Share

2. Tentang Pria Masa Lalu

    Arjani membalik album itu pelan, senyuman di bibirnya yang berpulas gincu merah muda belum juga surut barang sedetik, sejak matanya menjelajah isi album, yang berisi semua kenangannya sewaktu SMA. Dari sekian banyak halaman, juga foto, satu foto di bagian tengah yang ia sematkan beberapa bunga melati, selalu menjadi bagian favoritnya.

    Bukan karena aroma melati di sana yang membuatnya memfavoritkan bagian tersebut, melainkan foto seorang pemuda berseragam putih abu, dengan keterangan nama yang tersemat di sana. Attara Behzad, salah satu teman kelas Arjani, yang berhasil mencuri hatinya bertahun-tahun lamanya.

    Pertanyaan dari Sri kembali terputar di otak Arjani, selain memang karena kutukan itu ia batal menikah, setidaknya Attara juga menjadi bagian kecil dari alasan itu. Teriakan dari ambang pintu kamar, membuyarkan lamunan Arjani soal masa lalu. Seorang gadis berkuncir satu, mengenakan setelan celana denim dan kemeja kotak, khas tren tahun 2004.

    "Arja gila!" serunya lantang, lalu tergesa untuk ikut duduk disamping Arjani. Masam di wajahnya belum sirna, ia melepas topinya lalu merebahkan diri di samping Arjani. "Kamu tahu? Aku memesan tiket dari Papua untuk kembali ke Jakarta, aku bahkan cuma sempat mencicipi kerak telor di sini, hanya untuk kejar-kejaran dengan waktu demi mencari penerbangan ke Sydney paling awal. Uangku sudah hangus semua demi tiket, dan kamu malah seenak jidat nelepon, kasih kabar kamu sudah di Jakarta."

    Seperti belum puas mengeluarkan semua kekesalannya, gadis itu kembali ke posisi duduk lalu menatap Arjani sengit. "Uang segitu banyaknya bisa dimanfaatkan untuk anak-anak Papua yang membutuhkan, tahu!"

"Nanti kuganti," sahut Arjani, santai. "Kamu sepertinya nyaman sekali di Papua. Sudah sejauh mana progresnya di sana, Rey?"

    Reyma Sadewi, nama perempuan tersebut. Seorang gadis yang memilih menghabiskan usia mudanya menjadi ativis aktif, tergabung dalam organisasi yang fokus pada tujuan memajukan pendidikan anak bangsa di pedalaman. Reyma jarang ada di Jakarta, hidupnya berkelana dari pedalaman satu ke pedalaman lain, sebuah hidup yang sangat sesuai dengan mimpi Reyma sendiri.

    "Baik, tidak seburuk progres moveon-mu, sih," sahutnya, sekalian melempar sindiran pada Arjani. Biji matanya bahkan sengaja melirik album yang terbuka di atas pangkuan Arjani, bibirnya mencebik mengejek sempurna. "Sudah dua belas tahun, Ja, enggak capek?"

    "Untungnya cinta enggak punya bentuk, sih, Rey. Kalau cinta berbentuk sekuintal beras, mungkin aku udah mati karena membawanya terus menerus selama 12 tahun," jawab Arjani jenaka.

    "Kamu memang tidak mati karenanya, tetapi hatimu telah mati sampai tidak bisa mencintai orang lain. Orang sebaik Dave bahkan kamu sia-siakan begitu saja--"

    "Kutukan itu," sela Arjani, menyangkal tuduhan Reyma jika ini semua karena ia masih belum mampu melupakan Attara.

    Bahu Reyma berseloroh lelah, ia meneguk teh milik Arjani yang telah dingin. "Apa pun alasanmu, setidaknya sekarang kamu sudah tidak diperbolehkan lagi mengharapkan Attara, Ja. Karena dia sudah berstatus suami orang."

    Demi memastikan pendengarannya tidak salah, Arjani mengangkat kepala. Senyuman senangnya yang sejak tadi terpampang, seperti disapu ucapan Reyma. Bola matanya melotot tidak terima. "Jangan ngarang kamu, Rey."

