Udara siang yang panas terasa berbanding terbalik dengan dinginnya suasana hati Kanaya.
Belasan pria bertubuh tegap dan berwajah garang tampak keluar dari Kantor Urusan Agama, langkah mereka mantap, tatapan mata menyapu setiap sudut dengan kewaspadaan.
Di tengah barisan itu, sepasang pria dan wanita berjalan bergandengan tangan. Kanaya nyaris tak percaya, baru beberapa menit lalu ia resmi menjadi istri pria di sampingnya, Leon.
Kebaya putih sederhana yang Kanaya kenakan dan pilihan khusus dari ibu mertuanya terasa berat di tubuhnya.
Mungkin bukan karena bahan kainnya, tapi karena tatapan semua orang yang seperti menuntut ia menjadi seseorang yang berbeda mulai detik ini.
“Bunda dan Ayah pulang dulu, ya, Kanaya. Kalian berbulan madu saja yang tenang,” ucap sang mertua sambil menoleh pada sanga anak, Leon, matanya melembut tapi nada bicaranya mengandung peringatan. “Jaga menantu Bunda baik-baik, ya, Leon. Awas kalau kamu jahatin. Bunda—”
“Ehem.” Potongan singkat dari suaminya membuat Bunda Leon melirik kesal.
“Ayah tuh kebiasaan. Bunda lagi nasehatin Leon,” protesnya sambil mendelik manja.
“Leon sudah besar, Sayang. Dia sudah menikah. Biarkan dia menjalankan tanggung jawabnya tanpa kita atur,” sahut sang ayah, nada suaranya tenang tapi tegas.
Bunda Leon menghela napas, lalu mendekap Kanaya erat. Pelukannya mengandung sesuatu yang berbeda, hangat, namun juga seakan menyampaikan pesan rahasia.
Bibirnya mendekat ke telinga Kanaya, menyampaikan bisikan yang hanya mereka berdua yang tahu.
Kanaya sedikit terkejut. Ia hanya sempat menatap sebentar, mencoba memahami maksud ucapan itu, sebelum Bunda Leon melepaskannya.
Leon di sisi mereka memutar bola mata, sang ayah hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis.
Mereka berdua mengantar kepergian orangtua Leon, melambaikan tangan hingga iring-iringan mobil mewah itu menghilang di tikungan.
Begitu mobil terakhir tak lagi terlihat, Leon mengangkat ponselnya dan menjauh tanpa sepatah kata pun.
“Leon, tunggu!” seru Kanaya, sedikit tergesa.
Leon tak mengindahkan. Langkahnya cepat, suara di ujung telepon jelas menyita seluruh perhatiannya.
Kanaya mengangkat sedikit sisi kebaya dan jariknya, mencoba mengejar di halaman parkir.
“Leon, tunggu!” serunya lagi.
Tepat saat ia berhasil mendekat, Leon tiba-tiba berbalik. Tubuh Kanaya yang tak sempat mengerem menubruk dadanya yang keras.
“Aduh!”
Kanaya meringis, tapi tatapan yang ia dapat hanyalah sebelah alis terangkat.
“Ceroboh,” desis Leon, lalu menutup ponsel. Ia tak mengulurkan tangan, malah memberi isyarat pada salah satu pengawal.
“Mari, Nyonya. Saya bantu,” ucap sang pengawal sopan.
“Tidak apa. Saya bisa sendiri, terima kasih,” jawab Kanaya, berusaha tegar.
Gerakannya yang menolak bantuan itu membuat Leon mengepalkan tinju di balik kantong celana.
“Kita mau ke mana?” tanya Kanaya, menahan kesal.
“Kamu tidak dengar kata Ayah dan Bunda tadi? Telinga kamu ke mana?” Nada Leon ketus.
Kanaya hanya mengerutkan kening. Ia tak punya pilihan selain patuh ketika Leon berkata, “Masuk mobil. Kita bisa terlambat.”
***
Perjalanan menuju bandara berlangsung hening. Leon sibuk mengetik di ponselnya, sedangkan Kanaya memandangi pemandangan di luar, pikirannya melayang pada pesan rahasia ibu mertuanya. Kata-kata itu seperti menyisakan tanya yang belum ia pecahkan.
