Share

Luka Yang Sama

Author: Arrana
last update Last Updated: 2023-09-08 21:07:17

Kanaya merasakan sakit di sekujur tubuhnya ketika sadar. Perlahan ia mencoba membuka mata, lalu segera menutupnya kembali saat sinar yang cukup terang menusuk retina.

Ia menatap sekeliling dengan mata setengah terbuka, mencoba mengenali suara dan bayangan di kamar itu.

"Bu Kanaya? Bu? Ibu bisa dengar suara saya?" suara lembut itu mengalir seperti air tenang, tapi tetap membuat dada Kanaya berdebar.

Ia menoleh, tak mengenal wajah yang muncul di depannya.

"Saya di mana?" tanya Kanaya, suaranya serak dan hampir tak terdengar.

"Ibu di kamar di Villa Seruni. Saya Miranti yang akan menemani dan merawat Ibu sampai sembuh."

Perlahan, tubuh Kanaya terasa hangat meski masih gemetar.

‘Villa Seruni…? Di mana itu? Dan sembuh dari apa?’ pikirnya, alih-alih bertanya keras-keras.

Ia memaksa membuka mata sepenuhnya. Kamar luas dengan dekorasi tropis menyambut pandangannya. Warna dinding terasa hangat, lantai kayu mengkilap, dan juga tirai tipis yang menutup sebagian jendela.

Namun perhatian Kanaya langsung tertuju pada infus di tiang di samping tempat tidur dan selang yang menempel di tangannya. Napasnya tersengal saat ia menyadari tubuhnya rapuh dan lemah.

Lalu…

Helaan napasnya terdengar, dan Miranti segera mendekat, membantu Kanaya duduk perlahan.

Setiap gerakan membuat tubuh Kanaya menjerit nyeri. Ia mengerang pelan, mencoba menahan rasa sakit sekaligus rasa takut.

"Ibu perlu sesuatu?" tanya Miranti, cemas.

Kanaya hanya menggeleng.

‘Aku tak tahu harus bilang apa. Tubuhku rasanya bukan milikku sendiri.’

“Kamu kerja di sini?” tanya Kanaya, masih dengan nada pelan.

"Suami saya kerja sebagai penjaga villa di sini," jawab Miranti.

Kanaya mengangguk tanpa kata, pikirannya melayang ke kejadian di pesawat, dan rasa sakit yang belum sepenuhnya hilang.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan Kanaya menoleh. Sosok Leon muncul, matanya tajam namun bibirnya memamerkan senyum tipis.

“Iya, Bunda. Kanaya sudah baikan kok. Nih kalau nggak percaya.”

Ia memberi isyarat pada Miranti untuk mundur, lalu duduk di samping Kanaya, merangkul bahunya agar wajahnya terlihat di layar video call bersama sang bunda.

Kanaya menatap layar, jantungnya berdegup kencang, bukan karena kebahagiaan tapi karena kehadiran Leon.

Sentuhan tangan yang hangat di bahunya menimbulkan getaran aneh, campuran antara nyaman dan gelisah.

Ia ingin menepis, tapi tubuhnya tak cukup kuat untuk bergerak.

‘Kenapa aku merasa takut padanya?’ pikir Kanaya, hatinya bergetar dalam diam.

“Kanaya, kamu baik-baik saja, Sayang? Bunda dapat kabar katanya kamu pingsan pas turun dari pesawat.” Suara sang mertua terdengar khawatir, dan Kanaya hanya bisa menelan ludah saat remasan tangan Leon membuatnya tersadar.

"Hmm, Kanaya juga nggak tau, Bunda." Suaranya serak, dan ia menunduk, membiarkan Leon menutupi ketidakmampuannya untuk menjawab.

Leon tersenyum kecil, menatap Kanaya, lalu mengecup keningnya. Sensasi itu membuat Kanaya tersentak. Ada rasa hangat yang menyebar hingga ke ujung jari, tapi juga rasa takut yang membuatnya menahan napas.

‘Ini perasaan yang pernah aku rasakan sebelumnya, tapi lebih intens, dan lebih berbahaya,’ pikirnya.

“Ya sudah. Kalau begitu biar Kanaya istirahat, Leon. Kamu nggak usah ganggu Kanaya dulu,” ujar bunda Leon.

“Bunda yang minta cepat-cepat punya cucu,” jawab Leon, setengah bercanda, setengah serius.

Kata itu membuat Kanaya menelan ludah lagi, pikirannya berputar.

