"Summer, kau anak baik, kan?" tanya Louis dengan nada membujuk.
Sang balita menjawab dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kalau saja ada penghargaan untuk anak terbaik di seluruh dunia, aku pasti sudah mendapatnya. Aku ini pintar dan senang membantu orang-orang. Aku juga mandiri dan jarang merepotkan orang lain, kecuali Mama. Terkadang, aku masih membutuhkan bantuan darinya. Tapi kata Mama, itu wajar. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan semuanya sendirian."
Louis mengangguk-angguk dengan senyum yang dipaksa lebar. "Bagus. Kalau begitu, bisakah kau buktikan? Uruslah dirimu sendiri. Aku harus berangkat kerja sekarang. Ini sudah sangat terlambat."
Summer tersenyum miring mendengar itu. Telunjuknya menggeliat seperti cacing di depan dagu.
"Paman Louis, kamu tidak bisa membohongiku. Ini hari Minggu. Bibi Emily bilang kalian tidak pernah bekerja di akhir pekan. Sabtu dan Minggu adalah waktu khusus untuk diri sendiri dan keluarga. Karena kamu akan menjadi Papa-ku, bagaimana kalau kita menghabiskan waktu berdua saja hari ini? Kita bisa berjalan-jalan ke objek wisata terdekat atau bermain bersama di rumah. Itu akan sangat menyenangkan."
Louis mematung sesaat. Ia lupa bahwa balita itu terlalu cerdas untuk diakali.
"Aku menggunakan banyak waktu untuk mempersiapkan lamaran kemarin. Beberapa pekerjaanku terbengkalai. Aku harus mengurusnya hari ini," tutur Louis datar.
"Aku bisa membantu." Summer mengangkat sebelah tangan dengan penuh percaya diri. "Meskipun masih kecil, aku sudah bisa membaca dan menulis."
"Bisa membaca dan menulis saja tidak cukup, Summer. Kau perlu pengetahuan bisnis dan kemampuan analisis yang hebat."
Summer berkedip-kedip lugu. "Kalau begitu, aku akan menemanimu bekerja sampai kau selesai. Aku janji tidak akan nakal. Aku hanya akan duduk diam sambil belajar lewat ponsel. Kuharap kau tidak keberatan membagikanku password wifi kantormu."
"Kau punya ponsel?" Mata Louis membulat. "Bukankah kau masih terlalu kecil? Kenapa Sky mengizinkan?"
"Itu kado ulang tahunku yang ke-4. Kakek yang membelinya. Kakek bilang aku butuh ponsel agar Mama lebih mudah mengawasiku. Ada GPS di dalamnya. Mama bisa melacak posisiku atau menelepon kalau dia tidak berhasil menemukanku. Kamu tahu, Paman? Bermain di luar itu lebih menyenangkan dibandingkan di dalam rumah. Banyak hal baru yang bisa kita pelajari di sana. Oh, Paman, bagaimana kalau kita bertukar nomor?"
Tiba-tiba saja, Louis tersenyum miring. "Itu ide bagus. Aku bisa saja memberimu nomorku, tapi kau harus mengembalikan paspor ibumu dulu."
Senyum Summer seketika mengerut. Kelopak matanya turun. Tepat ketika ia hendak protes, ponsel Louis berdering. Louis pun meraihnya dari atas nakas.
"Itu pasti Mama."
Alis Louis kembali terangkat. "Dari mana kau tahu?"
"Mama sudah menelepon beberapa kali, tapi kamu tidak bangun-bangun. Sebetulnya, itu juga yang membuatku yakin kalau kamu tidur nyenyak."
"Kenapa tidak kau angkat?"
Summer mengedikkan bahu. "Bukankah tidak sopan kalau kita menerima telepon di ponsel orang lain?" Sedetik kemudian, ia merapatkan diri kepada Louis.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Louis, meliriknya dengan alis berkerut.
Summer mendongak dengan pipi yang menempel di lengan Louis. "Aku juga mau menyapa Mama."
Setelah menghela napas pasrah, Louis menerima panggilan. Wajah Sky langsung muncul di layar. Belum sempat wanita itu bicara, Summer telah melambaikan tangannya.
"Selamat pagi, Mama. Apakah tidurmu nyenyak? Aku dan Paman Louis tidur nyenyak. Mama tahu? Aku sempat tidur di ruang tamu. Tapi kemudian, Paman Louis memindahkan aku ke kamar ini. Dia juga menemaniku tidur. Ternyata dia sangat baik. Sangat cocok untuk menjadi Papa-ku. Oh, Mama? Ada apa dengan matamu? Kenapa kamu jadi mirip burung hantu?"
