"Loh, ngapain kamu ke situ? Itu loh punya calon istrinya Mas Pati. Dengan kata lain, suatu saat nanti itu punya saya, Delina Nugraha!" tegas wanita itu yang ternyata namanya Delina Nugraha. Pergerakan tangan Hanifa yang ingin membuka pintu kontrakan pun sontak saja terhenti. Ia menatap malas ke arah penghuni baru yang sialnya berada tepat di samping rumah kontrakan yang memang dikhususkan untuknya. Hanifa kembali tak menggubris dan hendak membuka pintu lagi. Sayangnya, Delina justru menarik kasar tubuh sang empu yang beruntungnya masih bisa menjaga keseimbangan. "Kamu itu apa-apaan, sih? Sudah dibilang jangan ke situ! Budeg apa gimana? Pergi sana!" usir Delina. Tidak tau saja jika wanita yang sedang di usir ini adalah ibu kontrakan dua puluh pintu yang salah satunya sedang dia tempati. "Mbak yang apa-apaan? Ini tempat saya, jadi saya bebas mau keluar masuk. Toh, saya juga punya kunci!" Hanifa yang kepalang dongkol tentu saja langsung mengangkat kunci kontrakan yang ia punya. Hal
"Lepas!" datar Hanifa seraya menyentak kasar tangan Respati.Hal ini sukses membuat Anisa terkejut bukan main. Dia menatap intens ke arah pasangan itu. Sepertinya, sedang ada perselisihan di antara mereka. "Dek. Mas minta maaf—""Buat apa minta maaf? Mas nggak salah, kok. Harusnya aku sadar diri nggak usah pergi ke sana. Supaya aku nggak direndahin sama orang dan juga supaya nggak dibentak-bentak sama suami sendiri!" lirih Hanifa memotong ucapan Respati.Sebenarnya, wanita itu sama sekali tidak mau membahas hal ini didepan mertuanya. Salahkan saja Respati yang justru memancing mereka untuk membahas hal iniAnisa pun semakin mengerutkan kening. Apalagi ketika mendengar penuturan dari sang menantu yang terdengar sangat menyayat hati."Kalian kenapa? Pati. Hanifa kamu apakan, hah?" tegas Anisa yang suaranya sangat tidak bersahabat. Hanifa terisak hebat yang seketika membuat Anisa semakin naik pitam. Respati pun bingung hendak berbuat apa. Mau kembali memeluk sang istri, tapi sang empu
Hanifa dengan telaten mengobati memar yang menghiasi wajah sang suami. Sementara Respati sejak tadi hanya bisa menatap lekat ke arah sang istri yang sama sekali tak pernah pamrih. Sialnya, dia bahkan sudah melukai hati wanitanya ini. "Sakit, Mas? Maaf, ya, kalau sakit, Mas tahan dulu!" ujar Hanifa begitu lembut Wanita itu sudah mengesampingkan ego untuk tidak memikirkan lebih dulu segala hal menyakitkan yang Respati berikan tadi. Sebagai seorang istri yang baik, dia harus bisa mengayomi suaminya. "Kamu lebih sakit, tapi masih bisa tanya begitu ke Mas, Dek? Mas menyesal, Dek. Maafkan Mas!" lirih Respati seraya mendesis pelan ketika memarnya terasa sakit.Hanifa melempar senyum. "Nggak papa. Akunya saja yang kasar. Maaf, ya, kalau aku tadi kasar. Aku cuma nggak suka dibilang ini dan itu oleh orang lain yang bahkan belum tau aku ini siapa," balas Hanifa dengan hati legowo.Detik itu juga, Respati langsung memeluk istrinya dengan begitu erat dan sesekali melabuhkan kecupan di kening.
Widya sejak tadi sibuk mencari perhatian pada Respati yang bahkan sama sekali tak menggubris keberadaannya. "Aduh, Mas. Tolong aku, sepertinya kaki aku keseleo!" pekik Widya yang langsung terduduk di lantai.Beberapa orang mendekat dan mulai menolong wanita hamil itu. Sementara Respati hanya melirik malas ke arahnya. "Kalian ngapain, sih? Aku maunya ditolong sama Mas Pati!" pekik Widya protes. Seketika, kerumunan itu bubar dan mencibir pelan. Widya ini kentara sekali jika sedang mencari perhatian. Hanifa yang melihatnya saja hanya bisa menghela napas. "Mas, ayo tolong aku!" pinta Widya manja. "Nanti kalau ada apa-apa sama kandunganku bagaimana? Mas mau tanggung jawab?" lanjut Widya yang masih terus menerus mengoceh. Hanifa mendekat dan mengulurkan tangan. Dia tentu saja tak akan pernah memberikan celah pada wanita sialan itu. Apalagi Hanifa sudah belajar dari masa lalu yang begitu menyedihkan. Jangan sampai hanya karena Widya lagi, rumah tangganya kembali bubar. "Ngapain?" pek
Widya panas sendiri ketika melihat Respati dan Hanifa bermesraan di belakang sana. Harusnya dia bisa berada di posisi Hanifa, tapi ini justru dia kepanasan sendiri. "Ini mobil nggak ada AC-nya atau gimana, sih? Panas sekali!" gerutu Widya kesal bukan main. Hanifa mengulum senyum. Dia tau betul jika Widya ini sedang dalam mode cemburu buta. Astaga, padahal dulunya Widya bisa dengan leluasa mengambil apa yang dia punya. Sayangnya, sekarang ini Hanifa tak akan pernah mau bila harus mundur. "Perasaan pakaian Mbak terbuka, deh! Kok, masih merasa panas?" timpal Pak sopir menyerngit keheranan.Widya tentu saja langsung melotot horor. Dia kesal bukan main dan tak mau bila harus terus menerus ada di dalam mobil."Diam kamu! Kalau nyetir cepat dong. Saya mau segera pulang nih!" gerutu Widya yang sama sekali tak punya sopan santun. Respati yang sejak tadi menyimak hanya bisa memutar bola mata dengan malas. Terserah wanita itu saja mau mengoceh apa.Lelaki itu lebih memilih merengkuh sang ist
