Senyuman di wajah Belle yang semula sangat lebar, mendadak lenyap ketika ia mengeluarkan sebuah sertifikat kepemilikan apartemen dan dua kartu kunci dari dalam amplop.
"Itu hadiah dari Papa untuk kalian berdua!" ucap Ronald dengan senyuman merekah. "Kalian akan pindah mulai hari ini, kunci itu adalah kunci apartemen yang Papa berikan sebagai hadiah."Hembusan napas Belle terasa semakin berat. Ia menoleh pada Zane yang duduk di sebelahnya dengan syok."Papa mengusir kami?" protes Belle kecewa."Bukan mengusir, Belle. Papa hanya ingin kalian hidup mandiri dan saling mengenal satu sama lain. Tinggal di rumah ini pasti akan membuat Zane canggung dan tak nyaman, jadi Papa memilih apartemen yang dekat dengan kantor kalian berdua.""Tapi, Pa--""Coba tanya pada suamimu, dia sekarang adalah kepala keluarga, kamu harus menuruti apapun perintahnya!" Ronald lebih dulu menyela protes dari putrinya.Tatapan mata Belle dan Ronald sontak tertuju pada Zane yang sedari tadi hanya menyimak perdebatan mereka. Sepersekian detik, Zane mendadak beku ketika sorot mata Belle terarah kepadanya, seluruh tubuhnya meremang hanya dengan ditatap sedalam itu oleh istrinya."Apa keputusanmu, Zane? Kau mau tetap di sini atau pindah ke apartemen?" desak Ronald menuntut jawaban."Apa harus di apartemen? Bagaimana jika mengontrak rumah saja?"Bola mata Belle membulat dan hampir saja meloncat saking syoknya mendengar jawaban Zane. Mengontrak katanya? Yang benar saja!Berbeda dengan Ronald yang merespon jawaban menantunya dengan tertawa, Belle malah merasa sebaliknya. Ia merasa terhina oleh tawaran Zane untuk mengontrak rumah."Kamu lucu juga ternyata, Zane!" tawa Ronald keras. "Belle mana sanggup hidup di rumah sempit dan pengap.""Aku akan mencari kontrakan yang bagus, Belle. Aku janji!" Zane beralih mengawasi istrinya dengan serius."No, Zane! Lebih baik aku menerima hadiah Papa daripada kita mengontrak rumah. Oke!? Baiklah, kita sudahi obrolan malam ini." Belle mulai bangkit dari sofa, ia memberi kode pada Zane agar mengikutinya."Persiapkan diri kalian, segeralah berkemas! Tapi ingat, jangan terlalu capek." Ronald ikut bangkit dan mengekor di belakang anak dan menantunya.Belle mengangguk, ia menggamit lengan Zane agar segera pergi dari ruangan kerja papanya."Selamat malam kalian berdua! Selamat menikmati malam indah untuk pertama kalinya," canda Ronald sembari melambaikan tangan pada putrinya yang kebetulan menengok ke belakang.Sambil mendengus, Belle terus saja menarik Zane ke kamar mereka di lantai atas. Namun, saat sudah berada di dalam kamar, Belle buru-buru mendorong tubuh pria itu agar menjauh."Jangan dekat-dekat!" bentak Belle risih sembari menggosok lengannya yang tadi bersentuhan dengan lengan suaminya. "Kamu tidur di sofa, jangan sekali-kali naik ke ranjangku atau--""Tidak perlu mengancam, aku tahu batasanku, Belle." Zane berlalu sambil melepas jam tangannya. Ia kemudian beringsut ke sofa dan berbaring di sana.Setelah memastikan Zane tak akan berbuat yang tak senonoh, Belle akhirnya naik ke ranjangnya yang lebar. Meskipun seandainya Zane tidur di ranjang yang sama, masih ada banyak tempat yang tersisa. Hanya saja Belle tak ingin berinteraksi dan membuka peluang bagi suaminya itu untuk mendekat. Belle tak sudi seranjang dengan pria seperti Zane.Entah dosa apa yang Belle lakukan di kehidupan sebelumnya, nasibnya kali ini seakan menjadi hukuman atas perbuatannya di masa lalu. Bagaimana tidak? Menikah secara mendadak dengan pria asing yang tak pernah ia lihat bahkan kenal sebelumnya, bukankah itu sesuatu yang diluar nalar? Bahkan jika ini hanya mimpi, Belle ingin segera terbangun dan menganggap kejadian ini tak pernah ada."Tidurlah, Belle. Aku tidak akan melakukan apapun padamu." Zane menoleh pada istrinya yang masih terjaga di atas ranjang. "Tapi tolong jangan matikan lampunya, aku tidak terbiasa tidur dalam gelap."Sambil mendengus, Belle menoleh sekilas pada Zane yang berbaring meringkuk di sofa. Ukuran sofa yang tak lebih panjang dari tinggi pria itu, membuat Zane harus menekuk tubuhnya untuk bisa berbaring dengan nyaman."Malam ini saja, aku minta tolong jangan matikan lampunya selama kita masih berada di kamar yang sama," pinta Zane dengan tatapan memohon.Tak berniat menjawab ataupun merespon perkataan pria yang belum 24 jam menjadi suaminya, Belle lantas berbalik badan dan memunggungi Zane tanpa kata. Belle memang tak mematikan lampu di meja nakas, hal itu setidaknya membuat Zane bisa tidur lebih tenang malam ini.Paginya. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kamar, membias di mata Belle dan membuatnya mengerjap beberapa kali karena silau. Saat Belle membuka mata, tirai jendela rupanya sudah terbuka dengan lebar dan membuat kamarnya jadi terang benderang oleh cahaya matahari."Pasti ulah Zane!" gerutu Belle ketika tak mendapati pria itu di sofa.Padahal karena masih cuti, Belle ingin tidur sepuasnya sampai siang. Apadaya kini ia malah terjaga ketika jam masih menunjuk angka tujuh. Mau tak mau, Belle turun dari ranjang. Ia tiba-tiba juga penasaran ke mana Zane pagi-pagi begini, bukankah mereka berdua masih sama-sama cuti?Sambil mengikat rambutnya yang panjang terurai, Belle berjalan menuju jendela besar di kamarnya yang berhadapan langsung dengan halaman dan kolam renang. Pandangannya mengedar mencari sosok suaminya, hingga kemudian tatapannya tertuju pada seorang pria yang tengah jogging memutari halaman.Jadi pria itu suka olahraga? Baguslah! Dengan begitu maka stamina dan daya tahan tubuhnya bagus, dia akan jarang sakit dan tidak perlu merepotkan Belle. Sambil tersenyum kecut, Belle berbicara pada dirinya sendiri. Langkahnya lantas mengayun menuju kamar mandi, terbiasa minum susu saat pagi hari membuat perutnya mulai protes minta diisi, jadi Belle akan membersihkan diri dulu sebelum turun ke ruang makan.Rupanya saat Belle sampai di ruang makan, Zane sudah lebih dulu berada di sana dan menikmati seporsi nasi goreng. Tak ada Ronald, Belle yakin ayahnya itu pasti masih jalan-jalan memutari perumahan bersama Josh sebelum berangkat ke kantor.Menyadari seseorang mendekat, Zane menoleh sekilas. Tatapannya lantas bertemu dengan sorot dingin nan sinis itu. Belle lantas menarik kursi tanpa menunggu pelayan melakukan kebiasaan itu untuknya. Sambil terus memperhatikan Zane yang melahap seporsi sarapannya, Belle menghela napas dan menghembuskannya berkala."Lain kali kalo mau bangun ya bangun aja, nggak usah buka tirai dan bikin kamar jadi silau sama cahaya matahari!" cetus Belle kesal.Zane mengangguk, ia tetap melanjutkan sarapannya tanpa mempedulikan omelan wanita yang duduk di hadapannya. Meskipun selera makannya perlahan lenyap, Zane tak ingin terpancing oleh tingkah Belle yang menyebalkan.Segelas susu hangat lantas disuguhkan oleh pelayan tak lama kemudian. Belle meneguknya perlahan sambil sesekali memperhatikan Zane yang menikmati sarapannya seakan tidak ada siapapun di meja itu selain dirinya.Saat tengah fokus meneguk susu vanila di gelasnya, suara berisik di luar lantas menyita perhatian keduanya. Belle bangkit untuk melihat siapa yang sedang begitu berisik di depan.Selama prosesi pemakaman, Zane lebih banyak terlibat di dalamnya. Ia turut menggotong keranda Shamilah, ia juga turun ke liang kubur untuk mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menahan tangis, Zane juga mengadzani jenazah ibunya sebelum akhirnya ia menyampaikan salam perpisahan. "Aku menyayangimu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang, selamat jalan." Hanya kalimat itu yang Zane katakan secara sadar, karena setelahnya ia tak bisa mengingat apapun lagi. Saat kembali membuka mata, ia sudah berada di apartemen dengan beberapa orang mengelilinginya sambil menangis. Belle berulangkali mengucap syukur sambil menciumi suaminya. Amanda dan Rio bahkan saling berpelukan penuh haru tak jauh dari mereka. Ronald, masih dengan mata yang basah, ikut mendekat dan memeluk menantunya. "Stay strong, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk mendiang Ibumu. Dia pasti sangat bangga padamu, Zane." Setetes air mata lolos kembali dari sudut mata Zane, mengingat ibunya mas
Malam itu juga, Zane meminta bantuan pada Rio untuk mencari tahu di mana ibunya berada.Tak mungkin Zane menghubungi mertuanya karena ia tak ingin mengganggu istirahat Ronald. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Rio akhirnya mendapat nama rumah sakit di mana Shamilah saat ini tengah dirawat. Bersama Belle, Zane akhirnya berangkat menuju rumah sakit tersebut. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu, Zane takut ibunya keburu pergi seperti nenek Lila dulu. Dan benar saja, saat Zane berlari menyusuri lorong tempat Shamilah dirawat, beberapa orang suster nampak keluar dari ruangan itu dengan wajah panik. Rasanya sekujur tubuh Zane memanas detik itu juga, ia sontak berlari semakin cepat dan meringsek masuk ke kamar di mana ibunya berada. Wajah pucat itu, sedang berusaha keras bernapas melalui selang oksigen di hidungnya. Air mata Zane kembali menetes ketika dilihatnya tubuh ibunya mulai kesusahan untuk menghirup oksigen itu. "Ibu..." Zane mendekat tanpa mempedulikan beberapa orang suster y