Sky memasang raut jengkel. "Jangan berpura-pura tidak tahu, Summer. Mama tidak bisa tidur karena ulahmu. Di mana kamu menyembunyikan pasporku?"
"Kau mencarinya semalaman?" selidik Louis.
Sky mengangguk. "Ya, dan tetap tidak ketemu. Summer, ini sama sekali tidak lucu. Berhenti main-main dan katakan di mana kau menyembunyikannya?"
Sambil menggaruk kepala, Summer terkekeh. "Maaf, Mama. Aku belum bisa memberi tahu. Paman Louis masih belum setuju untuk menjadi Papa-ku."
Tak mau suasana berubah canggung, Louis melempar pertanyaan baru. "Apakah kau sudah mencari di semua tempat? Yang tak terduga seperti di dalam kulkas, misalnya?"
Tawa Summer seketika mengudara. "Paman, paspor itu bukan makanan. Kenapa menyimpannya di dalam kulkas? Itu terlalu konyol."
"Lalu di mana kau menyimpannya?"
"Katakan dulu kalau kamu mau menikahi Mama," Summer memasang raut manja.
"Summer?" tegur Sky. "Kenapa kamu terus memaksa Louis begitu? Itu tidak baik."
"Aku tidak peduli. Pokoknya, aku baru mau mengatakan di mana paspor Mama kalau Paman Louis sudah setuju untuk menjadi Papa-ku. Tapi kurasa, itu tidak akan lama, Mama. Dia sudah mulai berubah pikiran. Tadi pagi saja, dia sempat menyebut nama Mama dalam tidurnya. Kurasa selama ini dia juga merindukan Mama. Hanya saja, dia merahasiakannya."
Sementara Sky meringis malu, Louis mematung. Matanya terbelalak menatap ke arah pintu. Entah sejak kapan, Grace telah berdiri di sana. Tatapannya tajam seolah ingin membunuh.
"Ace," desah Louis sembari menurunkan ponsel dari hadapannya. Ia tidak peduli jika obrolannya dengan Sky belum selesai. Perasaan sang kekasih adalah prioritasnya.
Alih-alih menyahut, Grace malah berbalik pergi. Melihat itu, Louis spontan melompat turun dari kasur.
"Ace, tunggu." Ia menahan lengan Grace. "Tolong jangan salah paham. Dengarkan aku dulu."
"Apa lagi yang perlu kudengar? Bukankah semua sudah jelas?" Grace menyibak tangan Louis dari lengannya. Deru napasnya yang kasar membuat suasana bertambah tegang.
"Kau bilang akan menangani bocah itu. Tapi lihat kenyataannya. Kalian malah semakin akrab. Kau bahkan menemaninya tidur semalam!"
Louis menggeleng tipis. Matanya memicing tak mengerti. "Kau cemburu kepada anak kecil? Ayolah, Ace. Dia bahkan belum genap lima tahun."
"Jangan berpura-pura bodoh, Louis. Kau pikir aku tidak tahu? Kau mulai menganggapnya sebagai anakmu. Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini? Meninggalkan aku untuk menikahi ibu dari anak itu?"
"Ace," Louis memegangi pundak sang kekasih dan menatapnya lembut, "tolong kendalikan emosimu. Kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin. Jangan ceroboh."
"Kaulah yang seharusnya jangan ceroboh. Kau bahkan belum menghubungiku pagi ini, tapi kau sudah menelepon Sky."
"Bukan aku yang meneleponnya, tapi dia yang meneleponku. Itu pun dia lakukan bukan untuk menyapa, tapi untuk menanyai putrinya. Dia masih belum berhasil menemukan paspor yang disembunyikan oleh Summer."
"Kau percaya?" Grace mendengus. "Itu hanya akal-akalan mereka untuk meraih simpatimu, Louis. Kau seharusnya berhenti mengikuti permainan mereka. Lempar saja anak itu keluar. Aku yakin sang ibu akan langsung menjemputnya."
Louis terpejam sejenak. Selagi tertunduk, ia berusaha menjaga kesabaran.
"Ace, bukankah kau sudah mengenalku? Apakah menurutmu aku laki-laki yang lemah dan gampang terpengaruh?" tanya Louis sambil menaikkan alis.
