“Aku tidak mungkin menyembunyikan hal sebesar ini dari Papa,” keluh Kalila.
Seketika paras gadis itu semuram langit sore yang mengelam karena matahari nyaris bersembunyi di batas cakrawala. Tangannya masih sibuk mengaduk gelas padahal sejak tadi isinya telah tercampur sempurna. Sementara itu, kedua matanya menatap bingung Haiyan. Kolaborasi Chanyeol dan Winter menyanyikan Yours yang memenuhi restauran tidak mampu mengusir gelisah di hati Kalila.
Permintaan pria itu seperti ajakan kawin lari bagi Kalila. Dua puluh dua tahun lebih menginjakkan kaki di bumi, Kalila tidak pernah menyembunyikan apa pun dari papanya. Bahkan hanya bersitegang dengan Miranti atau tertinggal bus Trans Jogja bisa jadi bahan obrolan di meja makan atau saat duduk-duduk berdua. Kalila hampir tidak pernah melewatkan kesehariannya dari penglihatan dan telinga sang papa. Lalu, bagaimana mungkin ia bisa bermain petak umpet untuk urusan sebesar ini?
“Kamu pasti tahu gimana papamu.” Haiyan memecah sunyi. “Prof. Wisnu sangat konservatif.” Ia sedikit menjauhkan piring berisi spageti dengan saus carbonara dari hadapannya. Bukan karena tidak lagi berselera, melainkan karena urusan makan sepertinya harus ditunda dulu. Rupanya, Kalila tak seperti apa yang dipikirkannya selama ini. Rasa yang sama tidak lantas membuat Kalila serta merta setuju dengan idenya.
Kalila memasukkan seiris almond ke mulut dan mengunyahnya perlahan. Papanya memang memiliki pandangan kuno tentang hubungan pria dan wanita. Namun, Kalila tidak menemukan benang merah hal itu dengan permintaan Haiyan.
“Kalau Prof. Wisnu tahu aku melamarmu, beliau pasti ingin kita segera menikah. Padahal keluargaku, terutama Papa, masih belum setuju.”
Giliran sepotong tiramisu cokelat mengganti posisi kacang almond yang telah tergelincir ke lambung, meninggalkan jejak rasa manis ketika lapisan cokelatnya lumer di mulut. Kalila mencoba mencerna ucapan Haiyan. Saat berpikir keras, perut Kalila seperti mengembang dua kali lipat. Meski untuk itu, ia harus mengganti dengan bersepeda dua kali lebih jauh demi mengusir lemak yang terlanjur masuk.
“Bagaimana kalau keluarga Mas Haiyan tidak bisa menerimaku. Aku hanya putri dosen biasa, tidak ada darah biru dalam tubuhku.”
‘Soal itu kamu tidak perlu khawatir. Keluargaku open mind dan tidak konservatif. Papa tidak setuju karena aku belum cukup mapan dalam pandangannya. Papa khawatir, dengan keuanganku saat ini, aku tidak akan bisa memberi mahar yang layak dan menafkahi istri dan anak-anakku.”
Alasan yang masuk akal, batin Kalila. Ia bisa mengerti kekhawatiran orangtua Haiyan. Bukankah ekonomi sering jadi sebab putusnya ikatan pernikahan.
“Bagaimana kalau di antara kita ada yang tidak setia?”
Tiba-tiba Kalila teringat bubarnya banyak hubungan yang telah terjalin bertahun-tahun karena orang ketiga. Hati manusia siapa tahu. Kadang, kesetiaan dan penantian panjang bisa kalah dengan yang datang belakangan, tetapi intens bertemu.
“Aku akan setia.” Kalimat itu meluncur cepat dari bibir manis Haiyan.
Kalila mengganjur napas. Tatapan dan raut muka Haiyan menunjukkan kesungguhan. Hatinya mulai goyah.
“Please, La. Aku serius. Aku Cuma minta waktu satu sampai dua tahun, tidak lebih.” Haiyan mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi dari saku kemeja dan menyerahkannya pada Kalila. “Kutulis janjiku di sini. Simpan dan pegang kata-kataku.”
