FAZER LOGIN“Alex bilang akan membawamu ke tempat terapi sekali lagi, dan dia minta waktu enam bulan dari sekarang. Dia yakin sekali kamu bisa hamil,” kata Papa Agusto.
Faya menutup wajah dengan kedua tangannya. Mata perempuan berhidung mancung itu mulai terasa panas.
“Alex sangat mencintaimu, Faya.” Papa Agusto menghela napas, lebih panjang dari yang pertama. “Alex menolak untuk menikah lagi, demi kamu. Tapi keluarga ini perlu penerus… jadi Papa harap kamu ikut membujuk Alex untuk menikah lagi, jika ternyata kamu gagal hamil.”
Diam. Mulut Faya terasa dikunci. Kepalanya masih penuh. Terlalu penuh.
Bahkan sampai Alex datang dan membawa Faya pergi. Meninggalkan rumah mewah mereka dengan dalih pergi ke tempat terapi.
“Kamu sekarang tau kenapa kamu harus cepat-cepat hamil?” Alex, yang menyupir sendiri mobilnya, berkata tanpa menoleh pada Faya.
“Kenapa Pap bilang sama Papa kalau aku yang man—”
“Kalau kamu nggak bisa menjalankan misi ini, mungkin Sofia bisa,” tukas Alex. Derainya menguar beberapa detik. “Kuliat dia mau melakukan apapun untuk aku.”
Faya memejamkan mata. Menarik napas. “Kenapa tega begini, Pap?”
“Jangan berdrama, Faya. Selama ini bukankah kamu juga memanfaatkan aku?” Alex menoleh sekejap. Seringainya muncul. “Jangan lupa bagaimana kamu datang dalam hidupku. Kamu itu upik abu yang menjadi cinderela setelah menikah denganku kan?”
“Pap!” Faya tersentak. Matanya melotot sempurna. Sungguh tidak terbayangkan perkataan semacam itu keluar dari mulut lelaki yang pernah menyanjungnya. “Kamu mulai terbujuk Sofia juga?”
Alex tidak menjawab. Dan tetap bungkam meski Faya menghujaninya dengan sederet pertanyaan. Sampai Faya diam karena lelah diabaikan.
Perlahan kendaraan yang dikemudikan Alex memasuki sebuah hotel bintang lima, meluncur cepat menuju basecamp.
“Ayo, kita ganti mobil. Bawa kopermu.” Alex turun. Seakan tidak memberi kesempatan Faya berpikir, lelaki itu menaikkan nada bicaranya. “Cepat, Faya!”
Perempuan dengan rambut digerai itu terburu-buru turun. Mengikuti langkah Alex yang sudah berjalan ke arah barat.
Alex berhenti di samping mobil berwarna hitam yang mesinnya menyala, lalu membuka pintu belakang.
“Masuklah,” perintahnya.
Tak ingin dibentak lagi, Faya menurut saja. “Kita akan kemana?”
Brak.
Pintu ditutup. Pertanyaan Faya lagi-lagi diabaikan begitu saja.
Alex berjalan menuju pintu lain. Faya mengira, Alex akan duduk di depan, tetapi dia baru sadar ketika suaminya berkata pada sang sopir. “Lakukan tugasmu, Revan. Cepat pergi!”
“B-baik, Pak Alex.”
“Tunggu!” seru Faya. Namun sia-sia. Pintu mobil sudah dikunci otomatis, dan kendaraan roda empat itu bergerak gesit, keluar dari hotel.
“M-maafkan saya, Faya. Saya benar-benar nggak punya pilihan.” Suara Revan serak dan lirih.
Faya menghela napas. Badannya lemas, melorot begitu saja di jok belakang. Seharusnya dia paham ketika bangun tidur tadi Alex berkata tentang masa suburnya yang harus dimanfaatkan dengan baik.
“Oh, Tuhan,” desisnya nelangsa. Dia tidak ingin menangis, meski air terasa mendesak-desak di sudut matanya.
“F-faya, a-apa kamu mau minum?” Revan menoleh. Memanfaatkan lampu merah yang mengharuskan mobil berhenti sejenak. Dia mengulurkan sebotol air mineral dan sekotak tisu.
Faya membuang muka. Tidak ingin menjawab.
“Saya taruh di sini ya.” Akhirnya Revan melesakkan kedua benda yang dia sodorkan ke dalam car net organizer. Tepat di hadapan Faya. “Kalau kamu mau berhenti atau butuh sesuatu bilang saja.”
Faya buru-buru memejamkan mata. Namun isi kepalanya malah diserbu dengan kilasan suara Alex, suara Papa Agusto, suara Sofia….
“Ya Tuhan, kenapa bisa jadi begini?” Faya akhirnya menjumput tisu yang disediakan Revan.
