Share

Perjanjian Pernikahan

"Perjanjian?" ulang Zane dengan ragu.

Baru saja Belle mengatakan bila sebelum resmi menikah, ia ingin membuat perjanjian tertulis antara mereka berdua.

"Iya. Aku mau kita membuat perjanjian. Aku sudah membuat draft-nya." Belle merogoh map dari dalam tas kerjanya dan mengangsurkan lembaran pada Zane. "Kamu tinggal baca dan tanda tangan!"

Tulisan cukup besar yang berjudul "Perjanjian Pernikahan Kontrak" membuat kening Zane berkerut. Ia meraih lembaran itu dan membacanya dengan seksama. Ada 6 pasal yang tertera di sana, semuanya menguntungkan pihak Belle.

"Bagaimana? Ada yang mau kamu tambahkan?" tanya Belle ketika Zane nampak terpaku menatap lembaran itu.

"Apa ini tidak terlalu berlebihan? Kita tinggal membuat perjanjian tanpa harus menandatangani --"

"No. No. No! Aku nggak suka sesuatu yang nggak pasti. Lagian kamu nggak berpikir untuk menikah denganku selamanya, kan? Oh, c'mon!" Belle terkekeh menyela perkataan Zane. "Tiga tahun, Zane. Setelah itu kita bercerai dan kamu akan kaya raya karena aku akan membagi harta warisan papa denganmu."

Zane meletakkan kembali lembaran itu ke dalam map, ia lantas mengawasi Belle dengan tatapan jengah.

"Aku tahu kamu materialistis, tapi aku tidak menyangka kamu sepicik ini."

"Picik katamu? Harusnya kamu mengatakan itu sama papaku! Dia tega memaksaku menikah dengan pria yang bahkan ..." Belle menahan ucapannya dan mengamati penampilan Zane dari atas sampai bawah. "Sudahlah, lupakan! Aku hanya nggak mau kamu menyentuhku selama kita menikah dan kita akan bercerai setelah tiga tahun. Sesimpel itu, Zane! Tolonglah jangan dipersulit."

"Baik, aku berjanji tidak akan menyentuhmu bahkan seujung kukuku. Apa itu tidak cukup?"

"Aku butuh perjanjian, Zane! Siapa yang bisa menjamin kamu nggak akan menyentuhku jika suatu saat kamu mabuk!?" tukas Belle berandai-andai.

Mabuk?

Zane menghembuskan napasnya geram. Ia lantas merampas kertas di tangan Belle dan membubuhkan tanda tangannya dengan jemari gemetar menahan kesal.

Melihat Zane menyetujui idenya tanpa banyak penolakan, Belle tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu bisa menambahkan pasal lain jika kamu mau, Zane. Nggak perlu buru-buru tanda tangan sekarang," tawar Belle diantara senyuman liciknya.

Usai menuliskan nama terangnya di bawah tanda tangan, Zane mengembalikan lembaran perjanjian itu di hadapan Belle.

"Apa sudah cukup?"

Belle mengangguk cepat, ia memasukkan lembaran itu ke dalam map. "Di sini juga sudah ada surat gugatan perceraian yang sudah aku tandatangani. Jadi jika waktu itu tiba, kamu nggak perlu repot-repot menggugat dan mengeluarkan uangmu."

Tangan Zane yang masih gemetaran lantas meraih botol air mineral dan meneguk isinya hingga tandas. Zane tertipu dua kali, pertama tertipu oleh Ronald yang memaksanya bertemu untuk makan malam tapi ternyata malah kru WO yang datang, dan kedua tertipu wajah cantik Belle yang ternyata liciknya mengalahkan rubah betina.

"Aku akan kembali ke kantor. Kamu tidak perlu membayar karena aku sudah membayar tagihannya." Zane lantas bangkit dan menyandang waistbag-nya di bahu. "Dan asal kamu tahu, Belle. Aku bukan lelaki pemabuk seperti yang kamu tuduhkan tadi."

Usai mengungkapkan hal yang memicu kekesalannya, Zane bergegas pergi tanpa sekalipun menoleh lagi. Bila bukan karena dihantui mimpi tentang nenek Lila, mungkin Zane tidak akan serta merta menyetujui pernikahan gila ini. Janjinya pada nenek Lila seakan terus ditagih melalui mimpi, dan mungkin inilah jalan terbaik bagi Zane untuk memulai hidup barunya bersama wanita yang tak menghendaki dirinya.