    "Kamu yang ngarang! Kamu pikir ini Sydney? Ini Indonesia, yang seusia kita sudah punya anak dua! Sadarlah, Arja," ujar Reyma, terlihat prihatin menyaksikan perubahan raut wajah sahabatnya.

    Reyma tidak tega berbuat seperti ini, tetapi melihat Arjani berharap dalam ketidakpastian, lebih menyakitkan baginya. "Aku mau ngabarin sejak awal. Cuma, ya, kamu tahu sinyal tidak pernah baik di pedalaman. Sekalinya aku ke kota buat belanja stok makanan, dan waktu aku nelepon kamu, kamu cerita ada pria yang meminangmu."

    Reyma menghentikan ucapannya, melihat air mata Arjani yang meluruh, ia beringsut mendekat lalu gegas menyusutnya. "Aku pikir kamu sudah berhasil merelakan Attara, Arja. Secara kamu pergi sejauh itu, dan selama itu. Sejak tamat SMA, baru sekarang kamu balik ke Indonesia, aku pikir kamu bisa."

    Menghela napas berat, Reyma merasa bersalah sendiri telah merusak pertemuan pertama mereka setelah sekian lama terpisah jarak, dengan membahas ini di awal. Tangan Reyma naik, menyelipkan rambut cokelat kemerahan milik Arjani ke belakang telinga, gadis yang memiliki paras cantik dari darah campuran Indonesia-Australia itu, terlihat menyedihkan sekarang.

    Tatapan Reyma berhenti pada benda kecil di samping gelas teh yang telah kosong karenanya, Reyma mengambil ponsel itu. "Kamu hidup di negara maju, seharusnya kamu bisa memanfaatkan media sosial untuk mencari tahu kabar Attara."

    Reyma membuka ponsel bermodel flip tersebut, sebuah ponsel terbaru di tahun ini. Gadis itu membuka laman media sosial, yang baru saja dirilis beberapa bulan lalu. Tanpa menunggu waktu lama, Reyma kembali menyerahkan ponsel itu kepada empunya, setelah ia mengetikkan sebaris nama di mesin pencarian.

    "Ponselmu bahkan lebih canggih dari punyaku, aku hanya bermain media sosial saat ke kota di warung internet. Saat itu aku tahu kalau Attara sudah menikah," tutur Reyma.

    Arjani memandangi lamat-lamat foto yang terpampang di sana, gambaran sebuah keluarga kecil yang  begitu bahagia. Rasa penasaran di otak Arjani, mendorong gadis itu menggulir ke foto berikutnya, foto kali ini begitu menyedot atensi Arjani. Ponsel di pangkuannya bahkan ia angkat, memperhatikan dengan begitu baik pada sosok gadis kecil yang berada dalam gendongan Attara.

    "Itu anaknya, enggak usah di-zoom gitu kali, Arja." Reyma membuka suara, membuat Arjani menurunkan ponselnya dan menatap Reyma penuh sirat keterkejutan.

    "Sudah tiga tahun usianya, kalau enggak salah namanya Chika Ruqayah Behzad. Perpaduan nama Attara sama istrinya, yaitu Ayesha Ruqayah," tutur Reyma.

    Untuk kali ini, biarlah ia tampil begitu jahat di depan Arjani, dengan menuturkan kenyataan yang membuat sahabatnya itu patah hati. Arjani mendesah berat, ia menutup laman media sosial tersebut. "Kamu hafal banget nama mereka," sindir Arjani.

    "Tentu. Karena aku sudah berniat ingin memberitahumu. Akan tetapi, kamu lebih dulu bercerita sudah dilamar. Ya sudah, aku enggak jadi cerita, karena saat itu aku pikir buat apa cerita masa lalu yang enggak penting, 'kan?"

    Bukannya menjawab pertanyaan Reyma, Arjani justru menyuarakan rasa ingin tahunya soal Attara. "Dia tinggal di mana sekarang?"

    Mata Reyma memicing, ditatapnya curiga wajah Arjani. Detik berikutnya, ia menggeleng seraya berkata, "Buat apa kamu mau tahu? Mau jadi perusak rumah tangga orang kamu?"

    Selain menuduh, Reyma juga menuding batang hidung Arjani yang mancung dengan telunjuknya, sontak saja Arjani menepis telunjuk Reyma. "Kamu memandangku sejahat itu?" tanyanya balik, tatapannya menyiratkan tidak suka, dan Reyma hanya tertawa kecil sembari meggelengkan kepala.

    "Enggak, aku cuma bercanda. Bagaimana kamu akan menjadi perusak rumah tangga, kalau semasa SMA saja, kamu pasif banget mendekati Attara. Dia tinggal di Aceh, pekerjannya sebagai dosen teknik di Medan, dia bolak-balik demi istri. Istrinya tokoh penting di sana, selain menjadi guru TK, istrinya punya usaha konveksi rumahan, juga organisasi yang dipimpinnya."

    "Well, istrinya emang seperti super woman. Tapi ceritanya, ibu Attara tidak menyukai istrinya itu, membuat Attara akhirnya ikut istrinya tinggal di Aceh," tutur Reyma, gadis itu tahu banyak soal keluarga Attara.

    Arjani memicingkan matanya, menguliti Reyma denggan tatapan curiga. "Kamu tahu banyak soal dia, aku curiga jika di sini kamu juga ikutan naksir akhirnya," tuduhnya.

    Reyma membeliak tidak terima, ia mendorong pelan bahu Arjani. "Dih, enak saja kalu ngomong. Aku pernah ketemu istrinya, ya! Jangan salah! Waktu sosialisasi tentang pentingnya pendidikan di Aceh, kami kolaborasi dengan organisasinya yang punya banyak anggota kaum muda. Waktu itu anaknya baru berusia satu tahun."

    "Kamu menggambarkannya sebagai sosok yang sempurna, tetapi katamu dia tidak disukai oleh ibu Attara. Bagaimana denganku yang jauh dari kata sempurna dan terkutuk," ujar Arjani seraya menutup albumnya.

    Entah Reyma yang mudah terkejut, atau memang setiap perkataan Arjani mengandung kejutan. Mendengar itu saja, Reyma kembali memelototkan matanya. "Jangan bilang kamu masih punya hasrat untuk menjadi istri Attara."

Arjani mengangkat bahu apatis, ia berjalan ke tepi jendela membiarkan hening sejenak, seperti tengah berpikir. "Jika ada kesempatan mungkin bisa," ucapnya pelan.

Mendengar perkataan Arjani, Reyma sontak bangkit menyusul berdiri di tepi jendela. Gadis itu mendengus sebal, lantas bertanya, "Mau jadi istri kedua kamu?"

"Mungkin." Arjani menjawab singkat, disambut pukulan dari Reyma di bahunya.

"Ucapan itu doa, Arja!" seru Reyma tidak terima.

Diam, Arjani tidak merespon, semua perkataannya tentang niat menjadi istri Attara, memang tidak bercanda seperti yang Reyma kira. Mendapati respon Arjani yang buruk, Reyma salah tingkah sendiri.

"Bagaimana progres pembangunan restoranmu? Kamu mempercayakan penuh semuanya pada orang-orang yang bekerja untukmu, kapan kamu punya rencana untuk mengecek sendiri?" Reyma mengalihkan topik, menghindari cekcok yang kerap terjadi antara ia dan Arjani, jika sudah membahas perihal Attara.

"Bagus, orang-orang yang bekerja untukku setia semuanya. Kabar buruknya, ayah tahu aku membangun restoran di sini dengan uang warisan dari ibu," jelas Arjani.

"Ayah melarangku pulang ke Indonesia, katanya di sini tidak aman untukku. Padahal, dia tahu jika aku membangun restoran di sini, aku tumbuh remaja juga di sini. Menurutmu, apa bahaya yang akan menimpa gadis sebatang kara sepertiku ini?" Arjani melempar tanya, yang berhasil membisukan Reyma.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status