‘Cucu? Aku bahkan baru saja menikah tapi kenapa aku merasa tubuhku tak sepenuhnya milikku sendiri?’

Leon berdiri setelah video call selesai, tatapannya menusuk.

“Nanti ada dokter yang akan memeriksa kamu. Katakan saja apa yang terasa sakit dan membuat kamu tidak nyaman.”

Kanaya hanya menatap, pertanyaan menggantung di bibirnya.

‘Dia tidak tahu betapa kacau pikiranku sekarang, atau mungkin memang sengaja membuatku merasakan semua ini,’ batinnya.

Saat Leon pergi, Miranti masuk membawa nampan makanan. Kanaya menerima makanan itu dengan tangan gemetar. Ia menatap obat yang terhidang juga di sana.

‘Kalau dokter belum memeriksa, bagaimana bisa Leon memberikan ini?’ pikirnya.

Namun rasa lelah yang teramat dan kantuk menaklukkan logikanya, dan ia memilih patuh.

Tidur Kanaya pun diikuti mimpi buruk. Fragmen ingatan yang muncul di pesawat, rasa terhina dan ketakutan yang belum hilang membuatnya terbangun dengan jantung berdebar dan tubuh basah oleh keringat dingin.

Miranti menatapnya cemas. “Ibu mimpi buruk, ya?”

“Iya. Mimpi tidak menyenangkan,” jawab Kanaya pelan.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan tubuh dan pikirannya.

Namun rasa trauma akan masa di mana ia kehilangan kesucian dan kepercayaan pada pria, masih terasa menusuk di hati.

Leon… aku tidak ingin mengingatnya, tapi aku juga tidak bisa menepisnya’

Kanaya masih merasakan hangatnya sentuhan Leon di bahunya, meski pria itu telah pergi.

Tubuhnya bergetar, bukan karena rasa nyaman semata, tapi juga karena campuran takut dan tak terkendali.

Tangannya seakan menempel di kulitnya sendiri, mencoba merasakan lagi sensasi yang baru saja ia alami, namun matanya menatap kosong.

Kenapa hatiku berdetak kencang hanya karena satu sentuhan? Kenapa aku merasa seperti terluka lagi, tapi juga tergoda untuk menyerah pada rasa itu?’ pikirnya.

Rasa hangat itu menimbulkan kebingungan, karena sekaligus membangkitkan kenangan akan keintiman yang tak pernah ia izinkan sebelumnya, sebuah rasa aman yang bercampur dengan takut kehilangan kendali.

Ia teringat masa-masa di gudang sekolah, saat tubuhnya dipaksa berada di dekat seseorang yang ia tolak cintanya.

Setiap ingatan saat itu adalah rasa takut, malu, dan kehinaan.

Kini bersama Leon, rasa itu muncul kembali, tapi berbeda meski tidak ada paksaan, hanya campuran dominasi dan kontrol yang membuat Kanaya merasa rapuh.

Dulu aku tak berdaya karena dipaksa, tapi sekarang aku tak berdaya karena aku sendiri menolak perasaan ini, tapi tubuhku menerima tanpa izin. Apa yang salah denganku?’

Hatinya sesak, menimbang antara marah pada diri sendiri dan kemarahan yang membara pada Leon.

Setiap otot terasa sakit setelah pingsan dan perjalanan panjang. Detak jantungnya tak menentu, dan pernapasannya berat seperti tercekik.

Di benaknya muncul pertanyaan-pertanyaan liar.

Apakah aku akan selalu seperti ini?...

‘Apakah aku akan selalu takut sekaligus tergila-gila pada Leon?...

‘Bagaimana aku bisa menyingkirkan rasa sakit lama sambil menghadapi rasa baru yang membingungkan ini?

Tangannya bergetar saat ia menyentuh bahunya sendiri, mencoba menenangkan sensasi yang tersisa.

Tapi tubuhnya mengingatkan bahwa trauma fisik dan emosional bisa meninggalkan bekas lebih lama daripada luka yang terlihat.

Kanaya menunduk, menatap tangannya yang gemetar, dan perlahan menutup mata sejenak.

Ia sadar bahwa meski tubuhnya berada di Villa Seruni, aman dari bahaya fisik, jiwanya masih terjebak antara masa lalu dan masa kini.

Aku harus kuat. Aku harus memisahkan rasa takut dari rasa tertarik ini. Aku tidak boleh kehilangan diriku lagi.’

Keinginan untuk mandi lantas muncul. Namun bukan sekadar untuk membersihkan tubuh, tapi juga untuk mencoba membasuh rasa bersalah dan trauma yang menghantuinya.

