 tahun... sudah sangat pantas menjadi seorang istri, tapi lihatlah, dia selalu tampak lelah mengurus perusahaan ini, belum lagi perusahaan-perusahaan lain milik keluarganya... Ya ampun, Bu Dona benar-benar luar biasa, kaya raya, cerdas, dan kuat... aku benar-benar beruntung bisa bekerja di sini." Ia menghela napas pelan, antara rasa kagum dan rasa tidak percaya masih menyelimuti pikirannya karena bisa berada di lingkungan sebesar itu. Di tempat lain. Terdengar suara tangis menyayat malam, berbeda jauh dari keheningan elegan di kantor Dona. "Aduh... Sakit! Ampun, Mama!" jerit seorang anak perempuan berusia lima tahun. Tubuh kecilnya gemetar menahan rasa sakit, air mata membasahi pipinya yang mulai memerah. "Kenapa kamu makan, hah? Siapa yang mengizinkanmu makan!? Dasar anak pembawa sial!" bentak sang ibu, seorang wanita berusia 42 tahun, dengan amarah membara. Tangannya masih terangkat, seolah belum puas melampiaskan kemarahan kepada bocah tak berdosa itu. Anak itu terisak keras, tubuh kecilnya meringkuk di sudut ruangan sempit yang dingin, berharap ada seseorang siapa saja yang akan datang menyelamatkannya dari rumah yang tidak pernah terasa seperti rumah. "Aku lapar, Ma... Maafkan aku... aku nggak akan mengulanginya lagi tanpa izin Mama," ucap gadis kecil itu dengan suara gemetar. Air mata membasahi pipinya. Tubuhnya yang mungil meringkuk, mencoba melindungi diri dari pukulan sang ibu. Namun, wanita itu tak menggubris. Amarah telah membutakan hatinya. Wajahnya memerah, dan tangannya terus terangkat memukul anak kandungnya sendiri anpa belas kasih sedikit pun. Ceklek... Tiba-tiba, suara pintu utama yang terbuka membuat suasana hening sejenak. Gadis kecil itu menoleh dengan lemah, matanya masih dipenuhi air mata, harapan kecil bersinar di matanya yang sendu. "Papa..." lirihnya pelan, penuh harap dan rasa sakit. Sebuah sosok pria berdiri di ambang pintu, matanya membelalak saat melihat kondisi putrinya yang memprihatinkan. "Jihan...!" Tanpa pikir panjang, pria itu langsung berlari ke arah anaknya, memeluk tubuh kecil itu dengan penuh kecemasan dan kepanikan. Rasa marah, sedih, dan terluka bercampur dalam tatapannya yang kini beralih tajam ke arah sang istri. Setibanya di hadapan putrinya, pria paruh baya berusia 45 tahun itu langsung merengkuh tubuh kecil Jihan yang tampak lemas dan tak berdaya. Ia menggendongnya erat, seolah berusaha melindunginya dari dunia yang kejam. "Apa yang kamu lakukan, Yuli!" suaranya gemetar, setengah menahan amarah. "Bagaimana bisa kamu tega memukuli anak kandungmu sendiri?" Wanita yang berdiri tak jauh dari mereka, Yuli, menatap sinis ke arah suaminya. Wajahnya masih dipenuhi kemarahan. "Heh! Pria bodoh tak berguna! Anak sialan itu makan tanpa izin! Berani-beraninya menyentuh makanan saya!" bentaknya tajam. Jihan menggeliat pelan di pelukan ayahnya, suaranya lemah, nyaris tak terdengar. "Papa... Sakit... Tubuh Jihan sakit sekali, Pa..." Pria itu menunduk, menatap wajah putrinya yang penuh luka dan air mata. Hatinya terasa diremas. "Tunjukkan, Sayang...Tunjukkan di mana yang sakit, Papa akan obati semuanya," ucapnya lirih, namun penuh ketulusan. Jihan menahan tangis, suaranya pecah di sela-sela isakan. "Seluruh tubuh Jihan sakit, Papa... semuanya... pedih sekali..." Tangisnya pun meledak, bersamaan dengan air mata sang ayah yang jatuh menetes di pipi anaknya. Di seberang ruangan, Yuli masih berdiri tanpa rasa bersalah, namun, di antara deru napas dan pelukan erat itu, seorang ayah dan anaknya tenggelam dalam luka yang tak hanya fisik, tapi juga batin, luka yang jauh lebih dalam daripada yang bisa terlihat oleh mata. Pria itu melangkah pelan menuju kursi, lalu duduk dengan penuh kehati-hatian, dengan lembut, ia mendudukkan Jihan di pangkuannya, tangan gemetar membuka pakaian kecil anak itu, dan seketika matanya membulat. Napasnya tercekat saat melihat tubuh mungil putrinya yang dipenuhi luka lebam berwarna merah keunguan. Ia menatap anak itu dengan penuh duka, air