Share

Menikahi Papa Karyawanku
Menikahi Papa Karyawanku
Author: Ranisipenulis

BAB 1

Author: Ranisipenulis
last update Last Updated: 2025-07-07 09:50:26

Seorang wanita berpenampilan elegan keluar dari ruang kerjanya dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Ia adalah Dona Danendra, CEO muda yang dikenal tidak hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena kecerdasan dan ketegasannya dalam memimpin.

Begitu sampai di meja sekretaris pribadinya, yang berada tepat di luar ruang kerjanya, Dona berhenti sejenak dan mengangkat sebuah ponsel dari atas meja.

"Ini ponsel siapa?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh otoritas.

Mira, sang sekretaris pribadi, sontak menoleh dan menatap ponsel yang kini berada di tangan atasannya. Matanya menyipit, memperhatikan detail ponsel itu dengan cermat, seolah tidak ingin salah menjawab.

"Itu milik Pak Arga, Bu," jawab Mira setelah beberapa detik mengamati, suaranya mantap namun tetap sopan.

Dona menatap ponsel itu sekali lagi, lalu menoleh kembali ke Mira. "Kamu yakin ini ponsel Pak Arga?"

Mira mengangguk tegas. "Sangat yakin, Bu Dona, saya hafal casing dan wallpapernya. Itu pasti milik Pak Arga."

Mendengar jawaban tersebut, Dona mengangguk kecil, lalu memasukkan ponsel itu ke dalam tas kerjanya yang berdesain klasik dan berkelas.

"Baiklah,"ucapnya singkat sebelum berbalik.

Mira kembali menunduk, fokus ke layar laptopnya, jemarinya mulai menari di atas keyboard, melanjutkan laporan yang sempat tertunda, sementara Dona melangkah pergi, membawa ponsel milik Arga yang tertinggal, dan mungkin... sesuatu yang lebih dari sekadar sebuah barang.

"Ini sudah pukul delapan malam, Mira, lanjutkan saja besok. Hari ini tidak ada jadwal lembur, seharusnya kamu sudah pulang sejak jam empat sore. Kenapa masih di sini?" tanya Dona, memandang sekretaris pribadinya dengan tatapan heran namun lembut.

Mira berhenti sejenak dari pekerjaannya, lalu menoleh dengan tenang.

"Maaf, Bu. Saya hanya ingin pekerjaan untuk besok tidak terlalu menumpuk, siapa tahu nanti ada halangan yang tak terduga. Jadi, saya kerjakan sebagian malam ini, lagi pula, ini pekerjaan yang cukup detail. Kalau tidak dikerjakan dengan teliti, bisa saja ada data yang terlewat, dan dampaknya tentu tidak kecil."

Dona terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis, ia benar-benar kagum dengan dedikasi Mira. Selama enam tahun bekerja sebagai sekretaris pribadinya, Mira tak pernah sekalipun membuatnya kecewa, justru sebaliknya, Dona selalu merasa puas dan terbantu dengan kinerja wanita itu.

"Terima kasih, Mira, kamu memang sangat peduli dengan perusahaan ini, dan saya menghargai itu," ujar Dona tulus.

"Tapi cukup untuk hari ini, sudahi pekerjaanmu dan pulanglah. Kamu juga butuh istirahat."

Mira mengangguk patuh, meski dari sorot matanya terlihat bahwa ia masih ingin menyelesaikan beberapa hal. Namun, sebagai bawahan yang menghormati atasannya, ia memilih untuk menurut.

"Baik, Bu Dona. Terima kasih," jawabnya sambil mulai menutup laptopnya dengan rapi.

"Baik, Bu Dona, ini tinggal sedikit lagi. Setelah selesai, saya akan langsung pulang," ujar Mira sambil tersenyum sopan.

Dona mengangguk."Baiklah, kalau begitu. Saya pulang terlebih dahulu, ya, selamat malam dan selamat beristirahat."

