Share

Penghinaan

Author: Arrana
last update Last Updated: 2023-08-14 02:51:29

Udara siang yang panas terasa berbanding terbalik dengan dinginnya suasana hati Kanaya.

Belasan pria bertubuh tegap dan berwajah garang tampak keluar dari Kantor Urusan Agama, langkah mereka mantap, tatapan mata menyapu setiap sudut dengan kewaspadaan.

Di tengah barisan itu, sepasang pria dan wanita berjalan bergandengan tangan. Kanaya nyaris tak percaya, baru beberapa menit lalu ia resmi menjadi istri pria di sampingnya, Leon.

Kebaya putih sederhana yang Kanaya kenakan dan pilihan khusus dari ibu mertuanya terasa berat di tubuhnya.

Mungkin bukan karena bahan kainnya, tapi karena tatapan semua orang yang seperti menuntut ia menjadi seseorang yang berbeda mulai detik ini.

“Bunda dan Ayah pulang dulu, ya, Kanaya. Kalian berbulan madu saja yang tenang,” ucap sang mertua sambil menoleh pada sanga anak, Leon, matanya melembut tapi nada bicaranya mengandung peringatan. “Jaga menantu Bunda baik-baik, ya, Leon. Awas kalau kamu jahatin. Bunda—”

“Ehem.” Potongan singkat dari suaminya membuat Bunda Leon melirik kesal.

“Ayah tuh kebiasaan. Bunda lagi nasehatin Leon,” protesnya sambil mendelik manja.

“Leon sudah besar, Sayang. Dia sudah menikah. Biarkan dia menjalankan tanggung jawabnya tanpa kita atur,” sahut sang ayah, nada suaranya tenang tapi tegas.

Bunda Leon menghela napas, lalu mendekap Kanaya erat. Pelukannya mengandung sesuatu yang berbeda, hangat, namun juga seakan menyampaikan pesan rahasia.

Bibirnya mendekat ke telinga Kanaya, menyampaikan bisikan yang hanya mereka berdua yang tahu.

Kanaya sedikit terkejut. Ia hanya sempat menatap sebentar, mencoba memahami maksud ucapan itu, sebelum Bunda Leon melepaskannya.

Leon di sisi mereka memutar bola mata, sang ayah hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis.

Mereka berdua mengantar kepergian orangtua Leon, melambaikan tangan hingga iring-iringan mobil mewah itu menghilang di tikungan.

Begitu mobil terakhir tak lagi terlihat, Leon mengangkat ponselnya dan menjauh tanpa sepatah kata pun.

“Leon, tunggu!” seru Kanaya, sedikit tergesa.

Leon tak mengindahkan. Langkahnya cepat, suara di ujung telepon jelas menyita seluruh perhatiannya.

Kanaya mengangkat sedikit sisi kebaya dan jariknya, mencoba mengejar di halaman parkir.

“Leon, tunggu!” serunya lagi.

Tepat saat ia berhasil mendekat, Leon tiba-tiba berbalik. Tubuh Kanaya yang tak sempat mengerem menubruk dadanya yang keras.

“Aduh!”

Kanaya meringis, tapi tatapan yang ia dapat hanyalah sebelah alis terangkat.

“Ceroboh,” desis Leon, lalu menutup ponsel. Ia tak mengulurkan tangan, malah memberi isyarat pada salah satu pengawal.

“Mari, Nyonya. Saya bantu,” ucap sang pengawal sopan.

“Tidak apa. Saya bisa sendiri, terima kasih,” jawab Kanaya, berusaha tegar.

Gerakannya yang menolak bantuan itu membuat Leon mengepalkan tinju di balik kantong celana.

“Kita mau ke mana?” tanya Kanaya, menahan kesal.

“Kamu tidak dengar kata Ayah dan Bunda tadi? Telinga kamu ke mana?” Nada Leon ketus.

Kanaya hanya mengerutkan kening. Ia tak punya pilihan selain patuh ketika Leon berkata, “Masuk mobil. Kita bisa terlambat.”

***

Perjalanan menuju bandara berlangsung hening. Leon sibuk mengetik di ponselnya, sedangkan Kanaya memandangi pemandangan di luar, pikirannya melayang pada pesan rahasia ibu mertuanya. Kata-kata itu seperti menyisakan tanya yang belum ia pecahkan.

