Share

6. Pernikahan Kontrak

Uang itu memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.

Kebahagiaan memang tidak bisa dibeli oleh uang, tapi jika tidak punya uang, maka kamu tidak bisa apa-apa.

Itulah mengapa aku benci dengan fakta bahwa hidup jangan bergantung pada uang.

-Gea Athena

***

"Gimana cara mandinya?" tanya Thena polos

Untuk sejenak, Surti mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa sedikit terpana dengan pertanyaan Thena.

"O-Oh... mandinya? I-Ini pake ini," ucap Surti seraya menunjuk ke arah shower. "Puter kerannya yang ini, nanti airnya bakalan keluar." lanjutnya.

"Terus, itu yang kayak bak mandi itu buat apa? apa gak bisa diisi terus mandinya pake gayung?"

"Aduh gusti," seru Surti menepuk keningnya tak habis pikir. "Padahal penampilan Nona teh udah kayak Walanda, tapi kenapa harus hidup susah. Bener kata pak Mandor, selama ini Nona teh hidupnya salah tempat."

Thena tidak menjawab. Ia memilih beranjak masuk ke dalam Shower Enclosure, lalu melirik ke arah Surti, seolah-olah mengatakan 'Aku ingin mandi, tidak bisakah kamu keluar dulu.'

Ditatap seperti itu membuat Surti jadi gugup, ia tidak bodoh untuk sekadar menyadari arti tatapan dari Thena.

"Sepertinya Nona udah mau mandi. Kalo gitu saya permisi dulu, nanti saya siapkan bajunya di atas kasur. Kalo ada perlu apa-apa, Nona tinggal panggil saya– saya nunggu di luar kamar 24 jam nonstop," ujarnya lalu bergegas melenggang pergi keluar dari kamar mandi, dan menutup pintunya rapat-rapat.

Sementara itu, di dalam kamar mandi, Thena tidak benar-benar membersihkan dirinya. Tubuhnya luruh ke lantai, terduduk lemas, sementara air shower itu terus mengguyurnya sampai basah kuyup.

"Emak... Abah... Thena harus gimana? Thena harus lari ke mana lagi?" lirihnya dengan terisak pedih.

Tangisnya pecah. Terdengar begitu pilu.

Thena memeluk erat kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya di sana. Dengan punggung yang gemetar, Thena terus menangis dan terus menyebut nama kedua orangtuanya, juga Tuhan.

Ia berharap kalau dirinya bisa diselamatkan dari nasib buruk ini.

"Nona... kenapa lama sekali mandinya? Nona harus ketemu tuan Briant beberapa menit lagi. Tuan Briant bisa marah besar kalo Nona datang terlambat," kata Surti seraya mengetuk pintu kamar mandi.

Seketika, Thena buru-buru menghentikan tangisnya. Ia menyeka air matanya, dan berdeham sejenak untuk menetralkan suaranya.

"Iya, bi... tunggu sebentar," sahutnya dengan berteriak.

Secepat kilat, ia langsung melepaskan semua pakaiannya dan bergegas membersihkan dirinya.

***

Thena benar-benar seperti seorang dewi. Dia begitu cantik luar biasa dalam balutan gaun panjang sederhana yang berbahan sifon.

Rambut panjangnya yang berwarna kecoklatan itu sengaja digerai oleh Surti, ditambah dengan polesan makeup tipis, membuat kecantikan Thena semakin terpancar hebat.

"Tangan Nona kenapa kasar?" tanya Surti saat memberikan hand cream di tangan Thena.

"Aku jadi buruh cuci, bi."

"Sayang banget. Padahal kulit Nona teh putih pisan, kayak susu. Kenapa mau-mau aja kerja kasar kayak gitu?"

"Karena kalo aku gak kerja nyuci, aku gak bisa makan, bi."

Seketika, suasana pun menjadi canggung. Surti berdeham beberapa kali, lalu mengerling melirik ke arah jam dinding yang hampir menunjukkan pukul 7 malam.

"Ih! Kita bisa terlambat, ayo Nona, bergegas pergi ke lantai dua, biar saya antar."

Dengan terburu-buru, Surti meraih tangan Thena, dan bergegas mengajaknya pergi ke luar kamar dengan sedikit berlari.

Di railing lantai dua, Ismail sudah beberapa kali mengintip, lalu menggerakkan tangannya meminta agar Surti dan Thena untuk bergerak cepat.

"Tuan sudah menunggu dari tadi, kenapa lama sekali?" desis Ismail marah.

"I-Itu, maaf pak-"

"Sudahlah Surti. Aku gak punya banyak waktu," tukas Ismail menyela ucapan Surti, lalu kemudian ia melirik ke arah Thena. "Ayo, ikut saya, Nona Thena." Lanjutnya.

Bergegas, Thena mengikuti Ismail dari belakang untuk masuk ke dalam kamar Briant, sementara Surti menunggu di luar.

"Tuan... Nona Thena sudah ada di sini," ucap Ismail mengabarkan kedatangan Thena pada Briant dengan bahasa isyarat.

Thena hanya diam lalu mengusap dadanya tidak nyaman karena irama jantungnya yang berdentum-dentum.

Di Sana, Ismail terlihat berbicara dengan pria lumpuh yang Thena yakini adalah Briant.

(Bawa dia ke hadapanku, Ismail), perintahnya.

Ismail mengangguk kecil lalu melirik ke arah Thena, dan melambaikan tangannya meminta Thena untuk mendekat.

Sesaat, Thena hampir mengeluarkan suara terkejutnya. Thena pikir, kecacatan yang dialami oleh Briant tidak separah ini, tapi-

"Aku pernah bilang pada Nona tentang kondisi tuan Briant, kan? Jadi tolong, bicaralah dengan tuanku menggunakan bahasa isyarat supaya tuanku mengerti," papar Ismail yang justru terdengar seperti sebuah perintah dari pada sebuah permintaan.

"Tapi, Pak Mandor... saya gak bisa bahasa isyarat," kata Thena penuh rasa penyesalan.

"Pelajari, secepatnya."

"Kalo saya tidak bisa belajar, gimana pak?" tanya Thena lagi.

"Ada buku panduan di ruang perpustakaan. Nanti baca itu semua sampai hafal," perintah Ismail dengan nada suara tajam dan dingin.

Thena menundukkan kepalanya, merasa malu sekaligus takut dengan reaksi Ismail yang semarah itu padanya.

"Tapi, pak mandor... kemampuan membaca saya itu banyak keterbatasan. Gimana kalo saya minta kertas dan pena saja?"

Mendengar itu, membuat Ismail berdecak sebal lalu dengan berat hati ia pun mengambil sebuah note dan pena dari dalam nakas milik Briant.

"Ini, tulis segera. Perkenalkan diri kamu ke tuan Briant," perintahnya.

Tanpa menunggu lama, Thena pun menulis beberapa kalimat di dalam kertas note itu, lalu kemudian ia pun menunjukannya pada Briant.

Melihat itu, Briant hanya memejamkan matanya beberapa kali dalam waktu singkat, sebagai tanda bahwa ia mengiyakan tulisan Thena yang isinya benar-benar hanya perkenalan diri.

Setelahnya, Briant terlihat melirik ke arah Ismail dan kembali menggerakkan tangannya, untuk berbicara dengan Ismail menggunakan bahasa isyarat.

(Sudah cukup perkenalan dirinya. Katakan padanya Ismail bahwa siap tidak siap dia harus menjadi Istriku, dan tolong buat dia menandatangani kontrak)

"Baik, tuan," sahut Ismail dengan sopan.Kemudian, Ismail pun melirik ke Arah Thena. "Cukup perkenalan dirinya, Nona Thena. Sekarang tolong berpamitan dan ikut saya sebentar. Adav beberapa hal yang perlu Nona tanda tangani." Lanjutnya.

Dengan pasrah, Thena langsung mengekor dari belakang, ke mana saja pun Ismail pergi, termasuk untuk pergi ke sebuah ruangan luas yang masih menyatu dengan kamar Briant.

"Ini sebuah kontrak pernikahan, silakan dibaca sedikit lalu tandatangani."

"Apa boleh tuan sebutkan intinya saja? kemampuan membaca saya benar-benar sangat terbatas," ungkap Thena untuk yang kedua kalinya.

Sedangkan – Ismail– sang mandor itu hanya bisa menghembuskan napas kasar lalu bergegas mengeluarkan selembar kertas itu ke hadapan Thena, lalu melirik perempuan itu dengan sorot mata kosong.

"Intinya, pernikahannya hanya berlangsung selama tuan Briant masih menginginkan status pernikahan. Artinya cuma tuan Briant yag berhak memutuskan kontraknya, sementara Nona Thena hanya perlu menuruti saja. Dituliskan bahwa pernikahan ini walaupun didasari kontrak, tapi pernikahannya tetap pernikahan asli yang legal dimata hukum dan agama. Jadi,Nona Thena boleh meminta apapun untuk mahar Nona, akan tuan Briant wujudkan. Selanjutnya, walaupun ini pernikahan asli, tapi tuan Briant tidak ingin tidur satu ranjang yang sama. Diharapkan Nona tidur di sofa dan tuan Briant tetap di ranjang," papar Ismail panjang lebar.

Thena bahkan ragu otaknya mampu menampung itu semua.

"Dan juga, ini bukan termasuk yang tertulis di dalam kontrak, tapi ini cuma tambahan dariku– tolong rawat tuan Briant dengan baik."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status