Dada Kalila berdebar hebat ketika membuka dan mengeja setiap kata yang tercetak dengan rapi. Janji Haiyan ditutup dengan puisi karya Sapardi Joko Damono.
“Aku akan bacakan puisi itu saat kita menikah.” Bibir Haiyan melengkung mencipta dua ceruk di ujungnya. “Kuharap kamu menerima tawaranku.”
Tepat ketika Ed Shareen selesai menyanyikan Perfect, Kalila mengiyakan permintaan Haiyan. Walaupun belum yakin mampu, ia berjanji dalam hati akan berusaha keras menjaga rahasia mereka.
Keping-keping kenangan itu memenuhi langit-langit kamar Kalila. Hatinya mendadak ngilu. Jangankan dua tahun, baru enam purnama Haiyan telah berpaling.
Kalila bangkit dan mengambil surat dari Haiyan lalu meremasnya hingga membentuk bulatan kecil. Kemudian, dia pergi ke halaman belakang dan membakar kertas itu. Dasar pembohong! Ia mengambil kerikil dan melemparnya ke arah dendrobium warisan sang mama. Lagi, Kalila memungut batu kecil. Kolam dari batu menjadi sasaran berikutnya. Andai ikan dan anggrek bisa bicara, mereka pasti akan berteriak-teriak kesakitan.
Gadis penggemar warna biru itu masih terus melempar kerikil ke sembarang arah demi meluapkan kesal dan kecewa yang bergumpal-gumpal di dada. Lemparannya terhenti ketika pot bayam Brazil hancur berantakan terkena batu.
Kalila terduduk lesu dengan kepala kosong. Ia menyelonjorkan kaki. Punggungnya sedikit membungkuk dan kedua tangannya bertumpu ke lutut. Meski belasan batu kecil telah melayang, tetapi kecewa dan amarah enggan pergi dari hati. Justru dada Kalila sakit dan sesak. Lalu, tangis Kalila pecah bersama dengan gerimis yang rebas ke tanah.
Kilatan petir dan gelegar guntur mengembalikan kemampuan otak Kalila. Aku harus ketemu Mas Haiyan secepatnya. Kalila bangkit dan berjalan cepat ke kamar. Diraihnya ponsel lalu mencoba menelepon Haiyan.
Tiga kali panggilan tanpa jawaban, Kalila menyerah. Mungkin Mas Haiyan sedang sibuk. Atau dia lagi meeting bareng Papa dan Bang Farhan?
“Mas, kapan kamu ada waktu? Aku pengen ketemu.” Kalila memutuskan untuk mengirim pesan W******p.
Semenit.
Dua menit.
Lima menit.
Centang abu.
“Aku tunggu jawabanmu, Mas. ASAP. Penting banget.”
Centang abu.
Merasa diabaikan, gumpalan rasa kesal di dada Kalila semakin besar. Ia bangkit dari ranjang kemudian melempar ponselnya ke atas kasur. Dihirupnya oksigen beraroma lavender dalam-dalam kemudian pergi ke dapur. Siapa tahu wangi bumbu dan suara-suara dari peralatan dapur yang saling beradu akan mengembalikan suasana hatinya.
Usai memasak, Kalila kembali menengok ponselnya, berharap ada balasan chat dari Haiyan. Namun, tanda centang pada pesannya belum berganti warnah. Kalila curiga, Haiyan sebenarnya tidak sedang sibuk, melainkan memang sengaja menghindar. Bisa jadi Haiyan menduga ia tahu dari Gea karena mereka berdua berteman.
Lelah menunggu jawaban, Kalila menyerah. Meski konsentrasinya tak lagi utuh, ia memutuskan untuk sejenak menepikan masalah dengan Haiyan dan mengerjakan tugas artikel dari salah satu perusahaan kosmetik. Menjadi blogger adalah pekerjaan sampingan Kalila selain sebagai jurnalis kampus dan pemain teater. Sang mama yang memperkenalkannya pada dunia tulis-menulis dan membawa Kalila pada kemapanan finansial. Setidaknya, ia memiliki cukup tabungan dan bisa dipergunakan sesekali untuk bersenang-senang tanpa merepotkan papanya.
