Kanaya merasakan sakit di sekujur tubuhnya ketika sadar. Perlahan ia mencoba membuka mata, lalu segera menutupnya kembali saat sinar yang cukup terang menusuk retina.
Ia menatap sekeliling dengan mata setengah terbuka, mencoba mengenali suara dan bayangan di kamar itu.
"Bu Kanaya? Bu? Ibu bisa dengar suara saya?" suara lembut itu mengalir seperti air tenang, tapi tetap membuat dada Kanaya berdebar.
Ia menoleh, tak mengenal wajah yang muncul di depannya.
"Saya di mana?" tanya Kanaya, suaranya serak dan hampir tak terdengar.
"Ibu di kamar di Villa Seruni. Saya Miranti yang akan menemani dan merawat Ibu sampai sembuh."
Perlahan, tubuh Kanaya terasa hangat meski masih gemetar.
‘Villa Seruni…? Di mana itu? Dan sembuh dari apa?’ pikirnya, alih-alih bertanya keras-keras.
Ia memaksa membuka mata sepenuhnya. Kamar luas dengan dekorasi tropis menyambut pandangannya. Warna dinding terasa hangat, lantai kayu mengkilap, dan juga tirai tipis yang menutup sebagian jendela.
Namun perhatian Kanaya langsung tertuju pada infus di tiang di samping tempat tidur dan selang yang menempel di tangannya. Napasnya tersengal saat ia menyadari tubuhnya rapuh dan lemah.
Lalu…
Helaan napasnya terdengar, dan Miranti segera mendekat, membantu Kanaya duduk perlahan.
Setiap gerakan membuat tubuh Kanaya menjerit nyeri. Ia mengerang pelan, mencoba menahan rasa sakit sekaligus rasa takut.
"Ibu perlu sesuatu?" tanya Miranti, cemas.
Kanaya hanya menggeleng.
‘Aku tak tahu harus bilang apa. Tubuhku rasanya bukan milikku sendiri.’
“Kamu kerja di sini?” tanya Kanaya, masih dengan nada pelan.
"Suami saya kerja sebagai penjaga villa di sini," jawab Miranti.
Kanaya mengangguk tanpa kata, pikirannya melayang ke kejadian di pesawat, dan rasa sakit yang belum sepenuhnya hilang.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan Kanaya menoleh. Sosok Leon muncul, matanya tajam namun bibirnya memamerkan senyum tipis.
“Iya, Bunda. Kanaya sudah baikan kok. Nih kalau nggak percaya.”
Ia memberi isyarat pada Miranti untuk mundur, lalu duduk di samping Kanaya, merangkul bahunya agar wajahnya terlihat di layar video call bersama sang bunda.
Kanaya menatap layar, jantungnya berdegup kencang, bukan karena kebahagiaan tapi karena kehadiran Leon.
Sentuhan tangan yang hangat di bahunya menimbulkan getaran aneh, campuran antara nyaman dan gelisah.
Ia ingin menepis, tapi tubuhnya tak cukup kuat untuk bergerak.
‘Kenapa aku merasa takut padanya?’ pikir Kanaya, hatinya bergetar dalam diam.
“Kanaya, kamu baik-baik saja, Sayang? Bunda dapat kabar katanya kamu pingsan pas turun dari pesawat.” Suara sang mertua terdengar khawatir, dan Kanaya hanya bisa menelan ludah saat remasan tangan Leon membuatnya tersadar.
"Hmm, Kanaya juga nggak tau, Bunda." Suaranya serak, dan ia menunduk, membiarkan Leon menutupi ketidakmampuannya untuk menjawab.
Leon tersenyum kecil, menatap Kanaya, lalu mengecup keningnya. Sensasi itu membuat Kanaya tersentak. Ada rasa hangat yang menyebar hingga ke ujung jari, tapi juga rasa takut yang membuatnya menahan napas.
‘Ini perasaan yang pernah aku rasakan sebelumnya, tapi lebih intens, dan lebih berbahaya,’ pikirnya.
“Ya sudah. Kalau begitu biar Kanaya istirahat, Leon. Kamu nggak usah ganggu Kanaya dulu,” ujar bunda Leon.
“Bunda yang minta cepat-cepat punya cucu,” jawab Leon, setengah bercanda, setengah serius.
Kata itu membuat Kanaya menelan ludah lagi, pikirannya berputar.
‘Cucu? Aku bahkan baru saja menikah tapi kenapa aku merasa tubuhku tak sepenuhnya milikku sendiri?’
