Masuk
Seorang wanita berpenampilan elegan keluar dari ruang kerjanya dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Ia adalah Dona Danendra, CEO muda yang dikenal tidak hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena kecerdasan dan ketegasannya dalam memimpin.
Begitu sampai di meja sekretaris pribadinya, yang berada tepat di luar ruang kerjanya, Dona berhenti sejenak dan mengangkat sebuah ponsel dari atas meja. "Ini ponsel siapa?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh otoritas. Mira, sang sekretaris pribadi, sontak menoleh dan menatap ponsel yang kini berada di tangan atasannya. Matanya menyipit, memperhatikan detail ponsel itu dengan cermat, seolah tidak ingin salah menjawab. "Itu milik Pak Arga, Bu," jawab Mira setelah beberapa detik mengamati, suaranya mantap namun tetap sopan. Dona menatap ponsel itu sekali lagi, lalu menoleh kembali ke Mira. "Kamu yakin ini ponsel Pak Arga?" Mira mengangguk tegas. "Sangat yakin, Bu Dona, saya hafal casing dan wallpapernya. Itu pasti milik Pak Arga." Mendengar jawaban tersebut, Dona mengangguk kecil, lalu memasukkan ponsel itu ke dalam tas kerjanya yang berdesain klasik dan berkelas. "Baiklah,"ucapnya singkat sebelum berbalik. Mira kembali menunduk, fokus ke layar laptopnya, jemarinya mulai menari di atas keyboard, melanjutkan laporan yang sempat tertunda, sementara Dona melangkah pergi, membawa ponsel milik Arga yang tertinggal, dan mungkin... sesuatu yang lebih dari sekadar sebuah barang. "Ini sudah pukul delapan malam, Mira, lanjutkan saja besok. Hari ini tidak ada jadwal lembur, seharusnya kamu sudah pulang sejak jam empat sore. Kenapa masih di sini?" tanya Dona, memandang sekretaris pribadinya dengan tatapan heran namun lembut. Mira berhenti sejenak dari pekerjaannya, lalu menoleh dengan tenang. "Maaf, Bu. Saya hanya ingin pekerjaan untuk besok tidak terlalu menumpuk, siapa tahu nanti ada halangan yang tak terduga. Jadi, saya kerjakan sebagian malam ini, lagi pula, ini pekerjaan yang cukup detail. Kalau tidak dikerjakan dengan teliti, bisa saja ada data yang terlewat, dan dampaknya tentu tidak kecil." Dona terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis, ia benar-benar kagum dengan dedikasi Mira. Selama enam tahun bekerja sebagai sekretaris pribadinya, Mira tak pernah sekalipun membuatnya kecewa, justru sebaliknya, Dona selalu merasa puas dan terbantu dengan kinerja wanita itu. "Terima kasih, Mira, kamu memang sangat peduli dengan perusahaan ini, dan saya menghargai itu," ujar Dona tulus. "Tapi cukup untuk hari ini, sudahi pekerjaanmu dan pulanglah. Kamu juga butuh istirahat." Mira mengangguk patuh, meski dari sorot matanya terlihat bahwa ia masih ingin menyelesaikan beberapa hal. Namun, sebagai bawahan yang menghormati atasannya, ia memilih untuk menurut. "Baik, Bu Dona. Terima kasih," jawabnya sambil mulai menutup laptopnya dengan rapi. "Baik, Bu Dona, ini tinggal sedikit lagi. Setelah selesai, saya akan langsung pulang," ujar Mira sambil tersenyum sopan. Dona mengangguk."Baiklah, kalau begitu. Saya pulang terlebih dahulu, ya, selamat malam dan selamat beristirahat." "Selamat malam dan selamat beristirahat juga, Bu Dona. Hati-hati di jalan," jawab Mira sembari berdiri dari kursinya, ia membungkukkan badan dengan sopan selama tiga detik sebagai tanda hormat. "Terima kasih," balas Dona, tersenyum hangat sebelum melangkah pergi meninggalkan meja kerja sekretaris pribadinya. Mira memandangi punggung bosnya yang perlahan menghilang di balik lorong kantor yang mulai sepi. Setelah itu, ia kembali duduk dengan tenang, lalu melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi untuk diselesaikan. Suara hujan yang menetes di luar jendela menjadi satu-satunya irama yang menemani malamnya, di antara lampu kantor yang mulai meredup satu per satu. Mira menatap layar laptopnya yang kini hanya menampilkan beberapa lembar laporan terakhir. Di tengah kesunyian kantor, ia sempat melirik ke arah lorong tempat Bu Dona menghilang. Dengan suara lirih namun sarat kekaguman, ia berbisik pada dirinya sendiri, "Kapan ya Bu Dona menemukan pria yang benar-benar tulus mencintainya dan menerima kekurangannya? Usianya sudah 35 tahun... sudah sangat pantas menjadi seorang istri, tapi lihatlah, dia selalu tampak lelah mengurus perusahaan ini, belum lagi perusahaan-perusahaan lain milik keluarganya... Ya ampun, Bu Dona benar-benar luar biasa, kaya raya, cerdas, dan kuat... aku benar-benar beruntung bisa bekerja di sini." Ia menghela napas pelan, antara rasa kagum dan rasa tidak percaya masih menyelimuti pikirannya karena bisa berada di lingkungan sebesar itu. Di tempat lain. Terdengar suara tangis menyayat malam, berbeda jauh dari keheningan elegan di kantor Dona. "Aduh... Sakit! Ampun, Mama!" jerit seorang anak perempuan berusia lima tahun. Tubuh kecilnya gemetar menahan rasa sakit, air mata membasahi pipinya yang mulai memerah. "Kenapa kamu makan, hah? Siapa yang mengizinkanmu makan!? Dasar anak pembawa sial!" bentak sang ibu, seorang wanita berusia 42 tahun, dengan amarah membara. Tangannya masih terangkat, seolah belum puas melampiaskan kemarahan kepada bocah tak berdosa itu. Anak itu terisak keras, tubuh kecilnya meringkuk di sudut ruangan sempit yang dingin, berharap ada seseorang siapa saja yang akan datang menyelamatkannya dari rumah yang tidak pernah terasa seperti rumah. "Aku lapar, Ma... Maafkan aku... aku nggak akan mengulanginya lagi tanpa izin Mama," ucap gadis kecil itu dengan suara gemetar. Air mata membasahi pipinya. Tubuhnya yang mungil meringkuk, mencoba melindungi diri dari pukulan sang ibu. Namun, wanita itu tak menggubris. Amarah telah membutakan hatinya. Wajahnya memerah, dan tangannya terus terangkat memukul anak kandungnya sendiri anpa belas kasih sedikit pun. Ceklek... Tiba-tiba, suara pintu utama yang terbuka membuat suasana hening sejenak. Gadis kecil itu menoleh dengan lemah, matanya masih dipenuhi air mata, harapan kecil bersinar di matanya yang sendu. "Papa..." lirihnya pelan, penuh harap dan rasa sakit. Sebuah sosok pria berdiri di ambang pintu, matanya membelalak saat melihat kondisi putrinya yang memprihatinkan. "Jihan...!" Tanpa pikir panjang, pria itu langsung berlari ke arah anaknya, memeluk tubuh kecil itu dengan penuh kecemasan dan kepanikan. Rasa marah, sedih, dan terluka bercampur dalam tatapannya yang kini beralih tajam ke arah sang istri. Setibanya di hadapan putrinya, pria paruh baya berusia 45 tahun itu langsung merengkuh tubuh kecil Jihan yang tampak lemas dan tak berdaya. Ia menggendongnya erat, seolah berusaha melindunginya dari dunia yang kejam. "Apa yang kamu lakukan, Yuli!" suaranya gemetar, setengah menahan amarah. "Bagaimana bisa kamu tega memukuli anak kandungmu sendiri?" Wanita yang berdiri tak jauh dari mereka, Yuli, menatap sinis ke arah suaminya. Wajahnya masih dipenuhi kemarahan. "Heh! Pria bodoh tak berguna! Anak sialan itu makan tanpa izin! Berani-beraninya menyentuh makanan saya!" bentaknya tajam. Jihan menggeliat pelan di pelukan ayahnya, suaranya lemah, nyaris tak terdengar. "Papa... Sakit... Tubuh Jihan sakit sekali, Pa..." Pria itu menunduk, menatap wajah putrinya yang penuh luka dan air mata. Hatinya terasa diremas. "Tunjukkan, Sayang...Tunjukkan di mana yang sakit, Papa akan obati semuanya," ucapnya lirih, namun penuh ketulusan. Jihan menahan tangis, suaranya pecah di sela-sela isakan. "Seluruh tubuh Jihan sakit, Papa... semuanya... pedih sekali..." Tangisnya pun meledak, bersamaan dengan air mata sang ayah yang jatuh menetes di pipi anaknya. Di seberang ruangan, Yuli masih berdiri tanpa rasa bersalah, namun, di antara deru napas dan pelukan erat itu, seorang ayah dan anaknya tenggelam dalam luka yang tak hanya fisik, tapi juga batin, luka yang jauh lebih dalam daripada yang bisa terlihat oleh mata. Pria itu melangkah pelan menuju kursi, lalu duduk dengan penuh kehati-hatian, dengan lembut, ia mendudukkan Jihan di pangkuannya, tangan gemetar membuka pakaian kecil anak itu, dan seketika matanya membulat. Napasnya tercekat saat melihat tubuh mungil putrinya yang dipenuhi luka lebam berwarna merah keunguan. Ia menatap anak itu dengan penuh duka, air mata mulai mengalir di pipinya. "Yuli... kenapa kau tega melakukan ini pada Jihan? Dia anakmu... darah dagingmu sendiri," ucapnya dengan suara parau. "Kau memukulnya hingga tubuhnya penuh luka seperti ini. Dia masih kecil, Yuli... bahkan usianya belum genap lima tahun." Tangisnya pecah, ia memeluk Jihan erat, seolah mencoba melindungi gadis kecil itu dari dunia yang begitu kejam. Yuli hanya berdiri di ambang pintu, menatap suaminya dengan sorot mata dingin, nyaris tanpa empati. "Hah! Ergan Firmansyah, lelaki bodoh yang tak tahu diri! Jangan dramatis!" serunya sinis. "Anak itu darah dagingku? Omong kosong! Kau lupa, ya? Aku bahkan tidak menginginkan dia sejak awal!" Ia meraih selembar kertas di meja dan melemparkannya ke arah Ergan dengan kasar. "Aku ingin menggugurkannya saat masih dalam kandungan, tapi aku terlalu bodoh karena menuruti omonganmu, aku mempertahankannya, dan lihat akibatnya sekarang! Begitu dia lahir, semuanya berubah, hidup kita jadi berantakan! Kita jatuh miskin, Ergan! Dia memang pembawa sial!" Ergan memejamkan mata, tubuhnya bergetar karena marah dan sedih yang bercampur menjadi satu. Ia kembali menatap Jihan, lalu menatap Yuli dengan sorot mata yang tak lagi bisa menyembunyikan kepedihan. Pria itu bernama Ergan Firmansyah, suami dari Yuli, ia bekerja sebagai sopir angkot, pekerjaan yang dulunya tak pernah ia bayangkan akan dijalani, dahulu, kehidupan mereka cukup berkecukupan, bahkan bahagia, namun, semua berubah setelah kelahiran Jihan. Rentetan musibah datang bertubi-tubi, membuat ekonomi mereka terpuruk. Sejak saat itu, Yuli selalu menyalahkan Jihan. Baginya, anak kecil itu adalah penyebab kehancuran hidup mereka, sebuah "pembawa sial" yang tak pernah ia inginkan hadir di dunia. Tiba-tiba, selembar kertas putih terjatuh ke lantai, Ergan menunduk dan memungutnya dengan alis mengernyit. Bersambung...Malam turun perlahan, lampu-lampu hangat di koridor villa menyala lembut. Salju yang turun tipis terlihat dari jendela besar kamar mandi suite Jihan. Dona menyiapkan air hangat di bathtub, meneteskan minyak esensial khusus anak yang beraroma lavender.Jihan berdiri di sampingnya sambil memegang boneka kecil."Mama, airnya hangat sekali. Aku boleh masuk sekarang?" tanya Jihan.Dona tersenyum lembut sambil menunduk sejajar dengan Jihan."Silakan, Sayang. Mama akan memandikan Jihan perlahan, agar Jihan nyaman," jawab Dona.Jihan masuk ke bathtub dan langsung tertawa kecil karena gelembung sabun menyentuh dagunya."Mama, baunya enak sekali," ucap Jihan."Mama memang memilihkan yang terbaik untukmu, Sayang. Kamu sudah banyak bergerak hari ini, pasti kamu lelah," Dona sambil menyiramkan air hangat pelan-pelan ke pundak Jihan."Sedikit… tapi aku senang, Mama," jawab Jihan.Dona mengusap rambut Jihan dengan hati-hati."Hari ini kamu sangat pintar. Besok Mama akan ajak Jihan melihat toko maina
Perjalanan Menuju VillaMobil meluncur pelan menyusuri jalan bersalju. Di sepanjang jalan, pohon-pohon pinus tinggi tertutup salju putih.Jihan menempelkan wajahnya ke jendela."Saljunya lucu, Mama. Seperti gula," ucap Jihan.Dona mengusap rambutnya."Kita bisa bermain nanti, Sayang. Mama akan ikut membuat boneka salju bersamamu," ucap Dona."Benarkah, Mama?""Tentu."Ergan memandangi pemandangan luar sambil berbicara perlahan."Saya tidak menyangka tempat ini akan seindah ini," ucap Ergan dengan kagum.Dona tersenyum bangga."Mas akan lebih terkejut lagi ketika melihat villa kita.""Villa?" tanya Ergan."Iya. Villa yang khusus aku bangun untuk musim dingin. Ada perapian besar, kamar tidur luas, dan taman yang sangat cantik," jelas Dona.Jihan menarik lengan Dona."Mama, di villanya ada tempat main salju?" tanya Jihan."Banyak, Sayang. Bahkan Mama siapkan seluncuran kecil untukmu," jawab Dona."Seluncuran?" mata Jihan langsung berbinar."Benar. Mama ingin ulang tahunmu tahun ini menja
Kabin pesawat pribadi itu tenang dan penuh aroma lavender lembut. Lampu ambient emas menciptakan suasana hangat seperti ruang keluarga mewah. Jihan duduk di kursi kecilnya sambil memeluk boneka saljunya.Dona mencondongkan badan dengan penuh kasih sayang."Sayang, apakah kursinya nyaman? Jika kurang nyaman, Mama akan meminta pramugari menggantinya."Jihan tersenyum manis. "Nyaman sekali, Mama. Aku suka sekali pesawat Mama."Dona mencium pipinya dua kali. “B"Bagus sekali kalau anak kesayangan Mama merasa nyaman."Ergan menatap itu semua sambil tersenyum lemah."Dona, kamu tampaknya akan mencium Jihan sampai pipinya memerah," ucap Ergan sambil terkekeh pelan.Dona menoleh sambil tersenyum kecil. "Mas, Jihan memang pantas mendapatkan kasih sayang sebanyak itu," jawab Dona.Jihan tertawa kecil. "Papa, Mama tadi cium aku banyak sekali," Jihan mengadu kepada Dona.Ergan mencondongkan tubuh ke arahnya. "Apa kamu suka?" tanya Ergan."Suka," jawab Jihan dengan bangga, membuat Dona mengusa
