"Summer, kau anak baik, kan?" tanya Louis dengan nada membujuk.
Sang balita menjawab dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kalau saja ada penghargaan untuk anak terbaik di seluruh dunia, aku pasti sudah mendapatnya. Aku ini pintar dan senang membantu orang-orang. Aku juga mandiri dan jarang merepotkan orang lain, kecuali Mama. Terkadang, aku masih membutuhkan bantuan darinya. Tapi kata Mama, itu wajar. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan semuanya sendirian."
Louis mengangguk-angguk dengan senyum yang dipaksa lebar. "Bagus. Kalau begitu, bisakah kau buktikan? Uruslah dirimu sendiri. Aku harus berangkat kerja sekarang. Ini sudah sangat terlambat."
Summer tersenyum miring mendengar itu. Telunjuknya menggeliat seperti cacing di depan dagu.
"Paman Louis, kamu tidak bisa membohongiku. Ini hari Minggu. Bibi Emily bilang kalian tidak pernah bekerja di akhir pekan. Sabtu dan Minggu adalah waktu khusus untuk diri sendiri dan keluarga. Karena kamu akan menjadi Papa-ku, bagaimana kalau kita menghabiskan waktu berdua saja hari ini? Kita bisa berjalan-jalan ke objek wisata terdekat atau bermain bersama di rumah. Itu akan sangat menyenangkan."
Louis mematung sesaat. Ia lupa bahwa balita itu terlalu cerdas untuk diakali.
"Aku menggunakan banyak waktu untuk mempersiapkan lamaran kemarin. Beberapa pekerjaanku terbengkalai. Aku harus mengurusnya hari ini," tutur Louis datar.
"Aku bisa membantu." Summer mengangkat sebelah tangan dengan penuh percaya diri. "Meskipun masih kecil, aku sudah bisa membaca dan menulis."
"Bisa membaca dan menulis saja tidak cukup, Summer. Kau perlu pengetahuan bisnis dan kemampuan analisis yang hebat."
Summer berkedip-kedip lugu. "Kalau begitu, aku akan menemanimu bekerja sampai kau selesai. Aku janji tidak akan nakal. Aku hanya akan duduk diam sambil belajar lewat ponsel. Kuharap kau tidak keberatan membagikanku password wifi kantormu."
"Kau punya ponsel?" Mata Louis membulat. "Bukankah kau masih terlalu kecil? Kenapa Sky mengizinkan?"
"Itu kado ulang tahunku yang ke-4. Kakek yang membelinya. Kakek bilang aku butuh ponsel agar Mama lebih mudah mengawasiku. Ada GPS di dalamnya. Mama bisa melacak posisiku atau menelepon kalau dia tidak berhasil menemukanku. Kamu tahu, Paman? Bermain di luar itu lebih menyenangkan dibandingkan di dalam rumah. Banyak hal baru yang bisa kita pelajari di sana. Oh, Paman, bagaimana kalau kita bertukar nomor?"
Tiba-tiba saja, Louis tersenyum miring. "Itu ide bagus. Aku bisa saja memberimu nomorku, tapi kau harus mengembalikan paspor ibumu dulu."
Senyum Summer seketika mengerut. Kelopak matanya turun. Tepat ketika ia hendak protes, ponsel Louis berdering. Louis pun meraihnya dari atas nakas.
"Itu pasti Mama."
Alis Louis kembali terangkat. "Dari mana kau tahu?"
"Mama sudah menelepon beberapa kali, tapi kamu tidak bangun-bangun. Sebetulnya, itu juga yang membuatku yakin kalau kamu tidur nyenyak."
"Kenapa tidak kau angkat?"
Summer mengedikkan bahu. "Bukankah tidak sopan kalau kita menerima telepon di ponsel orang lain?" Sedetik kemudian, ia merapatkan diri kepada Louis.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Louis, meliriknya dengan alis berkerut.
