Share

Penghinaan

Belasan pria bertubuh tegap dan berwajah garang tampak keluar dari Kantor Urusan Agama. Tatapan mereka terlihat siaga dan awas ke segala arah sambil mengawal sepasang pria dan wanita yang berjalan sambil bergandengan.

Di belakang pasangan itu, mengikuti sepasang pengantin muda yang tampak baru menyelesaikan urusan pernikahan mereka di sana. Sang istri lantas berbalik dan menghampiri pengantin wanita cantik di belakangnya.

Diraihnya sebelah tangan pengantin wanita yang mengenakan kebaya berwarna putih sederhana itu dan ditangkupnya dengan telapak tangan yang lain.

Wajah sang pengantin yang cantik dan mengaggumkan membuatnya tampak sangat menawan di balik balutan kebaya putih pilihan mertuanya tersebut.

“Bunda dan ayah pulang dulu, ya, Kanaya. Kalian berbulan madu saja yang tenang,” ucapnya lalu memiringkan kepala dan menatap pengantin pria yang berdiri tak jauh dari mereka. “Jaga menantu Bunda baik-baik, ya, Leon. Awas kalau kamu jahatin. Bunda–“

“Ehem!” potong sang suami mengingatkan. Namun sang istri malah mendelik sambil berdecak kesal karena ucapannya yang belum selesai dipotong begitu saja.

“Ayah tuh kebiasaan. Bunda ‘kan lagi nasehin Leon.”

“Leon sudah besar, Sayang. Dia sudah menikah. Biarkan dia melakukan tanggung jawabnya tanpa kita atur.”

Sang Bunda mengalah oleh ucapan suaminya. Ia lantas memeluk sang menantu baru sambil berbisik pelan. Bisikan yang tak bisa didengar kedua pria mereka.

Leon memutar bola mata malas dan sang suami hanya menggeleng kecil dengan tingkah sang istri dan menantu baru mereka yang saling melempar kekehan kecil.

Leon dan Kanaya pun mengantar kepergian keduanya, melambaikan tangan seiring mobil yang mereka tumpangi dikawal beberapa mobil lainnya.

“Halo,” ucap Leon sambil menempelkan ponsel di telinganya dan menjauh dari Kanaya.

Alih-alih mengajak, Leon meninggalkan Kanaya setelah mobil iring-iringan kedua orangtuanya menghilang, membuat Kanaya harus mengejar sambil memanggil suaminya.

“Leon, tunggu!”

Namun pria itu abai karena sedang serius menerima panggilan teleponnya.

Kanaya yang menggunakan jarik sebagai bawahan kebayanya cukup kesulitan saat mengejar langkah Leon.

“Leon tunggu!” ulangnya sambil mempercepat langkah.

Sialnya, Leon yang berbalik tanpa aba-aba membuat Kanaya yang sedang mengejar menuburuk tubuh gagah Leon hingga terjatuh.

“Aduh!”

Leon menaikkan sebelah alis dan menatap Kanaya yang mendongak padanya di depan halaman parkir Kantor Urusan Agama.

“Ceroboh!” desisnya lalu mematikan ponsel.

Namun bukannya membantu, Leon malah menyuruh salah pengawal di dekat Kanaya untuk membantu.

“Mari nyonya. Saya bantu.”

“Tidak apa. Saya bisa sendiri. Terim kasih,” tepis Kanaya sopan, membuat Leon mengepalkan kedua tangannya di balik saku celana.

“Kita mau ke mana?” tanya Kanaya berusaha menahan kekesalannya.

“Kamu tidak dengar kata Ayah dan Bunda tadi? Telinga kamu ke mana?”

Kanaya hanya mengerutkan kening. Seperti biasa, ditanya hal sepele saja Leon menjawabnya dengan ketus.

“Masuk mobil. Kita bisa terlambat,” katanya lagi-lagi mendahului.

Kanaya yang mulai terbiasa dengan sikap Leon hanya bisa patuh. Ia tidak dalam posisi bisa melawan atau membalas perbuatan Leon. Terlebih karena kini Leon juga sudah resmi menjadi suaminya.

Dan sepanjang perjalanan menuju Bandara, Leon memilih sibuk dengan ponsel pintarnya sementara Kanaya hanya melamun, mengingat-ingat pesan ibu mertuanya tadi.

“Bunda bilang apa sama kamu tadi?”

“Hmm?”

Leon menoleh dan memberi tatapan tajam yang membuat Kanaya langsung paham.

“Nggak ada. Bunda cuma minta aku lapor kalau kamu jahat sama aku.”

Leon mendengus, bertepatan dengan mobil mereka yang sampai di bandara, di dekat jet pribadi yang terparkir dan siap mengantar mereka ke tempat tujuan.

“Selamat siang, Pak Leon,” sapa Bobi yang mengenakan pakaian kasual hari ini.