"Selamat malam dan selamat beristirahat juga, Bu Dona. Hati-hati di jalan," jawab Mira sembari berdiri dari kursinya, ia membungkukkan badan dengan sopan selama tiga detik sebagai tanda hormat.

"Terima kasih," balas Dona, tersenyum hangat sebelum melangkah pergi meninggalkan meja kerja sekretaris pribadinya.

Mira memandangi punggung bosnya yang perlahan menghilang di balik lorong kantor yang mulai sepi. Setelah itu, ia kembali duduk dengan tenang, lalu melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi untuk diselesaikan.

Suara hujan yang menetes di luar jendela menjadi satu-satunya irama yang menemani malamnya, di antara lampu kantor yang mulai meredup satu per satu.

Mira menatap layar laptopnya yang kini hanya menampilkan beberapa lembar laporan terakhir. Di tengah kesunyian kantor, ia sempat melirik ke arah lorong tempat Bu Dona menghilang.

Dengan suara lirih namun sarat kekaguman, ia berbisik pada dirinya sendiri,

"Kapan ya Bu Dona menemukan pria yang benar-benar tulus mencintainya dan menerima kekurangannya? Usianya sudah 35 tahun... sudah sangat pantas menjadi seorang istri, tapi lihatlah, dia selalu tampak lelah mengurus perusahaan ini, belum lagi perusahaan-perusahaan lain milik keluarganya... Ya ampun, Bu Dona benar-benar luar biasa, kaya raya, cerdas, dan kuat... aku benar-benar beruntung bisa bekerja di sini."

Ia menghela napas pelan, antara rasa kagum dan rasa tidak percaya masih menyelimuti pikirannya karena bisa berada di lingkungan sebesar itu.

Di tempat lain.

Terdengar suara tangis menyayat malam, berbeda jauh dari keheningan elegan di kantor Dona.

"Aduh... Sakit! Ampun, Mama!" jerit seorang anak perempuan berusia lima tahun.

Tubuh kecilnya gemetar menahan rasa sakit, air mata membasahi pipinya yang mulai memerah.

"Kenapa kamu makan, hah? Siapa yang mengizinkanmu makan!? Dasar anak pembawa sial!" bentak sang ibu, seorang wanita berusia 42 tahun, dengan amarah membara. Tangannya masih terangkat, seolah belum puas melampiaskan kemarahan kepada bocah tak berdosa itu.

Anak itu terisak keras, tubuh kecilnya meringkuk di sudut ruangan sempit yang dingin, berharap ada seseorang siapa saja yang akan datang menyelamatkannya dari rumah yang tidak pernah terasa seperti rumah.

"Aku lapar, Ma... Maafkan aku... aku nggak akan mengulanginya lagi tanpa izin Mama," ucap gadis kecil itu dengan suara gemetar.

Air mata membasahi pipinya. Tubuhnya yang mungil meringkuk, mencoba melindungi diri dari pukulan sang ibu.

Namun, wanita itu tak menggubris. Amarah telah membutakan hatinya. Wajahnya memerah, dan tangannya terus terangkat memukul anak kandungnya sendiri anpa belas kasih sedikit pun.

Ceklek...

Tiba-tiba, suara pintu utama yang terbuka membuat suasana hening sejenak.

Gadis kecil itu menoleh dengan lemah, matanya masih dipenuhi air mata, harapan kecil bersinar di matanya yang sendu.

"Papa..." lirihnya pelan, penuh harap dan rasa sakit.

Sebuah sosok pria berdiri di ambang pintu, matanya membelalak saat melihat kondisi putrinya yang memprihatinkan.

"Jihan...!"

Tanpa pikir panjang, pria itu langsung berlari ke arah anaknya, memeluk tubuh kecil itu dengan penuh kecemasan dan kepanikan. Rasa marah, sedih, dan terluka bercampur dalam tatapannya yang kini beralih tajam ke arah sang istri.

Setibanya di hadapan putrinya, pria paruh baya berusia 45 tahun itu langsung merengkuh tubuh kecil Jihan yang tampak lemas dan tak berdaya. Ia menggendongnya erat, seolah berusaha melindunginya dari dunia yang kejam.