“Bunda bilang apa sama kamu tadi?” Leon tiba-tiba bertanya, memecah kesunyian.

“Hmm?” Kanaya berpaling, tapi tatapan tajam Leon membuatnya mengerti ia tak boleh berbohong.

“Bunda cuma minta aku lapor kalau kamu jahat sama aku,” jawabnya akhirnya, mencoba terdengar santai.

Leon mendengus, bertepatan dengan mobil yang berhenti di dekat sebuah jet pribadi berwarna putih mengilap. Seseorang berdiri di bawah tangga pesawat, menunggu.

“Selamat siang, Pak Leon,” sapa pria itu—Bobi, pria yang satu pesawat dengan Kanaya dari London—dengan pakaian kasual, meski wibawanya tetap terasa.

“Bagaimana dengan hal yang saya katakan tadi?” tanya Leon, tatapannya serius.

“Semua sudah diatur sesuai permintaan. Oh ya, selamat atas pernikahannya.” Bobi mengulur tangan.

“Terima kasih,” balas Leon singkat.

Bobi mengangguk, lalu mengambil buket bunga yang dibawakan pengawal lain.

“Selamat atas pernikahannya, ya, Yaya,” ucapnya lembut, memanggil Kanaya dengan nama panggilan yang terdengar akrab.

“Makasih, Mas Bobi,” jawab Kanaya, sedikit tersenyum.

Leon yang berdiri tak jauh mencatat detail kecil itu. Kanaya memanggil Bobi dengan sebutan “Mas” yang hangat, berbeda dari caranya memanggil Leon yang selalu datar. Rahangnya mengeras, tapi ia menahan komentar.

“Naik duluan,” perintah Leon pada Kanaya, nadanya tak bisa ditawar.

Kanaya mulai menaiki tangga, namun jarik dan hak kecil di kakinya membuat langkahnya kikuk.

Tepat di anak tangga ketiga, ujung jariknya tersangkut, membuat tubuhnya limbung. Bobi yang berada paling dekat segera meraih lengannya.

“Kamu nggak apa-apa, Ya?”

“Nggak apa, Mas. Makasih udah bantu,” jawab Kanaya, mencoba menstabilkan diri.

Bobi mengangguk, masih menahan lengannya agar tak jatuh lagi. Dari bawah, Leon menyaksikan pemandangan itu dan darahnya terasa mendidih.

“Lepaskan istri saya!” suaranya memotong udara, dingin dan tajam.

Kanaya dan Bobi sontak menoleh. Bobi berusaha melepaskan meski Kanaya tetap memegang pegangan tangga dan tangan Bobi untuk keseimbangan.

“Maaf, Pak. Saya hanya—”

Leon tak memberi kesempatan. Tangannya menarik pergelangan Kanaya, melepaskannya dari kedua pegangan, dan dalam satu gerakan cepat, mengangkat tubuhnya ke gendongan.

Kanaya terkejut, tapi reflek melingkarkan tangan di bahu Leon.

Mereka masuk ke kabin jet, melewati lorong sempit hingga tiba di sebuah kamar kecil dengan ranjang empuk.

Tanpa banyak kata, Leon meletakkan tubuh Kanaya atau lebih tepat melemparnya atas ranjang.

“Kamu—”

Kalimat Kanaya terhenti ketika Leon menunduk dan mencium bibirnya. Bukan ciuman lembut, melainkan serangan rakus, penuh dorongan yang membuat napasnya tercekat.

Mata mereka bertemu di sela desakan itu. Kanaya ingin mendorongnya, tapi tatapan Leon terlalu tajam, seperti mencoba menembus ke dalam pikirannya.

Ketika keintiman itu hampir memuncak, Leon mendadak berhenti. “Buka matamu,” perintahnya.

Kanaya menatap bingung. “Ada apa?”

“Aku bukan yang pertama untukmu?” Suaranya datar, tapi sorot matanya menyala dengan kemarahan yang tertahan.

Kanaya menggigit bibir, hatinya tercekat. Bagaimana Leon tahu? “Jawab!” bentaknya.

Kanaya menarik napas panjang, lalu berkata dengan nada yang mencoba tenang meski dadanya berdegup kencang.