Segalanya berlangsung sangat cepat, seakan dimudahkan dan dilancarkan oleh takdir, acara akad yang tadinya akan digelar minggu depan berubah jadwal menjadi tiga hari pasca bertemu pihak WO. Tentu saja Zane kelimpungan setengah mati, ia bahkan tak hafal nama panjang Belle dan belum menghafal kalimat ijab qobul. Beruntung pihak penghulu memperbolehkan Zane membawa secarik kertas untuk contekan seandainya dia tiba-tiba blank.

Hari besar itu akhirnya tiba. Zane yang yatim piatu dan tak memiliki siapapun di dunia ini merasa sangat terharu dan beruntung ketika Tuhan pada akhirnya menjodohkan dirinya dengan perempuan secantik Belle. Lebih tepatnya jodoh sementara, karena Zane pesimis pernikahannya akan langgeng mengingat Belle amat sangat membencinya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Belle Ivy Janata binti Ronald Janata dengan mas kawin tersebut tunai!" dengan sangat lancar, Zane mengucapkan ijab qobulnya dalam sekali helaan napas, bahkan ia tak melirik lembaran kertas contekan itu sama sekali.

Penghulu menoleh pada Ronald dan para saksi. "Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah!"

Semua yang hadir kompak menyahut dan bertepuk tangan dengan riuh. Tak banyak tamu yang datang, sesuai dengan permintaan Belle. Mereka yang hadir hanyalah orang-orang penting yang sehari-hari berinteraksi dengan keluarga inti Janata.

Selepas prosesi ijab qobul, Belle lantas bergabung dan duduk semeja dengan Zane. Wanita yang kini sah menjadi istrinya itu lantas menyambut tangan Zane untuk melakukan prosesi sungkem pada suami. Zane tak bisa menahan air matanya ketika lantunan doa terucap untuk mereka berdua. Hatinya hampa tanpa nenek Lila yang seharusnya melihat acara sakral ini berlangsung.

'Apa sekarang kau bahagia melihatku, Nek?' batin Zane getir sembari menyeka air matanya.

Belle bisa melihat dengan jelas air mata itu mengalir dari sudut mata Zane. Hatinya bahkan sempat bergetar ketika ia menyalami tangan kekar dan hangat itu barusan. Apakah Zane menangis karena menyesal menikah dengan Belle? Atau karena ia terlampau bahagia karena bisa menikahi wanita sekaya dan secantik Belle?

Setelah prosesi penuh haru itu usai, acara berganti ramah tamah sambil menikmati hidangan. Zane mengasingkan diri di taman setelah orang-orang yang tak ia kenal itu sibuk sendiri dengan makanan yang serba enak. Masih mengenakan beskap putih nan mahal yang dibeli oleh Belle untuknya, Zane menatap kolam ikan di depannya dengan perasaan hampa.

"Zane, di sini kau rupanya!"

Lamunan Zane buyar, ia tersentak dan mengawasi mertuanya yang datang mendekat.

"Kenapa malah di sini? Teman-teman Papa pengen kenalan sama kamu. Ayo, masuk!" sambung Ronald berapi-api.

Tak bisa dipungkiri, senyum dan tawa lebar di wajah pria paruh baya itu tak sekalipun memudar sejak Zane resmi menyandang status sebagai suami. Sekali lagi Zane harus mengorbankan perasaannya demi orang lain, seperti yang sudah-sudah.

"Ayo, buruan! Manten baru kok malah melamun di sini, sudah nggak sabar buat sekamar dengan Belle, ya?" ledek Ronald sembari memberi kode Zane agar mengikutinya.

Dengan berat hati, Zane akhirnya menuruti kemauan mertuanya. Ia diperkenalkan pada beberapa sahabat dan orang penting di perusahaan Janata Group. Tak lupa mereka memuji kesopanan dan postur tubuh Zane yang atletis. Ya, meskipun tak seberapa tampan, akan tetapi Zane memiliki tubuh tinggi besar dan gagah.

Tiga jam kemudian, pesta telah usai. Zane dan Belle kini berada di ruang kerja Ronald karena pria itu mengajak mereka untuk berbincang hal serius.

Di meja, sudah ada amplop berwarna cokelat. Belle tersenyum senang melihat amplop itu, pastilah isinya surat wasiat yang selama ini dinanti-nantikan.

"Bukalah!" perintah Ronald ketika Belle nampak tak sabar.

Dengan gesit, Belle menarik amplop itu dan membukanya. Ia mendelik ketika menarik isi di dalam amplop itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status