mata mulai mengalir di pipinya. "Yuli... kenapa kau tega melakukan ini pada Jihan? Dia anakmu... darah dagingmu sendiri," ucapnya dengan suara parau. "Kau memukulnya hingga tubuhnya penuh luka seperti ini. Dia masih kecil, Yuli... bahkan usianya belum genap lima tahun." Tangisnya pecah, ia memeluk Jihan erat, seolah mencoba melindungi gadis kecil itu dari dunia yang begitu kejam. Yuli hanya berdiri di ambang pintu, menatap suaminya dengan sorot mata dingin, nyaris tanpa empati. "Hah! Ergan Firmansyah, lelaki bodoh yang tak tahu diri! Jangan dramatis!" serunya sinis. "Anak itu darah dagingku? Omong kosong! Kau lupa, ya? Aku bahkan tidak menginginkan dia sejak awal!" Ia meraih selembar kertas di meja dan melemparkannya ke arah Ergan dengan kasar. "Aku ingin menggugurkannya saat masih dalam kandungan, tapi aku terlalu bodoh karena menuruti omonganmu, aku mempertahankannya, dan lihat akibatnya sekarang! Begitu dia lahir, semuanya berubah, hidup kita jadi berantakan! Kita jatuh miskin, Ergan! Dia memang pembawa sial!" Ergan memejamkan mata, tubuhnya bergetar karena marah dan sedih yang bercampur menjadi satu. Ia kembali menatap Jihan, lalu menatap Yuli dengan sorot mata yang tak lagi bisa menyembunyikan kepedihan. Pria itu bernama Ergan Firmansyah, suami dari Yuli, ia bekerja sebagai sopir angkot, pekerjaan yang dulunya tak pernah ia bayangkan akan dijalani, dahulu, kehidupan mereka cukup berkecukupan, bahkan bahagia, namun, semua berubah setelah kelahiran Jihan. Rentetan musibah datang bertubi-tubi, membuat ekonomi mereka terpuruk. Sejak saat itu, Yuli selalu menyalahkan Jihan. Baginya, anak kecil itu adalah penyebab kehancuran hidup mereka, sebuah "pembawa sial" yang tak pernah ia inginkan hadir di dunia. Tiba-tiba, selembar kertas putih terjatuh ke lantai, Ergan menunduk dan memungutnya dengan alis mengernyit. Bersambung..."Obatnya diminum dulu ya, Mas. Setelah itu langsung tidur," pinta Dona sambil menyiapkan obat untuk Jihan."Iya, Dona, saya juga sedang membaca dosis obatku, supaya tidak salah minum," jawab Ergan, matanya masih tertuju pada tulisan kecil di bungkus obat."Bagus, Sayang... Nah, ini untuk Jihan, diminum satu per satu ya," ujar Dona lembut, menyodorkan satu butir obat ke tangan mungil Jihan."Baik, Mama," jawab Jihan dengan patuh, lalu memasukkan obat ke dalam mulutnya, meneguk air dengan hati-hati.Dona tersenyum bangga melihat kepatuhan gadis kecil itu, hatinya hangat, lalu pandangannya beralih kepada Ergan yang kini juga sudah selesai minum obat. Pria itu berjalan mendekat dan duduk di sisi ranjang, tepat di samping Dona."Sudah minum semua, Nak?" tanya Ergan sambil menyentuh lembut bahu anaknya."Sudah, Papa. Tapi sekarang aku sangat mengantuk," ucap Jihan sambil menguap lebar, menutup mulutnya dengan tangan mungilnya.Dona tersenyum kecil. "Sekarang kalian tidur ya, ini sudah sanga
"Saya percaya pada kalian," ujar Dona, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja, diikuti oleh Ergan.Keempat bodyguard berjalan ke arah kamar tamu. Sementara itu, mereka mulai berbisik-bisik di antara mereka."Siapa pria itu, ya? Kekasihnya Nyonya Dona?" bisik salah satu dari mereka."Mungkin saja. Tapi kelihatannya dia duda," sahut yang lain."Dari mana kamu tahu?""Tadi Nyonya Dona menyuruh kita menemani anak kecil di dalam. Kalau itu anaknya, berarti dia memang duda," jelasnya."Masuk akal juga. Ayo kita temani gadis kecil itu. Kasihan kalau harus menunggu lama sendirian," ajak yang lain.Mereka bertiga mengangguk setuju, lalu berjalan bersama menuju kamar tamu. Sementara itu, di ruang kerja, Dona dan Ergan telah duduk berhadapan."Apa yang ingin Anda bicarakan, Nyonya?" tanya Ergan dengan nada serius.Dona menarik napas dalam sebelum berbicara."Pak Ergan, saya benar-benar terkejut melihat sikap Pak Arga, saya tak menyangka dia bisa sekejam itu terhadap Anda dan Jihan, saya