“Bagaimana dengan hal yang saya katakan tadi?” tanyanya pada Bobi yang membukakan pintu untuknya.

“Semua sudah diatur sesuai permintaan Pak Leon. Oh ya. Selamat atas pernikahannya, Pak.” Bobi lantas mengulur tangan

“Terima kasih.”

Bobi mengangguk sebelum mengambil buket bunga yang sudah dipersiapkan untuk Kanaya.

“Selamat atas pernikahannya, ya, Yaya,” lirih Bobi saat menyebutkan panggilan khususnya.

“Makasih, Mas Bobi.”

Mendengar panggilan keduanya yang terdengar spesial dan mesra, membuat Leon kesal. Bisa-bisaya Kanaya memanggil pria yang hanya beda satu tahun lebih tua dengannya itu menggunakan sebutan Mas sedang pada dirinya Kanaya hanya memanggil nama saja.

Leon lantas meminta Kanaya untuk naik ke atas pesawat lebih dulu sementara ia mengobrol dengan Bobi.

Sayangnya kesialan itu kembali terjadi. Kanaya yang kesulitan menaiki tangga hampir saja jatuh. Dan reflek yang menahan tubuh perempuan itu bukan Leon namun Bobi yang posisinya lebih dekat dengan Kanaya.

“Kamu nggak papa, Ya?”

“Nggak apa, Mas. Makasih udah bantu saya.”

Bobi mengangguk sambil membantu Kanaya sementara Leon yang melihat adegan itu merasa tersinggung.

Kanaya yang jatuh ke atas pangkuan Bobi merasa lega, namun tidak dengan Leon yang kesal dan akhirnya menghampiri mereka.

“Lepaskan istri saya!”

Kanaya dan Bobi menatap Leon. Keduanya kompak melepaskan diri meski Kanaya masih berpegangan pada pegangan tangga dan sebelah tangan Bobi.

“Ah, iya. Maaf Pak. Saya hanya–“

Leon langsung menarik tangan Kanaya hingga terlepas dari kedua pegangannya. Dan dalam satu hentakkan yang cepat, tubuh Kanaya sudah melayang di atas gendongan Leon.

Meski terkejut dengan sikap suaminya tersebut, Kanaya berusaha tetap tenang. Ia melingkarkan kedua tangannya di bahu Leon hingga mereka tiba di sebuah kabin kamar yang ada di dalam pesawat jet pribadi tersebut.

Leon melempar tubuh Kanaya ke atas kasur begitu saja.

“Kamu–“

Kalimat Kanaya terbungkam. Matanya membelalak karena Leon melahap bibirnya dengan rakus dan Kasar.

Tatapan mereka saling bertemu di antara pertemuan hasrat yang mendesak dan terburu-buru.

Kanaya masih menatap terkejut kedua manik mata Leon yang berkilat tajam sebelum akhirnya ia memilih memejamkan mata dan membiarkan Leon berbuat semaunya di atas tubuh yang semakin tak berdaya.

Namun begitu penyatuan itu terjadi, Leon berhenti dan meminta Kanaya membuka matanya.

“Ada apa?”

“Aku bukan yang pertama untukmu?”

Kanaya menggigit bibir. Sepertinya Leon mengetahui rahasia yang selama ini selalu Kanaya tutupi.

“Jawab!” bentak Leon membuat Kanaya terluka.

“Lakukan sesukamu. Bukankah kamu menikahiku karena terpaksa? Jadi apa pentingnya semua itu untukmu?”

Kanaya menjawab Leon dengan tatapan tenang meski hatinya bergemuruh hebat.

Leon menggeram dalam hati. Rahangnya mengetat seiring dengan dorongan yang ia lakukan dengan kasar. Membuat Kanaya memekik tertahan dan memalingkan wajah.

Hatinya terlalu sakit meski ia akui kenyataan yang ada memang benar adanya. Kanaya tahu diri dan merasa sedih mengingat harapan ibu mertuanya sangat besar terhadap mereka.

Namun Kanaya tak peduli. Ia hanya bisa merelakan diri. Apapun yang dikatakan Leon sudah teguh akan ia telan mentah-mentah. Karena apapun yang terjadi, Kanaya tahu Leon tidak akan pernah mencintai dan menganggap keberadaannya sebagai bagian penting dalam hidupnya.

Kanaya juga yakin kalau di dalam hati Leon tidak ada tempat untuknya. Karena tempat itu sudah terisi untuk seseorang yang namanya kini muncul di layar ponsel Leon yang menyala senyap di atas jasnya yang tergeletak di lantai.

“Sialan! Aku akan membuatmu menderita atas penghinaan ini,” desis Leon sebelum membuat tubuh Kanaya remuk redam bahkan hingga tak sadarkan diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status