Summer mendongak dengan pipi yang menempel di lengan Louis. "Aku juga mau menyapa Mama."
Setelah menghela napas pasrah, Louis menerima panggilan. Wajah Sky langsung muncul di layar. Belum sempat wanita itu bicara, Summer telah melambaikan tangannya.
"Selamat pagi, Mama. Apakah tidurmu nyenyak? Aku dan Paman Louis tidur nyenyak. Mama tahu? Aku sempat tidur di ruang tamu. Tapi kemudian, Paman Louis memindahkan aku ke kamar ini. Dia juga menemaniku tidur. Ternyata dia sangat baik. Sangat cocok untuk menjadi Papa-ku. Oh, Mama? Ada apa dengan matamu? Kenapa kamu jadi mirip burung hantu?"
Sky memasang raut jengkel. "Jangan berpura-pura tidak tahu, Summer. Mama tidak bisa tidur karena ulahmu. Di mana kamu menyembunyikan pasporku?"
"Kau mencarinya semalaman?" selidik Louis.
Sky mengangguk. "Ya, dan tetap tidak ketemu. Summer, ini sama sekali tidak lucu. Berhenti main-main dan katakan di mana kau menyembunyikannya?"
Sambil menggaruk kepala, Summer terkekeh. "Maaf, Mama. Aku belum bisa memberi tahu. Paman Louis masih belum setuju untuk menjadi Papa-ku."
Tak mau suasana berubah canggung, Louis melempar pertanyaan baru. "Apakah kau sudah mencari di semua tempat? Yang tak terduga seperti di dalam kulkas, misalnya?"
Tawa Summer seketika mengudara. "Paman, paspor itu bukan makanan. Kenapa menyimpannya di dalam kulkas? Itu terlalu konyol."
"Lalu di mana kau menyimpannya?"
"Katakan dulu kalau kamu mau menikahi Mama," Summer memasang raut manja.
"Summer?" tegur Sky. "Kenapa kamu terus memaksa Louis begitu? Itu tidak baik."
"Aku tidak peduli. Pokoknya, aku baru mau mengatakan di mana paspor Mama kalau Paman Louis sudah setuju untuk menjadi Papa-ku. Tapi kurasa, itu tidak akan lama, Mama. Dia sudah mulai berubah pikiran. Tadi pagi saja, dia sempat menyebut nama Mama dalam tidurnya. Kurasa selama ini dia juga merindukan Mama. Hanya saja, dia merahasiakannya."
Sementara Sky meringis malu, Louis mematung. Matanya terbelalak menatap ke arah pintu. Entah sejak kapan, Grace telah berdiri di sana. Tatapannya tajam seolah ingin membunuh.
"Ace," desah Louis sembari menurunkan ponsel dari hadapannya. Ia tidak peduli jika obrolannya dengan Sky belum selesai. Perasaan sang kekasih adalah prioritasnya.
Alih-alih menyahut, Grace malah berbalik pergi. Melihat itu, Louis spontan melompat turun dari kasur.
"Ace, tunggu." Ia menahan lengan Grace. "Tolong jangan salah paham. Dengarkan aku dulu."
"Apa lagi yang perlu kudengar? Bukankah semua sudah jelas?" Grace menyibak tangan Louis dari lengannya. Deru napasnya yang kasar membuat suasana bertambah tegang.
"Kau bilang akan menangani bocah itu. Tapi lihat kenyataannya. Kalian malah semakin akrab. Kau bahkan menemaninya tidur semalam!"
Louis menggeleng tipis. Matanya memicing tak mengerti. "Kau cemburu kepada anak kecil? Ayolah, Ace. Dia bahkan belum genap lima tahun."
"Jangan berpura-pura bodoh, Louis. Kau pikir aku tidak tahu? Kau mulai menganggapnya sebagai anakmu. Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini? Meninggalkan aku untuk menikahi ibu dari anak itu?"
"Ace," Louis memegangi pundak sang kekasih dan menatapnya lembut, "tolong kendalikan emosimu. Kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin. Jangan ceroboh."
"Kaulah yang seharusnya jangan ceroboh. Kau bahkan belum menghubungiku pagi ini, tapi kau sudah menelepon Sky."
"Bukan aku yang meneleponnya, tapi dia yang meneleponku. Itu pun dia lakukan bukan untuk menyapa, tapi untuk menanyai putrinya. Dia masih belum berhasil menemukan paspor yang disembunyikan oleh Summer."
"Kau percaya?" Grace mendengus. "Itu hanya akal-akalan mereka untuk meraih simpatimu, Louis. Kau seharusnya berhenti mengikuti permainan mereka. Lempar saja anak itu keluar. Aku yakin sang ibu akan langsung menjemputnya."
Louis terpejam sejenak. Selagi tertunduk, ia berusaha menjaga kesabaran.
"Ace, bukankah kau sudah mengenalku? Apakah menurutmu aku laki-laki yang lemah dan gampang terpengaruh?" tanya Louis sambil menaikkan alis.
Tak mendapat jawaban, ia pun berbisik, "Aku bersikap baik kepada Summer bukan karena aku tidak mencintaimu lagi, tapi karena dia masih sangat kecil. Dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Apakah kau tidak kasihan kalau aku mengusirnya? Ibunya masih berada di Kanada. Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi padanya sebelum Sky tiba di sini."
"Lihat? Kau memang peduli padanya."
"Aku peduli karena aku manusia. Apakah kau tidak takut padaku kalau aku tega menelantarkan anak kecil? Kau tidak mungkin berharap memiliki seorang suami yang jahat, kan?"
Grace menggeleng tipis. Sembari bicara, telunjuknya menusuk-nusuk dada Louis. "Aku berharap memiliki suami yang tegas dan bertanggung jawab atas janjinya. Kau bilang akan selalu memprioritaskan dan mengerti aku, kau ingat? Sekarang buktikan! Usir anak itu dari rumahmu atau hubungan kita usai!"
Pagi, guys! Semoga suka ya sama ceritanya. Have a nice day! Buat kalian yang kangen cerita Pixie yang lain, bisa baca-baca lagi, ya. 1. Cinta CEO dalam Jebakan 2. Menaklukkan Duda Dingin 3. Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan 4. Istri Presdir yang Hilang 5. Pengawal Misterius Nona Pewaris P.S. Kira-kira, apa yang bakal dilakukan oleh Louis? Yuk komen!
Louis menghela napas cepat. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Ace? Aku tahu kau sedang ingin menguji ketulusan dan kesetiaanku, tapi bukan begini caranya.""Tidak ada cara lain, Louis. Aku mulai meragukanmu dan kamu harus menghentikan itu. Kau tahu seberapa kacau pikiran dan perasaanku sejak bocah itu muncul? Bayangkan saja. Lamaran yang kuimpi-impikan hancur karena ulahnya. Coba tempatkan dirimu di posisiku. Jangan hanya bersimpati padanya!"Louis terdiam dan membisu. Matanya yang sayu kini ikut berkaca-kaca. "Kau sungguh ingin aku mengusir anak kecil yang tidak berdaya itu?""Gunakan akal sehatmu, Louis. Kau tidak harus melemparnya ke jalan. Kau punya banyak pelayan dan pengawal. Pilih saja beberapa untuk mengirimnya pulang. Yang penting, ia enyah dari sini dan tidak mengusik hubungan kita lagi."Louis menarik napas berat. Ia melirik ke arah pintu. Balita yang mengintip di sana tampak ketakutan."Paman Louis, tolong jangan usir aku. Masih ada banyak hal yang mau kulakukan denganmu.