Air dingin yang menampar kulitnya, membuat ia tersadar dari ingatan kelam itu, dan rasa bersih itu terasa seperti kemenangan kecil.

Ini tubuhku, tapi rasanya seperti tubuh yang terus-menerus disentuh bayangan masa lalu’

Setiap goresan sabun pada kulitnya membawa ingatan pahit, dari gudang sekolah hingga saat-saat Leon di pesawat.

Perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan—campuran antara rasa takut, sekaligus marah.

Ia membiarkan air mengalir, membiarkan tangannya bekerja, seolah dengan setiap goresan itu, ia menyingkirkan fragmen kenangan yang membuatnya rapuh.

Kanaya mengenakan bathrobe, aroma sabun masih menempel di tubuhnya, dan Miranti tersenyum lega melihat majikannya tampak lebih segar.

Kanaya  merasa tubuhnya lebih ringan, namun jiwanya masih terguncang.

Aku harus kuat. Aku harus bisa menahan semua ini. Tapi kenapa kehadiran Leon membuatku merasa begitu lemah?’

Miranti mengamati, tanpa menyadari intensitas perasaan yang terjadi di balik gerakan Kanaya.

Kanaya juga menatap dalam diam dirinya di cermin, tubuhnya berwarna kemerahan akibat air dingin dan gosokan yang kasar.

Batinnya terus berputar, mengulang pertanyaan yang sama saat rambutnya yang masih basah, napasnya masih terengah, menetes ke lantai bersamaan.

Apakah luka ini akan pernah sembuh?...

‘Atau aku hanya akan terus membawa bayangan Leon dan masa laluku bersamanya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Gugatan Perceraian

    Malam itu kian terasa panjang. Meski jam dinding sudah menunjukkan lewat tengah malam, Kanaya berbaring di ranjang kontrakannya dengan tubuh letih dan pikiran yang terlalu riuh.Kata-kata Leon saat konfrontasi mereka sebelumnya seakan terus mengiang-ngiang di kepala Kanaya.Kanaya bahkan masih bisa mendengar dengan jelas suara dingin yang dibungkus ego tinggi itu terucap bersamaan dengan tatapan mata yang menyiratkan obsesi sekaligus penyesalan namun tak pernah benar-benar terucap dengan tulus.Ia lantas menarik selimut sampai ke dagu, berusaha menutup telinga dari suara-suara halus yang datang dari masa lalu.Tapi semakin keras ia mencoba melupakan, semakin jelas potongan-potongan adegan itu mengulang di dalam kepalanya.Leon yang berdiri di depan rumah baru yang ia tempati saat ini. Leon yang menuntut, menyalahkan dan memaksa seolah dirinya masih punya kuasa penuh atas hidup Kanaya.“Kenapa harus aku yang terus menanggung semua ini?” bisik Kanaya lirih dengan kelopak mata yang sudah

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Pertemuan Pertama

    Udara malam itu terasa dingin, membuat bulu kuduk Kanaya meremang.Setelah kejadian beberapa malam sebelumnya ketika derit pagar terdengar dan bayangan samar hingga kehadiran tamu misterius akhirnya muncul, ia selalu waspada pada setiap suara kecil yang datang dari luar rumah barunya.Bahkan saat waktu sudah menyentuh malam hari, justru langkah berat terdengar jelas di halaman.Bukan seperti suara hewan liar yang biasa melintas. Kali ini suara langkah itu berirama, perlahan tapi pasti mendekati pintu.Kanaya menahan napas. Jemarinya mengepal di sisi sofa ketika tubuhnya terasa menegang.Bi Irma yang baru saja membereskan meja makan tampak diam dengan raut wajah yang berubah gelisah.“Non, mungkin lebih baik Non masuk kamar saja,” bisiknya. Ada nada aneh dalam suara Bi Irma, seakan ia tahu siapa yang datang. Dan tebakan itu benar.Tok. Tok. Tok.Ketukan keras, mantap dan tanpa keraguan mengalihkan perhatian keduanya.Kanaya lantas berdiri meski geraknya terlihat kaku. Pandangannya meng

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Perang dan Ketenangan yang Terusik