Hendrian kembali berbicara dengan nada resmi, "Nyonya, saya akan berangkat lebih dulu dengan tim pengawalan. Begitu tiba, saya pastikan semua perimeter villa dalam keadaan aman.""Pastikan juga kendaraan pengantar sudah siap di bandara Eropa," perintah Dona lagi. "Saya ingin dua konvoi besar. Satu untuk keluarga, satu untuk tim.""Siap, Nyonya."Jihan berlari kecil menghampiri Dona dan menarik ujung bajunya. "Mama… aku boleh bawa boneka saljuku tidak," tanya Jihan.Dona tersenyum dan mengelus rambut putrinya. "Tentu saja boleh, Sayang. Mama bahkan sudah menyiapkan koper khusus untuk mainanmu," jawab Dona."Yeay!" teriak Jihan senang sambil melompat kecil.Ergan terkekeh melihat tingkah anaknya. "Dua ratus pengawal, tiga asisten, satu sekretaris pribadi… dan satu putri kecil yang heboh karena boneka salju," ucapnya sambil menggeleng lucu.Dona ikut tertawa. "Itu sebabnya semua ini aku atur sedetail mungkin. Supaya aku bisa fokus jadi Mama, bukan sibuk urus yang lain," jawab Dona.
Dona menatap anaknya penuh kasih. "Sabar, Sayang. Kita akan berangkat sore ini. Sekarang kamu harus tidur siang supaya nanti tidak kelelahan," ucap Dona."Tapi aku tidak ngantuk," protes Jihan kecil.Ergan mendekat dan berjongkok di samping kursi anaknya. "Kalau kamu tidur sekarang, kamu akan bangun dengan semangat. Dan nanti kamu bisa duduk di dekat jendela pesawat seperti yang kamu mau."Mata Jihan langsung berbinar. "Benarkah, Papa?""Tentu saja," jawab Ergan tenang."Baiklah… aku akan tidur sekarang," seru Jihan lalu melompat dari kursi dengan semangat.Dona terkekeh kecil. "Kamu ini cepat sekali berubah.""Karena aku mau duduk dekat jendela pesawat," jawab Jihan polos.Para pegawai yang ada di ruang tengah ikut tersenyum melihat keceriaan itu. Dona berdiri lalu merapikan rambut anaknya. "Ayo, Mama antar ke kamar. Tidur siang yang nyenyak," ajak Dona."Baik, Ma," jawab Jihan.Ergan memperhatikan mereka berdua sambil menyandarkan punggungnya pada kursi. Ia menarik napas panjan
Ergan menunduk sedikit. "Dan kamu melakukannya dengan sangat baik."Jihan menyelesaikan sikat gigi dan berkumur. "Selesai," ucap Jihan.Dona mengeringkan tangan anaknya dengan handuk kecil. "Ayo kembali ke tempat tidur," pinta Dona.Mereka bertiga kembali ke kamar. Jihan naik ke tempat tidur dan merapikan selimutnya sendiri. "Mama, Papa, temani aku sebentar sebelum tidur, ya.""Tentu, Sayang," jawab Dona.Ergan duduk di tepi ranjang, Dona duduk di sisi lain. Lampu utama dimatikan, digantikan oleh lampu tidur kecil berbentuk bulan sabit yang menyinari kamar dengan lembut."Papa, terima kasih sudah makan malam bersama aku," ucap Jihan sambil memeluk bonekanya.Ergan menatap wajah kecil itu dengan penuh kasih. "Terima kasih juga sudah menjadi anak yang baik dan penurut, Sayang," jawab Ergan."Mama, terima kasih juga sudah buat aku bahagia," lanjut Jihan sambil menguap kecil.Dona membelai rambut anaknya dengan lembut. "Mama selalu ingin kamu bahagia, Sayang. Selalu," jawab Dona sam







