Leon mematikan mesin mobil sejak setengah jam lalu, namun ia masih duduk di balik kemudi. Bersandar kaku dengan kedua tangannya menggenggam erat setir.Mobil itu terparkir dekat rumah kontrakan Kanaya. Dari posisi itu, ia bisa melihat samar jendela rumah sederhana tersebut.Tirai berwarna krem tampak bergoyang halus ketika angin malam berhembus. Dan sesaat saja, sebuah bayangan bergerak di balik cahaya lampu.Jantung Leon berhenti sepersekian detik. Itu Kanaya.Hanya sekilas tapi bayangan samar tubuh yang pernah begitu akrab dengan matanya itu terlihat. Cukup untuk membuat dadanya sesak seakan ditindih beban berlapis.Ada rasa lega karena bisa memastikan perempuannya baik-baik saja sekaligus ada luka yang menganga lebih lebar. Luka yang mengingatkan pada semua kesalahan yang pernah ia lakukan.Kanaya… nama itu menggema dalam benaknya, menampar setiap helaan napasnya.Narasi batin menyeruak tanpa bisa ia bendung. Rasa bersalah itu terus menghantui, menolak padam meski waktu sudah menja
Pagi itu udara Jakarta terasa lebih ramah. Matahari menembus sela dedaunan, memantul di dinding-dinding rumah komplek yang seragam tapi hangat.Kanaya berdiri di halaman kecil kontrakan, menggenggam selang dan menyiram tanaman seadanya yang ditinggalkan pemilik lama.Daun-daun basah berkilau terkena cahaya. Untuk sesaat, ia merasa seperti bagian dari kehidupan biasa, sesuatu yang lama tak ia miliki.“Pagi, Mbak,” sapa seorang ibu muda tetangga sambil lewat, menggandeng anak kecilnya.Kanaya sempat tertegun meski akhirnya cepat-cepat tersenyum dan agak kikuk.Ia menjawab singkat sapaan pagi itu sambil menatap keduanya.Sapaan sederhana tersebut cukup menyisakan kehangatan kecil di dadanya.Ternyata ia masih bisa menjadi bagian dari lingkungan, bukan sekadar bayangan yang bersembunyi di balik rumah yang masih terasa penuh ketakutan.Namun kehangatan itu tak sepenuhnya menutupi rasa gelisahnya semalam.Bayangan di balik jendela masih membekas jelas di kepalanya.Ia ingat jelas bagaimana
Kanaya terbangun di tengah malam. Jam di dinding menunjukkan pukul 01.17.Rumah kontrakan itu senyap, hanya suara detak jam yang terdengar begitu jelas.Angin malam menyusup dari celah jendela, membuat gorden tipis bergoyang perlahan.Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan dada yang terasa sesak.Tidak ada mimpi buruk malam ini, tapi entah mengapa perasaan gelisah menghantam tanpa peringatan. Seperti ada sesuatu yang menunggu di luar sana.Tangannya meraih segelas air di meja samping tempat tidur.Setengah gelas ia habiskan dalam sekali teguk, tapi dahaga yang mencekik bukan karena haus. Itu rasa takut yang familiar, rasa takut yang sudah lama ia kenal sejak tinggal serumah dengan Leon.Kanaya mencoba memejamkan mata lagi, tapi telinganya menangkap sesuatu.Suara langkah.Pelan, berat, dan teratur. Seperti seseorang berjalan di teras rumah.Ia menahan napas. Matanya melebar menatap ke arah jendela ruang tamu. Bayangan samar melintas, seperti sosok pria berdiri di balik kaca.Kanaya
Pagi di hari kedua Kanaya menempati rumah kontrakan barunya.Suara mesin motor terdengar dari ujung jalan komplek, bercampur dengan tawa anak-anak yang bersepeda kecil-kecilan di depan rumah.Dari jendela kamar yang masih terbuka, Kanaya bisa menangkap aroma rumput basah yang baru disiram sprinkler, bercampur dengan cicit burung dan eongan beberapa hewan yang berkeliaran bebas seperti kucing.Kanaya mengerjapkan mata, menatap langit-langit kamar kontrakan yang ia tempati.Bukan plafon tinggi dengan lampu gantung elegan seperti di rumah Leon, melainkan sederhana dengan cat putih yang standar.Meski berada di komplek perumahan menengah, rumah masih terasa asing.Tidak ada suara lift apartemen, apalagi bunyi mobil mewah keluar-masuk garasi. Yang ada hanyalah kesibukan pagi khas komplek Jakarta.Para tetangga menyapu halaman sambil berseloroh dengan tetangga lain yang lewat, ibu-ibu memanggil anaknya yang hendak berangkat sekolah dan teriakan tukang sayur keliling juga pedagang lainnya ya
Udara sore terasa begitu berat, seakan ikut menyerap setiap helaan napas Kanaya yang masih terasa terputus-putus.Hari ini, langkah kakinya resmi berpindah dari rumah keluarga Leon menuju rumah baru yang dipilihnya sendiri.Luka yang sempat menjerat tubuh dan hatinya memang masih berdenyut tapi ada tekad yang membuatnya tegak. Kanaya ingin memulai hidup mandiri tanpa bayang-bayang siapapun.Bunda Leon berdiri di depan pintu, menahan tangis yang sudah sejak tadi menggenang di pelupuk matanya.Wajah tua dan lelahnya berusaha tersenyum meski suaranya bergetar.“Kanaya, apa kamu yakin? Bunda tahu Leon salah besar. Tapi mungkin masalah ini bisa dibicarakan, Nak. Jangan terburu-buru memutuskan.”Kanaya menunduk sopan, menahan air mata yang sejak pagi berusaha ia kunci rapat.“Bunda, terima kasih untuk semua kebaikan dan kasih sayang Bunda selama ini. Aku nggak bermaksud pergi untuk selamanya. Hanya butuh waktu. Leon sudah melukaiku terlalu dalam. Dan kalau aku tetap di sini, rasanya bukan ha
Suara ketukan pintu pelan terdengar di ruang perawatan Kanaya. Perempuan itu baru saja selesai menyantap makan siang sederhana yang diantar perawat.Ia masih menaruh sendok di atas piring ketika pintu terbuka perlahan dan sosok yang sudah sangat lama tak dilihatnya berdiri di sana.“Kanaya?”Kanaya terbelalak. Matanya seketika berbinar, seolah ada sinar hangat yang mendobrak masuk ke ruangannya yang dingin dan penuh aroma obat.“Di? Bener itu kamu, Di?” suaranya nyaris tercekat, setengah tak percaya.Didi dengan rambut sebahunya yang kini lebih rapi dan wajah yang dewasa, mengangguk sambil tersenyum lebar.Ia melangkah cepat dan tanpa basa-basi merengkuh Kanaya dalam pelukan. Pelukan itu erat, hangat dan penuh kerinduan yang menahun.“Kangen ih! Kamu ke mana aja, sih?” suara Didi terdengar setengah bercanda tapi juga setengah gemetar.“Kamu yang ke mana aja?” balas Kanaya sambil menahan tawa kecil di sela air matanya yang tiba-tiba saja jatuh.Ia melepaskan pelukan agar bisa menatap sa