"Apa yang kamu lakukan, Yuli!" suaranya gemetar, setengah menahan amarah.

"Bagaimana bisa kamu tega memukuli anak kandungmu sendiri?"

Wanita yang berdiri tak jauh dari mereka, Yuli, menatap sinis ke arah suaminya. Wajahnya masih dipenuhi kemarahan.

"Heh! Pria bodoh tak berguna! Anak sialan itu makan tanpa izin! Berani-beraninya menyentuh makanan saya!" bentaknya tajam.

Jihan menggeliat pelan di pelukan ayahnya, suaranya lemah, nyaris tak terdengar.

"Papa... Sakit... Tubuh Jihan sakit sekali, Pa..."

Pria itu menunduk, menatap wajah putrinya yang penuh luka dan air mata. Hatinya terasa diremas.

"Tunjukkan, Sayang...Tunjukkan di mana yang sakit, Papa akan obati semuanya," ucapnya lirih, namun penuh ketulusan.

Jihan menahan tangis, suaranya pecah di sela-sela isakan.

"Seluruh tubuh Jihan sakit, Papa... semuanya... pedih sekali..."

Tangisnya pun meledak, bersamaan dengan air mata sang ayah yang jatuh menetes di pipi anaknya.

Di seberang ruangan, Yuli masih berdiri tanpa rasa bersalah, namun, di antara deru napas dan pelukan erat itu, seorang ayah dan anaknya tenggelam dalam luka yang tak hanya fisik, tapi juga batin, luka yang jauh lebih dalam daripada yang bisa terlihat oleh mata.

Pria itu melangkah pelan menuju kursi, lalu duduk dengan penuh kehati-hatian, dengan lembut, ia mendudukkan Jihan di pangkuannya, tangan gemetar membuka pakaian kecil anak itu, dan seketika matanya membulat. Napasnya tercekat saat melihat tubuh mungil putrinya yang dipenuhi luka lebam berwarna merah keunguan.

Ia menatap anak itu dengan penuh duka, air mata mulai mengalir di pipinya.

"Yuli... kenapa kau tega melakukan ini pada Jihan? Dia anakmu... darah dagingmu sendiri," ucapnya dengan suara parau.

"Kau memukulnya hingga tubuhnya penuh luka seperti ini. Dia masih kecil, Yuli... bahkan usianya belum genap lima tahun."

Tangisnya pecah, ia memeluk Jihan erat, seolah mencoba melindungi gadis kecil itu dari dunia yang begitu kejam.

Yuli hanya berdiri di ambang pintu, menatap suaminya dengan sorot mata dingin, nyaris tanpa empati.

"Hah! Ergan Firmansyah, lelaki bodoh yang tak tahu diri! Jangan dramatis!" serunya sinis.

"Anak itu darah dagingku? Omong kosong! Kau lupa, ya? Aku bahkan tidak menginginkan dia sejak awal!"

Ia meraih selembar kertas di meja dan melemparkannya ke arah Ergan dengan kasar.

"Aku ingin menggugurkannya saat masih dalam kandungan, tapi aku terlalu bodoh karena menuruti omonganmu, aku mempertahankannya, dan lihat akibatnya sekarang! Begitu dia lahir, semuanya berubah, hidup kita jadi berantakan! Kita jatuh miskin, Ergan! Dia memang pembawa sial!"

Ergan memejamkan mata, tubuhnya bergetar karena marah dan sedih yang bercampur menjadi satu. Ia kembali menatap Jihan, lalu menatap Yuli dengan sorot mata yang tak lagi bisa menyembunyikan kepedihan.

Pria itu bernama Ergan Firmansyah, suami dari Yuli, ia bekerja sebagai sopir angkot, pekerjaan yang dulunya tak pernah ia bayangkan akan dijalani, dahulu, kehidupan mereka cukup berkecukupan, bahkan bahagia, namun, semua berubah setelah kelahiran Jihan. Rentetan musibah datang bertubi-tubi, membuat ekonomi mereka terpuruk.