"Terima kasih, Nyonya. Saya… sungguh berterima kasih."Dona hanya membalas dengan senyum tenang, lalu kembali menatap ke arah Jihan yang sedang diperiksa. Suasana kamar itu hening sejenak, diisi hanya oleh suara peralatan medis dan hembusan nafas kekhawatiran yang perlahan mulai mencair menjadi harapan."Tidak apa-apa, Nyonya Dona, ini memang seharusnya saya lakukan. Sungguh… saya sangat beruntung bisa bertemu dengan Anda," ucap Ergan lirih, namun, penuh rasa hormat. Tatapannya menyorot kekaguman yang tulus.Dona sedikit tersenyum, menunduk sebentar lalu kembali menatap pria di hadapannya. "Pak Ergan terlalu berlebihan, saya ini hanya manusia biasa, sama seperti Anda. Tapi… ada satu hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda, tapi nanti saja, setelah Anda dan Jihan benar-benar merasa nyaman dan tenang.""Baik, Nyonya, sekali lagi… terima kasih karena sudah menyelamatkan saya dan Jihan," ucap Ergan, kali ini dengan suara lebih dalam, seolah menahan emosi. Ia tahu benar, jika malam ini
"Syukurlah kamu sudah sadar, Sayang. Kita ditolong oleh orang baik," ucap Ergan lembut, sembari mengusap rambut Jihan dengan penuh kasih sayang."Benarkah? Orang itu baik sekali, ya, Pa... Tapi aku takut, aku takut mereka akan menyakiti Papa... cukup aku saja yang disakiti, jangan Papa, aku... aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Papa," ujar Jihan dengan suara serak, namun, penuh kepedihan yang mendalam.Perkataan polos, namun, menyayat itu membuat Dona tak kuasa menahan air matanya. Tetes bening jatuh tanpa ia sadari, mengalir perlahan di pipinya."Gadis cantik..." ucap Dona dengan suara lembut dan penuh empati,"Saya tidak akan menyakiti kalian. Kamu istirahat dulu, ya, Nak, setelah sampai di tempat saya, kamu akan diperiksa oleh dokter.""Tidak perlu repot-repot, Nyonya, anak saya baik-baik saja. Dia hanya kedinginan sedikit..." Ergan menolak dengan sopan, merasa tak enak telah merepotkan orang yang baru saja dikenalnya.Namun, Dona segera menatap pria itu, kali ini dengan tatap
Ternyata, dari kejauhan, Dona dan supir pribadinya menyaksikan sendiri perbuatan Arga terhadap dua orang yang tak berdaya itu. Awalnya, Dona hanya ingin mengantar ponsel yang tertinggal, namun, saat melihat Arga mendorong dan mengusir mereka keluar rumah di tengah hujan deras, ia terdiam, terkejut dan kecewa, iaa belum mengetahui bahwa pria paruh baya dan gadis kecil yang diperlakukan kasar itu adalah ayah dan adik kandung Arga sendiri."Nyonya, kita langsung pulang ke mansion?" tanya sang supir sopan, sambil mulai menjalankan mobil perlahan.Ia memang terbiasa menanyakan tujuan, karena Dona kerap mampir ke beberapa tempat setelah pulang dari kantor.Dona menoleh, matanya masih menyiratkan rasa tidak percaya atas apa yang baru saja ia lihat."Tidak, kita cari dua orang yang tadi diusir oleh Pak Arga," ucapnya mantap."Mereka terlihat sangat kasihan, diperlakukan seperti itu di tengah cuaca yang buruk. Hujannya semakin deras, petir menyambar-nyambar, dan angin pun kencang, mereka bisa
"Jangan takut, Sayang, Papa di sini, Nak, Jihan tidak sendirian. Masih ada Papa yang akan selalu menemani Jihan, sampai Jihan tumbuh menjadi anak yang sukses," ucap Ergan dengan lembut, berusaha menenangkan anak perempuannya yang ketakutan oleh suara petir yang menggelegar.Jihan memang sangat takut pada suara petir, tangisnya pecah, tubuh kecilnya gemetar hebat, bukan hanya karena rasa takut, tetapi juga karena dingin yang menusuk kulit. Ia tak mampu membalas ucapan ayahnya, hanya memeluk erat tubuh kekar itu, berusaha mencari rasa aman dan kehangatan dalam pelukan sang Papa."Kita mau ke mana, Pa?" tanya Jihan lirih di sela isaknya."Kita ke pos ronda dulu, Sayang, kita berteduh di sana sampai hujannya reda. Setelah itu, baru kita pergi dari sini," jawab Ergan dengan suara tenang, mencoba memberikan rasa nyaman kepada putrinya.Jihan hanya mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa, Ergan pun melanjutkan langkahnya, berjalan perlahan sambil tetap menggendong Jihan. Di tengah perjalanan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments