Share

7. Takdir menyakitka

"Sudah, sudah. Tolong hentikan tangisanmu itu Nona Thena. Hidup dengan tuanku gak seburuk itu," desis Ismail jengkel. "Nona nangis karena fisik tuan Briant yang cacat, iya? Itu gak usah dipikirin. Nona cuma jadi istri tuan Briant sampe tuan Briant selesai sama tujuannya, toh selama pernikahan juga tuan Briant gak akan nyentuh Nona."

Thena tak menjawab. Ia tetap terisak-isak pedih di atas tempat tidurnya.

"Buat apa menangis seperti itu? Seharusnya malah Nona bahagia karena dengan menikahi tuanku, Nona bakal hidup bagaikan ratu selagi Nona jadi seorang penurut. Nona mau apa? uang banyak? Mobil? baju bagus? Atau sebidang tanah? tuan Briant bisa ngasih itu semua buat Nona kalo Nona mau."

Namun, Thena masih saja diam, membuat Ismail jadi gemas sendiri.

"Seharusnya Nona tahu betul, kalo gak menjawab ucapan orang yang usianya lebih tua itu sama dengan gak sopan," sarkasmenya.

Seketika, Thena pun menghentikan isak tangisnya.

"Maaf, pak mandor," sesalnya. Beberapa kali, ia menyeka air matanya lalu kemudian memberanikan dirinya untuk menatap lurus ke arah Ismail.

Memangnya apa yang harus dikatakan oleh Thena? kecacatan Briant hanyalah salah satu alasan kenapa Thena merasa menderita atas kenyataan bahwa dirinya sudah dijual belikan, karena penderitaan sejatinya adalah berasal dari Bimo.

Pria yang sangat dicintai Thena itu dengan teganya membuang Thena layaknya sampah.

"Kenapa melamun? Masih menyesali segalanya? Masih sedih karena harus menikahi pria cacat?" brondong Ismail.

"Tidak, pak. Bukan begitu, s-saya cuma masih sedikit syok," ungkapnya.

"Terima saja takdirmu, Nona. Coba belapang dada dan lihatlah sekeliling, supaya Nona sadar kalo harusnya Nona bersyukur karena dipilih oleh tuan Briant. Sekarang, silakan tanda tangan di atas materai."

Ismail menyerahkan 4 lembar kertas HVS yang disampul hijau pada Thena. Itu adalah kontrak y pernikahan yang harus Thena tandatangani.

"Baik, pak mandor." Suara Thena menyahut setuju.

Dengan tangan yang gemetar, Thena mengambil pena yang diulurkan oleh Ismail, dan segera membubuhkan tanda tangannya di atas materai yang ditempel di lembar terakhir kontrak itu.

***

"Bangun pagi, mandi, pake baju bagus terus harus merias wajah dan wangi. Setelah itu, harus nganterin sarapan ke kamar tuan Briant dan harus sarapan berdua dalam rangka saling mengenal," papar Surti menjelaskan pelan-pelan tentang rutinitas yang harus dilakukan Thena.

"Tapi, Bi. Gimana mungkin aku makan berdua sama tuan Briant, kalo aku saja belum bercerai?" tanya Thena pada Surti.

Sementara itu, Surti hanya tersenyum tipis. "Pak Mandor bilang kalo urusan perceraian Nona sedang diajukan ke pengadilan. Jadi, Nona Thena gak perlu risau. Nona cuma perlu melakukan rutinitas seperti sebagaimana semestinya," ungkap Surti.

Helaan napas berat itu terdengar dari bibir Thena. Bukan lega, karena Thena sudah kehilangan perasaan lega-nya saat ia dijual ke rumah ini. Setelah dijual, yang Thena rasakan adalah keresahan yang tidak ada ujungnya.

"Baik, bi Surti," sahut Thena patuh.

Surti tersenyum hangat. "Kalo gitu, Nona Thena mandi dulu gih. Sebentar lagi waktu makan siang, jadi Nona harus kelihatan seger dan cantik buat nemenin tuan Briant makan di kamarnya."

Thena tidak ada menjawab. Ia hanya melamun dengan tatapan matanya yang menyorot kosong ke arah jendela kamar yang masih tertutup tirai sekalipun matahari sudah naik ke singgasananya.

Surti yang merasa sadar situasi pun bergegas pamit pada Thena lalu melenggang pergi dari kamar itu meninggalkan Thena dengan lamunannya.

***

Daging sapi yang dulu hanya terwujud dalam bentuk mimpi di siang bolong, kini bisa Thena lihat tersaji di piring yang khusus untuknya.

Thena menatap takjub beef steak di hadapannya lalu mengangkat wajahnya, lalu menatap Ismail dan Briant secara bergantian.

"Ini beneran daging sapi?" tanya Thena dengan suara serak. Kentara sekali kalau dia hampir menangis.

"Iya, Nona Thena, itu olahan daging sapi Wagyu premium. Apa Nona pikir itu daging babi?" tanya Ismail seraya memicingkan matanya.

Thena menggeleng lemah. "Bukan, pak. Saya cuma baru pertama kali bisa lihat daging sapi," ungkap Thena.

Sejenak, Ismail dan Briant mematung. Mereka terlihat saling berpandangan lalu seolah baru saja berkomunikasi lewat pikiran, Ismail tiba-tiba mengangguk pada Briant lalu menatap Thena dengan senyuman.

"Kalo begitu, nanti biar aku katakan pada Surti untuk sering membuat menu dari bahan daging sapi, khusus buat Nona," katanya.

Dengan mata berbinar, Thena menatap Ismail dengan senang. "Beneran pak? Makasih banyak!" serunya ceria.

"Berterimakasihnya pada tuan Briant saja, Nona. Aku ini bukan siapa-siapa. Tuan Briant yang memberikan aku perintah," ungkapnya.

Mendengar itu, secepat kilat Thena meraih bolpoin dan buku note berukuran pas di saku, lalu menuliskan sesuatu di sana. Hanya kalimat 'Terima kasih, tuan.' yang Thena tulis dengan huruf kapital agar terbaca oleh Briant.

Sedangkan Briant, ia hanya menjawab ucapan terima kasih itu dengan gerakan kelopak matanya yang terpejam sejenak.

Melihat interaksi Thena dan Briant, membuat Ismail mengulas senyum tipis lalu kemudian ia pun pamit pergi dan membiarkan Thena dan Briant berduaan saja.

Hening seketika melingkupi keduanya. Briant sibuk menusuk beef steak yang sudah dipotong dadu oleh Ismail itu dengan menggunakan garpu, lalu memadukannya ke dalam mulutnya. Ia terlihat kesusahan mengunyah dengan rahang yang bengkok, sehingga Thena lebih memilih fokus pada Beefsteak di piringnya daripada harus menatap ke arah Briant.

Ia takut Briant tersinggung dengan tatapan matanya.

"Apa Mak sama Abah udah makan? Apa mereka sedih pas denger aku dijual?" gumam Thena pelan, bertanya pada dirinya sendiri.

Ditatapnya Beefsteak yang sudah dipotong dadu oleh Surti itu dengan tatapan nanar, lalu Thena meletakkan garpunya disamping piring.

Selera makannya mendadak hilang.

"Aku makan daging sapi di sini, tapi Mak sama Abah makan apa di rumah? Apa bahkan mereka gak makan lagi hari ini?" suara Thena kembali bermonolog.

Susan dan Abimanyu yang merupakan orang tua kandungnya Thena hanyalah buruh pemetik daun teh. Bayaran yang diberikan pun tidak seberapa dibandingkan dengan perjuangan mereka yang harus rela, ketika telinga mereka jadi setengah tuli karena harus mendengar deru mesin setiap kali mengantarkan hasil petikan daun teh-nya ke pabrik pengolahan.

Kadang gaji hariannya hanya 15-20 ribu saja, tidak cukup untuk bayar kontrakan ataupun makan sehari-hari.

Tak lama kemudian, Thena tersadar dari lamunannya, ketika secarik kertas note digeser ke arahnya.

'Apa kamu menemaniku makan hanya untuk melamun?'

Begitulah kira-kira kalimat yang tertulis di note, terasa menunjukkan emosi marah, ketika dibaca, membuat Thena bergegas menulis permintaan maafnya di kertas note yang sama, lalu mengembalikannya pada Briant.

'Maaf tuan. Tiba-tiba saja kepala saya pusing,' tulis Thena berbohong.

Karena takut Briant marah karena merasa tersinggung dengan sikapnya yang tidak memakan makanannya, Thena pun segera menyuapkan sepotong daging sapi itu ke dalam mulutnya dan segera menikmati makanannya dengan tenang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status