Sejak saat itu, Yuli selalu menyalahkan Jihan. Baginya, anak kecil itu adalah penyebab kehancuran hidup mereka, sebuah "pembawa sial" yang tak pernah ia inginkan hadir di dunia.

Tiba-tiba, selembar kertas putih terjatuh ke lantai, Ergan menunduk dan memungutnya dengan alis mengernyit.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 75

    Baru saja ia hendak duduk, suara mobil berhenti keras di depan mansion. Dari arah luar, Cakra dan Hendrian langsung bergerak cepat ke pintu depan.Tak lama kemudian, suara langkah tergesa dan bentakan terdengar."Mana Dona?! Mana Ergan?!" suara Yuli terdengar keras, menggema di aula depan.Dona menegakkan tubuh, matanya langsung menatap Ergan."Mas... itu Yuli," ucap Dona"Saya sudah duga dia akan datang," ucap Ergan sambil menghela napas panjang.Pintu ruang tamu terbuka keras. Yuli berdiri di sana, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya merah padam menahan amarah. Di tangannya, selembar surat berkop polisi tergenggam erat."Ergan! Ini apa maksudnya! Kamu benar-benar melaporkan anakmu sendiri ke polisi!" bentaknya lantang sambil mengangkat surat itu. Ergan berdiri tenang, tapi sorot matanya tegas."Itu surat panggilan untuk Arga. Polisi yang kirim, bukan saya," jawab Ergan dengan nada sedikit tinggi."Jangan berbohong!" teriak Yuli lagi. "Kalau bukan karena laporan kalian, mana mun

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 74

    "Tentu saja. Tapi sekarang kamu tidur lagi ya, tubuh kamu masih sangat lelah, Sayang," jawab Ergan sambil tersenyum hangat.Jihan kembali berbaring, dan Dona menunduk mencium kening Jihan berkali-kali. "Mama sayang kamu," bisiknya pelan."Aku juga sayang Mama dan Papa," jawab Jihan lirih sebelum matanya kembali terpejam.Ergan menatap mereka dengan pandangan penuh kasih. "Dona, saya benar-benar bersyukur kamu kuat menghadapi ini," ucapnya pelan."Aku kuat karena aku tahu kamu selalu di sampingku, Mas. Kita berdua harus jadi tembok buat Jihan, dia butuh kita sekarang," jawab Dona sambil menatap suaminya.Ergan mengangguk mantap. "Saya akan pastikan Arga tidak mendekati Jihan sampai dia benar-benar sadar akan perbuatannya," ucap Ergan sambil mengangguk mantap.Dona menatap suaminya dalam diam, lalu berkata dengan nada tegas, "Besok pagi kita ke kantor polisi jam delapan, Mas, aku sudah siapkan semua bukti dan laporan dari pihak hotel. Mereka punya rekaman CCTV di aula pesta," ucap D

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 73

    "Mas," ucap Dona lembut sambil menatap Jihan yang masih tertidur di pelukan dan gendongannya. "Malam ini, biar Jihan tidur bersama kita saja. Aku tidak tenang kalau dia di kamarnya sendiri," ucap Dona.Ergan mendekat, menatap putrinya dengan wajah iba. "Saya setuju, Dona. Setelah apa yang dia alami, lebih baik Jihan tidak jauh dari kita malam ini," jawab Ergan setuju.Dona mengangguk, lalu perlahan mengelus rambut anaknya yang lembut. "Kasihan, Mas… tubuhnya masih lemah. Setiap kali aku menatap wajahnya, rasanya seperti melihat luka yang belum kering," ucap Dona yang menatap sendu ke arah anak kesayangannya itu.Ergan menatap istrinya dalam diam, lalu menepuk bahu Dona pelan. "Saya tahu, Dona, tapi sekarang yang paling penting, kita buat dia merasa aman. Tidak ada yang bisa menyentuhnya lagi di rumah ini," jawab Ergan.Dona tersenyum tipis. "Aku akan pastikan itu, Mas. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mendekatinya tanpa izin kita," ucap Dona dengan nada serius.Mereka berjalan