“Lakukan sesukamu. Bukankah kamu menikahiku karena kamu membutuhkan pernikahan ini? Jadi apa pentingnya semua itu untukmu?”

Jawaban itu membuat Leon menggeram. Rahangnya mengeras, dan ia kembali bergerak, kali ini lebih kasar.

Kanaya memekik pelan, memalingkan wajah, mencoba mengabaikan rasa sakit di tubuh dan hatinya.

Harapan ibu mertuanya berkelebat di pikirannya, namun ia tahu Leon tidak akan pernah menempatkan ia di hatinya.

Tempat itu sudah diisi oleh seseorang lain seseorang yang namanya kini muncul di layar ponsel Leon yang tergeletak di lantai.

Leon melirik layar itu, dan wajahnya mengeras.

“Sialan,” gumamnya di sela napas berat. “Aku akan membuatmu menderita atas penghinaan ini.”

Kalimat itu menjadi vonis tak tertulis, dan malam di udara itu menjadi awal dari luka yang tak akan mudah sembuh bagi Kanaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Gugatan Perceraian

    Malam itu kian terasa panjang. Meski jam dinding sudah menunjukkan lewat tengah malam, Kanaya berbaring di ranjang kontrakannya dengan tubuh letih dan pikiran yang terlalu riuh.Kata-kata Leon saat konfrontasi mereka sebelumnya seakan terus mengiang-ngiang di kepala Kanaya.Kanaya bahkan masih bisa mendengar dengan jelas suara dingin yang dibungkus ego tinggi itu terucap bersamaan dengan tatapan mata yang menyiratkan obsesi sekaligus penyesalan namun tak pernah benar-benar terucap dengan tulus.Ia lantas menarik selimut sampai ke dagu, berusaha menutup telinga dari suara-suara halus yang datang dari masa lalu.Tapi semakin keras ia mencoba melupakan, semakin jelas potongan-potongan adegan itu mengulang di dalam kepalanya.Leon yang berdiri di depan rumah baru yang ia tempati saat ini. Leon yang menuntut, menyalahkan dan memaksa seolah dirinya masih punya kuasa penuh atas hidup Kanaya.“Kenapa harus aku yang terus menanggung semua ini?” bisik Kanaya lirih dengan kelopak mata yang sudah

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Pertemuan Pertama

    Udara malam itu terasa dingin, membuat bulu kuduk Kanaya meremang.Setelah kejadian beberapa malam sebelumnya ketika derit pagar terdengar dan bayangan samar hingga kehadiran tamu misterius akhirnya muncul, ia selalu waspada pada setiap suara kecil yang datang dari luar rumah barunya.Bahkan saat waktu sudah menyentuh malam hari, justru langkah berat terdengar jelas di halaman.Bukan seperti suara hewan liar yang biasa melintas. Kali ini suara langkah itu berirama, perlahan tapi pasti mendekati pintu.Kanaya menahan napas. Jemarinya mengepal di sisi sofa ketika tubuhnya terasa menegang.Bi Irma yang baru saja membereskan meja makan tampak diam dengan raut wajah yang berubah gelisah.“Non, mungkin lebih baik Non masuk kamar saja,” bisiknya. Ada nada aneh dalam suara Bi Irma, seakan ia tahu siapa yang datang. Dan tebakan itu benar.Tok. Tok. Tok.Ketukan keras, mantap dan tanpa keraguan mengalihkan perhatian keduanya.Kanaya lantas berdiri meski geraknya terlihat kaku. Pandangannya meng

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Perang dan Ketenangan yang Terusik

    Malam kian larut dan sepi. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, tapi Kanaya masih terjaga di ranjangnya.Sejak kedatangan seorang pria asing yang dengan jelas mengaku sebagai utusan Leon, rumah yang Kanaya tempati kini seakan berubah wujud.Rasanya tak lagi teduh, apalagi memberi kenyamanan dan keamanan yang ia harapkan sebelumnya.Udara dingin yang masuk lewat celah jendela terasa kotor, seolah membawa aroma asing yang menempel pada dinding.Kanaya berulang kali menggeliat, mencoba mencari posisi tidur yang nyaman tapi tubuhnya menolak untuk tenang.Bayangan wajah utusan Leon terus melintas di pelupuk mata. Tatapan matanya yang tajam, meski gestur dan cara bicaranya terlihat sopan.Kata-kata orang itu memang halus, meski Kanaya merasa ada hal-hal terselubung yang menekannya.Kehadirannya membuat Kanaya sadar bahwa Leon mungkin tak muncul langsung tapi tangannya tetap tak pernah benar-benar melepaskan dirinya."Kenapa dia tidak menyerah saja? Kenapa dia harus terus menyentuh hidup

