Hanifa berjalan mendekat ke arah stand penjual makanan. Dia harus gerak cepat supaya suaminya tidak ditempeli pelakor macam Widya. Jika dibiarkan begitu saja, sudah pasti Widya akan bertingkah seenaknya. "Mas Pati!" panggil Hanifa yang seketika membuat Respati menoleh. Lelaki itu terlihat terkejut dan gegas mendekat ke arah istrinya. "Kenapa ke sini, Sayang? Mas, kan, sudah bilang kalau tunggu saja di sana. Biar Mas yang antre!" ujar Respati penuh dengan kelembutan. Widya yang sejak tadi mendengar percakapan pasutri romantis itu pun langsung memutar bola mata dengan malas. "Aku mau temani kamu. Takutnya ditempeli sama pelakor, Mas!" Hanifa sengaja mengusap pundak suaminya seolah menghempaskan debu dan kotoran yang membandel. Hal itu tentu saja membuat Widya tersinggung bukan main. Emosinya hendak meledak, tapi sialnya mereka sedang berada di tempat umum dan tak memungkinkan dia untuk marah-marah tak jelas. "Mbak Wid, kamu di cari kekasihmu itu. Ditunggu loh! Ketimbang godain sua
Beberapa hari ini Respati sama sekali tak mau keluar dari kontrakan jika tidak bersama dengan sang istri. Lelaki itu seperti kapok bila harus meninggalkan istri cantiknya dan berujung ditemui dengan mantan suami dari wanita itu.Hanifa sampai heran sendiri. Di sisi lain, dia juga merasa sangat bersyukur karena mendapatkan lelaki yang sangat mencintai dirinya secara overdosis. "Mas nggak pergi ke tempat fitness lagi?" tanya Hanifa penasaran. Wanita itu sampai duduk mepet di samping sang suami. Respati menggeleng seraya memeluk erat pinggang sang istri. Bibirnya sudah maju mengendusi leher jenjang yang mulus itu. Hanifa hanya bisa menghela napas ketika mendapati keusilan sang suami yang tiada duanya."Kenapa nggak pergi ke sana, Mas? Biasanya saja aku di anggurin di kontrakan!" heran Hanifa yang suka sekali memancing Respati. "Malas mau ke sana. Sudah pasti si Widya ke sana. Dia mengganggu sekali." Respati langsung bicara jujur. Inilah moment yang ditunggu oleh Hanifa. Dia ingin ber
Tengah malam, Hanifa terbangun dan menatap penuh harap ke arah Respati yang bahkan masih tidur terlelap di sampingnya. Wanita itu sebenarnya tak tega membangunkan sang suami lantaran terlalu lelap dalam tidurnya. Hanya saja, dia sudah tidak bisa menahannya lagi. "Mas Pati. Bangun, Mas." Wanita itu mulai menggoyangkan tubuh sang suami. Berharap dengan ini, lelaki itu terbangun. Untungnya, Respati bukan tipe orang yang susah dibangunkan ketika sudah terlelap. Ia bahkan langsung terjaga dan menatap sayu ke arah istrinya berada. "Kenapa, Dek? Butuh sesuatu?" tanya Respati sayu dan masih setengah mengantuk. Hanifa memeluk erat tubuh suaminya. Entah mengapa, dia ingin bermanja ria dengan suaminya ini. Apalagi, ketika melihat wajah tampan itu, rasanya ingin terus memiliki dan menyatu bersama. "Aku mau minum susu ibu hamil, tapi Mama Anisa yang buatin. Pengen banget, Mas," rengek Hanifa seraya menunduk dalam. Dia takut sekali jika permintaannya ini tidak dituruti oleh sang suami. Terlebi