Setibanya di hadapan Summer, Louis langsung menekuk lutut. Hatinya terasa pedih mendengar rintihan gadis kecil itu. Apalagi, saat ia memeluknya, punggung Summer ternyata gemetar hebat. Dua tangan mungil yang mendekap lehernya juga terasa dingin dan berkeringat."Paman Louis," isak Summer sambil terbatuk-batuk, "kenapa kamu meninggalkan aku? Tolong jangan lakukan itu lagi."Louis menarik napas berat. Ia tidak bisa menyangkal kalau penyesalan telah menumpuk tinggi dalam dadanya.Sayangnya, ia tidak bisa meminta maaf. Itu bisa menjadi perdebatan baru antara Grace dengan dirinya. Ia tidak bisa juga berjanji untuk tidak meninggalkan Summer. Itu hanya akan menjadi harapan palsu baginya."Kenapa kamu mengejarku, Summer? Bukankah sudah kubilang untuk mendengarkan Nyonya Campbell? Kenapa malah berlari tanpa sepatu?"Louis mempertemukan pandangan. Air mata ternyata masih menetes dari sudut mata sang balita. Dengan penuh perhatian, ia menyekanya."Aku sangat takut tadi. Aku takut tidak bisa berte
"Lalu, apa lagi? Pilihlah beberapa," tutur Louis kaku. Ia merasa konyol karena berniat mencocokkan selera makannya dengan Summer."Kurasa itu akan sulit bagiku. Aku suka makanan. Aku bisa memakan semuanya dengan lahap, kecuali sayur kribo itu. Aku sebenarnya kurang suka brokoli, tapi Mama bilang dia punya banyak manfaat. Jadi, aku terpaksa memakannya."Louis lagi-lagi mematung. Itu sama persis dengan apa yang dialaminya sewaktu masih kecil dulu."Tapi Paman Louis," suara Summer membuatnya mengerjap, "apakah semua makanan ini aman? Maksudku, tidak ada almond atau udang, kan?"Mata Louis kini membulat maksimal. Ia tahu bahwa Sky alergi terhadap almond. Hal itu sangat mungkin menurun kepada Summer. Tetapi udang? Mengapa Summer takut pada udang?"Ada apa dengan almond dan udang?" Louis berpura-pura tidak tahu."Mereka jahat, Paman. Mereka bisa membuatku gatal-gatal dan sesak napas."Louis berusaha untuk tidak mengubah ekspresi. Akan tetapi, kepalanya terlalu berisik oleh pertanyaan-pertany
"Kedua, kamu orang baik. Aku sering mendengar Mama memujimu begitu. Kata Mama, kamu suka membantu orang-orang. Kamu tidak pernah marah-marah. Kamu juga suka membuat orang-orang tertawa," terang Summer sebelum menangkup pipinya sendiri. Wajahnya jadi tampak lebih manis."Jadi, kamu suka orang yang baik, humoris, dan sabar?" Louis menyimpulkan."Ya!"Selagi Louis menulis, Summer menambahkan, "Aku suka orang yang ramah dan pandai menghibur. Dia tidak akan pernah membuat orang lain bosan."Louis mengangguk-angguk mengerti. "Lalu apa lagi?""Kudengar kamu juga suka bertualang. Itu poin penting untuk menjadi Papa karena aku dan Mama suka bertualang. Kalau kita menjadi keluarga, kita akan sering bepergian ke berbagai tempat."Dahi Louis mengernyit. Setelah menulis, ia menunjuk Summer dengan pulpen."Summer, maaf sekali. Aku tidak memenuhi kriteria ini. Aku sebetulnya tidak suka bertualang. Aku bahkan sudah bertahun-tahun tidak melakukannya.""Benarkah?" Mata Summer membulat. Itu seperti masal
Summer berkedip-kedip melihat bangunan berdinding kaca di depan mobil mereka. Banyak rak tersusun rapi di dalam sana."Itukah toko buku yang akan kita kunjungi, Paman?" tanya Summer kepada pria yang duduk di jok sebelah.Louis mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Benar.""Lalu kenapa kita belum turun?" Summer memiringkan kepala sedikit.Louis akhirnya melirik. Ekspresinya datar, sorot matanya terkesan tak acuh. Grace baru saja memblokir nomornya. Pikirannya masih tertuju ke situ."Area itu belum selesai disterilisasi. Jadi tunggulah sebentar," jawabnya jutek.Summer sebetulnya tidak mengerti apa itu disterilisasi. Ia hendak bertanya, tetapi Louis sudah kembali sibuk dengan ponselnya. Alhasil, ia kembali memanjangkan leher, mengamati apa yang terjadi di luar sana.Beberapa orang baru saja keluar dari pintu bangunan. Kebanyakan adalah anak-anak bersama orang tua mereka. Mereka berjalan bergandengan dengan langkah riang dan wajah gembira. Diam-diam, Summer merasa iri ke
"Baikah, kuakui niatmu sangat mulia. Kau anak baik, Summer. Teruslah berbaktilah kepada ibumu. Omong-omong," Louis menggaruk hidung. Ia khawatir perasaannya terkuak."Apa hubungannya buku ini denganku? Kenapa kau mau membelikannya untukku? Kalau kau mau mendapat banyak royalti, bukankah kau seharusnya memintaku untuk membelinya?" Louis menyerahkan buku tersebut kepada Summer.Lagi-lagi, wajah Summer berubah sendu. Sambil menerima buku itu, kepalanya tertunduk."Seperti yang kubilang, aku tidak mau kau melupakan aku. Kalau kau menyimpan bukuku, kau pasti akan selalu ingat padaku. Sesekali, bacalah buku ini, Paman. Mungkin malam sebelum tidur. Dengan begitu, aku akan selalu ada dalam ingatanmu."Tiba-tiba, Summer kembali mendongak. Matanya bercahaya lagi sekarang."Paman Louis, bagaimana kalau malam ini kamu membacakan buku untukku? Kudengar, itu biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya. Bukankah hari ini aku boleh menganggapmu papa?"Louis tertegun. Ia sebetulnya khawatir mengab
Summer terkikik melihat penampilannya di cermin. Ia terlihat sangat keren dengan topi koboi, kemeja kotak-kotak biru, dan rompi kulit yang senada dengan sepatu boot cokelatnya. Apalagi, celana yang dikenakannya berumbai-rumbai dan ikat pinggang di depan perutnya berbentuk kepala sapi."Oh, ini adalah pakaian terbaik yang pernah kukenakan," ujarnya sambil merentangkan tangan.Melihat respons lucu tersebut, pegawai toko yang membantunya di ruang ganti ikut tersenyum. "Benar, kan? Toko kami memang yang terbaik di T City. Tapi, Nona Kecil, Anda belum selesai. Masih ada scarf merah yang harus Anda pakai di leher."Gadis muda itu membentangkan scarf yang telah dilipat dua membentuk segitiga. Dengan senang hati, Summer mengangkat dagunya."Tolong pasangkan itu untukku, Nona," pintanya sopan."Dengan senang hati, Nona Kecil."Begitu scarf melingkar di lehernya, Summer langsung tersenyum bangga. Ia cepat-cepat berlari keluar, berharap bisa menunjukkan penampilannya kepada Louis. Namun ternyata,
Louis mematung dengan raut kaku. Napasnya tertahan oleh kata-kata Summer yang menusuk kalbu. "Apakah ... kau marah padaku?" tanyanya ragu. Summer menggeleng. "Aku hanya kecewa. Kau bilang aku boleh menganggapmu sebagai papa. Tapi kenyataannya, kau mengatakan itu hanya untuk menghiburku saja. Kau sama sekali tidak menganggapku anak." Sementara Summer menyiksa sosis yang tersisa di piringnya, Louis terkurung dalam perenungan. Ia tidak yakin apakah kekecewaan Summer adalah hal yang baik atau tidak. Di satu sisi, Louis merasa bahwa itu akan mempermudah perpisahan mereka. Namun, di sisi lain, ia khawatir kalau itu bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental Summer. Tidakkah sang balita masih terlalu kecil untuk menanggung kekecewaan yang begitu besar? Tiba-tiba, seorang pengawal mendekat. Ia membungkuk di sisi Louis, berbisik, "Lapor, Tuan. Nona Evans ternyata menyewa mata-mata untuk mengawasi Anda." Louis seketika terbelalak. Keraguan dan rasa ibanya terhadap Summer mendada