“Bunda bilang apa sama kamu tadi?” Leon tiba-tiba bertanya, memecah kesunyian.
“Hmm?” Kanaya berpaling, tapi tatapan tajam Leon membuatnya mengerti ia tak boleh berbohong.
“Bunda cuma minta aku lapor kalau kamu jahat sama aku,” jawabnya akhirnya, mencoba terdengar santai.
Leon mendengus, bertepatan dengan mobil yang berhenti di dekat sebuah jet pribadi berwarna putih mengilap. Seseorang berdiri di bawah tangga pesawat, menunggu.
“Selamat siang, Pak Leon,” sapa pria itu—Bobi, pria yang satu pesawat dengan Kanaya dari London—dengan pakaian kasual, meski wibawanya tetap terasa.
“Bagaimana dengan hal yang saya katakan tadi?” tanya Leon, tatapannya serius.
“Semua sudah diatur sesuai permintaan. Oh ya, selamat atas pernikahannya.” Bobi mengulur tangan.
“Terima kasih,” balas Leon singkat.
Bobi mengangguk, lalu mengambil buket bunga yang dibawakan pengawal lain.
“Selamat atas pernikahannya, ya, Yaya,” ucapnya lembut, memanggil Kanaya dengan nama panggilan yang terdengar akrab.
“Makasih, Mas Bobi,” jawab Kanaya, sedikit tersenyum.
Leon yang berdiri tak jauh mencatat detail kecil itu. Kanaya memanggil Bobi dengan sebutan “Mas” yang hangat, berbeda dari caranya memanggil Leon yang selalu datar. Rahangnya mengeras, tapi ia menahan komentar.
“Naik duluan,” perintah Leon pada Kanaya, nadanya tak bisa ditawar.
Kanaya mulai menaiki tangga, namun jarik dan hak kecil di kakinya membuat langkahnya kikuk.
Tepat di anak tangga ketiga, ujung jariknya tersangkut, membuat tubuhnya limbung. Bobi yang berada paling dekat segera meraih lengannya.
“Kamu nggak apa-apa, Ya?”
“Nggak apa, Mas. Makasih udah bantu,” jawab Kanaya, mencoba menstabilkan diri.
Bobi mengangguk, masih menahan lengannya agar tak jatuh lagi. Dari bawah, Leon menyaksikan pemandangan itu dan darahnya terasa mendidih.
“Lepaskan istri saya!” suaranya memotong udara, dingin dan tajam.
Kanaya dan Bobi sontak menoleh. Bobi berusaha melepaskan meski Kanaya tetap memegang pegangan tangga dan tangan Bobi untuk keseimbangan.
“Maaf, Pak. Saya hanya—”
Leon tak memberi kesempatan. Tangannya menarik pergelangan Kanaya, melepaskannya dari kedua pegangan, dan dalam satu gerakan cepat, mengangkat tubuhnya ke gendongan.
Kanaya terkejut, tapi reflek melingkarkan tangan di bahu Leon.
Mereka masuk ke kabin jet, melewati lorong sempit hingga tiba di sebuah kamar kecil dengan ranjang empuk.
Tanpa banyak kata, Leon meletakkan tubuh Kanaya atau lebih tepat melemparnya atas ranjang.
“Kamu—”
Kalimat Kanaya terhenti ketika Leon menunduk dan mencium bibirnya. Bukan ciuman lembut, melainkan serangan rakus, penuh dorongan yang membuat napasnya tercekat.
Mata mereka bertemu di sela desakan itu. Kanaya ingin mendorongnya, tapi tatapan Leon terlalu tajam, seperti mencoba menembus ke dalam pikirannya.
Ketika keintiman itu hampir memuncak, Leon mendadak berhenti. “Buka matamu,” perintahnya.
Kanaya menatap bingung. “Ada apa?”
“Aku bukan yang pertama untukmu?” Suaranya datar, tapi sorot matanya menyala dengan kemarahan yang tertahan.
Kanaya menggigit bibir, hatinya tercekat. Bagaimana Leon tahu? “Jawab!” bentaknya.
Kanaya menarik napas panjang, lalu berkata dengan nada yang mencoba tenang meski dadanya berdegup kencang.