Widya menangis pagi-pagi sekali karena ngidamnya tidak dituruti oleh keluarga Abimana. Dia merasa sangat frustasi dan tak menyangka akan memiliki nasib seperti ini. Sudah hamil dengan suami orang, sama sekali tidak di akui dan berakhir menjadi aib keluarga kekasihnya. Bukan ini yang dia mau. Dia hanya ingin hidup bergelimang harta, tapi justru terjerumus lebih jauh dalam kemaksiatan dan dosa besar. "Wid. Kamu tidak bisa diam? Tante pusing dengar suara tangisan kamu!" pekik Santi emosi bukan main. "Aku cuma ngidam, tapi kalian nggak turuti apa kemauan aku!" pekik Widya yang tak terima dengan semua ini."Kamu pikir, kami punya banyak uang, hah? Kamu ini ngidam atau niat mau peras uang kami, hah? Sudah menumpang, tapi tidak tau diri sekali!" amuk Santi. Sungguh, ruang tamu rumah itu sudah dipenuhi dengan suara ribut dari dua wanita beda usia itu. Bahkan, para tetangga berbondong-bondong untuk menguping. Mereka seperti senang sekali ketika mendengar keributan yang diciptakan oleh Sa
Widya menatap sendu uang hasil penjualan anting emas miliknya. Dia merasa sudah persis seperti gembel yang tak mengenakan satu pun emas. Padahal, banyak orang di luaran sana yang belum tentu mampu membeli emas. Memang pada dasarnya Widya saja yang kebanyakan gaya dan gengsi. Bahkan, uang hasil penjualan itu sudah berpindah ke tangan Abimana. "Biar Mas yang bawa. Nanti sore kita cari kost. Sekarang kita pulang dulu buat beresin semua baju-baju kamu!" Abimana menggandeng tangan Widya untuk menuju ke parkiran motor.Yang dulunya ke sana kemari mereka akan menggunakan mobil, sekarang justru hanya menggunakan motor saja. Mana itu motor buntut. Widya merasa jika dia pernah menjadi Cinderella dan dalam sekejap kembali menjadi gadis biasa saja yang tak punya apa-apa. "Mas beneran aku di suruh ngekost?" tanya Widya yang masih tak rela dengan semua ini. "Ya kamu maunya gimana, Wid? Memangnya mau berurusan dengan polisi kalau sampai Papa beneran ngelaporin kamu?" tanya balik Abimana yang dib
Respati kali ini sengaja memberikan kado yang paling istimewa untuk Hanifa. Sebuah kalung cantik yang di dalamnya terisi alat pelacak. Hal ini dia lakukan supaya bisa terus menerus memantau pergerakan sang istri yang memang sangat rawan sekali didekati oleh lelaki lain. "Suka tidak kalungnya?" tanya Respati setelah memasangkan kalung indah itu di leher Hanifa.Sang empu tersenyum amat manis. Dia mengangguk dengan semangat. Semua hal yang telah diberikan oleh suaminya tentu saja membuatnya sangat suka dan bahagia. Tidak ada alasan untuk menolak. Dia sangat bahagia. "Suka banget, Mas. Apalagi diposesifin kayak gini. Berasa sangat dicintai sampai dikasih alat pelacak di dalam kalung ini," kagum Hanifa. Ya, Respati memang berbicara jujur tentang kalung istimewa itu. Selain harganya yang mahal, kalung tersebut memang terdapat alat pelacak yang di rancang khusus oleh kenalan Respati. "Memang kamunya Mas cintai dengan sepenuh hati, Sayang. Ini salah satu dari sekian bukti cintanya Mas un
Jelang sehari sebelum melaksanakan acara syukuran pindah rumah, semua keluarga sudah sibuk sana sini untuk mempersiapkan segalanya. Mereka sibuk mempersiapkan makanan yang memang akan di masak di rumah baru itu. Ada juga bagian yang sedang membuat kue untuk dijadikan bingkisan para anak-anak yatim yang akan di santuni. Memang, acara ini bukan hanya untuk syukuran semata. Melainkan juga Respati mengundang lima puluh anak yatim untuk disantuni. Hanifa yang melihat banyak orang yang membantu hari ini pun sangat terharu. Bahkan, tetangga kiri dan kanan rumahnya pun juga ikut serta. Para penghuni kontrakan pun juga ke sini. "Gimana perasaannya, Sayang? Bahagia?" bisik Respati ketika sejak tadi mengamati istrinya yang sedang menatap penuh kebahagiaan ke arah semua orang.Hanifa menoleh. Matanya sudah berkaca-kaca dan bibirnya maju beberapa senti."Jangan nangis, Sayang. Ini loh hari bahagia kita. Kok, malah mau mewek?" kekeh Respati yang dengan sigap mengusap air mata Hanifa ketika air
Santi pada akhirnya bisa dengan leluasa berada di tempat itu karena ucapan Hanifa tadi. Dia merasa amat bangga dan sesekali menatap remeh ke arah Nenek Laksmi yang kentara sekali jika jengkel kepada wanita paruh baya itu."Sayang, katanya kamu hamil, ya?" tanya Santi seraya membawa box kue untuk dirakit di dekat Hanifa.Sang empu yang ditanya seperti itu langsung tersenyum cerah seraya mengangguk. "Alhamdulillah, Tan. Masih jalan bulan, belum terlihat kalau menonjol!" balas Hanifa yang mulai mengusap perut datarnya. Santi sebenarnya sedikit kecewa ketika mengetahui fakta tersebut. Seharusnya dia yang memiliki cucu, bukan justru Anisa. Ia iri pada mertua Hanifa lantaran sudah punya suami tampan. Ditambah lagi, punya menantu yang super cantik dan tidak neko-neko."Sayang banget, ya, kamu hamil sama Respati, bukan justru sama Abi," keluh Santi yang sudah tidak bersemangat lagi.Niat hati ke tempat Hanifa hanya untuk cari muka, bukan bekerja membantu sana sini. Hanya saja, dia ingin mel
Anisa datang ketika mendengar musibah yang menimpa sang menantu. Dia geram sekali. Terlebih lagi, ketika berada di sana, pembantu yang mencelakai menantunya justru tidak ada di sana."Pokoknya Mama nggak mau tau, kamu pecat saja pembantu itu." Entah sudah berapa kali Respati mendengar omelan dari sang Mama. Dia ingin menyela, tapi tidak bisa. Terlebih lagi, tiga perempuan kesayangannya ini justru menatap tajam ke arah dirinya. Apalagi Hanifa yang tak suka sejak awal dengan kehadiran Maya. Makin menjadi wanita itu merajuk. "Sampai sekarang tidak berani pulang setelah membuat cucu mantuku celaka. Awas memang dia nanti kalau sampai masih berani ke sini, habis dia!" sungut Nenek LaksmiHanifa hanya diam saja mendengar nenek serta mertuanya yang sibuk mengoceh. Dia pun hanya memberikan tatapan maut pada Respati, tapi tidak berkomentar apapun. "Kali ini kamu yang tegas. Awas memang masih mempertahankan dia. Sejak awal Nenek tidak setuju, tapi kamu ngeyel. Nisa juga ngeyel!" Sang nenek ke
"Masak apa kamu itu?" tegur Nenek Laksmi ketika melihat Maya mengeluarkan nasi sisa kemarin."Nasi goreng!" Walau sekesal apapun si Maya, dia akan tetap menjawab segala pertanyaan yang bersumber dari mulut wanita tua itu."Pakai nasi sisa kemarin? Astaga, jangan nasi goreng. Tidak baik untuk kesehatan janinnya Hanifa. Masak sup ayam saja. Itu nasi kemarin jangan dipakai, takutnya basi!"Maya menghela napas. Baru kemarin loh ada wanita tua itu, tapi rasanya seperti membuat Maya menyerah saja. "Jangan lupa juga kupaskan buah segar lalu dicuci. Takutnya nanti Hanifa butuh buat nyemil!"Hanifa, Hanifa dan Hanifa. Maya sampai muak dengarnya. Walau begitu, dia tetap mengangguk sebagai jawaban.Diam-diam, Nenek Laksmi tersenyum miring. Sangat bahagia bisa membuat Maya tersiksa dengan kecerewetannya. Beberapa saat kemudian, Hanifa dan Respati pun masuk ke dalam dapur. Maya yang tadinya tampak cemberut pun seketika wajahnya berbinar dengan sangat cerah. Ia pun berjalan mendekat dan lekas me
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat