Share

3. Menjadi Relawan

    Dua minggu sudah Arjani di Indonesia, hari ini sepulangnya dari makam sang ibu, ia mengajak Reyma untuk melakukan pengecekan bangunan restoran yang ternyata sudah dibangunnya sejak lima bulan lalu, saat ia masih di Sydney.

    Reyma mendongak, sampai kerudung yang hanya tersampir asal di kepalanya melorot. Ditatapnya lamat papan nama yang mencantumkan nama restoran Arjani, sedetik kemudian bibirnya terlipat menahan tawa. Bagaimana tidak, Arjani menamakan restorannya De Verstek, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Jerman, memiliki arti tempat persembunyian.

    Reyma tahu jika Arjani merencanakan membangun restoran ini sejak lima bulan lalu, saat Jimi memaksa gadis itu menerima lamaran Dave. Tempat ini memang sudah direncanakan Arjani sebagai persembunyiannya dari Jimi. Menoleh, Reyma tidak mendapati Arjani di sampingnya lagi, gadis itu sudah masuk ke dalam, terlihat berbicara dengan beberapa orang di sana.

    Gegas Reyma menyusul, ia menepuk bahu Arjani saat lawan bicara sahabatnya itu sudah pergi. "Kamu niat sekali menjadikan usaha ini sebagai pelarian, sampai nama restorannya De Versteck."

    "Apa ada yang salah dengan nama itu?" tanya Arjani.

    Menggeleng, Reyma berkata, "Tidak ada, masih nyambung dengan konsep restoranmu. Tempat ini akan menjadi tempat persembunyian orang-orang melakukan bisnisnya, secara kamu menyasar konsumen kelas atas, dan para pebisnis yang suka melakukan meeting di luar."

    Mendapati pujian itu, senyuman di bibir Arjani merekah sempurna, walau hanya sesaat, sebelum Reyma kembali menarik senyumannya surut dengan perkataan gadis itu.

    "Patah hatimu memang beda, Arja, patah hati membuatmu membuka usaha ini," ledek Reyma, seraya tertawa.

    Arjani melayangkan jitakan ke kening Reyma, membuat Reyma meringis. Arjani duduk di salah satu kursi, diikuti oleh Reyma. Wajahnya berubah sendu, dihelanya napas berat. "Benarkah aku patah hati? Aku tidak pernah merasakan cinta pada Dave sama sekali, hanya kasihan. Itu kenapa aku nekat jujur di malam menjelang pernikahan kami, aku tidak mau dia kecewa mendapati kenyataan dia menikahi wanita terkutuk seperti diriku."

    "Mungkinkah soal Attara?" tanya Arjani, mengakhiri analisisnya sendiri.

    Kepala Reyma menggeleng kuat, ia bangkit dari duduknya untuk memeluk Arjani, seraya berkata, "Aku hanya bercanda, Arja, jangan kamu bawa serius, ih!"

      "Jangan sedih, besok kamu akan opening restoran, lho," hibur Reyma, disambut tawa lirih Arjani.

***

    Sepuluh bulan sudah berlalu, dan seperti pertama kali Arjani membuka restoran itu, hari ini ia melakukan ritual yang sama, mengunjungi makam sang ibu. Rambut cokelat kemerahannya sesekali menusuk matanya karena tertiup angin keras. Di samping pusara itu ia duduk termenung, hidupnya serasa hampa. Ia seperti sebatang kara di dunia ini, dan hanya memiliki Reyma sebagai orang terdekatnya.

    Reyma sudah kembali ke Papua, sehari setelah opening De Versteck, lalu Jimi, pria itu tidak pernah berubah sejak dulu, tidak pernah peduli soal dirinya sama sekali. Terhitung hampir setahun Arjani di Indonesia, Jimi tidak pernah berniat mengunjunginya, pria itu cukup tenang melepasnya hanya dengan menanyakan kabar melalui telepon.

    Jimi seperti tidak tertarik berkunjung ke Indonesia, meski mendengar nama putrinya terkenal sebagai juru masak dari lulusan sekolah memasak terbaik Sydney. Jimi juga tidak pernah tergiur, menyusul Arjani, meski keberhasilan restoran De Versteck sudah sampai ke telinganya sejak jauh-jauh hari.

    "Arja sudah sukses, Bu. Restoran berkembang pesat, tapi Arja tidak bahagia sama sekali. Arja tidak mampu membeli kebahagiaan dengan uang Arja, ataupun uang warisan darimu," ucap Arjani, bermonolog di tanah kubur yang sepi.

    Tumbuh seperti ini sejak kecil, membuat Arjani terbiasa mencurahkan isi hatinya di sini, dia cukup menjadikan batu nisan yang teronggok itu menjadi pendengar setianya. Mungkin jika batu nisan itu bisa menyimpan semua curahan hatinya, entah sudah berapa banyak cerita soal hidupnya yang tersimpan di sana.

    Dering ponsel di tasnya, mengalihkan atensi Arjani. Reyma melakukan missed call padanya, membuat Arjani merekahkan senyumnya sempurna. Ponsel lipatnya menampilkan pesan dari Reyma, mengabarkan jika Reyma sudah sampai di bandara. Ya, menjelang akhir tahun, Arjani meminta sahabatnya itu untuk pulang merayakan pergantian tahun bersama, sekaligus merayakan kemajuan De Versteck.

    [Aku dalam perjalanan dari bandara, tolong sambut aku, Sobat.]

    Tawa Arjani pecah seketika membaca pesan Reyma, ia kembali melipat ponsel itu memasukkannya ke dalam tas. Lantas, ia tersenyum ke arah nisan yang mencetak nama ibunya. Arjani mulai mengucapkan kalimat perpisahan seperti biasa.

    "Bu, Arja pulang dulu. Nanti Arja susul Ibu biar bisa mendapatkan kebahagiaan abadi sepertimu di sisi Tuhan."

    Selesai dengan kalimatnya yang tidak pernah berubah selama bertahun-tahun, Arjani pergi dari sana. Biasanya, jika Reyma mendengar kalimat tadi, gadis itu pasti akan merengut tidak suka.

***

    Arjani duduk di hadapan meja yang penuh dengan makanan, setelah ia gegas kembali ke restoran untuk menyambut Reyma, nyatanya gadis itu belum sampai. Kesempatan menunggu seperti ini, digunakan Arjani untuk berselancar di dunia maya.

    Biasanya, dia akan membuka artikel tentang makanan dan trend terbaru di dunia kuliner. Namun, kali ini, atensinya ditarik pada berita tsunami yang melanda Aceh. Selain simpati yang turut dirasakan, khawatir justru lebih mendominasi hatinya. Nama Attara seketika memenuhi ingatannya, pria itu tinggal di Aceh, jelas saja Arjani khawatir.

    Biji mata cokelat terangnya berkeliran menyapu layar ponsel kecil itu, jarinya tidak pernah mau menuruti logikanya yang memerintahkan agar ia berhenti menggeser kumpulan foto yang baru saja diunggah beberapa jam lalu oleh sang pemilik akun. Tepat saat pergantian hari pada pukul 12 malam tadi, Attara mengunggah beberapa foto yang menjadi unggahan terakhirnya.

    Unggahan berisi kejutan kecil ulang tahun anaknya yang ketiga tahun. Meski sesak memenuhi rongga hatinya, bahagia lebih mendominasi perasaan Arjani sekarang. Arjani bahkan tanpa sadar, ikut tersenyum melihat foto demi foto anak itu.

    "Halo, Bu Bos!" seruan di samping telinganya, membuatnya terperanjat kaget. Arjani menoleh, mendapati Reyma mendelik padanya.

    "Scroll terus! Jadi orang, kok, hobi banget nyakitin hati sendiri." Reyma mecibir, melihat Arjani membuka akun media sosial Attara.

    Gadis itu tersenyum getir. "Lagian kamu lama banget nyampai sini," ujarnya, mencari alasan dengan berlindung di balik kesalahan Reyma.

    Reyma menatapnya sebal, seraya mendudukkan diri, Reyma ikut melempar alasan. "Alasan klasik. Di sini bukan Sydney, di mana kamu tidak akan mendapati kemacetan."

    "Sebenarnya bukan karena anaknya ulang tahun aku membuka media sosialnya, Rey. Tapi kamu tahu, 'kan, kabar terbaru soal Aceh? Daerah itu tadi pagi dilanda tsunami."

    Kepala Reyma yang menunduk fokus pada ponselnya, seketika terangkat. "Kamu khawatirnya sama Aceh, atau sama Attara?" tanyanya, selalu sensitif jika itu berkaitan dengan Attara.

    Arjani mencebikkan bibirnya kesal, ia mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari jawaban untuk pertanyaan simpel Reyma tadi.  "Jika kujawab dua-duanya, bisa?" tanya Arjani balik, membuat Reyma hanya bisa merotasi bola matanya kesal.

    "Aku tahu berita itu, ketua organisasi sudah menghubungiku menanyakan apakah aku bisa turun ke lapangan atau tidak. Aku menolaknya, mungkin aku akan menyusul di Januari nanti setelah semuanya reda."

"Kenapa ditolak?" tanya Arjani, terlihat kecewa.

    Berdecak, Reyma menatap sebal ke arah sahabatnya. "Aku izin cuti karena permintaanmu, kamu juga bagian dari prioritasku, Arja. Lagian masih banyak anggota yang bersedia turun ke lapangan."

    "Kalau begitu, aku ikut dengamu turun ke lapangan," putus Arjani, tidak pelak membuat Reyma melotot kaget.

"Serius?" tanya Reyma, yang langsung diangguki oleh Arjani.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status