Hanifa menatap sendu beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja. Sudah malam begini, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan Abimana. Ini bahkan sudah terhitung tiga hari lamanya Abimana tak pulang ke rumah.
Gadis itu juga enggan untuk menyentuh makanan yang ia masak sore tadi.
"Pokoknya aku mau diet. Aku pengen kurus supaya Mas Abi bisa cinta sama aku!" monolog Hanifa dengan penuh tekad.
Walau sejujurnya, makanan di atas meja sangat menggugah selera. Tapi, Hanifa sedang berusaha keras untuk menahan keinginannya.
Waktu semakin larut, sementara perut Hanifa semakin keroncongan. Namun, dia tetap berusaha untuk menahan diri supaya tak tergoda dengan makanan.
Pada akhirnya, Hanifa memilih untuk masuk ke dalam kamar dengan memegangi perutnya yang terasa perih.
"Mas Abi, aku bakal berusaha untuk cantik. Tapi, aku bingung, dia sudah bilang talak tiga ke aku. Kita ini sekarang apa? Masih suami istri atau sudah bukan?"
Di tengah malam yang sunyi ini, Hanifa kembali menangis, meratapi pernikahannya yang berada di ujung tanduk.
"Setidaknya aku mau kasih kesan buat Mas Abi, supaya kami bisa bersatu lagi. Aku pengen punya keturunan dari Mas Abi," ujar Hanifa sebelum benar-benar memejamkan mata.
Keesokan harinya, Hanifa dikejutkan dengan tendangan kecil di kakinya. Gadis itu lekas terbangun dan mendapati sosok Abimana yang begitu gagah.
Sayangnya, Abimana justru menatap datar pada Hanifa.
"Kita sebaiknya pisah kamar. Jangan lupa bersihkan semua barang-barangmu dan pindah kamar yang dekat dengan dapur."
"Tapi, Mas ...,"
Hanifa menghela napas ketika dia belum selesai bicara, tapi justru ditinggal begitu saja.
"Aku nggak bakal mau pisah kamar sama dia! Enak saja. Aku nggak mau pisah sama Mas Abi!" gerutu Hanifa yang benar-benar keras kepala.
Ya, mau bagaimana lagi, Abimana itu merupakan sosok cinta pertama Hanifa. Dia sudah kehilangan kasih sayang sosok ayah kandungnya lantaran kedua orang tuanya bercerai ketika usia Hanifa yang masih kanak-kanan.
Ayahnya memilih untuk menikah lagi dan tak pernah memberikan dia nafkah. Sementara Ibunya saat itu memilih untuk bekerja ke luar negeri menjadi seorang TKI. Sayangnya, sampai sekarang pun sang Ibu sama sekali tak ada kabar.
Hanifa kecil hanya di asuh oleh Paman dan Bibinya. Sampai dia mulai dewasa dan bertekad untuk pergi merantau ke kota hingga pada akhirnya bertemu dengan sosok almarhum Kakek Abimana semasa Beliau masih hidup.
Dari sanalah ia mengenal dan jatuh cinta dengan Abimana. Mengingatnya saja sudah membuat Hanifa menitikkan air mata.
"Jadi dewasa itu susah, ya. Apalagi kalau punya fisik jelek begini. Nggak pernah dihargai sama orang lain," keluh Hanifa seraya keluar dari kamar.
Samar-samar ia mendengar suara obrolan antara lelaki dan perempuan di ruang tamu. Hanifa pun memutuskan untuk mengintip dan matanya membelalak sempurna ketika mendapati suaminya sedang kedatangan tamu. Seorang wanita cantik yang memiliki body aduhai
"Mas Abi, siapa dia?" tanya Hanifa penasaran. Ia memilih untuk mendekati sang suami.
Suami? Masih pantas, kah, Abimana disebut sebagai suaminya? Entahlah, Hanifa pun bingung dengan status mereka.
"Saya Widya. Semalam Tante Santi nyuruh aku ke sini buat temu kangen sama Mas Abi. Mbaknya ART di sini, ya?" Suara halus dari wanita yang bernama Widya itu terdengar sangat menyebalkan di telinga Hanifa.
Bahkan, tangan Hanifa sudah gatal sekali ingin menggampar mulut sialan itu.
"Kamu siapanya Mas Abi, kok, sampai temu kangen kayak gini?" tanya Hanifa.
"Mas Abi, coba jelaskan sama ART-nya, Mas, dong. Bilang sama dia kalau aku ini calon pacarnya Mas." Widya langsung bergelanyut manja di lengan kekar Abimana.
Hanifa yang sudah tak bisa menahan emosi pun langsung menghempaskan tangan Widya.
"Lancang sekali kamu nyentuh suami aku kayak gini!" Pelakor harus dibasmi, begitulah isi pikiran Hanifa.
"Suami? Mas, yang benar saja kamu nikah sama perempuan gembrot macam dia?" Widya menatap remeh ke arah Hanifa seraya bersedekap dada.
"Hanifa, mending kamu masuk ke dalam kamar saja. Jangan membuat tamuku nggak nyaman!" tegur Abimana yang sebenarnya sangat malu ketika Widya tau jika dia pernah menikahi wanita jelek ini.
"Nggak. Selama ini aku diam saja bukan berarti bisa ditindas terus. Aku nggak mau rumahku dikotori sama pelakor jelek macam dia!" Hanifa gegas maju dan menyeret Widya keluar dari rumah.
Abimana mendorong Hanifa hingga membuat kedua wanita itu terjatuh. Sayangnya, Abimana justru memilih untuk mendekati Widya dan menolongnya
"Mas Abi. Si gembrot itu kayak raksasa. Aku takut. Aku pengen pergi dari sini!" rengek Widya dengan nada manja. "Kakiku juga sakit, Mas. Nggak bisa jalan ini!"
Tanpa ba bi bu lagi, Abimana langsung mengangkat tubuh ramping Widya dan membawanya pergi dari sana.
"Mas Abi. Aku juga sakit, Mas!" jerit Hanifa, tapi hanya di anggap angin lalu oleh Abimana.
Hanifa bangkit dan berjalan terseok. Dia sudah lelah menangis. Gadis itu memilih untuk masuk ke dalam kamar untuk membereskan pakaiannya. Dia berubah pikiran dan memilih pindah ke kamar dekat dapur sesuai dengan permintaan Abimana tadi.
"Kalau aku tetap tidur di kamar ini, aku nggak bakal fokus buat diet, yang ada malah sakit hati terus!" keluh Hanifa.
Dia belum menyerah. Justru ini adalah awal dari segalanya.
Hanifa menatap sekeliling kamar. Banyak kenangan pahit di kamar ini selama satu tahun menikah dengan Abimana.
Langkahnya membawa tubuh gempal itu menuju cermin full body.
"Aku juga nggak minta ditakdirkan jadi gendut seperti ini. Apalagi, wajahku penuh sekali dengan jerawat!" monolognya seraya memegangi perut bagian bawahnya yang bergelambir.
"Aku yakin kalau aku bisa kurus dan cantik seperti wanita yang sedang bersama Mas Abi." Hanifa tersenyum sendu. Dia akan berusaha keras untuk mewujudkan mimpinya.
Tekadnya sudah kuat. Hanifa pun langsung menyeret koper untuk meninggalkan kamar tersebut.
Hari demi hari dilalui dengan sangat berat. Bahkan, Hanifa sempat beberapa kali pingsan karena menahan lapar dan hanya makan sayuran rebus beserta buah-buahan.
Abimana saja sampai heran lantaran Hanifa sudah tak pernah memasak. Walau begitu, ia sama sekali tak protes, tapi justru bisa bernapas dengan lega lantaran beras tidak gampang habis. Urusan perut, Abimana tidak banyak memikirkan lantaran sering makan menumpang di kediaman orang tuanya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Abimana ketika mendapati Hanifa yang sedang mengenakan baju olahraga.
Hanifa menatap sinis ke arah Abimana yang semakin hari semakin lengket dengan Widya.
"Bukan urusan kamu. Urus itu si pelakor supaya tidak gatal dengan suami orang!"
Brak!
Belum sempat Abimana dan Widya menyela, tapi pintu ruang tamu sudah dibanting kencang oleh Hanifa.
Napas Hanifa kembang kempis. Ia memilih untuk berlari dengan napas tersengal. Baru beberapa meter saja rasanya luar biasa lelahnya. Alhasil, Hanifa memilih untuk istirahat sejenak demi mengurangi rasa lelah.
Sayup-sayup gadis itu mendengar obrolan beberapa wanita yang sedang membeli sayur di pedagang keliling.
"Gimana, sih, caranya supaya badan bagus kayak Mbak ini?"
"Gampang. Rutin olahraga di tempat fitness yang baru buka di depan kompleks sana itu, loh. Pelatihnya ganteng lagi. Masuk sana nggak perlu keluar duit banyak, asal konsisten mau kurus, pasti dibantu!"
Obrolan itu terus mengalir. Sementara Hanifa begitu bersemangat untuk menyimak. Apa dia coba saja, ya, pergi ke tempat itu supaya bisa menguruskan badan?
Anisa datang ketika mendengar musibah yang menimpa sang menantu. Dia geram sekali. Terlebih lagi, ketika berada di sana, pembantu yang mencelakai menantunya justru tidak ada di sana."Pokoknya Mama nggak mau tau, kamu pecat saja pembantu itu." Entah sudah berapa kali Respati mendengar omelan dari sang Mama. Dia ingin menyela, tapi tidak bisa. Terlebih lagi, tiga perempuan kesayangannya ini justru menatap tajam ke arah dirinya. Apalagi Hanifa yang tak suka sejak awal dengan kehadiran Maya. Makin menjadi wanita itu merajuk. "Sampai sekarang tidak berani pulang setelah membuat cucu mantuku celaka. Awas memang dia nanti kalau sampai masih berani ke sini, habis dia!" sungut Nenek LaksmiHanifa hanya diam saja mendengar nenek serta mertuanya yang sibuk mengoceh. Dia pun hanya memberikan tatapan maut pada Respati, tapi tidak berkomentar apapun. "Kali ini kamu yang tegas. Awas memang masih mempertahankan dia. Sejak awal Nenek tidak setuju, tapi kamu ngeyel. Nisa juga ngeyel!" Sang nenek ke
"Masak apa kamu itu?" tegur Nenek Laksmi ketika melihat Maya mengeluarkan nasi sisa kemarin."Nasi goreng!" Walau sekesal apapun si Maya, dia akan tetap menjawab segala pertanyaan yang bersumber dari mulut wanita tua itu."Pakai nasi sisa kemarin? Astaga, jangan nasi goreng. Tidak baik untuk kesehatan janinnya Hanifa. Masak sup ayam saja. Itu nasi kemarin jangan dipakai, takutnya basi!"Maya menghela napas. Baru kemarin loh ada wanita tua itu, tapi rasanya seperti membuat Maya menyerah saja. "Jangan lupa juga kupaskan buah segar lalu dicuci. Takutnya nanti Hanifa butuh buat nyemil!"Hanifa, Hanifa dan Hanifa. Maya sampai muak dengarnya. Walau begitu, dia tetap mengangguk sebagai jawaban.Diam-diam, Nenek Laksmi tersenyum miring. Sangat bahagia bisa membuat Maya tersiksa dengan kecerewetannya. Beberapa saat kemudian, Hanifa dan Respati pun masuk ke dalam dapur. Maya yang tadinya tampak cemberut pun seketika wajahnya berbinar dengan sangat cerah. Ia pun berjalan mendekat dan lekas me
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat