Share

Bab 5: Seperti Ajakan Kawin Lari

“Aku tidak mungkin menyembunyikan hal sebesar ini dari Papa,” keluh Kalila. 

Seketika paras gadis itu semuram langit sore yang mengelam karena matahari nyaris bersembunyi di batas cakrawala. Tangannya masih sibuk mengaduk gelas padahal sejak tadi isinya telah tercampur sempurna. Sementara itu, kedua matanya menatap bingung Haiyan. Kolaborasi Chanyeol dan Winter menyanyikan Yours yang memenuhi restauran tidak mampu mengusir gelisah di hati Kalila.  

Permintaan pria itu seperti ajakan kawin lari bagi Kalila. Dua puluh dua tahun lebih menginjakkan kaki di bumi, Kalila tidak pernah menyembunyikan apa pun dari papanya. Bahkan hanya bersitegang dengan Miranti atau tertinggal bus Trans Jogja bisa jadi bahan obrolan di meja makan atau saat duduk-duduk berdua. Kalila hampir tidak pernah melewatkan kesehariannya dari penglihatan dan telinga sang papa. Lalu, bagaimana mungkin ia bisa bermain petak umpet untuk urusan sebesar ini? 

“Kamu pasti tahu gimana papamu.” Haiyan memecah sunyi. “Prof. Wisnu sangat konservatif.” Ia sedikit menjauhkan piring berisi spageti dengan saus carbonara dari hadapannya. Bukan karena tidak lagi berselera, melainkan karena urusan makan sepertinya harus ditunda dulu. Rupanya, Kalila tak seperti apa yang dipikirkannya selama ini. Rasa yang sama tidak lantas membuat Kalila serta merta setuju dengan idenya. 

Kalila memasukkan seiris almond ke mulut dan mengunyahnya perlahan. Papanya memang memiliki pandangan kuno tentang hubungan pria dan wanita. Namun, Kalila tidak menemukan benang merah hal itu dengan permintaan Haiyan. 

“Kalau Prof. Wisnu tahu aku melamarmu, beliau pasti ingin kita segera menikah. Padahal keluargaku, terutama Papa, masih belum setuju.” 

Giliran sepotong tiramisu cokelat mengganti posisi kacang almond yang telah tergelincir ke lambung, meninggalkan jejak rasa manis ketika lapisan cokelatnya lumer di mulut. Kalila mencoba mencerna ucapan Haiyan. Saat berpikir keras, perut Kalila seperti mengembang dua kali lipat. Meski untuk itu, ia harus mengganti dengan bersepeda dua kali lebih jauh demi mengusir lemak yang terlanjur masuk.

“Bagaimana kalau keluarga Mas Haiyan tidak bisa menerimaku. Aku hanya putri dosen biasa, tidak ada darah biru dalam tubuhku.” 

‘Soal itu kamu tidak perlu khawatir. Keluargaku open mind dan tidak konservatif. Papa tidak setuju karena aku belum cukup mapan dalam pandangannya. Papa khawatir, dengan keuanganku saat ini, aku tidak akan bisa memberi mahar yang layak dan menafkahi istri dan anak-anakku.” 

Alasan yang masuk akal, batin Kalila. Ia bisa mengerti kekhawatiran orangtua Haiyan. Bukankah ekonomi sering jadi sebab putusnya ikatan pernikahan. 

“Bagaimana kalau di antara kita ada yang tidak setia?” 

Tiba-tiba Kalila teringat bubarnya banyak hubungan yang telah terjalin bertahun-tahun karena orang ketiga. Hati manusia siapa tahu. Kadang, kesetiaan dan penantian panjang bisa kalah dengan yang datang belakangan, tetapi intens bertemu. 

“Aku akan setia.” Kalimat itu meluncur cepat dari bibir manis Haiyan. 

Kalila mengganjur napas. Tatapan dan raut muka Haiyan menunjukkan kesungguhan. Hatinya mulai goyah. 

Please, La. Aku serius. Aku Cuma minta waktu satu sampai dua tahun, tidak lebih.” Haiyan mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi dari saku kemeja dan menyerahkannya pada Kalila. “Kutulis janjiku di sini. Simpan dan pegang kata-kataku.” 

Dada Kalila berdebar hebat ketika membuka dan mengeja setiap kata yang tercetak dengan rapi. Janji Haiyan ditutup dengan puisi karya Sapardi Joko Damono. 

“Aku akan bacakan puisi itu saat kita menikah.” Bibir Haiyan melengkung mencipta dua ceruk di ujungnya. “Kuharap kamu menerima tawaranku.” 

Tepat ketika Ed Shareen selesai menyanyikan Perfect, Kalila mengiyakan permintaan Haiyan. Walaupun belum yakin mampu, ia berjanji dalam hati akan berusaha keras menjaga rahasia mereka. 

Keping-keping kenangan itu memenuhi langit-langit kamar Kalila. Hatinya mendadak ngilu. Jangankan dua tahun, baru enam purnama Haiyan telah berpaling. 

Kalila bangkit dan mengambil surat dari Haiyan lalu meremasnya hingga membentuk bulatan kecil. Kemudian, dia pergi ke halaman belakang dan membakar kertas itu. Dasar pembohong! Ia mengambil kerikil dan melemparnya ke arah dendrobium warisan sang mama. Lagi, Kalila memungut batu kecil. Kolam dari batu menjadi sasaran berikutnya. Andai ikan dan anggrek bisa bicara, mereka pasti akan berteriak-teriak kesakitan. 

Gadis penggemar warna biru itu masih terus melempar kerikil ke sembarang arah demi meluapkan kesal dan kecewa yang bergumpal-gumpal di dada. Lemparannya terhenti ketika pot bayam Brazil hancur berantakan terkena batu. 

Kalila terduduk lesu  dengan kepala kosong. Ia menyelonjorkan kaki. Punggungnya sedikit membungkuk dan kedua tangannya bertumpu ke lutut. Meski belasan batu kecil telah melayang, tetapi kecewa dan amarah enggan pergi dari hati. Justru dada Kalila sakit dan sesak. Lalu, tangis Kalila pecah bersama dengan gerimis yang rebas ke tanah. 

Kilatan petir dan gelegar guntur mengembalikan kemampuan otak Kalila. Aku harus ketemu Mas Haiyan secepatnya. Kalila bangkit dan berjalan cepat ke kamar. Diraihnya ponsel lalu mencoba menelepon Haiyan. 

Tiga kali panggilan tanpa jawaban, Kalila menyerah. Mungkin Mas Haiyan sedang sibukAtau dia lagi meeting bareng Papa dan Bang Farhan

“Mas, kapan kamu ada waktu? Aku pengen ketemu.” Kalila memutuskan untuk mengirim pesan W******p.

Semenit.

Dua menit.

Lima menit. 

Centang abu. 

“Aku tunggu jawabanmu, Mas. ASAP. Penting banget.” 

Centang abu. 

Merasa diabaikan, gumpalan rasa kesal di dada Kalila semakin besar. Ia bangkit dari ranjang kemudian melempar ponselnya ke atas kasur. Dihirupnya oksigen beraroma lavender dalam-dalam kemudian pergi ke dapur. Siapa tahu wangi bumbu dan suara-suara dari peralatan dapur yang saling beradu akan mengembalikan suasana hatinya. 

Usai memasak, Kalila kembali menengok ponselnya, berharap ada balasan chat  dari Haiyan. Namun, tanda centang pada pesannya belum berganti warnah. Kalila curiga, Haiyan sebenarnya tidak sedang sibuk, melainkan memang sengaja menghindar. Bisa jadi Haiyan menduga ia tahu dari Gea karena mereka berdua berteman. 

Lelah menunggu jawaban, Kalila menyerah. Meski konsentrasinya tak lagi utuh, ia memutuskan untuk sejenak menepikan masalah dengan Haiyan dan mengerjakan tugas artikel dari salah satu perusahaan kosmetik. Menjadi blogger adalah pekerjaan sampingan Kalila selain sebagai jurnalis kampus dan pemain teater. Sang mama yang memperkenalkannya pada dunia tulis-menulis dan membawa Kalila pada kemapanan finansial. Setidaknya, ia memiliki cukup tabungan dan bisa dipergunakan sesekali untuk bersenang-senang tanpa merepotkan papanya. 

Ponsel Kalila berkedip dan notifikasi pesan dari Haiyan masuk ketika ia mencoba mengecek W******p usai menulis artikel.

Sorry, La. Sampai sebulan ke depan aku bakal sibuk banget.” 

Balasan Haiyan merontokkan semangat yang sempat tumbuh di hati Kalila. 

“Kerjaanku lagi numpuk. Kamu tahu, kan, Prof. Wisnu workholic dan kalau ngasih kerjaan nggak kira-kira.” 

Helaan napas Kalila terasa berat. Ia mulai yakin jika dugaannya tepat. Haiyan memang sedang berusaha menghindar. 

“Semua aku lakukan buatmu, La. Biar kita bisa cepet nikah.” 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status