***
Faya baru membuka mata ketika merasakan mesin mobil telah mati. Spontan dia terbelalak melihat pemandangan di depannya. Sebuah rumah kayu dengan taman penuh bunga.
Dengan mata yang masih melotot besar, dia menatap Revan yang membukakan pintu untuknya. “Kenapa ke sini?” jeritnya sekuat tenaga.
Revan tampak benar terperanjat. “S-saya hanya mengikuti perintah Pak Alex.”
“Oh Tuhan.” Faya memegangi pelipisnya sendiri. Tentu saja perintah Alex, sebab vila mungil ini memang milik Alex. Sialnya, di tempat terpencil inilah dahulu mereka melakukan malam pertama.
Setelah sama-sama membeku, akhirnya suara lembut Revan mengudara. Terdengar canggung. “Mari kita masuk, Faya.”
Perempuan itu melihat tangan Revan terulur. Pandangan matanya naik ke wajah Revan.
Deg.
Jantung Faya masih saja melorot melihat senyum Revan yang serupa milik Alex.
“Yuk.” Revan merekahkan senyum lebih lebar. Kepalanya mengangguk. Tangannya masih terulur.
Bagai terhipnotis, tanpa sadar Faya menyambut tangan Revan. Membiarkan pria berkulit putih itu menuntunnya turun. Bahkan menggandengnya sampai ke dalam.
“A-apa kamu pusing? Kubuatkan minuman hangat ya?”
Pertanyaan Revan menyadarkan Faya. Dia pun gegas menepis tangan yang telah menggenggamnya lebih dari satu menit itu. Tanpa berkata apa pun Faya menyeret kopernya ke dalam kamar, dan langsung menguncinya.
Begitu duduk di atas ranjang, Faya mengirim pesan pada Alex. Menginformasikan jika dirinya sudah sampai dengan selamat. Namun bermenit-menit setelahnya, pesan itu belum juga dibaca.
Faya menyibukkan diri dengan membuka media sosialnya. Sambil sesekali mengecek pesan yang dia kirim untuk Alex. Sampai dia merasa ingin buang air kecil yang tak tertahankan. Mau tidak mau dia harus keluar dari kamar, sebab hanya ada satu kamar mandi di rumah kayu ini.
Setengah berlari Faya mencapai kamar mandi. Namun begitu pintu kamar mandi dia buka….
“AGH!!”
Teriakan membahana dibunyikan dari kedua mulut. Faya yang di ambang pintu kamar mandi, dan Revan yang tengah basah di bawah pancuran. Tanpa sehelai benang pun.
Sepertinya Revan sadar jika sedang diperhatikan, lelaki itu pun menoleh. Lalu terlihat mengusap kedua pipinya bergantian dengan buru-buru. Setelah itu tampak cepat membuang muka.Faya pun menunduk. Perempuan itu menghabiskan minumnya. Lalu bergerak dan duduk di sofa. Entah kenapa, dia salah tingkah sendiri.Tidak berapa lama, pintu belakang terbuka. Revan muncul di sana. Wajah putihnya menampakkan senyum, masih seperti senyum Alex, tetapi matanya kentara memerah.“Faya… sudah bangun?” tanyanya. Revan ikut duduk. Namun memilih di kursi dekat dapur. Jarak mereka sekitar empat meter.
“Eh, m-maaf.” Revan menelan ludah.Faya menutup wajah menggunakan kedua tangannya sendiri. Mencoba menghentikan suara isak yang tak kuasa dia tahan lagi. Bahu perempuan berkulit putih bersih itu berguncang, dan dadanya mendadak terasa sesak.Beberapa saat terus begitu, sampai Faya mendengar bunyi benda digeser di atas meja. Menimpa suara isak tangisnya.Spontan Faya melonggarkan jari jemari, sehingga dia bisa melihat tangan Revan yang berbulu halus sedang memindahkan mangkuk mie milik Faya. Revan menempatkan mangkuk itu berjejer dengan mangkuk miliknya. Kemudian lelaki tersebut terlihat mengelap meja di bagian yang paling dekat dengan Faya.Perlahan tangan Faya luruh. Wajahnya yang basah menatap Revan. Sedikit mengernyit.Revan yang tampak menyadari sedang dipandang, balas menatap Faya. Menyeringai seraya menunjuk meja, persis di posisi mangkuk tadi. “Mm… ini… barangkali kamu butuh meja untuk menangis.”“Hah?” Faya mengernyit. Mulutnya bahkan sampai terbuka melongo.“Gini maksudnya….”
“Kenapa kamu nggak kunci pintu?” bentak Faya. Dia kebingungan. Antara mau berbalik, tetapi merasa kencingnya sudah tidak bisa ditahan lagi. Namun jika tetap di situ, dia merasa malu dengan ketelanjangan Revan.“L-loh s-sudah tadi kok. Apa rusak—”“Pakai handuk, dan cepat kamu keluar!” pekik Faya. “Aduh… aku ngompol!”Air mengalir dari pangkal paha Faya. Turun cepat membasahi lantai.Revan yang semula panik, harus menahan tawa sembari menyambar handuk. “I-ini a-aku masih perlu keluar atau… ppfff….”“Kenapa ketawa? Ini semua salahmu!” geram Faya. Dia mundur, tetapi sial, lantai menjadi licin karena air seninya sendiri.Faya merasakan tubuhnya oleng. Matanya menangkap sosok Revan yang datang bergegas ke arahnya, mengulurkan tangan. Hap, akhirnya tangan mereka bertautan.Sayangnya, lagi-lagi sial, handuk yang melilit pinggang Revan melorot, menyebabkan kaki lelaki itu terserimpet. Mereka pun jatuh. Posisi Revan di atas, tetapi dia sigap menangkupkan tangan untuk melindungi kepala Faya.K
“Alex bilang akan membawamu ke tempat terapi sekali lagi, dan dia minta waktu enam bulan dari sekarang. Dia yakin sekali kamu bisa hamil,” kata Papa Agusto.Faya menutup wajah dengan kedua tangannya. Mata perempuan berhidung mancung itu mulai terasa panas.“Alex sangat mencintaimu, Faya.” Papa Agusto menghela napas, lebih panjang dari yang pertama. “Alex menolak untuk menikah lagi, demi kamu. Tapi keluarga ini perlu penerus… jadi Papa harap kamu ikut membujuk Alex untuk menikah lagi, jika ternyata kamu gagal hamil.”Diam. Mulut Faya terasa dikunci. Kepalanya masih penuh. Terlalu penuh.Bahkan sampai Alex datang dan membawa Faya pergi. Meninggalkan rumah mewah mereka dengan dalih pergi ke tempat terapi.“Kamu sekarang tau kenapa kamu harus cepat-cepat hamil?” Alex, yang menyupir sendiri mobilnya, berkata tanpa menoleh pada Faya.“Kenapa Pap bilang sama Papa kalau aku yang man—”“Kalau kamu nggak bisa menjalankan misi ini, mungkin Sofia bisa,” tukas Alex. Derainya menguar beberapa deti
Faya menelan ludah. Dia melihat badan tegap Alex tengah membelakanginya, sementara Sofia berdiri tepat di depan lelaki itu.“Kamu pasti suka tubuh muda dan kencang ini kan, Al? Spesial bagian sini. Atau di….” Sofia terkikik-kikik seraya menyentuh dadanya sendiri, lalu tanpa malu, tangannya turun ke bawah perutnya.Mendadak derai tawa Sofia musnah. Matanya telah bersitatap tanpa sengaja dengan Faya, yang berada tiga meter di belakang Alex. Namun satu detik kemudian, cekikikannya justru terdengar mengudara lebih riang. “Mas, aku siap melahirkan Alex junior. Empat atau lima, pokoknya sebanyak kamu mau. Rahimku ini subur, tidak kering seperti milik perempuan tua tidak berguna itu.” Sofia mengambil tangan Alex. Terlihat jelas dia ingin mengarahkan tangan Alex ke dadanya.Faya cepat berdehem.Alex spontan terperanjat. Membalikkan badan. “Faya… ternyata kamu di sini.”“Suamiku….” Faya mendekat. Meraih lengan Alex. Dengan sengaja dia menirukan nada genit Sofia. “Kamu mencari aku kan, Sayang?
“Agh ….” Faya menjerit tertahan ketika milik Alex mulai masuk ke tubuhnya. Perih, berdenyut-denyut sakit.Gerakannya kasar, dan terburu-buru seperti biasa. Alex langsung mengguncang tubuh langsing itu, mempercepat ritme-nya sembari mencengkeram kedua tangan Faya yang terasa meremukkan.“P-pap …. “ Faya meringis. Memejamkan mata, sebab perih yang tiada terkira di bawah tubuhnya. Terasa bagai sebilah tombak tajam yang digesekkan ke daging yang belum basah sempurna.“A-ah… P-pa… P-pap….” Perempuan seratus lima puluh delapan senti meter itu terus menjerit tertahan.Alex yang sedari tadi mengguncang sembari mendongak, kini menggerakkan leher untuk melihat wajah Faya yang tengah berjuang menahan sakit. Dia menyeringai lebar. “Katakan, Sayang. Katakan saja….”Bibir Faya bergetaran. Air mata turun perlahan.Melihat wajah Faya yang tampak lemah dan kewalahan, Alex justru tertawa, seolah-olah dia telah mencapai kemenangan atas permainan panasnya.Dengan kasar lelaki itu membalik tubuh istrin