Teruntuk anakku tersayang, Zanendra Aditya. Saat kamu membuka surat ini, mungkin perasaanmu pada Ibu masih sama. Benci, marah, dan kecewa pasti masih kamu rasakan hingga saat ini. Tapi, melalui surat ini ijinkan Ibu untuk menjelaskan padamu beberapa hal yang tidak sempat Ibu katakan malam itu. Zane, demikian kamu dipanggil oleh mereka yang menyayangimu, nama indah yang berarti hadiah/ berkat dari Tuhan. Semua yang mengenalmu pasti akan menyayangimu, dan Ibu bersyukur akan hal itu. Zane yang kini tumbuh menjadi pria dewasa yang hebat dan penyayang, Ibu bangga pernah menjadi bagian dari masa kecilmu. Anakku, Zanendra anakku, bocah kecil yang selalu menemani Ibu tidur dan memeluk Ibu setiap malam, maafkan Ibu yang telah membuatmu trauma seperti ini. Seandainya bisa memutar kembali waktu, seandainya Ibu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya dari awal lagi, mungkin Ibu akan membawamu pergi tanpa harus membunuh pria itu. Agar kita bisa melalui masa berat itu berdua, agar I
Selama proses pemulihan dari operasinya, Zane selalu mendampingi Belle tanpa sekalipun beranjak meninggalkannya. Zane menepati janjinya untuk selalu siaga 24 jam demi memastikan istrinya baik-baik saja. Kembali pulang ke tanah air, Bik Asih menyambut kedatangan majikannya dengan penuh sukacita. Pun Ronald tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan rasa syukurnya ketika mendapati putrinya telah bisa melihat seperti dulu kala. "Papa akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak yayasan untuk datang. Kesembuhanmu patut dirayakan, Belle," ujar Ronald berjanji. Belle hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan, meskipun penglihatannya belum sepenuhnya jernih melihat objek di depannya, tetapi Belle tetap bersyukur kini ia bisa melihat orang-orang yang ia sayangi. "Di mana Zane? Apa dia belum pulang dari kantor?" Pandangan Ronald mengedar mencari sosok menantunya. "Zane akan segera kembali, Pa. Tadi habis mengantarku pulang, dia langsung ke kantor karena ada meeting penting
"Apa sudah selesai anda menghina saya, Nona?" "Saya terima nikah dan kawinnya Belle Ivy Janata binti Ronald Janata dengan mas kawin tersebut tunai.""Saat kita berpisah nanti, apakah aku masih boleh mengunjungi papamu?""Karena pohon ini akan tetap tumbuh meskipun dia tidak disiram dan tidak dirawat dengan baik. Sama sepertiku." "Bahkan sampah yang tidak berguna, bisa bermanfaat di tangan orang yang tepat. Aku salah satu sampah itu, dan ternyata orang yang tepat bukanlah kamu.""Kalo kamu bisa melakukannya dengan Bryan, lalu kenapa kamu tidak mau melakukannya denganku?" "Itu gajiku bulan ini.""Satu-satunya perempuan yang akan melakukan hubungan badan denganku hanya kamu, Belle!" "Ya sudah, maaf ya, Istriku. Aku janji kalo suatu saat kamu sakit, aku akan jagain kamu 24 jam sampai kamu sembuh." "Zane ..." Kilasan kejadian demi kejadian lewat secara bergantian di ingatan Belle. Semuanya tentang Zane, sejak pertama kali mereka bertemu hingga ingatan terakhirnya sebelum kecelakaan
Seperti yang sudah dinanti-nantikan, akhirnya hari itu tiba jua. Ronald mengantar Belle dan Zane di bandara seperti biasanya. Kali ini, Rio ikut menemani bosnya karena Zane butuh seseorang untuk menemani dan menenangkannya selama Belle dioperasi. Tak banyak halangan yang berarti, bahkan semua berjalan dengan sangat lancar. Cuaca pun seakan merestui sepanjang Zane landing di Singapore dan tiba di hotel. Karena operasi masih dilakukan besok, jadi Zane dan Belle masih punya waktu untuk istirahat. "Aku penasaran, kenapa beberapa hari ini kamu selalu memakai kalung itu?" Zane memperhatikan kalung sederhana berliontin permata kecil di leher istrinya. Dengan penuh perasaan, Belle menyentuh bandul permata pemberian Milah dan tersenyum mengingat momen terakhirnya bersama sang mertua. Sewaktu Belle meminta tolong pada Milah untuk memasangkan kalung itu dilehernya, wanita itu menangis penuh haru dan bahagia. Dia bahkan memeluk dan mencium Belle sebelum akhirnya benar-benar pergi. "Belle, k