Ponsel Kalila berkedip dan notifikasi pesan dari Haiyan masuk ketika ia mencoba mengecek W******p usai menulis artikel.
“Sorry, La. Sampai sebulan ke depan aku bakal sibuk banget.”
Balasan Haiyan merontokkan semangat yang sempat tumbuh di hati Kalila.
“Kerjaanku lagi numpuk. Kamu tahu, kan, Prof. Wisnu workholic dan kalau ngasih kerjaan nggak kira-kira.”
Helaan napas Kalila terasa berat. Ia mulai yakin jika dugaannya tepat. Haiyan memang sedang berusaha menghindar.
“Semua aku lakukan buatmu, La. Biar kita bisa cepet nikah.”
***
Kaivan tersenyum sinis. “Saya yakin Anda tidak ingin kehilangan Nona Miranti yang cantik. Tapi, saya hanya mau menukar nyawa Wisnu dengan gadis itu, bagaimana?” Kaivan berkata dengan tenang seolah pertukaran nyawa manusia tidak lebih dari tukar-menukar mainan. “Tentu saja saya akan menghabisinya setelah menikmati tubuhnya.” Kaivan menyeringa lalu tertawa. Ada yang menggelegak di tubuh Andromeda, tetapi ia berusaha menahan diri. Permainan sedang berada di puncak. Ia tidak akan terpancing. “Dan pastinya, bukan hanya saya yang akan menikmati tubuhnya. Orang-orang kepercayaan saya juga.” Kaivan melirik dua pengawal yang berdiri di dekat Andromeda. Lirikan yang kemudian dibalas dengan senyum menjijikkan. Andromeda terdiam sesaat. “Well, mau bagaimana lagi. Kalau memang itu syaratnya, saya setuju.” “Wow!” Kaivan bertepuk tangan. “Bravo! Jadi nyama Nona Miranti tak lebih berharga dari Wisnu?” Andromeda mengedikkan bahu. “Tolong bawa dia ke mari, Tuan. Saya ingin bertemu dengannya untuk
Bibir Andromeda melengkung lalu mendekati meja. Ia membungkuk lalu duduk bersila hingga tubuhnya dan Kaivan berada dalam satu garis lurus. Mulutnya masih terkatup rapat sementara otaknya sibuk menakar kekuatan Kaivan dan permainan yang mungkin disiapkannya. Baru saja tubuh Andromeda berada di atas tatami, dinding di samping kirinya tiba-tiba bergeser lalu dua lelaki tegap berjas dan berkacamata hitam keluar dari balik dinding dan berdiri dua meter di belakang Andromeda. “Saya kira kita akan bicara empat mata.” Tatap tajam Andromeda menerobos rongga mata Kaivan. “Rupanya Anda tak seberani yang saya kira. Anda tak lebih dari seekor kecoa.” Andromeda tersenyum meremehkan. Kai tertawa. “Ternyata benar kata orang, Anda polisi bermulut besar.” Pria itu berdecak. “Toh, Anda juga tidak datang sendiri, bukan?” Hiasan gantung di belakang Kaivan tiba-tiba tergulung. Dinding di belakangnya menjelma layar lebar yang memperlihatkan orang-orang Andromeda di sekitar rumah Kaivan. “Saya hitung, ada
“Kamu yakin negosiasi dengan Kaivan akan berhasil?” Farhan menatap lurus-lurus Andromeda. Seharian ini Farhan harus ikut Andromeda koordinasi terakhir dan simulasi beberapa rencana yang akan mereka lakukan dan itu membuat otak dan fisik Farhan sangat letih, lebih capek dari mengajar selama berjam-jam di depan kelas. Sorot mata pria itu meredup dan digelayuti kekhawatiran juga ketakutan. Musuh mereka bukan kaleng-kaleng, bukan penjahat kelas teri. Andromeda mengangguk yakin. Diseruputnya sisa kopi di dalam gelas. “Aku punya kartu As Kaivan dan Atmaveda grup. Dia tidak akan berkutik di depanku.” “Dia tidak sebodoh yang kamu kira, Da.” “Dia memang tidak bodoh. Tapi aku juga bukan polisi ingusan.” Andromeda menatap keluar jendela ruang kerjanya yang masih dibiarkan terbuka. Diambilnya pulpen dari kemeja kemudian memutar-mutarnya. “Aku pastikan, dia bertemu lawan sepadan.” Pandangan Andromeda kembali tertuju pada Farhan. “Kamu tidak perlu khawatir, Kawan. Semua sudah aku hitung.” Ia be
halo, hola, readers. Maaf baru update lagi. Kondisi kesehatan dan adanya projek lain membuat saya sedikit menunda waktu update. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti cerita ini. Salam hangat dari Farhan dan Kalila :-)***Pergi. Mendadak dada Kalila terasa sesak mendengar kata itu. Kepalanya tertunduk dan tangannya meremas tepi rok. Apa saat itu hampir tiba? Kenapa terburu-buru mengurus balik nama rumah dan mobil? Ia anak tunggal. Tidak akan terjadi konflik rebutan harta warisan dengan siapa pun. Tidak mungkin ia akan berebut dengan Farhan. Lagi pula, setahu Kalila harta Wisnu hanya rumah ini dan isinya. Pria itu lebih banyak bersedekah ketimbang menyimpan uang untuk diri dan keluarganya. Wisnu tidak pernah membeli sesuatu berlebih. Semua hanya seperlunya dan kalau benar-benar dibutuhkan. Wisnu tidak akan membeli barang baru jika yang lama masih bisa dipakai. Seandainya ia membeli barang baru, maka barang lama akan ia berikan pada orang lain. First in first out. Begitu prinsipn
Selepas salat Asar, Farhan melajukan Expander menuju makam. Tanah pekuburan itu sebenarnya terletak di belakang kompleks, tetapi untuk memasukinya harus memutar keluar dulu dari gerbang kompleks kemudian belok kiri memasuki jalan kampung di pertigaan pertama setelah pintu keluar kompleks. Makam itu digunakan oleh warga dua kompleks perumahan dan penduduk di pemukiman belakang kompleks sehingga pintu masuknya berada di depan jalan yang bisa dilewati warga dari ketiga wilayah itu. Sebelum ke makam, Kalila meminta Farhan ke florist yang letaknya lima ratus meter dari pertigaan di mana mereka akan berbelok. "Mama paling suka kalau aku ajak jalan sore-sore." Suara Wisnu terdengar renyah dan hangat. Bibirnya tidak henti menyunggingkan senyum seolah ia benar-benar akan bertemu sang istri yang telah lama terpisah jarak. Farhan menoleh, tersenyum kemudian kembali menatap jalanan. Ia bisa merasakan kegembiraan Wisnu. Andai bisa, dia pun akan mengunjungi makam Mamak dan Bapak sesering mungk
Ucapan Wisnu memaku tubuh Kalila. Seperti ada dua tangan yang tiba-tiba keluar dari lantai kemudian memegang erat kakinya sehingga tidak bisa melangkah. Main? Aku main? Dari mana Papa mendapat kata itu? Apakah Bang Farhan telah mengadu pada Papa dan menyebut main setiap kali aku keluar rumah? “Lila nggak pernah pergi main atau nongkrong, Pa.” Kalila menggeser sedikit tubuhnya kemudian duduk di kursi, agak jauh dari Wisnu. Ditatapnya paras sang papa dengan pandangan tak terima. Memang, kadang sepulang meliput, wawancara, atau mengambil foto, ia mampir ke kafe. Biasanya ia akan membuat janji dengan Miranti dan mereka akan mengobrol. Namun, bukan itu tujuan kepergiannya. Apalagi setelah menikah. Jangankan main, hanya ke kampus atau ke kosan Miranti saja Farhan sudah sangat rewel. “Syukurlah kalau kamu tidak melakukannya.” Wisnu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia tahu, Kalila masih ingin bebas. Ia khawatir Kalila melupakan kewajibannya sebagai istri karena terlalu asyik dengan Mir