Tak mendapat jawaban, ia pun berbisik, "Aku bersikap baik kepada Summer bukan karena aku tidak mencintaimu lagi, tapi karena dia masih sangat kecil. Dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Apakah kau tidak kasihan kalau aku mengusirnya? Ibunya masih berada di Kanada. Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi padanya sebelum Sky tiba di sini."
"Lihat? Kau memang peduli padanya."
"Aku peduli karena aku manusia. Apakah kau tidak takut padaku kalau aku tega menelantarkan anak kecil? Kau tidak mungkin berharap memiliki seorang suami yang jahat, kan?"
Grace menggeleng tipis. Sembari bicara, telunjuknya menusuk-nusuk dada Louis. "Aku berharap memiliki suami yang tegas dan bertanggung jawab atas janjinya. Kau bilang akan selalu memprioritaskan dan mengerti aku, kau ingat? Sekarang buktikan! Usir anak itu dari rumahmu atau hubungan kita usai!"
Pagi, guys! Semoga suka ya sama ceritanya. Have a nice day! Buat kalian yang kangen cerita Pixie yang lain, bisa baca-baca lagi, ya. 1. Cinta CEO dalam Jebakan 2. Menaklukkan Duda Dingin 3. Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan 4. Istri Presdir yang Hilang 5. Pengawal Misterius Nona Pewaris P.S. Kira-kira, apa yang bakal dilakukan oleh Louis? Yuk komen!
"Halo, Malaikat Kecil," bisik Emily dengan senyum yang terlampau indah untuk dideskripsikan. "Mama senang sekali akhirnya bisa memeluk kalian." Kemudian, sementara Emily mengecup satu per satu bayinya, Summer bergumam, "Ini mengharukan sekali. Jantungku sampai berkeringat melihat Bibi dan anak-anaknya. Aku bisa merasakan kasih sayang ibu yang sangat besar." "Kasih sayang ayah juga, Summer," timpal River, sama pelannya. "Lihat! Paman Cayden juga menangis bahagia. Dia pasti sangat menyayangi istri dan anak-anaknya." River menunjuk Cayden yang berdiri di sisi ranjang. Tubuh pria itu agak membungkuk, mengelus rambut Emily. Tatapannya lembut, tertuju pada para bayi yang telungkup di dada ibu mereka. Saat matanya bertemu Emily, senyumnya mengembang sempurna. "Kau benar. Paman Cayden juga sangat menyayangi bayi-bayi. Tidak. Kita semua menyayangi mereka! Karena itu," Summer melangkah maju. Ia berdeham kecil. Saat perhatian Emily beralih padanya, ia berkata, "Bibi, maaf mengganggu.
Sambil tersenyum kecil, Sky mengelus pipi gembul putrinya. "Sabar, Sayang. Mungkin posisinya lebih sulit untuk dikeluarkan." "Apakah itu normal? Maksudku, Bibi Emily dan bayi ketiga baik-baik saja, kan?" celetuk bocah laki-laki yang berdiri di sisi Summer. "Ya, itu normal. Terkadang, melahirkan seorang bayi saja bisa berjam-jam. Apalagi tiga?" River dan Summer pun bertukar pandang. Raut mereka masih saja gelisah. Tiba-tiba, pintu terbuka. Seorang perawat mendorong kotak inkubator ke luar. Summer dan River terbelalak melihatnya. "Apakah itu para bayi? Ada berapa bayi di dalam sana?" gumam River. Summer menggeleng lucu. "Aku tidak tahu. Ayo kita lihat!" Dua bocah tersebut berlari menghampiri sang perawat. Kemudian, mereka berjalan sambil berjinjit, mengintai ke dalam kotak yang dibawanya. Begitu melihat bayi-bayi mungil sedang berbaring di dalam sana, mata mereka berbinar terang. "Bayi ketiga sudah lahir! Anak-anak Bibi Emily lahir dengan selamat!" seru Summer deng