"Wid. Jangan bikin ulah lagi. Ayo masuk!" ajak Abimana yang sudah keluar dari ruang tamu. Widya menghela napas. Dia tak mau berdebat dengan Abimana. Alhasil, wanita itu berjalan gontai mendekati sang pujaan hati. Berbagai hinaan dan cibiran terus berdatangan. Bahkan, Widya sudah menangis sesenggukan. Santi yang merasa bosan dengan ocehan para tetangga pun gegas menarik masuk sosok Widya hingga ketiganya langsung menutup pintu.Tubuh Widya luruh ke lantai. Sebenarnya, Santi merasa iba. Hanya saja, ketika mengingat Widya yang sudah bermain serong di belakang Abimana, rasanya wanita paruh baya itu ingin menggampar Widya. "Mas Abi. Aku capek banget, Mas. Bisa tidak sih kalau kita ngekost saja atau pindah rumah?" rengek Widya yang sudah tak sanggup bila harus menjalani hari demi hari yang menyesakkan seperti ini. "Ck, kamu pikir biaya kost murah, Wid? Kalau kamu atau bahkan Abi yang ikut ngekost, siapa yang mau bayarin? Saya? Untuk makan sehari-hari saja kalian masih numpang. Wajar ka
Pagi-pagi sekali Nenek Laksmi menyambangi kontrakan milik Respati. Wanita tua itu ingin melihat sosok penghuni baru salah satu unit kontrakan milik sang cucu. Sesampainya di sana, ia gegas bertanya pada salah satu dari mereka yang tinggal di kontrakan itu. Semua yang ditanya mengatakan jika penghuni baru itu tinggal di samping unit kontrakan yang dikhususkan untuk Hanifa. Bahkan, para tetangga kontrakan banyak menceritakan keluh kesalnya selama bertetangga dengan Delina. "Ibu Laksmi harus tau kalau si Delina itu genitnya minta ampun. Apalagi kalau Mas Pati datang ke sini. Sudah pasti itu perempuan gatal sekali!" "Bukan hanya ke Mas Pati, tapi ke satpam yang menjaga kontrakan ini saja juga genit. Makanya, kita suka was-was kalau si Delina ketemu sama suami-suami kita, Bu!" Nenek Laksmi menghela napas. Dia semakin penasaran seperti apa sosok Delina yang bahkan belum ada satu bulan tinggal di sini saja sudah membuat banyak orang resah. "Minta tolong sekali, ya, Bu. Kalau bisa, Bu
Respati telah sampai di area kontrakan miliknya bersama dengan Pak tukang. Delina yang memang sejak tadi menunggu kedatangan pemilik kontrakan pun sontak saja langsung memasang wajah sedih seraya mendekat ke arah Respati."Mas Pati. Aku mau bilang sesuatu sama kamu, Mas!" lirih Delina hingga membuat Respati menyerngit keheranan. "Mau bilang apa, Mbak?" tanya lelaki itu sembari mempersilakan Pak tukang masuk ke dalam rumah kontrakan yang di huni oleh Delina.Respati terlalu fokus pada tukang yang dia bawa ketimbang memperhatikan wajah sendu Delina. Hal ini tentu saja membuat sang empu kesal bukan main, tapi masih berusaha keras untuk mempertahankan raut wajah sendu. "Neneknya Mas Pati labrak aku, Mas. Aku takut sekali. Aku di ancam ini dan itu sama Neneknya Mas!" Ketika mendengar penuturan Delina yang satu ini, barulah Respati menatap terkejut ke arah wanita itu. "Maksudnya bagaimana?" tanya lelaki itu penasaran."Neneknya Mas Pati loh ke sini bikin ulah. Ngatain aku ini dan itu sa
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s
Ada yang aneh di kediaman Respati dan Hanifa pagi hari ini. Pasalnya, mereka mendapati kotak di depan pintu yang terbalut pita di atasnya. "Ini apa, Mas? Kok, bisa-bisanya ada beginian?" heran Hanifa. Pasangan suami istri itu terpaksa menunda keberangkatannya yang hendak pergi ke tempat fitness lantaran masih penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut."Harusnya kalau ada paket, dititip dulu sama Pak Satpam!" gumam Respati yang juga merasa aneh dengan semua itu. "Coba buka saja, Mas. Aku kok ya penasaran sama isinya!" Hanifa hendak mengambil kotak tersebut, tapi langsung di tahan oleh Respati. Lelaki itu menggeleng pelan untuk memperingati sang istri supaya tidak membuka kotak tersebut. Ia gegas menatap ke arah pos satpam yang tak jauh dari teras rumahnya."Pak Satpam. Tolong ke sini sebentar, Pak!" panggil Respati dengan nada sopan, tapi penuh akan perintah. Dua satpam yang berjaga di pos keamanan pun lekas mendekati kedua majikannya yang berada di teras rumah. "Iya