Farhan membiarkan Andromeda pergi tanpa mengantarnya sampai keluar rumah. Kepalanya terlalu penuh dengan berbagai lintasan pikiran dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Ia memilih menyalakan laptop dan membuka data bisnis gelap keluarga Atmaveda. Sampai saat ini ia masih tak habis pikir, dari kota yang katanya paling nyaman dan ngangeni ini, hidup bos mafia yang puluhan tahun menjalankan bisnis ilegal tanpa tersentuh hukum. “Kaivan dan Airlangga tetap akan kami seret ke penjara. Tapi kamu tahu, mereka sangat rapi dalam menyembunyikan kejahatan. Tidak akan mudah membekuk mereka, Kawan.” Ucapan Andromeda kembali terngiang di kepala. Waktu itu, Farhan keberatan jika harus bernegosiasi dengan Kaivan karena itu artinya, ia menukar bukti kejahatan Kaivan dengan nyawanya. Setelah negosiasi, ia dan Wisnu harus diam padahal mereka tahu ada kejahatan besar sedang berlangsung. Farhan tidak bisa membayangkan kehidupan macam apa yang akan dijalaninya ketika harus menyembu
Andromeda menatap sengit Farhan sebelum kembali melihat ke arah halaman. “Coba ingat baik-baik, apa ada kata membunuh dalam kalimatku? Apa aku memintamu membunuh anak Kaivan?” Andromeda menekan earpiece di telinga kanannya. Dialihkannya perhatian pada Farhan. “Tuhan memberi otakmu, tolong dipakai untuk mikir yang bener, bukan cuma mikirin Kalila.” “Sial!” Farhan meraih dan mencengkeram kedua lengan Andromeda. Lantas, salah satu kakinya maju ke depan, lalu ia berbalik dan sedikit membungkuk. Diangkatnya tubuh Andromeda dan membantingnya ke lantai perpustakaan yang beralas permadani dari Iran. “Kutu kupret busuk!” Andromeda meringis seraya berusaha bangun. Ia tidak menduga kalau Farhan akan semarah itu. Dielusnya bagian punggung yang sedikit ngilu. “Aku akan balas nanti setelah kamu benar-benar sembuh.” Dilayangkannya tinju ke wajah Farhan yang dengan tangkas berhasil ditangkis pria itu. “Ingat, aku mengalah, bukan kalah!” ujarnya geram. “Berhenti mengejekku atau aku akan melakukan
Farhan terbangun karena dering tak biasa terdengar dari ponselnya. Sebelum bangun, ia menoleh. Kalila masih pulas, tidur dengan kepala di atas lengan Farhan. Dengan hati-hati Farhan mengangkat kepala Kalila agar ia bisa menarik tangannya kemudian meletakkan kembali di atas bantal. Menyibak selimut, Farhan turun cepat-cepat dari ranjang, mengambil ponsel yang ia simpan di atas rak seraya melirik jam dinding. Jam dua dinihari. Sepagi ini sahabatnya sudah menghubungi. "Seperti tidak ada waktu lain saja." Farhan bergumam pelan sambil mengacak rambut. Kumbang JantanSiap-siap rencana kedua.Jam sembilan aku ke rumahmu. Berdiri di samping rak, perhatian Farhan masih tertuju pada layar ponsel meski pesan yang baru saja ia baca sudah dihapus. Hari ini ia berencana menyusun rencana penelitian untuk diajukan ke Dikti dan PIMNAS. Ada beberapa tema penelitian yang sudah lama mampir di kepalanya dan Farhan berharap tahun ini ada salah satu dari tema-tema itu yang bisa ia mulai. Namun, panggila