Share

Luka Yang Sama

Kanaya merasakan sakit di sekujur tubuhnya ketika sadar. Perlahan ia mencoba membuka mata dan memejamkannya kembali ketika sebuah sinar yang cukup terang membuatnya silau.

"Bu Kanaya? Bu? Ibu bisa dengar suara saya?"

"Saya di mana?" tanya Kanaya sebab tak mengenal suara perempuan yang terdengar di telinganya.

"Ibu di kamar di Villa Seruni. Saya Miranti yang akan menemani dan merawat Ibu sampai sembuh."

'Villa Seruni? Di mana itu?' batin Kanaya alih-alih berkata, "Sembuh?"

Kanaya memaksa membuka matanya. Dan ketika semua tampak jelas, Kanaya bisa meneliti satu persatu apa saja yang ada di sekitarnya. 

Kamar yang tampak besar dan luas dengan perabotan lengkap bertema tropis menjadi pemandangan pertamanya sebelum Kanaya menyadari sebuah infus tergantung di tiang yang ada di sebelah kiri tempat tidur. Tatapan Kanaya pun menurun pada tangannya yang sudah terpasangi selang infus.

Helaan napas lemahnya terdengar kemudian. Membuat Miranti bergegas menghampiri lebih dekat dan membantu Kanaya untuk duduk.

"Ibu perlu sesuatu?" Kanaya hanya menggeleng. "Ibu kalau perlu apa-apa bilang saja sama saya."

"Nama kamu siapa?"

"Nama saya Miranti, Bu."

"Kamu kerja di sini?"

"Suami saya kerja sebagai penjaga villa di sini."

Kanaya hanya mengangguk sebelum pintu tiba-tiba terbuka, membuat keduanya kompak menoleh.

"Iya, Bunda. Kanaya sudah baikan kok. Nih kalau nggak percaya."

Leon mendekat dan memberi isyarat pada Miranti untuk pergi dari kamar. Pria itu bergegas duduk di samping Kanaya, merangkul bahu dan menarik Kanaya mendekat agar wajah Kanaya terlihat dalam sambungan video callnya dengan sang bunda.

"Kanaya, kamu baik-baik saja, Sayang? Bunda dapet kabar katanya kamu pingsan turun dari pesawat."

Sejenak Kanaya merasa bingung hingga remasan jemari Leon yang menguat di lengannya membuat perempuan itu tersadar.

"Hmm, Kanaya juga nggak tau, Bunda."

"Kalian habis ngapain, sih, kok sampai Kanaya bisa pingsan?"

Leon menatap Kanaya dengan senyum malu-malu, tidak dengan Kanaya yang justru terlihat semakin bingung dengan semua ini.

"Maaf, ya. Saya nggak bisa kontrol saat di pesawat," ucap Leon lalu mengecup kening Kanaya dengan lembut sementara sang bunda di seberang layar sana terlihat lega.

"Ya sudah. Kalau begitu biar Kanaya istirahat, Leon. Kamu nggak usah ganggu Kanaya dulu."

"Bunda yang minta cepat-cepat punya cucu."

‘Cucu?’ batin Kanaya sambil memutar igatannya kembali.

"Ya tapi nggak perlu sampai Kanaya pingsan. Kamu ini gimana, sih, jadi laki-laki belajar peka." Perempuan paruh baya itu mengomel dengan lantang.

“Iya. Iya. Ya sudah. Leon tutup dulu kalau begitu.”

“Nanti Bunda telepon lagi, ya, Sayang.” Alih-alih menjawab ucapan sang anak, Bunda Leon lebih mencemaskan menantunya.

“Bund, Bunda juga jangan telepon terus. Kanaya biar istirahat. Leon akan urus Kanaya dengan baik,” protes Leon yang jelas tak suka karena itu artinya sang bunda akan mengawasi mereka lebih banyak.

“Ya sudah kalau begitu. Kalian baik-baik di sana, ya.”

Kanaya memaksakan senyum diantara kebingungan yang masih mendera. Sementara Leon kembali ke mode dinginnya.

Bergegas Leon melepaskan rangkulannya dan berdiri setelah sang Bunda tak nampak di layar ponselnya lagi.

Menatap tajam pada Kanaya, Leon memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berkata, “Nanti ada dokter yang akan memeriksa kamu. Katakan saja apa yang terasa sakit dan membuat kamu tidak nyaman.”

Kanaya semakin bingung, alih-alih mengangguk, ia justru balik menatap Leon dengan penasaran.

“Apa–“

“Tidak ada pertanyaan.”

Lalu setelahnya Leon berjalan ke arah pintu dan keluar dari kamar begitu saja, bertumbukkan dengan netra Miranti yang terkejut karena ketahuan sedang menguping.

“Maaf, Tuan. Saya–“

“Masuk! Urus Kanaya dengan baik.”

‘I-iya, Tuan.”

Miranti bergegas masuk sambil membawa nampan makanan untuk Kanaya.

“Ibu makan dulu, ya. Ibu juga harus minum obat supaya lekas sembuh.”

“Kamu tahu itu obat apa?”

Miranti terdiam sesaat. “Tuan bilang obat pereda nyeri dan vitamin untuk Ibu.”

Kanaya mengangguk, memberikan izin Miranti untuk menyuapinya hingga selesai.

Meski ragu, Kanaya memilih tunduk dan patuh pada perintah Leon sekalipun ada hal yang mengganggu pikirannya.

Kalau dokter belum memeriksanya, bagaimana Leon bisa memberikan obat itu untuknya?

“Mungkin dia lebih tau,” gumamnya sebelum kantuk kembali menyerang.

Dalam tidurnya, Kanaya malah bermimpi tentang hal yang ia pikirkan sebelumnya. Tentang apa yang terjadi di antara ia dan Leon saat di pesawat.

Dan Kanaya terbangun ketika akhir bagian mimpi itu membuatnya begitu ketakutan.

Miranti yang sedang membereskan pakaian Kanaya di lemari bergegas mendekat.

“Bu Kanaya kenapa?”

Kanaya menggeleng lalu menunjuk gelas minumnya di nakas. Miranti tanpa diperintah langsung mengambilnya dan memberikan pada Kanaya.

“Ibu mimpi buruk, ya?” Kanaya menatap Miranti sambil memberikan gelas yang dipegangnya. “Maaf, tadi saya sedang bereskan lemari Ibu. Terus Ibu mengigau, Ibu mimpi apa?”

Kanaya menghembuskan napas berat kemudian.

“Nggak papa. Cuma mimpi tidak menyenangkan saja,” ujarnya diangguki Miranti kemudian.

“Ibu mau ke mana?”

Miranti terkejut ketika Kanaya menyibak selimut dan melepaskan selang infusnya dengan terampil.

“Loh, Bu. Kok malah dilepas infusnya?”

“Nggak apa. Saya sudah baikan kok,” ujar Kanaya menenangkan sembari mematikan laju infus dengan tangannya yang lain. “Saya ingin mandi. Kamu bisa bantu siapkan perlengkapannya di kamar mandi? Saya ingin berendam.”

“Ibu yakin mau mandi? Apa mau saya lap saja pakai handuk hangat?”

Kanaya menggeleng. Ia benar-benar ingin mandi dan membersihkan tubuhnya yang ‘terasa’ kotor setelah mengingat semua yang terjadi padanya di pesawat.

Miranti bergegas menuruti perintah sang majikan. Ia juga kemudian mondar-mandir di depan pintu selama Kanaya membersihkan dirinya di dalam kamar mandi.

Miranti takut majikan barunya itu terjatuh karena tubuhnya yang masih sakit.

“Bu, Bu Kanaya sudah selesai belum mandinya? Kok lama, Bu? Nanti ibu bisa sakit kalau kedinginan lama-lama di kamar mandi,” teriak Miranti panik.

“Sebentar lagi,” seru Kanaya dari dalam, membuat Miranti bernapas lega.

Tak lama Kanaya pun keluar dengan bathrobe melapasi tubuhnya. Semerbak wangi sabun dan shampoo yang menyegarkan membuat Miranti tersenyum menatap Kanaya.

“Ibu jadi segeran. Tapi kok kulit Ibu merah begitu, Bu?” tunjuk Miranti janggal.

“Iya, mungkin karena tadi saya pakai air dingin.”

“Kenapa nggak pakai air hangat, Bu?”

“Badan saya terasa lebih nyaman setelah mandi air dingin.”

Miranti manggut-manggut saja lalu memberikan baju untuk Kanaya.

Jika saja Miranti tahu apa yang dilakukan Kanaya di dalam kamar mandi tadi, mungkin ia akan merasa kasihan.

Ya, Kanaya memang mandi. Namun alih-alih membersihkan diri seperti mandi pada umumnya, Kanaya menggosok tubuhnya berulang kali dengan spon dan sabun hingga ia merasa benar-benar bersih. Bersih dari apa yang kembali membawanya pada ingatan di masa lalu.

Masa di mana Kanaya mendapati dirinya terbangun dengan pakaian yang berantakan di gudang sekolah bersama seorang pemuda yang cintanya ia tolak beberapa hari sebelumnya.

Sejak hari itu, Kanaya tahu dirinya sudah kehilangan kesucian dirinya. Dan sejak hari itu juga, Kanaya memilih pergi dan tinggal di tempat yang jauh, tempat di mana tidak ada orang yang mengenalinya hingga takdir membawa ia kembali dan bertemu dengan pria yang justru menorehkan luka yang sama pada Kanaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status