MasukFaya menelan ludah. Dia melihat badan tegap Alex tengah membelakanginya, sementara Sofia berdiri tepat di depan lelaki itu.
“Kamu pasti suka tubuh muda dan kencang ini kan, Al? Spesial bagian sini. Atau di….” Sofia terkikik-kikik seraya menyentuh dadanya sendiri, lalu tanpa malu, tangannya turun ke bawah perutnya.
Mendadak derai tawa Sofia musnah. Matanya telah bersitatap tanpa sengaja dengan Faya, yang berada tiga meter di belakang Alex. Namun satu detik kemudian, cekikikannya justru terdengar mengudara lebih riang.
“Mas, aku siap melahirkan Alex junior. Empat atau lima, pokoknya sebanyak kamu mau. Rahimku ini subur, tidak kering seperti milik perempuan tua tidak berguna itu.” Sofia mengambil tangan Alex. Terlihat jelas dia ingin mengarahkan tangan Alex ke dadanya.
Faya cepat berdehem.
Alex spontan terperanjat. Membalikkan badan. “Faya… ternyata kamu di sini.”
“Suamiku….” Faya mendekat. Meraih lengan Alex. Dengan sengaja dia menirukan nada genit Sofia. “Kamu mencari aku kan, Sayang? Maaf ya, aku perlu makan dan mencari udara segar, saking lelahnya melayani kehebatanmu tadi di ranjang. Astaga, untung aku nggak pingsan, padahal aku benar-benar kewalahan sama permainan kamu.”
Alex terlihat menyungging senyum miring. Tampak membias rasa bangga.
“Ayo tidur, Mas, kita harus menyimpan tenaga untuk bercinta lagi sepuasmu subuh nanti,” lanjut Faya. Matanya melerok genit.
Sofia tampak amat kesal. Kedua tangannya sampai terkepal. Dia berbalik, menjauh dengan menghentakkan kaki.
***
Pagi harinya, Faya turun bersama Alex. Menenteng koper yang Faya letakkan dekat meja makan.
“Pagi Papa, pagi Mama,” ucap Faya dengan nada se-ceria mungkin. Meski tidak dapat dipungkiri, badannya terasa remuk redam. Sebab memang hanya itu yang membekas setiap Alex memberinya nafkah batin.
“Pagi, Fay.” Papa Agusto yang menjawab. Namun mata lelaki enam puluh empat tahun itu cepat beralih kepada Alex. “Kalian jadi pergi hari ini, Al?”
“Ya, Pa.” Alex duduk.
Faya bergegas menyiapkan piring. Sialnya dia kalah cepat dari Sofia. Gadis genit berambut kecoklatan itu sudah terlebih dahulu mendaratkan piring bersih di depan Alex.
Dengan penuh percaya diri, Sofia berkata, “Mas Al mau nasi atau—”
“Sofia, biarkan Faya menjalankan tugasnya seperti biasa,” tukas Papa Agusto.
Mama Vero menghela napas panjang. “Ya, Sofia. Biarkan Faya melayani Alex makan, karena itu satu-satunya yang dia bisa berikan pada suaminya.”
Sofia yang semula kesal, mendadak terkikik. Tampak senang sekali ibu kandung dari pria yang diincarnya, terus membelanya setiap saat. “Kalau begitu, aku melayani Mama saja ya. Mama mau apa?”
“Makasih, Sayang. Tolong ayam panggang.” Mama Vero tersenyum lebar.
“Aku tambah melon ya, Ma. Biar lebih segar,” usul Sofia. Lalu menoleh pada Papa Agusto. “Apa Papa mau sekalian?”
Gadis itu menampakkan senyum sangat lebar sewaktu melihat Papa Agusto mengangguk. Dia bertukar pandangan dengan Mama Vero yang juga melebarkan senyuman. “Papa dulu ya, Ma? Nggak apa-apa kan?”
“Tentu, Sayang.” Mama Vero melirik Faya yang masih berdiri di dekat putranya.
Sementara Sofia gegas memberikan piring berisi ayam panggang dan irisan melon kepada Papa Agusto. Gerakannya ringan, ditingkahi tawa kecil yang keluar dari bibirnya. “Silakan, Papa. Selamat makan.”
“Faya, tolong tambahkan sedikit nasi.” Papa Agusto mengulurkan piring yang baru saja diletakkan oleh Sofia.
“O-oh, i-iya, Pa.” Senyuman dari bibir Faya yang indah merekah perlahan. Dia harus menahan tawa saat menangkap wajah Sofia dan Mama Vero mencibir bersamaan.
Semua bisa melihat, sebenarnya tempat nasi lebih dekat dengan Sofia. Namun sikap Papa Agusto terlihat sebagai penegasan jika dia masih menghargai menantunya yang sah.
“Mas mau omelet dengan alpukat kan?” Faya berganti mengangkat piring Alex. Di depan orang, Faya memang memanggil Alex dengan sebutan ‘Mas’.