Setibanya di rumah sakit, wajah Emily sudah sangat pucat. Air matanya terus mengalir. Tanpa berlama-lama lagi, para petugas medis membawanya ke ruang bersalin. Namun, hanya satu orang yang diperbolehkan menemani Emily, yaitu Louis. Yang lain hanya bisa menunggu di luar dengan wajah gelisah. "Apakah Bibi Emily akan baik-baik saja, Mama?" tanya Summer dengan suara kecilnya. Sky tersenyum lembut. "Ya, dia pasti akan baik-baik saja." "Tapi dia tampak kesakitan," timpal Summer lirih. "Dan dia mengeluarkan banyak cairan," lanjut River, tak kalah serius. "Bibi pasti sangat lemas dan haus. Dia butuh banyak minum." "Dan pelukan!" sambung Summer, sigap. "Bibi terlihat sangat ketakutan. Kuharap Papa memeluknya dengan benar di dalam sana." Alis River berkerut. "Memangnya ada pelukan yang salah?" "Pelukan itu berbeda-beda, River. Ketika seseorang sedang takut, kita harus memeluknya seperti ini," Summer merangkulnya. "Lalu kita harus memberikan tepukan hangat di punggung sepert
Emily hanya bisa mengangguk. Sambil menggenggam tangan Sky, ia menggigit bibir. Summer dan River pun berhenti bercanda. Mereka menghampiri Emily. "Ada apa, Bibi?" tanya mereka kompak. "Dia mengalami kontraksi lagi," sahut Sky pelan. Wajah Summer berubah sendu. Ia berjongkok di dekat kaki Emily. "Apakah ini bisa membuat Bibi lebih baik?" tanyanya seraya memijat. Di sisi Emily yang lain, River melakukan hal yang sama. "Mungkin para bayi merasa gerah akibat senam tadi. Jadi, mereka meronta. Perut Bibi jadi berkontraksi?" "Kalau begitu, Bibi jangan melanjutkan senam lagi," simpul Summer tegas. "Istirahat saja di sini. Anggap kita sedang piknik. Mama, kita membawa bekal, kan? Bagaimana kalau kita membentang karpet dan mulai menata? Begitu Bibi selesai kontraksi, dia bisa menikmati makanan dan minuman yang kita siapkan." Sky mengangguk kecil. "Terima kasih, Sayang. Idemu brilian sekali." "Kalau begitu, River, ayo kita ke mobil!" ajak Summer, penuh semangat. Akan tetapi
"Yuck! Itu sangat menjijikkan! Kenapa kalian menginjaknya? Apakah kalian tidak tahu bahwa itu kotoran penguin?" tanya River, tak habis pikir. "Itulah rute yang harus kami lalui kalau mau mengelilingi pulau," Sky mengedikkan bahu. "Kalau kalian berkunjung ke sana nanti, kalian juga akan melewatinya," ujar Louis dengan nada menakut-nakuti. Summer mengerucutkan bibir. "Kalau begini, kita harus menggencarkan kampanye perubahan iklim. Saat kita ke sana nanti, kuharap es dan salju sudah menebal lagi. Dengan begitu, para penguin punya lebih banyak tempat untuk membuang kotoran. Tidak perlu menumpuk di satu pulau!" "Apakah tidak ada rute yang aman dari kotoran? Itu sangat licin dan lengket. Bisa berbahaya kalau kita terpeleset di sana. Aku tidak bisa membayangkan betapa kotor dan bau baju kita," gumam River, was-was. "Tenang, River," Summer memegangi pundaknya lagi. "Kita bisa membeli sepatu roda dan berlatih keseimbangan setelah ini. Jadi, begitu kita ke sana nanti, kita tidak ak
Summer mengamati oleh-oleh yang ia dapat selama beberapa saat. Begitu ia selesai, ia langsung berlari menuju Sky yang kebetulan baru kembali dari membagikan hadiah. "Mama, terima kasih banyak! Aku suka semua barang yang Mama beli!" serunya seraya memberikan pelukan hangat. River mengangguk sepakat. "Ya, terima kasih banyak, Nyonya Harper. Oleh-oleh ini sangat keren! Terima kasih juga, Paman Louis." Dari sofanya, Louis terkekeh. "Sama-sama, River." Sedetik kemudian, Summer berlari dan melompat ke pangkuan sang ayah. Louis dengan sigap menangkapnya. "Terima kasih, Papa! Aku tahu, Papa pasti membantu Mama memilih barang-barangnya," ujar Summer sembari menempelkan pipinya di pundak sang ayah. "Ya, beberapa barang itu adalah pilihan Papa. Mana yang paling kamu suka?" Bibir Summer mengerucut. Telunjuknya mulai mengetuk dagu. "Itu pertanyaan sulit. Tapi kalau harus memilih, kalender itu yang paling berguna bagiku. Aku bisa memakainya untuk menentukan jadwal bersama River.