“Lakukan sesukamu. Bukankah kamu menikahiku karena kamu membutuhkan pernikahan ini? Jadi apa pentingnya semua itu untukmu?”
Jawaban itu membuat Leon menggeram. Rahangnya mengeras, dan ia kembali bergerak, kali ini lebih kasar.
Kanaya memekik pelan, memalingkan wajah, mencoba mengabaikan rasa sakit di tubuh dan hatinya.
Harapan ibu mertuanya berkelebat di pikirannya, namun ia tahu Leon tidak akan pernah menempatkan ia di hatinya.
Tempat itu sudah diisi oleh seseorang lain seseorang yang namanya kini muncul di layar ponsel Leon yang tergeletak di lantai.
Leon melirik layar itu, dan wajahnya mengeras.
“Sialan,” gumamnya di sela napas berat. “Aku akan membuatmu menderita atas penghinaan ini.”
Kalimat itu menjadi vonis tak tertulis, dan malam di udara itu menjadi awal dari luka yang tak akan mudah sembuh bagi Kanaya.
"Bunda tahu kesalahan Leon sulit dimaafkan. Tapi Bunda harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik. Bagaimanapun, Bunda dan Ayah bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu, Kanaya."Setelah pulang dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Kanaya akhirnya memutuskan pindah rumah.Bunda Leon mengusap ujung matanya yang basah. Ia terpaksa melepas kepergian Kanaya yang ingin memulai hidup sendiri di rumah barunya selama menunggu perceraiannya dengan Leon."Iya, Bunda. Kanaya juga minta maaf kalau selama ini Kanaya belum menjadi anak yang baik untuk Bunda dan Ayah.""Kalau perlu sesutu, jangan sungkan hubungi Ayah dan Bunda," pesan ayah Leon diangguki Kanaya.Kanaya lantas masuk ke dalam mobil. Ia diantar ke rumah kontrakan sederhana yang akan ditempatinya sementara.Meski kedua mertuanya sudah menawarkan apartemen mewah untuk Kanaya tinggali, namun Kanaya merasa lebih nyaman dengan pilihannya sendiri.Selain karena Kanaya ingin lepas dari keluarga Leo
"Kanaya?"Kanaya yang baru selesai makan siang kaget begitu melihat kehadiran sabahabat lama di ruang perawatannya.""Di? Bener itu kamu, Di?"Didi mengangguk lalu menghampiri Kanaya dan memeluknya."Kangen ih! Kamu ke mana aja, sih?""Kamu yang ke mana aja? Btw kamu kok tau aku di sini?" tanya Kanaya membuat Didi mengulum bibir resah sambil menatap Kanaya."Leon?" tebak Kanaya diangguki Didi pelan. Namun diluar dugaan Kanaya tersenyum pada sahabatnya tersebut. "Ada untungnya punya suami kaya raya.""Kanaya." Yang diucapkan Kanaya terdengar menyedihkan bagi Didi."Kamu apa kabar?" alih-alih Kanaya."Aku baik.""Datang sama siapa? Kata Clarisa kamu di Singapur. Udah nikah.""Sama Bani. Tapi dia nunggu di mobil. Soalnya anak kami masih kecil. Nggak boleh masuk rumah sakit 'kan."Kanaya melebarkan bola matanya lucu. "Bani yang dulu..."Mereka lalu tertawa hingga obrolan-obrolan masa lalu meluncur begitu saja. Membuat Kanaya terlihat lebih ceria."Nggak nyangka banget. Kalian nikah sampe
Tiba di hotel Leon segera membersihkan dirinya. Ia memilih berendam di dalam bathup guna menenangkan keresahan yang kini mulai mengganggunya setelah pertemuan dengan Didi dan Bani.Leon mulai menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya pada Kanaya. Namun, meski masalalunya terbuka kembali, Leon masih memerlukan bukti yang kuat.Ia harus balas dendam pada orang-orang yang sudah membuat ia salah sangka pada Kanaya. Batinnya bergejolak.Memikirkan Kanaya yang sedang berada di rumah sakit membuat Leon berbegas menyelesaikan mandinya dan menelepon sang Bunda."Ada apa?" suara ketus Bunda Leon membuat sang anak menghela napas pelan."Kanaya gimana kondisinya, Bund?""Perlu kamu tahu? Bukannya kamu benci sama dia?""Bund, tolong. Leon tahu Leon salah. Tapi Bunda juga nggak bisa menyalahkan Leon sepenuhnya. Semua ini salah paham.""Tapi Bunda dan Ayah tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi laki-laki jahat sejahat apapun perlakukan orang terhadap kita. Apalagi Kanaya itu istri kamu. Dia pere
Leon tiba di Bandara Changi Air Port Singapura. Lima jam setelah pertemuannya dengan Clarisa di supermarket, sepupu dari Didi, sahabat Kanaya saat masih bersekolah. Ya, setelah berbicara di telepon melalui Clarisa, Leon bergegas menyambangi Didi yang kini tinggal di Singapura. Leon benar-benar tak sabar ingin menanyakan semua hal yang kini bergumul di dalam kepalanya. Dan demi hal itu, Leon rela meninggalkan apapun yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Termasuk meeting pentingnya dengan seorang klien dari Jerman. “Bisa kita bertemu sekarang?” “Hah? Kamu di mana memangnya?” “Aku sudah tiba di Singapura,” terang Leon sambil berjalan menuju mobil yang menunggunya. “Arya, kamu gila?” seru Didi di seberang sambungan telepon sana. “Kita harus bertemu. Ini tentang Kanaya,” ujarnya kali ini. “Hah? Kanaya? Maksud kamu?” Sebelumnya Leon memang tidak membahas soal Kanaya saat berbicara dengan Didi. Karena itu kali ini ia menggunakan nama Kanaya agar Didi bisa segera bertemu dengannya. “
Leon baru saja menceritakan masalalu yang membuatnya sangat membenci Kanaya di hadapan kedua orangtuanya.Kanaya hanya bisa menitikkan air mata. Selama ini ia bertanya-tanya kenapa dulu Leon yang semula ia kenal sebagai Arya tega memperkosanya di gudang sekolah. Dan kini Kanaya tahu kenapa Leon sangat membencinya.Leon mengira Kanaya lah yang menjadi penyebab dari semua kesalahpahaman yang sudah berlangsung hingga belasan tahun lamanya.“Apa benar begitu Kanaya?”Kanaya menggeleng. “Apa Bunda dan Ayah ingat waktu kakek dan nenek Kanaya meninggal?”Tuan Barata, Ayah Leon lantas menatap sang istri. Mencari-cari jawaban yang tampak kesulitan untuk diingat.“Waktu Tuan Wardana meninggal, bukankah kita sedang berada di Monako, sayang?”“Ayah benar. Waktu itu bukannya Mbak Sarah sedang ulang tahu, ya? Kita mengadakan pesta di resort,” terang Bunda Leon diangguki sang suami. Lanjutnya, “Kalau tidak salah tanggal lahir Mbak Sarah…”“7 Oktober?” Kanaya lebih dulu menyela.“Bagaimana kamu tahu?
Flash back.... "Ngegambar terus, sekali-kali gambar masa depan kamu donk, Ya."Kanaya terkekeh dengan celoteh sahabatnya tersebut. "Kamu ngomong apa, sih, Di? Sana jajan ke kantin aja. Daripada ganggu aku." Didi berdecak. Namun tak bicara lagi setelahnya. Ia hanya mengamati kegiatan Kanaya yang sedang menyelesaikan desaian pakaian yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba. "Akhirnya!" seru Kanaya lega lalu meregangkan tangan dan badannya. "Ikut aku, yuk!" Tanpa aba-aba Didi langsung meraih tangan Kanaya dan mengajaknya keluar kelas."Eh, mau ke mana?"Didi tak menjawab. Ia bergegas membawa Kanaya dengan cepat. "Di, pelan-pelan dong!" "Duh, nanti keburu bel masuk, Kanaya.""Memang kita mau ke mana?" ulang Kanaya semakin penasaran."Nanti juga kamu tahu."Didi rupanya membawa Kanaya menuju gudang belakang sekolah. Dan di sana sudah menunggu seorang anak laki-laki yang terlihat mondar mandir resah dengan segenggam bunga daisy yang ia sembunyikan di balik punggungnya."Arya!" Did