Leon berdiri setelah video call selesai, tatapannya menusuk.
“Nanti ada dokter yang akan memeriksa kamu. Katakan saja apa yang terasa sakit dan membuat kamu tidak nyaman.”
Kanaya hanya menatap, pertanyaan menggantung di bibirnya.
‘Dia tidak tahu betapa kacau pikiranku sekarang, atau mungkin memang sengaja membuatku merasakan semua ini,’ batinnya.
Saat Leon pergi, Miranti masuk membawa nampan makanan. Kanaya menerima makanan itu dengan tangan gemetar. Ia menatap obat yang terhidang juga di sana.
‘Kalau dokter belum memeriksa, bagaimana bisa Leon memberikan ini?’ pikirnya.
Namun rasa lelah yang teramat dan kantuk menaklukkan logikanya, dan ia memilih patuh.
Tidur Kanaya pun diikuti mimpi buruk. Fragmen ingatan yang muncul di pesawat, rasa terhina dan ketakutan yang belum hilang membuatnya terbangun dengan jantung berdebar dan tubuh basah oleh keringat dingin.
Miranti menatapnya cemas. “Ibu mimpi buruk, ya?”
“Iya. Mimpi tidak menyenangkan,” jawab Kanaya pelan.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan tubuh dan pikirannya.
Namun rasa trauma akan masa di mana ia kehilangan kesucian dan kepercayaan pada pria, masih terasa menusuk di hati.
‘Leon… aku tidak ingin mengingatnya, tapi aku juga tidak bisa menepisnya’
Kanaya masih merasakan hangatnya sentuhan Leon di bahunya, meski pria itu telah pergi.
Tubuhnya bergetar, bukan karena rasa nyaman semata, tapi juga karena campuran takut dan tak terkendali.
Tangannya seakan menempel di kulitnya sendiri, mencoba merasakan lagi sensasi yang baru saja ia alami, namun matanya menatap kosong.
‘Kenapa hatiku berdetak kencang hanya karena satu sentuhan? Kenapa aku merasa seperti terluka lagi, tapi juga tergoda untuk menyerah pada rasa itu?’ pikirnya.
Rasa hangat itu menimbulkan kebingungan, karena sekaligus membangkitkan kenangan akan keintiman yang tak pernah ia izinkan sebelumnya, sebuah rasa aman yang bercampur dengan takut kehilangan kendali.
Ia teringat masa-masa di gudang sekolah, saat tubuhnya dipaksa berada di dekat seseorang yang ia tolak cintanya.
Setiap ingatan saat itu adalah rasa takut, malu, dan kehinaan.
Kini bersama Leon, rasa itu muncul kembali, tapi berbeda meski tidak ada paksaan, hanya campuran dominasi dan kontrol yang membuat Kanaya merasa rapuh.
‘Dulu aku tak berdaya karena dipaksa, tapi sekarang aku tak berdaya karena aku sendiri menolak perasaan ini, tapi tubuhku menerima tanpa izin. Apa yang salah denganku?’
Hatinya sesak, menimbang antara marah pada diri sendiri dan kemarahan yang membara pada Leon.
Setiap otot terasa sakit setelah pingsan dan perjalanan panjang. Detak jantungnya tak menentu, dan pernapasannya berat seperti tercekik.
Di benaknya muncul pertanyaan-pertanyaan liar.
‘Apakah aku akan selalu seperti ini?...
‘Apakah aku akan selalu takut sekaligus tergila-gila pada Leon?...
‘Bagaimana aku bisa menyingkirkan rasa sakit lama sambil menghadapi rasa baru yang membingungkan ini?’
Tangannya bergetar saat ia menyentuh bahunya sendiri, mencoba menenangkan sensasi yang tersisa.
Tapi tubuhnya mengingatkan bahwa trauma fisik dan emosional bisa meninggalkan bekas lebih lama daripada luka yang terlihat.
Kanaya menunduk, menatap tangannya yang gemetar, dan perlahan menutup mata sejenak.
Ia sadar bahwa meski tubuhnya berada di Villa Seruni, aman dari bahaya fisik, jiwanya masih terjebak antara masa lalu dan masa kini.
‘Aku harus kuat. Aku harus memisahkan rasa takut dari rasa tertarik ini. Aku tidak boleh kehilangan diriku lagi.’
Keinginan untuk mandi lantas muncul. Namun bukan sekadar untuk membersihkan tubuh, tapi juga untuk mencoba membasuh rasa bersalah dan trauma yang menghantuinya.