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 72

    Dona masih mendekap Jihan erat di pelukannya. Hidungnya menempel pada rambut lembut putrinya itu, berkali-kali mengecup kening dan pipi Jihan. "Sayang, kamu tidak sendiri, ada Mama, ada Papa. Kamu tidak perlu takut lagi, Sayang," ucap Dona.Air mata Jihan menetes lagi. "Mama… aku takut kalau Kak Arga marah lagi. Sakit sekali tadi, Mama," ucap Jihan dengan tubuh gemetar karena ketakutan.Dona menahan perih di dadanya, ia mengecup kedua pipi Jihan bergantian dengan penuh kasih sayang. "Tidak akan ada yang menyakitimu lagi. Mama janji," jawab Dona lalu memeluk Jihan lebih erat, seolah ingin menutupinya dari seluruh dunia.Ergan berdiri tidak jauh, menatap istri dan putrinya. Pandangannya dalam, campuran antara sedih dan marah. "Dona…" panggilnya pelan.Dona menoleh, matanya basah. "Mas… aku tidak mengerti. Kenapa Arga bisa setega itu sama Jihan? Dia kakaknya sendiri," ucap Dona yang masih tidak menyangka."Saya juga tidak mengerti. Tapi satu hal yang jelas, kita tidak bisa diam," ja

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 71

    Namun Dona menoleh dengan tatapan menusuk. "Arga." Suaranya merendah tapi dingin, membuat ruangan langsung hening. "Kamu sudah menampar anak kecil yang tak bersalah sampai pingsan di pesta ulang tahunnya sendiri. Kamu masih punya keberanian bicara di sini?"Arga terdiam, wajahnya makin memerah."Kalau kamu punya sisa harga diri, lebih baik diam sebelum saya benar-benar menuntutmu secara hukum," lanjut Dona.Suasana ruangan makin tegang. Para wartawan saling menatap, jelas mereka tak menyangka seorang wanita bisa berdiri begitu berani menghadapi keluarganya sendiri.Yuli, mama kandung Jihan, melangkah maju dengan wajah pucat pasi. "Bu Dona… tolong, jangan perbesar masalah ini. Arga hanya… hanya terpancing emosi," ucap Yuli.Dona menatap Yuli, kali ini dengan sorot mata tajam bercampur jijik. "Emosi? Menampar anak lima tahun sampai pingsan itu emosi? Jangan ajari saya membenarkan kekejaman, Bu Yuli," jawab Dona."Dia bukan siapa-siapa bagi saya!" seru Yuli tiba-tiba, suaranya mening

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 70

    Tanggal 4 Oktober 2025, hari ini terasa istimewa bagi Dona, putrinya, Jihan, baru saja menginjak usia lima tahun, wanita itu sudah menyiapkan pesta mewah di sebuah gedung elegan di pusat kota. Semua sudah diatur rapi, balon, dekorasi bunga, kue besar dengan lima lilin di atasnya. Namun, hanya satu hal yang ia sengaja rahasiakan, bahwa pesta ini sebenarnya ulang tahun Jihan.Pagi ini, Dona berbicara pada suaminya."Mas, tolong bawa Jihan datang lebih dulu. Katakan saja ada acara kantor. Aku menyusul nanti,,," ucap Dona dengan lembut, namun matanya menyimpan sesuatu yang belum diungkap.Ergan menatap bingung. "Baiklah, tapi kenapa saya dan Jihan harus lebih dulu?" tanya Ergan."Aku ingin memberi kejutan," jawab Dona singkat.Ergan mengangguk, lalu mengajak Jihan bersiap. Pakaian mereka sederhana. Ergan mengenakan kemeja polos biru muda dengan celana hitam, sementara Jihan memakai gaun putih sederhana yang pernah dipakainya beberapa kali.Sesampainya di gedung megah itu, musik sudah men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status