    Malam kian larut dan sepi. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, tapi Kanaya masih terjaga di ranjangnya.Sejak kedatangan seorang pria asing yang dengan jelas mengaku sebagai utusan Leon, rumah yang Kanaya tempati kini seakan berubah wujud.Rasanya tak lagi teduh, apalagi memberi kenyamanan dan keamanan yang ia harapkan sebelumnya.Udara dingin yang masuk lewat celah jendela terasa kotor, seolah membawa aroma asing yang menempel pada dinding.Kanaya berulang kali menggeliat, mencoba mencari posisi tidur yang nyaman tapi tubuhnya menolak untuk tenang.Bayangan wajah utusan Leon terus melintas di pelupuk mata. Tatapan matanya yang tajam, meski gestur dan cara bicaranya terlihat sopan.Kata-kata orang itu memang halus, meski Kanaya merasa ada hal-hal terselubung yang menekannya.Kehadirannya membuat Kanaya sadar bahwa Leon mungkin tak muncul langsung tapi tangannya tetap tak pernah benar-benar melepaskan dirinya."Kenapa dia tidak menyerah saja? Kenapa dia harus terus menyentuh hidup

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Tamu Misterius

    Rumah yang Kanaya tempoati masih berbau baru. Dindingnya yang bercaty warna putih seakan memantulkan cahaya matahari pagi, membuat ruang tamu tampak lebih luas daripada kenyataannya.Kanaya berdiri di depan jendela seraya menatap keluar tapi tatapannya terlihat kosong.Sudah hampir dua minggu ia menempati rumah kecil ini, sebuah “tempat aman” yang dipilihkan Didi.Mungkin bagi orang lain rumah ini hanya bangunan sederhana di sudut kompleks, tapi bagi Kanaya rumah ini menjadi penanda awal yang baru, awal kebebasannya dari bayang-bayang masa lalu.Sayangnya… semakin hari Kanaya justru esmakin merasa ada sesuatu yang tidak lepas darinya.Perasaan seperti diawasi masih membuatnya gelisah setiap waktu. Rasa yang sama sejak malam ia mendengar pagar bergemerincing dan siluet asap rokok yang mengepul di kegelapan.Malam itu memang sudah lewat, tapi jejaknnya di hati dan pikirannya. Dan kini, ada satu lagi yang membuatnya resah yaitu keberadaan Bi Irma.Bi Irma adalah perempuan paruh baya yang

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Luka dan Harapan

    Malam itu terasa begitu senyap hingga detik jam dinding terdengar jelas di telinga Kanaya.Ia masih duduk di tepi ranjang kala debar jantungnya masih terasa tak karuan sejak suara derit kecil dari pagar.Saat berlari ke jendela ia tak menemukan apa pun, hanya kegelapan yang menelan halaman. Namun rasa diawasi itu tetap tinggal, melekat seperti bayangan yang tak bisa diusir.Perlahan Kanaya berusaha kembali mengistirahatkan tubuhnya meski dengan posisi punggung yang bersandar pada headboard tempat tidur.Tatapan nampak kosong menatap ke depan. Matanya terlihat berat, tapi rasa kantuk itu tak kunjung datang.Ketakutan yang menyelinap di sela tidurnya begitu saja seperti membuka pintu lain di dalam dirinya, pintu yang selama ini ia coba kunci rapat-rapat. Pintu yang membuka tabir kenanangan saat hari kelam di mana tubuhnya begitu lemah dan darah hangat menggenang. Kehidpan kecil yang seharusnya ia genggam justru pergi meninggalkannya.Kelopak matanya perlahan bergetar. Gambaran itu muncu

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Rencan Kepulangan

    Pagi itu, suara dering ponsel membuyarkan konsentrasi Kanaya yang sedang menyiapkan daftar belanja untuk kafe kecil bersama Didi.Nama Dira–adiknya–tertera di layar. Hati Kanaya berdesir, sudah cukup lama mereka tidak berkomunikasi. Dengan sedikit gugup Kanaya lntas menekan tombol terima di layar ponselnya.Wajah ceria Dira muncul di layar video call, disertai senyum lebar yang terasa hangat sekaligus menusuk dada Kanaya.“Kak, ada kabar! Kami rencana pulang sementara ke Indonesia. Mungkin satu atau dua bulan. Ada urusan pekuliahan dan beberapa hal yang harus diurus.”Sekian jenak dada Kanaya bergetar oleh rasa bahagia. Rindu yang ia pendam bertahun-tahun seperti mendapat jawabannya.Namun bersamaan dengan itu, rasa cemas ikut menjalari hatinya.Pulang? Bagaimana jika mereka melihat dirinya sekarang? Seorang perempuan yang nyaris porak-poranda setelah rumah tangganya hancur.Kanaya pun berusaha mempertahankan senyumnya di depan sang adik meski tangan yang menggenggam ponsel sedkit gem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status