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Tamu Misterius

    Rumah yang Kanaya tempoati masih berbau baru. Dindingnya yang bercaty warna putih seakan memantulkan cahaya matahari pagi, membuat ruang tamu tampak lebih luas daripada kenyataannya.Kanaya berdiri di depan jendela seraya menatap keluar tapi tatapannya terlihat kosong.Sudah hampir dua minggu ia menempati rumah kecil ini, sebuah “tempat aman” yang dipilihkan Didi.Mungkin bagi orang lain rumah ini hanya bangunan sederhana di sudut kompleks, tapi bagi Kanaya rumah ini menjadi penanda awal yang baru, awal kebebasannya dari bayang-bayang masa lalu.Sayangnya… semakin hari Kanaya justru esmakin merasa ada sesuatu yang tidak lepas darinya.Perasaan seperti diawasi masih membuatnya gelisah setiap waktu. Rasa yang sama sejak malam ia mendengar pagar bergemerincing dan siluet asap rokok yang mengepul di kegelapan.Malam itu memang sudah lewat, tapi jejaknnya di hati dan pikirannya. Dan kini, ada satu lagi yang membuatnya resah yaitu keberadaan Bi Irma.Bi Irma adalah perempuan paruh baya yang

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Luka dan Harapan

    Malam itu terasa begitu senyap hingga detik jam dinding terdengar jelas di telinga Kanaya.Ia masih duduk di tepi ranjang kala debar jantungnya masih terasa tak karuan sejak suara derit kecil dari pagar.Saat berlari ke jendela ia tak menemukan apa pun, hanya kegelapan yang menelan halaman. Namun rasa diawasi itu tetap tinggal, melekat seperti bayangan yang tak bisa diusir.Perlahan Kanaya berusaha kembali mengistirahatkan tubuhnya meski dengan posisi punggung yang bersandar pada headboard tempat tidur.Tatapan nampak kosong menatap ke depan. Matanya terlihat berat, tapi rasa kantuk itu tak kunjung datang.Ketakutan yang menyelinap di sela tidurnya begitu saja seperti membuka pintu lain di dalam dirinya, pintu yang selama ini ia coba kunci rapat-rapat. Pintu yang membuka tabir kenanangan saat hari kelam di mana tubuhnya begitu lemah dan darah hangat menggenang. Kehidpan kecil yang seharusnya ia genggam justru pergi meninggalkannya.Kelopak matanya perlahan bergetar. Gambaran itu muncu

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Rencan Kepulangan

    Pagi itu, suara dering ponsel membuyarkan konsentrasi Kanaya yang sedang menyiapkan daftar belanja untuk kafe kecil bersama Didi.Nama Dira–adiknya–tertera di layar. Hati Kanaya berdesir, sudah cukup lama mereka tidak berkomunikasi. Dengan sedikit gugup Kanaya lntas menekan tombol terima di layar ponselnya.Wajah ceria Dira muncul di layar video call, disertai senyum lebar yang terasa hangat sekaligus menusuk dada Kanaya.“Kak, ada kabar! Kami rencana pulang sementara ke Indonesia. Mungkin satu atau dua bulan. Ada urusan pekuliahan dan beberapa hal yang harus diurus.”Sekian jenak dada Kanaya bergetar oleh rasa bahagia. Rindu yang ia pendam bertahun-tahun seperti mendapat jawabannya.Namun bersamaan dengan itu, rasa cemas ikut menjalari hatinya.Pulang? Bagaimana jika mereka melihat dirinya sekarang? Seorang perempuan yang nyaris porak-poranda setelah rumah tangganya hancur.Kanaya pun berusaha mempertahankan senyumnya di depan sang adik meski tangan yang menggenggam ponsel sedkit gem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status