Air dingin yang menampar kulitnya, membuat ia tersadar dari ingatan kelam itu, dan rasa bersih itu terasa seperti kemenangan kecil.
‘Ini tubuhku, tapi rasanya seperti tubuh yang terus-menerus disentuh bayangan masa lalu’
Setiap goresan sabun pada kulitnya membawa ingatan pahit, dari gudang sekolah hingga saat-saat Leon di pesawat.
Perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan—campuran antara rasa takut, sekaligus marah.
Ia membiarkan air mengalir, membiarkan tangannya bekerja, seolah dengan setiap goresan itu, ia menyingkirkan fragmen kenangan yang membuatnya rapuh.
Kanaya mengenakan bathrobe, aroma sabun masih menempel di tubuhnya, dan Miranti tersenyum lega melihat majikannya tampak lebih segar.
Kanaya merasa tubuhnya lebih ringan, namun jiwanya masih terguncang.
‘Aku harus kuat. Aku harus bisa menahan semua ini. Tapi kenapa kehadiran Leon membuatku merasa begitu lemah?’
Miranti mengamati, tanpa menyadari intensitas perasaan yang terjadi di balik gerakan Kanaya.
Kanaya juga menatap dalam diam dirinya di cermin, tubuhnya berwarna kemerahan akibat air dingin dan gosokan yang kasar.
Batinnya terus berputar, mengulang pertanyaan yang sama saat rambutnya yang masih basah, napasnya masih terengah, menetes ke lantai bersamaan.
‘Apakah luka ini akan pernah sembuh?...
‘Atau aku hanya akan terus membawa bayangan Leon dan masa laluku bersamanya?
"Bunda tahu kesalahan Leon sulit dimaafkan. Tapi Bunda harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik. Bagaimanapun, Bunda dan Ayah bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu, Kanaya."Setelah pulang dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Kanaya akhirnya memutuskan pindah rumah.Bunda Leon mengusap ujung matanya yang basah. Ia terpaksa melepas kepergian Kanaya yang ingin memulai hidup sendiri di rumah barunya selama menunggu perceraiannya dengan Leon."Iya, Bunda. Kanaya juga minta maaf kalau selama ini Kanaya belum menjadi anak yang baik untuk Bunda dan Ayah.""Kalau perlu sesutu, jangan sungkan hubungi Ayah dan Bunda," pesan ayah Leon diangguki Kanaya.Kanaya lantas masuk ke dalam mobil. Ia diantar ke rumah kontrakan sederhana yang akan ditempatinya sementara.Meski kedua mertuanya sudah menawarkan apartemen mewah untuk Kanaya tinggali, namun Kanaya merasa lebih nyaman dengan pilihannya sendiri.Selain karena Kanaya ingin lepas dari keluarga Leo
"Kanaya?"Kanaya yang baru selesai makan siang kaget begitu melihat kehadiran sabahabat lama di ruang perawatannya.""Di? Bener itu kamu, Di?"Didi mengangguk lalu menghampiri Kanaya dan memeluknya."Kangen ih! Kamu ke mana aja, sih?""Kamu yang ke mana aja? Btw kamu kok tau aku di sini?" tanya Kanaya membuat Didi mengulum bibir resah sambil menatap Kanaya."Leon?" tebak Kanaya diangguki Didi pelan. Namun diluar dugaan Kanaya tersenyum pada sahabatnya tersebut. "Ada untungnya punya suami kaya raya.""Kanaya." Yang diucapkan Kanaya terdengar menyedihkan bagi Didi."Kamu apa kabar?" alih-alih Kanaya."Aku baik.""Datang sama siapa? Kata Clarisa kamu di Singapur. Udah nikah.""Sama Bani. Tapi dia nunggu di mobil. Soalnya anak kami masih kecil. Nggak boleh masuk rumah sakit 'kan."Kanaya melebarkan bola matanya lucu. "Bani yang dulu..."Mereka lalu tertawa hingga obrolan-obrolan masa lalu meluncur begitu saja. Membuat Kanaya terlihat lebih ceria."Nggak nyangka banget. Kalian nikah sampe
Tiba di hotel Leon segera membersihkan dirinya. Ia memilih berendam di dalam bathup guna menenangkan keresahan yang kini mulai mengganggunya setelah pertemuan dengan Didi dan Bani.Leon mulai menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya pada Kanaya. Namun, meski masalalunya terbuka kembali, Leon masih memerlukan bukti yang kuat.Ia harus balas dendam pada orang-orang yang sudah membuat ia salah sangka pada Kanaya. Batinnya bergejolak.Memikirkan Kanaya yang sedang berada di rumah sakit membuat Leon berbegas menyelesaikan mandinya dan menelepon sang Bunda."Ada apa?" suara ketus Bunda Leon membuat sang anak menghela napas pelan."Kanaya gimana kondisinya, Bund?""Perlu kamu tahu? Bukannya kamu benci sama dia?""Bund, tolong. Leon tahu Leon salah. Tapi Bunda juga nggak bisa menyalahkan Leon sepenuhnya. Semua ini salah paham.""Tapi Bunda dan Ayah tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi laki-laki jahat sejahat apapun perlakukan orang terhadap kita. Apalagi Kanaya itu istri kamu. Dia pere
Leon tiba di Bandara Changi Air Port Singapura. Lima jam setelah pertemuannya dengan Clarisa di supermarket, sepupu dari Didi, sahabat Kanaya saat masih bersekolah. Ya, setelah berbicara di telepon melalui Clarisa, Leon bergegas menyambangi Didi yang kini tinggal di Singapura. Leon benar-benar tak sabar ingin menanyakan semua hal yang kini bergumul di dalam kepalanya. Dan demi hal itu, Leon rela meninggalkan apapun yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Termasuk meeting pentingnya dengan seorang klien dari Jerman. “Bisa kita bertemu sekarang?” “Hah? Kamu di mana memangnya?” “Aku sudah tiba di Singapura,” terang Leon sambil berjalan menuju mobil yang menunggunya. “Arya, kamu gila?” seru Didi di seberang sambungan telepon sana. “Kita harus bertemu. Ini tentang Kanaya,” ujarnya kali ini. “Hah? Kanaya? Maksud kamu?” Sebelumnya Leon memang tidak membahas soal Kanaya saat berbicara dengan Didi. Karena itu kali ini ia menggunakan nama Kanaya agar Didi bisa segera bertemu dengannya. “
Leon baru saja menceritakan masalalu yang membuatnya sangat membenci Kanaya di hadapan kedua orangtuanya.Kanaya hanya bisa menitikkan air mata. Selama ini ia bertanya-tanya kenapa dulu Leon yang semula ia kenal sebagai Arya tega memperkosanya di gudang sekolah. Dan kini Kanaya tahu kenapa Leon sangat membencinya.Leon mengira Kanaya lah yang menjadi penyebab dari semua kesalahpahaman yang sudah berlangsung hingga belasan tahun lamanya.“Apa benar begitu Kanaya?”Kanaya menggeleng. “Apa Bunda dan Ayah ingat waktu kakek dan nenek Kanaya meninggal?”Tuan Barata, Ayah Leon lantas menatap sang istri. Mencari-cari jawaban yang tampak kesulitan untuk diingat.“Waktu Tuan Wardana meninggal, bukankah kita sedang berada di Monako, sayang?”“Ayah benar. Waktu itu bukannya Mbak Sarah sedang ulang tahu, ya? Kita mengadakan pesta di resort,” terang Bunda Leon diangguki sang suami. Lanjutnya, “Kalau tidak salah tanggal lahir Mbak Sarah…”“7 Oktober?” Kanaya lebih dulu menyela.“Bagaimana kamu tahu?
Flash back.... "Ngegambar terus, sekali-kali gambar masa depan kamu donk, Ya."Kanaya terkekeh dengan celoteh sahabatnya tersebut. "Kamu ngomong apa, sih, Di? Sana jajan ke kantin aja. Daripada ganggu aku." Didi berdecak. Namun tak bicara lagi setelahnya. Ia hanya mengamati kegiatan Kanaya yang sedang menyelesaikan desaian pakaian yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba. "Akhirnya!" seru Kanaya lega lalu meregangkan tangan dan badannya. "Ikut aku, yuk!" Tanpa aba-aba Didi langsung meraih tangan Kanaya dan mengajaknya keluar kelas."Eh, mau ke mana?"Didi tak menjawab. Ia bergegas membawa Kanaya dengan cepat. "Di, pelan-pelan dong!" "Duh, nanti keburu bel masuk, Kanaya.""Memang kita mau ke mana?" ulang Kanaya semakin penasaran."Nanti juga kamu tahu."Didi rupanya membawa Kanaya menuju gudang belakang sekolah. Dan di sana sudah menunggu seorang anak laki-laki yang terlihat mondar mandir resah dengan segenggam bunga daisy yang ia sembunyikan di balik punggungnya."Arya!" Did