“Ya.” Alex menjawab, tetapi matanya menatap Sofia.
Faya yang melihat adegan itu, menjadi teringat tentang semalam tadi. Membayangkan jika saja dirinya terus bersembunyi, apakah Alex akan menyentuh dada Sofia? Atau menciumnya, atau… ah!
Faya duduk setelah selesai melayani Alex, dan mengisi piringnya sendiri.
Hening.
Namun Faya bisa melihat Sofia masih mencuri pandang pada Alex, dan suaminya itu sesekali membalas tatapan gadis licik tersebut. Dia tidak dapat menahan rasa panas yang mulai mengaliri kedua kelopak matanya.
“Kalian akan langsung berangkat setelah ini?” Papa Agusto memecah keheningan. Menatap Alex, lalu kepada Faya.
“Ya, dua atau tiga hari kami pergi,” sahut Alex. “Tapi aku masih bisa remote beberapa berkas penting dari sana.”
“Ngapain kamu masih berusaha membuatnya hamil, Al? Dia itu mandul, mau dibawa ke dokter paling canggih pun akan percuma. Hanya membuang uang dan tenaga,” celetuk Mama Vero.
“Faya, setelah ini Papa perlu bicara dengan kamu sebentar ya.” Papa Agusto tampak berusaha membuat ucapan istrinya tidak didengar.
“Ya, Pa.” Faya mengangguk hormat.
***
“Faya, Papa tau kamu perempuan baik yang tepat untuk Alex. Tapi kamu tau kondisi keluarga kita kan?” Papa Agusto memulai pembicaraan, sesaat setelah Faya duduk di ruang kerjanya.
Faya menelan ludah. Mengangguk samar.
Lelaki itu menghela napas panjang. “Alex sudah bicara semuanya sama Papa, kalau ternyata kamu yang… kurang subur….”
Faya mendongak cepat. Mulutnya membuka. “A-aku?”
Papa Agusto mengangguk mantap. “Papa sudah melihat semua hasil rekam medis kamu yang selama ini Alex sembunyikan.”
“S-sembunyikan?” Faya mem-beo. Seketika kepalanya terasa penuh dengan bermacam pertanyaan. Namun dia tidak tahu pertanyaan mana dulu yang akan dia utarakan.
“Papa ikut prihatin, Faya.” Wajah Papa Agusto menatap sang menantu. Matanya menyipit, garis senyumnya memudar. “Tapi Papa minta tolong, kamu jangan egois ya.”
“Maksud Papa?” Suara Faya terdengar seperti tercekik. Pikirannya sudah tertuju pada ucapan Sofia semalam. Tentang sebuah restu….
Sepertinya Revan sadar jika sedang diperhatikan, lelaki itu pun menoleh. Lalu terlihat mengusap kedua pipinya bergantian dengan buru-buru. Setelah itu tampak cepat membuang muka.Faya pun menunduk. Perempuan itu menghabiskan minumnya. Lalu bergerak dan duduk di sofa. Entah kenapa, dia salah tingkah sendiri.Tidak berapa lama, pintu belakang terbuka. Revan muncul di sana. Wajah putihnya menampakkan senyum, masih seperti senyum Alex, tetapi matanya kentara memerah.“Faya… sudah bangun?” tanyanya. Revan ikut duduk. Namun memilih di kursi dekat dapur. Jarak mereka sekitar empat meter.
“Eh, m-maaf.” Revan menelan ludah.Faya menutup wajah menggunakan kedua tangannya sendiri. Mencoba menghentikan suara isak yang tak kuasa dia tahan lagi. Bahu perempuan berkulit putih bersih itu berguncang, dan dadanya mendadak terasa sesak.Beberapa saat terus begitu, sampai Faya mendengar bunyi benda digeser di atas meja. Menimpa suara isak tangisnya.Spontan Faya melonggarkan jari jemari, sehingga dia bisa melihat tangan Revan yang berbulu halus sedang memindahkan mangkuk mie milik Faya. Revan menempatkan mangkuk itu berjejer dengan mangkuk miliknya. Kemudian lelaki tersebut terlihat mengelap meja di bagian yang paling dekat dengan Faya.Perlahan tangan Faya luruh. Wajahnya yang basah menatap Revan. Sedikit mengernyit.Revan yang tampak menyadari sedang dipandang, balas menatap Faya. Menyeringai seraya menunjuk meja, persis di posisi mangkuk tadi. “Mm… ini… barangkali kamu butuh meja untuk menangis.”“Hah?” Faya mengernyit. Mulutnya bahkan sampai terbuka melongo.“Gini maksudnya….”
“Kenapa kamu nggak kunci pintu?” bentak Faya. Dia kebingungan. Antara mau berbalik, tetapi merasa kencingnya sudah tidak bisa ditahan lagi. Namun jika tetap di situ, dia merasa malu dengan ketelanjangan Revan.“L-loh s-sudah tadi kok. Apa rusak—”“Pakai handuk, dan cepat kamu keluar!” pekik Faya. “Aduh… aku ngompol!”Air mengalir dari pangkal paha Faya. Turun cepat membasahi lantai.Revan yang semula panik, harus menahan tawa sembari menyambar handuk. “I-ini a-aku masih perlu keluar atau… ppfff….”“Kenapa ketawa? Ini semua salahmu!” geram Faya. Dia mundur, tetapi sial, lantai menjadi licin karena air seninya sendiri.Faya merasakan tubuhnya oleng. Matanya menangkap sosok Revan yang datang bergegas ke arahnya, mengulurkan tangan. Hap, akhirnya tangan mereka bertautan.Sayangnya, lagi-lagi sial, handuk yang melilit pinggang Revan melorot, menyebabkan kaki lelaki itu terserimpet. Mereka pun jatuh. Posisi Revan di atas, tetapi dia sigap menangkupkan tangan untuk melindungi kepala Faya.K
“Alex bilang akan membawamu ke tempat terapi sekali lagi, dan dia minta waktu enam bulan dari sekarang. Dia yakin sekali kamu bisa hamil,” kata Papa Agusto.Faya menutup wajah dengan kedua tangannya. Mata perempuan berhidung mancung itu mulai terasa panas.“Alex sangat mencintaimu, Faya.” Papa Agusto menghela napas, lebih panjang dari yang pertama. “Alex menolak untuk menikah lagi, demi kamu. Tapi keluarga ini perlu penerus… jadi Papa harap kamu ikut membujuk Alex untuk menikah lagi, jika ternyata kamu gagal hamil.”Diam. Mulut Faya terasa dikunci. Kepalanya masih penuh. Terlalu penuh.Bahkan sampai Alex datang dan membawa Faya pergi. Meninggalkan rumah mewah mereka dengan dalih pergi ke tempat terapi.“Kamu sekarang tau kenapa kamu harus cepat-cepat hamil?” Alex, yang menyupir sendiri mobilnya, berkata tanpa menoleh pada Faya.“Kenapa Pap bilang sama Papa kalau aku yang man—”“Kalau kamu nggak bisa menjalankan misi ini, mungkin Sofia bisa,” tukas Alex. Derainya menguar beberapa deti
Faya menelan ludah. Dia melihat badan tegap Alex tengah membelakanginya, sementara Sofia berdiri tepat di depan lelaki itu.“Kamu pasti suka tubuh muda dan kencang ini kan, Al? Spesial bagian sini. Atau di….” Sofia terkikik-kikik seraya menyentuh dadanya sendiri, lalu tanpa malu, tangannya turun ke bawah perutnya.Mendadak derai tawa Sofia musnah. Matanya telah bersitatap tanpa sengaja dengan Faya, yang berada tiga meter di belakang Alex. Namun satu detik kemudian, cekikikannya justru terdengar mengudara lebih riang. “Mas, aku siap melahirkan Alex junior. Empat atau lima, pokoknya sebanyak kamu mau. Rahimku ini subur, tidak kering seperti milik perempuan tua tidak berguna itu.” Sofia mengambil tangan Alex. Terlihat jelas dia ingin mengarahkan tangan Alex ke dadanya.Faya cepat berdehem.Alex spontan terperanjat. Membalikkan badan. “Faya… ternyata kamu di sini.”“Suamiku….” Faya mendekat. Meraih lengan Alex. Dengan sengaja dia menirukan nada genit Sofia. “Kamu mencari aku kan, Sayang?
“Agh ….” Faya menjerit tertahan ketika milik Alex mulai masuk ke tubuhnya. Perih, berdenyut-denyut sakit.Gerakannya kasar, dan terburu-buru seperti biasa. Alex langsung mengguncang tubuh langsing itu, mempercepat ritme-nya sembari mencengkeram kedua tangan Faya yang terasa meremukkan.“P-pap …. “ Faya meringis. Memejamkan mata, sebab perih yang tiada terkira di bawah tubuhnya. Terasa bagai sebilah tombak tajam yang digesekkan ke daging yang belum basah sempurna.“A-ah… P-pa… P-pap….” Perempuan seratus lima puluh delapan senti meter itu terus menjerit tertahan.Alex yang sedari tadi mengguncang sembari mendongak, kini menggerakkan leher untuk melihat wajah Faya yang tengah berjuang menahan sakit. Dia menyeringai lebar. “Katakan, Sayang. Katakan saja….”Bibir Faya bergetaran. Air mata turun perlahan.Melihat wajah Faya yang tampak lemah dan kewalahan, Alex justru tertawa, seolah-olah dia telah mencapai kemenangan atas permainan panasnya.Dengan kasar lelaki itu membalik tubuh istrin