Emily hanya bisa mengangguk. Sambil menggenggam tangan Sky, ia menggigit bibir. Summer dan River pun berhenti bercanda. Mereka menghampiri Emily. "Ada apa, Bibi?" tanya mereka kompak. "Dia mengalami kontraksi lagi," sahut Sky pelan. Wajah Summer berubah sendu. Ia berjongkok di dekat kaki Emily. "Apakah ini bisa membuat Bibi lebih baik?" tanyanya seraya memijat. Di sisi Emily yang lain, River melakukan hal yang sama. "Mungkin para bayi merasa gerah akibat senam tadi. Jadi, mereka meronta. Perut Bibi jadi berkontraksi?" "Kalau begitu, Bibi jangan melanjutkan senam lagi," simpul Summer tegas. "Istirahat saja di sini. Anggap kita sedang piknik. Mama, kita membawa bekal, kan? Bagaimana kalau kita membentang karpet dan mulai menata? Begitu Bibi selesai kontraksi, dia bisa menikmati makanan dan minuman yang kita siapkan." Sky mengangguk kecil. "Terima kasih, Sayang. Idemu brilian sekali." "Kalau begitu, River, ayo kita ke mobil!" ajak Summer, penuh semangat. Akan tetapi
"Yuck! Itu sangat menjijikkan! Kenapa kalian menginjaknya? Apakah kalian tidak tahu bahwa itu kotoran penguin?" tanya River, tak habis pikir. "Itulah rute yang harus kami lalui kalau mau mengelilingi pulau," Sky mengedikkan bahu. "Kalau kalian berkunjung ke sana nanti, kalian juga akan melewatinya," ujar Louis dengan nada menakut-nakuti. Summer mengerucutkan bibir. "Kalau begini, kita harus menggencarkan kampanye perubahan iklim. Saat kita ke sana nanti, kuharap es dan salju sudah menebal lagi. Dengan begitu, para penguin punya lebih banyak tempat untuk membuang kotoran. Tidak perlu menumpuk di satu pulau!" "Apakah tidak ada rute yang aman dari kotoran? Itu sangat licin dan lengket. Bisa berbahaya kalau kita terpeleset di sana. Aku tidak bisa membayangkan betapa kotor dan bau baju kita," gumam River, was-was. "Tenang, River," Summer memegangi pundaknya lagi. "Kita bisa membeli sepatu roda dan berlatih keseimbangan setelah ini. Jadi, begitu kita ke sana nanti, kita tidak ak
Summer mengamati oleh-oleh yang ia dapat selama beberapa saat. Begitu ia selesai, ia langsung berlari menuju Sky yang kebetulan baru kembali dari membagikan hadiah. "Mama, terima kasih banyak! Aku suka semua barang yang Mama beli!" serunya seraya memberikan pelukan hangat. River mengangguk sepakat. "Ya, terima kasih banyak, Nyonya Harper. Oleh-oleh ini sangat keren! Terima kasih juga, Paman Louis." Dari sofanya, Louis terkekeh. "Sama-sama, River." Sedetik kemudian, Summer berlari dan melompat ke pangkuan sang ayah. Louis dengan sigap menangkapnya. "Terima kasih, Papa! Aku tahu, Papa pasti membantu Mama memilih barang-barangnya," ujar Summer sembari menempelkan pipinya di pundak sang ayah. "Ya, beberapa barang itu adalah pilihan Papa. Mana yang paling kamu suka?" Bibir Summer mengerucut. Telunjuknya mulai mengetuk dagu. "Itu pertanyaan sulit. Tapi kalau harus memilih, kalender itu yang paling berguna bagiku. Aku bisa memakainya untuk menentukan jadwal bersama River.
"Ya, kau sebaiknya fokus saja dengan kegiatan di penjara ini, Kendrick. Siapa tahu, kau bisa mendapat keringanan karena perilaku baik," Summer mengedikkan bahu santai. Akan tetapi, Kendrick malah semakin menggila. Ia mulai mengguncang pintu, memohon kepada para petugas untuk membukanya. Saat Orion mendekat, ia berteriak ketakutan. "Tidak! Menjauhlah dariku! Aku masih mau hidup! Jangan kau apa-apakan kepalaku!" Tiba-tiba, bunyi aneh terdengar dari pantat Kendrick. Bau busuk pun menyebar. Summer dan River cepat-cepat memencet hidung mereka. "Uuuh, Kendrik, kau jorok sekali!" tutur Summer, meledek. "Cepat sana ke kamar mandi! Dan jangan lupa dengan chipmu!" River terkekeh usil. "Dia tidak perlu membawanya, River. Chip ini yang akan datang sendiri kepadanya. Maksudku, petugas kepolisian yang akan memasukkan chip ke dalam otaknya!" Membayangkan kepalanya dibelah, Kendrick terkesiap. Mulutnya mulai bergetar. Saat pintu besi dibuka, lututnya ikut gemetar. Ia mencoba untuk melari
Khawatir sandiwaranya terbongkar, Summer cepat-cepat mengobrol dengan River. Ia bertanya tentang penilaiannya terhadap roti lapis itu dan apa yang perlu mereka perbaiki ke depannya. Setelah Kendrick menghabiskan makanan dan minumannya, barulah ia meraih kotak besar di atas meja. "Apakah kau sudah kenyang?" tanya Summer yang kini berlutut di atas kursi. Kalau tidak, kotak besar itu pasti sudah menutupi wajahnya dari Kendrick. Narapidana itu mendengus. "Apa pedulimu?" "Apakah kau lupa? Aku sudah menjawab pertanyaan itu. Berapa kali pun kau bertanya, jawabanku akan tetap sama. Aku mengkhawatirkan kondisimu karena keluargakulah yang memasukkanmu ke dalam penjara itu," Summer menunjuk pintu besi yang dijaga oleh dua orang petugas kepolisian. Kendrick memutar bola mata. "Jangan berpura-pura peduli padaku. Aku tahu, kau dan orang tua berengsekmu itu berpesta setelah kalian melemparku ke tempat terkutuk ini." Summer terkesiap. Mata bulatnya berkilat oleh keterkejutan. "Tolong perhat
"Tolong jangan disebut. Itu berbahaya!" ujar Summer lantang. River menyingkirkan tangan Summer dari mulutnya. "Kenapa?" "Pokoknya, itu berbahaya. Mari kita masukkan itu sebagai kata terlarang. Jangan membahasnya lagi sampai kita dewasa," tutur Summer dengan penuh keseriusan. River pun menghela napas kesal. Namun, melihat ketegasan di wajah Summer, ia akhirnya mengalah. "Baiklah, aku akan melupakannya. Anggap itu tidak pernah kudengar," ia memutar telinga seolah sedang memutar pita kaset ke belakang. Louis akhirnya bisa kembali bernapas lega. Sky terkekeh melihatnya mengelus dada. Setelah itu, perbincangan berlangsung normal. Tidak ada hal aneh lagi yang mereka bahas. Mereka hanya bertukar kabar. Saat perbincangan mereka berakhir, Summer memekik gembira, "Oh, aku sungguh tidak sabar ingin menyambut Papa dan Mama pulang! Mereka pasti akan membawa banyak cerita!" "Ya, aku juga. Aku tidak sabar ingin melihat oleh-oleh apa yang mereka bawa dari Antartika!" sahut River, tak
Sang kapten tersenyum simpul. "Dia mengaku bernama Summer." Louis dan Sky terbelalak. "Summer?" Lengkung bibir sang kapten melebar. "Ya. Summer Harper. Awalnya, saya berpikir bahwa itu hanyalah panggilan iseng. Tapi setelah mendengar caranya berbicara dan mengetahui namanya, saya percaya bahwa situasinya serius. Saya sarankan Anda untuk segera menghubunginya. Dia sangat resah." Sky mengangguk cepat. Di sisinya, Louis berkata, "Terima kasih, Kapten Alvarez. Kami akan segera menghubungi putri kami." Seperginya sang kapten, Sky melakukan panggilan video. Begitu Summer menerimanya, suara manisnya langsung bergema, "Mama, kenapa baru meneleponku sekarang? Ke mana saja dari tadi? Apakah Angelica mengganggu kalian lagi?" Melihat wajah cemberut sang putri, Sky dan Louis tertawa lirih. Mata mereka berkaca-kaca, terlapisi oleh keharuan sekaligus rasa bangga. "Maaf, Sayang. Mama dan Papa ada urusan mendesak. Kami terpaksa menghidupkan mode pesawat sebentar," timpal Sky, agak serak. "A
Pablo kembali tertawa. Sambil menggaruk alis, ia bergumam lirih, "Mengapa orang kaya suka sekali semena-mena?" Detik berikutnya, ia menatap Louis dengan kesan meremehkan. "Anda pikir dengan kekayaan yang Anda miliki, Anda bisa bertindak sesuka hati di sini? Maaf, Tuan Harper. Ini bukan L City. Di sini, Kapten Alvarez-lah yang memegang kendali. Dan lewat saya, beliau sudah menyampaikan perintah. Tahan Louis Harper dan sang istri. Karena itu ...." Pablo melihat rekan-rekannya dan menggerakkan kepala sekali. Para petugas mendekati Louis dan Sky lagi. Secepat kilat, Louis menarik Sky ke balik punggungnya. "Siapa yang berani menyentuh istriku, akan kupastikan dia tidak bisa berjalan lagi!" hardiknya, mengancam. Para petugas seketika menahan langkah. Louis pun menambahkan, "Daripada kalian bersikeras ingin menangkap kami, kalian lebih baik menghubungi kapten kalian." "Untuk apa?" sela Pablo dengan nada menjengkelkan. "Untuk mengulur waktu? Maaf, Tuan Harper. Kami sudah menghabi
Draco menggertakkan geraham. Ia ingin sekali menghajar Louis. Saat itulah, Sky berbisik, "Apakah Pablo, si petugas keamanan itu? Dia yang membantu kau dan Angelica melancarkan misi untuk menggangguku dan Louis?" Draco tersentak. Mulutnya tanpa sadar menimpali, "Dari mana kau tahu kalau itu Pablo?" Sky tersenyum lebar. Ia sumpal mulut Draco dengan kain. "Terima kasih atas kejujuranmu." Kemudian, ia bangkit berdiri. Sementara Louis menahan Draco agar tidak macam-macam, Sky berhenti merekam suara di ponselnya. Saat ia memutarnya ulang, pengakuan Draco terekam jelas. "Emmhh .... Emm emmmh ...." Draco terus meronta-ronta. Louis yang masih berlutut di dekatnya pun berdesus. Telunjuknya teracung meminta waktu. "Apa yang kau ributkan?" gerutu Louis. "Kau takut Pablo membunuhmu karena gagal menjaga rahasianya? Tenang. Kami akan menangkapnya sebelum dia bisa membunuhmu." Setelah menepuk pipi Draco dengan kasar dua kali, Louis bangkit berdiri. Ia menghampiri Sky. Sang istr