Keysha seketika terdiam. Kata-kata Arka menggantung di udara seperti kabut pekat yang sulit ditembus. Malam yang semula terasa begitu hangat seketika berubah menjadi dingin. Hujan di luar masih turun, tapi kini, yang lebih deras justru suara degup jantungnya sendiri."Alena... mengirim pesan padamu? tapi kenapa?" suaranya nyaris tak terdengar.Arka meletakkan ponsel nya di atas meja. "Baru saja. Aku juga sangat terkejut.""Apa... kamu sudah membaca semua pesannya?" Keysha menelan ludah.Arka mengangguk dengan pelan. "Hanya sebagian."Keysha menatap Arka, mencoba membaca ekspresi wajahnya, mencari sisa-sisa rindu atau luka yang mungkin masih tertinggal."Apa kamu masih terganggu dengan kehadirannya?"Arka menghela napas. "Aku tidak tahu, Keysha. Ini bukan karena aku masih menyimpan rasa pada Alena. Tapi karena aku tidak menyangka dia akan muncul... saat aku baru saja mulai merapikan hidupku lagi, bersamamu."Keysha menunduk, jari-jarinya memainkan ujung bantal di sampingnya. "Apa dia
Aroma kopi menyebar perlahan dari dapur yang biasanya sunyi. Keysha berdiri di depan mesin pembuat kopi, memakai apron putih dengan rambut yang diikat asal-asalan. Wajahnya masih menampakkan bekas kantuk, tapi juga ketenangan baru setelah melalui malam yang menguras emosi. Matanya memandangi tetesan kopi yang jatuh perlahan, sembari memikirkan ulang semua percakapan semalam.Arka masuk ke dapur tanpa suara, mengenakan kaus abu-abu polos dan celana panjang. Tak seperti sosok CEO dingin dengan setelan hitam seperti biasa. Kali ini, ia tampak seperti pria biasa—yang mungkin sedang belajar menjadi suami.“Pagi,” ucapnya lirih.Keysha menoleh sambil menyodorkan secangkir kopi. “Pagi. Kamu suka kopi hitam kan?”Arka mengangguk dan duduk di kursi bar dapur. “Iya. Tapi biasanya pahit.”Keysha menyeringai kecil. “Kadang, rasa pahit justru bikin kita sadar kalau yang manis itu bukan segalanya.”Mereka tertawa kecil. Hening setelahnya terasa berbeda. Tidak canggung, tapi nyaman. Seperti dua oran
Keysha duduk di sofa panjang yang berada di ruang tamu, mengenakan blouse putih sederhana yang di padukan dengan celana kain lembut. Di tangannya, segelas teh hangat yang kini sudah mulai mendingin, karena tidak dia sentuh dari tadi. Sejak mengirimkan surat nya itu lewat Dita, ia tidak tahu bagaimana reaksi yang akan di tunjukkan oleh Arka. Ia tidak berharap banyak—atau mungkin, ia terlalu takut Untuk sekedar berharap.Di tengah lamunan nya, tiba-tiba pintu rumah terbuka pelan. Arka masuk, dengan masih mengenakan jas yang masih rapi namun kini terlihat lebih longgar di tubuhnya, bahkan dasinya entah berada di mana. Pandangan Arka langsung menangkap sosok Keysha yang menoleh ke arahnya dari ruang tamu.“Kamu pulang lebih cepat dari biasanya,” ujar Keysha, mencoba terdengar tenang.Arka melepas jasnya, lalu meletakkannya di sofa, lalu duduk di seberangnya. Hening menyergap mereka beberapa detik, hingga akhirnya Arka bicara.“Aku sudah baca surat yang kau kirim.”Keysha menunduk. “Aku ha
Pagi hari ini, tepatnya di kantor Arka.Langit Jakarta masih berkabut saat mobil hitam mewah berhenti di depan gedung kaca yang menjulang tinggi: Alvaro Corp. Pintu dibukakan oleh sang sopir dengan cepat, dan dari dalam keluarlah sosok yang telah lama dikenal sebagai pria dingin, penuh wibawa, sekaligus ditakuti—Arka Alvaro.Dengan langkah cepat dan pasti, Arka memasuki lobi. Para staf menunduk hormat, dan suasana langsung berubah sunyi. Tak ada yang berani bercanda atau membuang waktu saat CEO mereka melintas.Di balik kaca transparan lift, Arka berdiri tegak, jas hitamnya membingkai tubuh tinggi dan tegasnya yang terlibat begitu sempurna. Tapi jika diperhatikan lebih dekat, mata itu… menyimpan beban yang berat. Sesuatu yang tidak diketahui oleh siapa pun di dalam gedung ini.Begitu sampai di lantai tertinggi, sekretarisnya, Dita, langsung menyambut dengan map di tangannya .“Pagi, Pak Arka. Agenda hari ini cukup padat. Rapat divisi finansial jam sembilan, lalu review akuisisi JamT
Malam harinya di balkon rumah Arka.Malam turun dengan lembut, membawa angin sejuk yang menari-nari di antara tirai balkon kamar utama. Di sanalah Keysha berdiri, bersandar pada pagar besi tempa, menatap lampu-lampu kota dari kejauhan. Pikirannya masih berkecamuk—tentang Bryan, tentang Arka, dan tentu saja tentang Alena.Sejak melihat nama Bryan di map kerja Arka, sesuatu di dalam dirinya berubah. Luka lama terbuka. Ia ingat malam terakhir bersama Alena, malam sebelum kakaknya menghilang. Wajah kakaknya terlihat pucat saat itu. Tapi Keysha mengira itu hanya karena sedang gugup menjelang pernikahan. Siapa sangka... di balik semua itu, ada rencana besar untuk kabur.Langkah kaki terdengar dari belakang. Arka mendekat, mengenakan piyama tipis yang memperlihatkan sedikit lekukan tubuhnya yang sempurna, dengan segala otot yang menghiasi badannya dan sembari memegang dua cangkir teh. Ia menyodorkan salah satunya ke arah Keysha.“Masih belum tidur?”Keysha mengambil cangkir itu dan menganggu
Pagi harinya, di ruang tamu rumah Arka.Keysha duduk di meja makan sendirian, mengaduk secangkir teh hangat yang tak kunjung ia minum. Rumah itu begitu sunyi, bahkan suara detik jam dinding pun terdengar jelas. Ia sudah beberapa hari tinggal bersama Arka, dan meski jarak di antara mereka secara fisik tidak jauh, namun secara emosional… masih sangat jauh.Suara langkah kaki pelan terdengar dari tangga. Arka muncul dengan kemeja biru langit, dengan lengan tergulung dan rambut sedikit berantakan. Ada sesuatu yang aneh pagi itu—raut wajahnya tampak lebih lembut, meski tetap terasa dingin.“Selamat pagi,” sapa Keysha lebih dulu.Arka hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia mengambil roti panggang di meja dan duduk di seberangnya.“Maaf soal sikap ku tadi malam,” ucap Keysha pelan.Arka menoleh. “Kenapa minta maaf?”“Karena aku menanyakan perasaanmu tentang Alena. Mungkin aku terlalu lancang.”Arka meletakkan gelasnya dan menatap Keysha dalam. “Justru aku menghargai itu. Karena kamu sudah bera